Puncak


Kaynara's POV

Aku terduduk di salah satu tempat duduk yang bentuknya seperti batang pohon, yang berada di pinggiran kebun teh yang memang sudah sering menjadi destinasi wisata para wisatawan, baik asing maupun domestik. Hari ini adalah weekdays kebun teh tidak terlalu banyak dikunjungi oleh para pengunjung. Hanya ada beberapa yang datang kesini, termasuk aku, Grace, dan teman laki-laki Grace yang bernama Jevano.

Aku benar-benar bersyukur karena Grace membawaku ke sini. Ke tempat yang sejuk, asri, dan jauh dari kata polusi. Sedikit lumayan bisa merefresh pikiranku, meskipun tidak bisa sama sekali menghilangkan perasaan sedihku. Sakit hati yang aku rasakan belum hilang sama sekali, sesekali aku masih sering menangisi segala perbuatan Abimanyu kepadaku beberapa bulan terakhir ini.

Aku terus bertanya-tanya, apakah aku begitu kurang dimata Abimanyu, sehingga lelaki itu terus mencari kepuasan dari perempuan lain di luaran sana? Tak ayal, aku juga kerap menyalahkan diriku atas sikap Abimanyu, aku menyalahkan diriku yang tidak bisa terlihat sexy di depan Abimanyu sehingga dia memilih untuk melampiaskan nafsunya kepada perempuan lain dibandingkan kepadaku, kekasihnya.

Aku bukan manusia suci, aku tidak menampik bahwa sex adalah salah satu hal yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan, apalagi hubungan diantara dua orang yang umurnya sudah legal dan sudah paham apa itu arti tanggung jawab, seperti aku dan Abimanyu. Aku tidak masalah, kalau Abimanyu memintaku untuk berhubungan badan dengannya. Tapi kami tidak pernah melakukan hal yang terlalu jauh, selain french kiss dan aku yang memberikan breastfeeding kepadanya. Hanya sampai situ, tidak lebih.

Aku takut. Takut kalau Abimanyu menyentuh semua perempuan itu lebih dari dia menyentuhku. Aku benar-benar takut akan hal itu. Selama ini, aku hanya selalu mendapatkan laporan kalau Abimanyu berciuman dengan banyak perempuan, dan aku selalu berpikir apa yang dia lakukan setelah ciuman itu berubah menjadi menuntut dan membangkitkan gairah di dalam dirinya? Astaga, memikirkannya saja langsung membuat air mataku kembali menetes.

Aku menarik nafasku dalam-dalam, dan langsung menghapus air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin menangis hari ini, cukup kemarin malam aku menangis sampai pagi, sekarang, biarkan aku menikmati liburanku dengan rasa sakit yang entah sampai kapan akan hilang,

“Kay.” suara berat seorang pria dari arah kanan memanggilku. Aku langsung menoleh, dia adalah Jevano, teman laki-laki Grace.

“Hai.” aku membalas sapaannya dengan tersenyum lebar. Ya, biarpun terlihat lebar, tapi sebenarnya, senyuman ini hanyalah senyuman palsu.

“Can i sit?” Jevano bertanya dengan begitu sopan sebelum ia mendudukan dirinya di sebelahku. Aku langsung mengangguk, memberikannya izin untuk duduk disampingku.

Benar-benar pria yang sopan dan penuh akan tata krama,

“Ahhhhhh.” Jevano mengeluarkan suara hembusan nafasnya, sambil matanya menatap ke hamparan daun teh di depannya. Aku hanya melirik wajahnya dari samping. Struktur wajah Jevano benar-benar seperti dewa. Hidungnya mancung, matanya yang indah, bibir tipisnya yang berwarna merah, benar-benar sempurna, “sejuk disini, diatas sana gue stress disuruh ini itu sama si Grace.” keluh Jevano.

Aku tertawa,

“Kalau gak riweuh nyuruh-nyuruh orang bukan Grace namanya.” ucapku yang dijawab dengan kekehan dan anggukan setuju Jevano.

“Lo temenan sama Grace udah lama?” Jevano bertanya sembari melirikku.

Aku terdiam seolah-olah sedang berpikir. Mengingat-ingat, sudah berapa lama aku dan Grace berteman,

“Hmm, udah lama banget sih, dari awal ospek sampai sekarang.” jawabku.

Jevano menganggukan kepalanya paham.

