“Mba, wali dari pasien bernama Jibran, ya?” tanya sang suster kepada Zara yang sudah berdiri dari duduknya—bersama dengan Safira yang selalu disampingnya.

“Iya sus. Saya.” jawab Zara.

Tidak dapat diragukan lagi, air muka Zara benar-benar menunjukkan sebuah perasaan kekhawatiran yang mendalam. Ditambah, suaranya yang bergetar, membuat siapapun yang mendengarnya akan sangat yakin, kalau saat ini Zara sedang tidak baik-baik saja,

“Baik kalau begitu, ikut saya ke dalem ya? Dokter mau bicara sama mba.”

Suster tersebut mempersilahkan Zara untuk berjalan masuk ke ruangan dokter yang kebetulan berada di ujung lantai satu rumah sakit ini. Ada perasaan gelisah dan tidak enak yang menggerayangi Zara ketika ia berjalan menuju ruangan khas bau obat tersebut.

Zara duduk di depan sang dokter begitu dirinya masuk ke dalam ruangan. Dokter lelaki yang umurnya kurang lebih sekitar 50 tahunan, tersenyum menyambut kedatangan Zara, dengan kumis baplangnya, juga kepalanya yang di bagian depan terlihat botak, namun di belakang dipenuhi rambut tipis yang sudah ditumbuhi uban yang lumayan banyak,

“Selamat sore, ini kakaknya Jibran ya?” dokter tersebut bertanya dengan nada begitu ramah dan tenangnya. Mungkin, itu strategi dokter untuk membuat Zara tenang dan tidak terlalu khawatir, sebelum nantinya dokter tersebut memberikan hasil pemeriksaan Jibran.

Zara mengangguk sambil menelan ludahnya kasar, “iya dok, saya. Saya kakaknya Jibran.”

“Mirip sekali ya dengan Jibrannya.” sanjung sang dokter, Zara hanya mampu tertawa tipis. Tidak dia tidak benar-benar tertawa. Gadis itu sedang menyembunyikan perasaan takut dan khawatirnya, ia sendiri bahkan tengah asyik memainkan kedua tangannya dibawah sana.

Mata Zara tertuju ke arah tangan sang dokter yang tengah membuka hasil lab milik Jibran,

“Baik, saya akan jelaskan hasil dari pemeriksaan lab milik Jibran ya?”

Zara mengangguk.

Dokter tersebut menjelaskan semua hasil yang ada di dalam kertas tersebut dengan sedetail-detailnya, Zara mendengarkannya dengan seksama,

“Saya tahu, mungkin ini adalah hal yang paling berat yang akan di dengar oleh Mba Zara.” setelah selesai menjelaskan hasil lab, dokter langsung berucap seperti itu, yang mana hal itu langsung membuat Zara lemas seketika.

Mata Zara bahkan sudah berkaca-kaca sebelum dokter memberitahukan apa penyakit yang Jibran, adik kesayangannya tersebut derita,

“Dengan berat hati saya sampaikan, bahwa Jibran mengidap kanker darah atau leukimia stadium 3.”

Hancur. Dunia Zara hancur saat itu juga.

Tanpa sadar, gadis itu menangis tersedu-sedu dihadapan sang dokter. Tidak pernah terbayangkan oleh Zara kalau hari ini akan datang. Hari yang tidak pernah Zara harapkan sepanjang hidupnya.

Hatinya begitu sakit mengetahui satu-satunya keluarga yang ia punya mengidap penyakit separah itu. Kenapa Zara tidak pernah menyadarinya? Mungkin kalau Zara menyadarinya sejak awal, ia bisa membawa Jibran untuk pergi berobat, meskipun ia harus pontang panting mencari biaya,

“Dok, apa yang harus saya lakuin supaya adik saya bisa sembuh total dan gak pergi ninggalin saya?” Zara bertanya dengan suara yang terisak.

“Kemoterapi, tapi kemoterapi itu salah satu pengobatan kanker paling keras. Seseorang yang di kemo, setelah selesai kemo akan merasakan banyak efek samping, seperti mual-mual atau pun rambut rontok dan akhirnya menjadi botak.”

“Kalau boleh saya tahu, berapa biaya untuk sekali melakukan pengobatan kemoterapi, dok?”

“Sebelas juta lima ratus lima belas ribu tujuh ratus rupiah.”

Zara tercengang mengetahui biaya kemoterapi harus tiga kali lipat dari biaya pembayaran IKT-nya. Darimana dia bisa mendapatkan uang tersebut? Sedangkan hutang Zara tahun lalu di bosnya saja belum sempat Zara lunaskan, karena banyaknya keperluan yang harus gadis itu penuhi.

Zara takut kalau ia tidak bisa membayar pengobatan tersebut, tapi ia jauh lebih takut kalau harus kehilangan adik kesayangannya. Maka dari itu, tanpa berpikir panjang, Zara mengucapkan,

“Lakuin dok. Lakuin kemoterapi untuk adik saya, berapapun biayanya saya akan bayar.” mohon Zara dengan sisa tangisnya.

Dokter tersebut mengangguk,

“Baik, kami akan lakukan, sebelum itu, saya buatkan surat rujukan untuk melakukan kemoterapi, lalu nanti di urus di kassa 2 yang ada di lobby ya?”

“Iya dok.”


Zara menghampiri Jibran di ruang UGD dengan penampilan yang bisa dibilang lumayan hancur, membuat Safira juga Jibran yang memang sudah tersadar dari beberapa menit yang lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Zara hari ini.

Senyum tipis yang terkesan dipaksakan Zara umbarkan kepada Safira dan juga Jibran,

“Zar? Lo gak apa-apa kan?” Safira bertanya dengan penuh rasa bingung, penasaran, dan kecurigaan.

Hati Zara benar-benar lemah. Mendengar Safira yang bertanya seperti itu, ditambah Jibran yang terlihat pucat, dengan selang infus yang menghiasi punggung tangannya, juga fakta bahwa adik kandungnya itu mengidap penyakit berat, membuat Zara hancur, dan Zara tidak sanggup lagi untuk menahan tangisnya.

Lagi, Zara menangis sesenggukan di hadapan Safira dan Jibran.

Safira terkejut, begitu pula Jibran. Wanita itu buru-buru menghampiri Zara, dan mendekap tubuh Zara dengan erat. Menepuk-nepuk punggung sahabatnya dengan begitu tenang, berharap memberikan sedikit kenyamanan kepada Zara. Namun, hasilnya, Zara malah semakin menumpahkan air matanya di dalam dekapan Safira.

Jibran juga menjadi bingung melihat sang kakak yang tiba-tiba menangis seperti ini. Pria itu berpikir, apakah ada seseorang yang melukainya di luar sana? Atau mungkin, kakaknya ini tahu, apa penyakit yang sebenarnya Jibran derita.

Sibuk dengan pikirannya, Jibran sampai tidak sadar kalau sang kakak sudah melepas dekapannya dari Safira, dan kini malah menatap Jibran—badannya setengah membungkuk, tangannya ia taruh di atas rambut Jibran, rambut yang mungkin nanti akan menghilang seiring berjalannya waktu, akibat efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan kemoterapi. Jibran menatap sang kakak,

“Jibran.” lirih Zara.

“Iya ka?”

“Janji ya sama kakak untuk tetep hidup? Janji untuk terus ada sama kakak, okay? Jangan tinggalin kakak ya, cuman kamu satu-satunya keluarga sedarah kakak.”

“Iya kak, Jibran janji. I will stay here with you. I will never leave you.”

Zara tersenyum sambil menahan tangisnya,

“Promise?”

”“Promise.”*