Playing Kites


“I told you. My dad is so fucking scary.” ujar Emily disertai kekehan ringannya, sambil melirik Ethan yang sedang fokus menyetir, membawa Emily pergi entah kemana tujuannya.

“He is.” respon Ethan, “tapi gue ngerti, lu anak cewek satu-satunya, dan seinget gue ayah itu sayang banget sama anak cewenya, wajar kelakuan bokap lo kaya gitu ke gue tadi.”

Emily mengangguk setuju dengan ucapan Ethan.

Cinta pertama seorang anak perempuan memanglah ayah mereka, dan itulah kenapa kebanyakan anak perempuan memiliki bonding yang spesial dengan ayah mereka. Emily pun merasakan hal tersebut, dia memang dekat dengan bundanya, sangat dekat, tetapi dengan ayahnya, kedekatan mereka itu terasa begitu spesial,

“Ethan.” panggil Emily, kembali menoleh untuk melihat side profile Ethan yang begitu tampan.

“Ya?” Ethan merespon panggilan Emily, seraya menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berwarna merah yang itu artinya mereka—para pengguna kendaraa harus berhenti.

Lelaki itu ikut menoleh kepada Emily. Dan kini mereka saling menatap satu sama lain,

“Do you miss your parents?” tanya Emily dengan nada suara yang rendah.

Ethan mengangguk, “i miss them so much. But i understand, they left and decided to stay in Paris to support me here.” ujar Ethan.

Emily memandangi mata Ethan. Disana. Tepat di mata itu. Emily bisa melihat dan merasakan bagaimana laki-laki itu begitu merindukan sosok orang tuanya, dan bagaimana laki-laki itu begitu kesepian karena harus hidup sendirian tanpa orang tuanya,

“Do you feel lonely?” tanya Emily yang sebenarnya dia sendiri sudah tau jawabannya.

Ethan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang Emily ajukan,

“The first day my parents moved to Paris. I feel lonely. For your information, every night i always cry.” tutur Ethan, diserta tawa mengingat awal-awal dimana kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Paris, “Too much isn't it?” tanya Ethan.

Emily jelas langsung menggelengkan kepalanya. Menangis karena merasa kesepian itu bukanlah hal yang berlebihan. Mau laki-laki atau perempuan sekalipun, merasakan hal seperti itu adalah hal yang normal,

“Gak berlebihan.” bantah Emily, “normal kalau lo nangis apalagi itu hari pertama lo ditinggal orang tua lu buat tinggal di Paris.”

“Hm. Tapi sekarang gue udah gak ngerasa kesepian lagi.” ucap Ethan sambil memandangi wajah cantik Emily, lalu fokus ke matanya, dan diam-diam fokus menatapi bibir pink dan tipis Emily, “soalnya Tuhan ngasih Kaisar ke kehidupan gue, dan juga Tuhan nemuin gue lagi sama lo. Gue jadi gak merasa kesepian lagi.”

Emily tersenyum malu-malu. Begitu pula dengan Ethan yang terkekeh kecil melihat senyuman malu-malu Emily yang begitu menggemaskan.

Lalu entah kenapa, atmosfer di mobil itu berubah menjadi lebih… panas? Ditambah lagi, mata Ethan yang tidak berhenti memandangi bibir Emily. Begitu pun dengan Emily, matanya begitu fokus memandangi bibir indah Ethan. Dan membayangkan bagaimana kalau bibir indah itu menyentuh bibirnya, melumatnya dengan lembut.

Ah sepertinya Emily sudah gila!

Disaat Emily hendak mengakhiri sesi saling tatap menatap ini. Tiba-tiba saja Ethan mendekatkan tubuhnya ke arah tubuh Emily, sembari memiringkan kepalanya. Keduanya sudah tahu kemana hal ini akan mengarah. Dan keduanya pun tidak bisa mengelak, bahwa mereka memang sama-sama mau.

Mereka sudah semakin dekat, jarak sudah tidak ada artinya lagi bagi mereka. Baik Ethan maupun Emily, mereka bisa merasakan deru nafas saling menerpa permukaan wajah mereka masing-masing. Sebentar lagi, bibir mereka saling bertautan.

Namun, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepada keduanya. Karena disaat Ethan sedikit lagi berhasil merasakan lembutnya bibir Emily, suara klakson dari mobil belakang membuat keduanya harus saling menjauh,

“Astaga.” cicit Emily sambil memegangi jantungnya yang berdegup kencang.

“Shit.” umpat Ethan dalam hatinya.

Ethan pun mengendarai mobilnya, membelah jalanan kota Bandung yang terpantau ramai lancar.

Sekarang, suasana mobil kembali awkward akibat dari gagalnya sesi ciuman barusan. Baik Ethan maupun Emily mereka sama-sama malu untuk sekedar memulai percakapan. Pada akhirnya, hampir 10 menit mereka saling diam, dan karena Ethan tidak tahan dengan keheningan ini, dia memberanikan diri untuk membuka mulutnya,

“Kita hari ini mau kemana?” tanya Ethan.

“Kalau semisal kita main layangan lo mau ga?” jawaban yang terkesan seperti pertanyaan itu terlontar dari mulut Emily.

Entah kenapa, sekelibat kenangan Emily bermain layang-layang bersama ayahnya di masa kecil terlintas di otaknya. Membuat Emily ingin kembali mengulang masa-masa itu tetapi bersama Ethan,

“Emang lu bisa main layang-layang?” Ethan bertanya heran.

