Small Gifts
“Nyari siapa?”
Seorang pria yang umurnya beberapa tahun lebih tua dari Karina bertanya kepada gadis itu setelah ia membukakan pintu rumah Gista untuknya. Lelaki itu cukup tampan (Karina tidak mau munafik), belum lagi wangi parfum maskulinnya yang membuat perempuan manapun hanyut (termasuk Karina). Karina akui dirinya sempat terpana beberapa detik, mengagumi kesempurnaan laki-laki yang merupakan kakak sepupu dari Gista ini.
Namun, Karina bisa untuk mengontrol dirinya, awal tujuan dia datang kesini adalah untuk memberikan oleh-oleh kepada Gista dari ibunya. Gadis itu buru-buru membuang jauh-jauh pikiran anehnya, dan kembali bersikap biasa saja, seolah-olah lelaki dihadapannya ini tidak menarik baginya,
“Nyari Gista.” Karina menjawab dengan suara yang seramah mungkin. Tidak, tolong jangan salah sangka, Karina kalau berbicara dengan orang yang belum dikenalnya selalu dengan nada yang ramah dan lembut. Jadi, tidak ada maksud lain.
“Oh, Gista, duh, Gistanya lagi enggak ada, dia lagi nginep di apartemen pacarnya.” padahal, tanpa perlu lelaki itu bilang, Karina sudah tahu dimana Gista sekarang, “by the way, temennya Gista, ya?”
Karina menganggukan kepalanya pelan sembari tersenyum tipis. Senyuman yang mampu membuat hati siapapun terpana melihatnya,
“Oh ya udah gak apa-apa, paling cuman mau nitip oleh-oleh aja buat Gista.”
“Oh ya udah boleh.”
Lalu kemudian, Karina melepaskan tas ransel yang dibawanya, dan memberikannya kepada pria di depannya ini. Dia cukup terkejut ketika Karina tiba-tiba memberikan tasnya yang sangat berat itu. Tubuhnya bahkan hampir jatuh sangking beratnya tas itu. Untung massa otot pria itu lebih besar, jadi dia bisa menahan bobot tubuhnya agar tidak tersungkur ke lantai,
“Ini isinya oleh-oleh apa bom? Berat banget.” candaan pria itu berhasil membuat Karina tertawa pelan. Siapapun pasti akan terheran-heran ketika membawa tas ransel milik Karina yang berisikan buah tangan khas Jakarta yang banyak itu.
“Oleh-oleh kok, tenang aja, enggak ada bom sama sekali. Emang sengaja beli banyak buat Gista.” jelas Karina.
Akhirnya dia dapat bernafas lega sekarang, bahunya sudah terasa ringan tidak seperti saat dirinya tiba di stasiun Bandung. Bahunya benar-benar terasa berat, sangking beratnya dia sampai berpikir kalau dia membawa oleh-oleh sembari menggendong seorang tuyul di bahunya,
“Sebentar ya, ini disimpen di dalem dulu berat soalnya.” pamit lelaki itu, Karina menganggukan kepalanya, memberi izin. Dia pergi meninggalkan Karina, namun belum ada 3 langkah, lelaki itu kembali, membuat Karina kebingungan, “mau masuk ke dalem?”
Karina menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala, lagi dan lagi, disertai senyuman tipis yang mematikan, “gak usah, nunggu disini aja.” tolak Karina dengan sopan.
“Oke kalau gitu.”
Kemudian, lelaki itu masuk kembali ke dalam rumah Gista, untuk menaruh tas ransel berisi oleh-oleh itu. Dan, tidak lama kemudian, dia kembali lagi untuk menemui Karina yang masih setia berdiri di depan pintu,
“Udah disimpen oleh-olehnya di tempat yang aman.” ucapnya dibarengi dengan kekehan sederhana yang membuat Karina tersenyum kecil, “by the way, kita belum kenalan. Nama gue Barra, kakak sepupunya Gista.” lanjutnya, seraya mengulurkan tangannya ke arah Karina.
Karina menerima uluran tangan tersebut, lalu menyebut namanya, “Karina.” kemudian, dia langsung melepaskan jabatan tangan tersebut.
Karina melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjukan angka sepuluh malam, itu artinya malam sudah semakin larut, dan Karina harus buru-buru pulang ke apartemennya, dikarenakan besok dia harus kuliah jam setengah tujuh pagi,
“Gue pamit pulang dulu ya, udah jam sepuluh soalnya.” pamit Karina kepada Barra.