Lalu, keadaan diantara kami pun kembali hening. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat setelah aku melontarkan jawabanku, Jevano kembali melontarkan pertanyaan,

“Selama kalian temenan, Grace ada gak ya suka sama cowok gitu?”

Sebagai seorang perempuan, aku memiliki radar atas pertanyaan laki-laki yang memang pure hanya bertanya, atau ada maksud dibalik pertanyaan itu. Dan, untuk kali ini, aku entah kenapa merasa, kalau Jevano memiliki maksud terselubung dari pertanyaannya. Entahlah, aku merasa, sepertinya Jevano menaruh perasaan kepada Grace?

“Tunggu dulu deh, pertanyaan lo agak sus ya, lo suka sama Grace?” aku menebak curiga, dan cengiran dari Jevano itu sudah cukup menjawab kecurigaanku.

Iya, Jevano memang menaruh perasaan kepada Grace,

“Gue udah dari lama suka sama dia.” ungkapnya, “tapi dia kayaknya cuman nganggep gue temen main dan curhat dia doang.”

“Lu kok sok tau banget sih? Emang lo udah nanya langsung ke Gracenya?”

“Yaelah, Kay, gue juga tau kali mana cewe yang suka sama kita, dan mana cewek yang cuman suka hang out sama kita. Lagipula juga, kalau dia demen sama gue mah, dia gak bakalan ngejodohin kita.”

Aku terkejut. Jadi, Grace menceritakan soal rencananya untuk menjodohkan ku dengan Jevano kepada laki-lakinya langsung? Itu artinya, Grace juga menceritakan soal hubungan toxicku dengan Abimanyu? Astaga, Grace!

“Dia cerita kalau ke lo kalau mau jodohin gue sama lo?” aku mengulangi pernyataan dia menjadi sebuah pertanyaan yang penuh keterkejutan.

Jevano menganggukan kepalanya. Diam-diam aku menggigit bibir bawahku—demi Tuhan aku malu. Sangat malu,

“Aduh, dia cerita soal cowo gue juga gak?” aku bertanya, walaupun aku sudah tau jelas jawabannya pasti iya.

“Iya, malah cowok lu dijelek-jelekin mulu sama dia.” kan, benar apa dugaanku, pasti Grace menceritakan tentang Abim kepada Jevano, “eh tapi kalau misalkan kita ngomongin tentang cowok lo boleh gak?” Jevano meminta izin terlebih dahulu kepadaku sebelum dirinya membicarakan soal Abim.

Ketika ada seseorang yang berkata seperti barusan, sebenarnya aku takut. Takut kalau Jevano tahu hal-hal liar yang dilakukan oleh Abim dibelakangku. Ya, walaupun mereka berbeda fakultas, tapi Abimanyu adalah mahasiswa yang memiliki social butterfly yang tinggi, temannya ada dimana-dimana. Siapa tau sebenarnya Jevano mengenali Abimanyu tanpa sepengetahuanku,

“Lo kenal sama cowok gue?” tanyaku.

Jevano mengangguk, “siapa yang gak kenal seorang Abimanyu sih? Pentolan kampus yang terkenal tukang mainin perempuan, yang haters sama fansnya itu jumlahnya hampir sama.” lelaki itu terkekeh kecil ketika mendeskripsikan tentang Abim. Aku juga ikut tertawa, namun hatiku menjerit merindukan keberadaan Abim.

“Dulu, Bang Abim pernah main-main ke gedung teknik, dan ya ribut gitu sama mahasiswa teknik, gue gak ngerti permasalahannya apa, pokoknya si mahasiswa teknik itu sampai masuk IGD, dan rahangnya ada yang geser apa gimana gitu karena pukulan keras Bang Abim.”

Aku tidak terkejut dengan apa yang diceritakan oleh Jevano. Kekasihku itu memang tukang ribut dan pemukul yang handal, setiap orang yang dia pukul pasti tidak akan pernah berakhir dengan hanya luka lebam saja, melainkan adanya cidera parah di bagian-bagian yang dipukul dan yang paling parah adalah kritis dan di rawat di ICU,

“Anak teknik semuanya gak ada yang berani sama Bang Abim sampai sekarang.” aku dapat mendengar tawa sarkas dari Jevano, “padahal sama-sama makan nasi, tapi sebegitu takutnya.”

“Emang lo gak takut?”

Jevano melirikku seraya menggelengkan kepalanya, “buat apa? Toh gua sama dia sama-sama manusia, dia juga bukan Tuhan yang harus gua takutin. Jadi santai aja, selama kita ga macem-macem ya dia juga engga bakal macem-macemin kita.”