Bukan apa-apa, ini adalah pertama kalinya Ethan bertemu seorang perempuan yang ingin bermain layang-layang untuk first date mereka. Kebanyakan perempuan di luaran sana kan lebih suka pergi ke coffee shop atau museum atau tempat apapun itu yang indoor untuk first date mereka,

“Bisa dong!” Emily berujar dengan sombong, “gue dulu waktu kecil, kan pernah dua tahun tinggal di Oregon tuh, kampungnya bokap gua, nah gua disana sering banget main layang-layang hehehe.”

Entah takdir atau memang hanya sebuah kebetulan.

Ethan juga sama seperti Emily. Lelaki itu sangat pandai bermain layang-layang. Meskipun dia terlahir dari keluarga yang bisa dibilang cukup berada, tapi, Ethan tumbuh dan berkembang bersama teman-teman yang timggal di pinggiran komplek rumahnya. Mereka selalu pergi mengajak Ethan bermain layang-layang di lapangan luas, bermain bola, kelereng, dan permainan jadul lainnya.

Beruntungnya, orang tua Ethan bukan tipe orang tua yang mengharuskan Ethan bermain dengan orang-orang yang sama seperti keluarga Ethan—yaitu orang kaya. Asalkan, Ethan bahagia dan pergaulan itu tidak membawa dampak negatif untuk Ethan, orang tua lelaki itu selalu mendukung,

“Gue juga suka main layang-layang.” ucap Ethan, sembari otaknya mengingat banyaknya memori indah dimana ia bermain layang-layang bersama teman-temannya ketika kecil dulu.

“SERIUS!?” tanya Emily begitu bersemangat, Ethan menjawab sambil menganggukkan kepalanya, “IH TUH KAN EMANG SESERU ITU MAIN LAYANGAN TUH!” lanjut Emily.

Ethan tertawa gemas.

Entahlah, apapun yang Emily lakukan, selalu berhasil membuat Ethan merasa gemas,

“Kalau gitu, gue tau tempat yang bagus buat kita main layang-layang.”

“Take me there, Sir!”

“Lets goooo!”

– – – –

Lalu sampailah mereka di sebuah lapangan besar nan luas. Emily terlihat begitu senang, dia berjalan layaknya seorang anak kecil yang dibawa pergi oleh kedua orang tuanya ke wahana mandi bola. Sementara, Ethan, berjalan mengekori Emily di belakang, dengan membawa layang-layang beserta gelasannya.

Hari semakin gelap, langit pun sudah berubah warna menjadi jingga, namun itu tidak menyurutkan semangat Ethan dan Emily untuk bermain layang-layang.

Sembari menunggu Ethan memasangkan benang ke layang-layang, Emily memutuskan untuk mengambil beberapa foto pemandangan langit yang begitu indah ini. Huh, rasanya Emily beruntung masih bisa diberi kesempatan untuk melihat langit Bandung yang seindah ini,

“Nih, udah beres. Lo mainin layang-layangnya ya, biar gue yang bantu terbangin.” ucap Ethan sambil memberikan gelasan kepada Emily, Emily menerima gelasan itu dengan perasaan senang, wajahnya berbinar.

Melihat itu, Ethan hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar menggemaskan, pikirnya.

Permainan pun di mulai.

Emily berjalan mundur sambil melepaskan benang dari gelasannya sepanjang 20 meter,

“Stop!” ucap Ethan memperingati Emily.

Emily pun berhenti. Tempat dimana dirinya berdiri benar-benar adalah tempat yang bagus dan pas untuk bermain layangan. Anginnya juga tidak terlalu kencang dan tidak terlalu pelan. Emily berpikir, kalau Ethan sering menghabiskan masa kecilnya di lapangan ini untuk bermain layangan bersama teman-temannya,

“Ethan, terbangin layang-layangnya.” pinta Emily agak berteriak.

“Ok!”

Dan Ethan pun melepaskan kertas layangan tersebut ke udara. Emily langsung dengan sigap menggerak-gerakan benangnya untuk membuat layang-layang itu tetap terbang.

Emily melakukan itu sembari berteriak kencang disertai tawa juga. Ethan ikutan tertawa dan senang melihat Emily petang ini.

Dia berlari mendekati Emily. Berdiri di belakang gadis itu sambil terus memberikan semangat,

“Ayo Milee!!! Layangan lo makin tinggi. Good job!”

“AAA GUE SENENG BANGET!” teriak Emily, “GUE UDAH LAMA GAK MAIN INI. IM SO HAPPY! FUCKING HAPPY!

Mendengar teriakan itu, membuat senyuman Ethan semakin melebar. Hatinya menghangat. Dia senang kalau Emily merasa senang.

Semoga, seterusnya, Ethan bisa membuat Emily senang dan lepas seperti ini.

Sembari Emily bermain, tiba-tiba, Ethan memeluk gadis itu dari belakang. Membuat Emily terkejut bukan main, dia langsung melepaskan tangannya dari benang sangking kagetnya. Dan, dengan sigap, Ethan mengambil alih benang tersebut, dan menarik ulurnya, sambil dirinya mendekap erat tubuh Emily dari belakang.

Emily tidak bisa berkutik. Dia hanya mampu diam sambil tersenyum dan membiarkan Ethan mengambil alih permainan dengan posisi seperti ini. Benar-benar nyaman bagi Emily.