Perjodohan (Part 2)


Berbanding terbalik dengan Jefri. Jani menolak mentah-mentah perjodohan ini, tetapi Jadira dan Chandra tidak menyerah sama sekali untuk meyakinkan gadis itu agar supaya mau menerima perjodohan yang sebenarnya sudah direncanakan dari sejak kedua orang tua Jani dan Jadira masih hidup,

“Kak apaan sih, jodoh jodohin segala. Aku gak mau ya! Aku gak mau dijodohin, lagipula aku masih dua puluh tiga tahun, aku masih muda!” kesal Jani. Dia tidak pernah membayangkan kalau sesuatu yang biasa dia lihat di cerita-cerita akan terjadi kepadanya hari ini.

Jadira menghembuskan nafasnya, dia mencoba untuk sabar, meskipun tangannya sudah gatal ingin memukul adik kecilnya itu agar diam dan menuruti semua kemauan kedua orang tuanya sejak beliau masih hidup,

“Jani, tolong, kakak minta tolong ke kamu untuk terima in—”

Jani langsung memotong ucapan sang kakak dengan nada suara yang setengah berteriak,

“Tolong? Kaka minta tolong ke aku untuk hal ini? Seberapa penting sih perjodohan ini untuk kakak? Apa kakak jual aku supaya aku gak hidup di rumah ini, dan kakak stop biayain aku, iya? Kakak jahat tau gak! Papa sama mam—”

Sebuah tamparan mulus menyapa pipi halus dan chubby milik Jani. Gadis itu terkejut ketika sang kakak menampar pipinya, meskipun tamparannya tidak keras, tapi Jani tetap shock. Tidak pernah Jadira melakukan hal ini kepadanya, tapi hari ini? Wanita itu bukan seperti kakaknya, melainkan seperti monster jahat bagi Jani.

Tidak hanya Jani yang terkejut, Chandra, sang suami pun ikut terkejut dengan istrinya itu.

Jadira bukan tanpa alasan melakukan hal itu, dia sudah sangat amat habis kesabaran melihat tingkah laku adiknya yang sama sekali susah diatur, ditambah dirinya yang tengah berbadan dua, terus merasakan mual, mood swing, dan sakit diseluruh badan,

“Perjodohan ini ada bukan karena kakak mau jual kamu! Tapi perjodohan ini ada karena emang udah direncanain sama papa sama mama, jauh sebelum mereka meninggal. Kalau kamu gak percaya, kakak ada suratnya supaya kamu baca dan kamu percaya biar kamu stop nuduh kakak yang enggak-enggak.” geram Jadira seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepada Jani yang masih tertegun memegangi pipinya.

Jani menerima surat itu dengan kasar, dia melirik sinis sang kakak sebelum membaca suratnya. Dan ketika ia sudah membaca suratnya, dia merasa bersalah karena sudah menuduh kakaknya yang tidak-tidak. Ternyata, apa yang kakaknya bilang itu benar, perjodohan ini ada memang karena rencana kedua orang tuanya, bukan karena kakaknya yang merasa lelah mengurusi Jani dan ingin menjual Jani ke orang lain.

Jadira memperhatikan gerak-gerik Jani dengan seksama. Gadis itu terlihat menahan air matanya ketika membaca setiap kata yang dituliskan di dalam surat tersebut. Setelah membaca suratnya, dia langsung melipat surat tersebut, melemparnya ke sembarang arah, lalu memperhatikan sang kakak dengan penuh rasa bersalah, dan berlari untuk memeluknya.

Sang kakak awalnya terkejut, namun kemudian dia membalas pelukan Jani dengan erat. Menepuk punggung adiknya itu dengan lembut. Rasa kesal yang tadi mendominasi Jadira seketika hilang digantikan perasaan bahagia. Melihat moment mengharukan ini, Chandra mengeluarkan ponselnya dan memfoto dua kakak beradik ini, tidak lupa juga dia ikut berselfie diantara istri dan adik iparnya yang sedang berpelukan itu,

“Kak, maafin Jani, harusnya Jani gak bersikap kayak tadi. Harusnya Jani gak ngelawan kaka, dan gak nuduh kaka yang macem-macem. Jani gak sadar kalau selama ini kakak udah berbuat banyak ke Jani, Jani bener-bener minta maaf kak.” rengek Jani di dalam pelukan Jadira.

“Iya gak apa-apa, kakak juga minta maaf ya karena tadi kakak udah nampar Jani. Kakak khilaf, kakak lagi capek sama semuanya. Maafin kakak, oke?”

Chandra tersenyum bahagia, lalu ia berjalan mendekati Jadira, dan mengecup puncak kepala istrinya itu. Jadira melirik Chandra sekilas dan mengulas senyuman tipisnya.

Jani melepaskan pelukannya seraya menghapus air matanya yang tidak mau berhenti mengalir. Ia menatap Jadira dengan tatapan tulus dan senyuman lembut yang sudah jarang Jadira dapatkan akhir-akhir ini dari sang adik,

“Kamu mau kan nerima perjodohan ini?” tanya Jadira dengan hati-hati, takut menimbulkan pertengkaran antara dirinya dan sang adik.

“Aku boleh pikir-pikir dulu gak kak? Bagaimanapun juga, yang namanya perjodohan gak bisa sembarangan aku terima. Aku bakal menikah sama dia, dan menikah itu sakral.” pinta Jani.

Jadira menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Ya, setidaknya Jani tidak menjawab tidak, jadi Jadira akan memberikan kesempatan kepada adiknya itu untuk berpikir lebih matang soal perjodohan ini,

“Iya silahkan. Tapi kakak harap waktunya gak lama ya.”

“Iya kak.”