Aku mengangguk setuju. Ya, memang tidak sepatutnya kita begitu takut kepada manusia, atau memuja manusia, karena sejatinya, kita dan mereka itu sama. Yang membedakan hanyalah jenis kelamin saja,

“Jev.”

“Hm.”

“Menurut lo, gue bodoh gak?” aku bertanya dengan nada yang lirih namun terdengar serius, “Grace bilang gua bodoh karena masih bertahan sama Abim, padahal jelas-jelas Abim kelakuannya fucked up banget.”

Aku dapat mendengar hembusan nafas yang keluar dari mulut Jevano,

“Ya enggak lah. Lo gak bodoh.” aku diam tidak bergeming, membiarkan Jevano melanjutkan ucapannya, “gue pernah ada di situasi yang sama kayak lu, Kay. Waktu SMA, gue pacaran sama kakak kelas, dia manipulatif banget, dan demen banget ngegaslighting gue. Temen temen gue sadar akan hal itu, dan gue pun sadar. Temen-temen gue selalu nyuruh gue untuk putus sama dia, tapi gue gak mau, kenapa? Karena rasa cinta gue terlalu besar untuk dia, dan pada saat itu, gue berpikir kalau keadaan kita bakal membaik cepat atau lambat, gue cuman harus sabar aja. Tapi nyatanya, semua gak pernah membaik, malah dia jadi semakin semena-mena sama gue.”

“Lalu, gimana caranya lu keluar dari hubungan toxic itu?”

“Banyak faktor yang bikin gue akhirnya bisa keluar dari hubungan racun itu. Salah satunya adalah, harga diri gue sebagai laki-laki. Lu tau kan, cowok itu pridenya tinggi banget?” aku mengangguk, setuju, “nah, gue waktu itu udah lulus SMA, dan gue masih berhubungan sama dia, gue selalu ngabarin dia meskipun dia ga bales kabar gue, ya intinya gue ngejar-ngejar dia lah. Terus gue merenung selama beberapa hari, gue mikir, kayak, gue ngapain ya begini? Gue ngapain nurunin harga diri gue cuma demi perempuan yang gak mau sama gue. Im just wasting my time, dan ya udah setelah gue menyadari akan hal itu, ya, gue akhirnya berani ambil tindakan tegas dengan mutusin dia, meskipun gue sedih, karena ya gue cinta dan sayang banget sama dia.”

“Tapi, laki-laki sama perempuan itu beda. Laki-laki mungkin kalau ada di dalam hubungan yang toxic, bisa lebih mudah untuk mengakhiri, tapi perempuan enggak. Gak semua perempuan kuat dan bisa untuk pisah sama seseorang yang mereka cintai, meskipun udah disakitin ampun-ampunan sampai nimbulin trauma ke mereka.”

“Gue harus gimana ya, Jev? Bingung banget gue.” aku mengeluh dengan suara yang bergetar.

“Lo pernah cari tahu gitu gak sih soal latar belakangnya Bang Abim?” Jevano tidak menjawab pertanyaanku, dan malah balik bertanya.

Aku menggeleng. Lalu sedetik kemudian, rasa sedih muncul di dalam hatiku. Sudah hampir satu tahun aku dan Abimanyu berhubungan, tapi aku sama sekali tidak tahu menahu tentang latar belakang lelaki itu. Yang aku tahu, hanyalah kedua orang tua Abimanyu yang bercerai dengan cara yang baik-baik,

“Menurut gue ya Kay, gak ada asap kalau gak ada api. Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang itu ada pengaruh dari masa lalu. Dan, tingkah laku dan perbuatan Bang Abim yang separah ini, menurut gue ada sangkut pautnya dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu dia. Entah itu kedua orang tua dia yang cerai, atau dia yang pernah diselingkuhin sama seseorang.”

“Orang tua dia cerai sih, Jev.”

“Nah, maybe, that's the reason why dia bener bener kayak asshole banget kelakuannya. Lu harus omongin dulu semuanya sama dia.”

Bicarakan semuanya dengan Abim? Ya Tuhan, aku bahkan sedang menghindari laki-laki itu, karena tidak sanggup untuk melihat wajahnya, bayangan dimana dia mencumbu banyak perempuan tak dikenal di luaran sana, membuatku tidak ingin untuk melihat wajah tampannya.