“Eh, pulang naik apa? Emang bawa mobil kesini?” Barra bertanya.
Karina menggeleng sebagai jawaban, “gue tadi kesini naik indrive sih, jadi ya paling balik naik indrive lagi aja.”
Sebagai seorang pria sejati, Barra jelas tidak akan membiarkan begitu saja seorang perempuan pulang sendirian di waktu malam, apalagi perempuannya itu secantik Karina,
“Jangan pulang naik ojol udah malem begini, Bandung bahaya soalnya suka banyak kasus begal. Mending gue anterin aja.”
“Eh ga usah.” Karina menolak dengan halus, “beneran, gue udah biasa kok naik ojol malem-malem.”
Barra tetap keukeuh ingin mengantarkan Karina pulang. Bukan hanya sekedar modus, tapi dia juga khawatir hal yang tidak diinginkan terjadi kepada Karina,
“Gue tetep anterin.” Barra melanjutkan ucapannya, “sorry terkesan kayak maksa tapi ini demi keselamatan lu sebagai perempuan.”
“Tapi—” Karina tidak melanjutkan ucapannya, karena buru-buru dipotong oleh Barra.
“Sebentar, gue ambil kunci mobil gue dulu. Lu tunggu disini, jangan kabur, oke.”
Karina menghela nafasnya pasrah. Pada akhirnya, dia harus pulang bersama laki-laki yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Tapi, ya sudah, tidak masalah, lagipula apa yang diucapkan oleh Barra benar juga. Karina sering membaca berita-berita soal pembegalan yang terjadi di Kota Bandung. Jadi, demi keselamatan diri sendiri, apa salahnya kalau dia menerima tawaran Barra.
Tidak lama kemudian, Barra kembali dengan kunci mobil yang sudah ada di genggamannya. Lelaki itu entah untuk alasan apa memberikan senyuman manis kepada Karina, yang membuat Karina sedikit salah tingkah dan mendadak gugup. Sebelum mereka pergi, Barra terlebih dahulu mengunci rumah Gista agar aman,
“Lo emang tinggal bareng Gista ya?” Karina bertanya seraya berjalan berdampingan dengan Barra menuju garasi mobil rumah Gista.
“Enggak, gue disini karena disuruh nyokap bokapnya Gista buat jagain dia, eh tapi anaknya malah nginep di apartemen pacarnya.” jawab Barra sambil tertawa, Karina juga ikut tertawa pelan.
Dari kejauhan, Barra sudah membuka pintu mobilnya menggunakan alarm dari kunci mobilnya. Jadi, Barra langsung membukakan pintu mobil untuk Karina. Sang empu terkejut ketika Barra melakukan hal ini kepadanya. Karena demi apapun, belum pernah ada seseorang lawan jenis yang membukakan pintu untuk Karina seperti ini. Bahkan ayahnya sendiri pun tidak pernah melakukan ini Maka dari itu untuk beberapa saat Karina diam tidak bergeming sama sekali,
“Lo mau nginep disini kah?” ucapan Barra itu langsung menyadarkan Karina dari lamunannya.
“Hah, apa? Ada apa?” Karina malah balik bertanya, hal tersebut mengundang tawa pelan kepada Barra. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis dihadapannya ini selain cantik, menggemaskan juga ternyata.
“Lo dari tadi diem aja, mau nginep disini apa gimana? Kalau mau gue siapin kamarnya nanti.”
“Hah, ya engga lah, gue mau pulang. Apartemen gue udah ditinggalin tiga hari, ya kali gue nginep disini.” Karina kalau sedang salting, tiba-tiba bisa menjadi sewot seperti ini. Barra terkejut tentunya, tapi sedetik kemudian insting prianya langsung berjalan, dia dapat menebak kalau Karina tengah salah tingkah sekarang. Maka dari itu, sang adam hanya menyunggingkan senyuman tipisnya.
Buru-buru Karina masuk ke dalam mobil. Duduk di sebelah bangku pengemudi di depan. Tidak lama, Barra juga masuk ke dalam mobilnya. Dia mengunci pintu, lalu menggunakan safety belt, tidak lupa Barra juga mengingatkan Karina untuk menggunakan safety beltnya itu. Safety belt sudah dipasang oleh keduanya, berikutnya, Barra menyalakan mesin mobilnya. Lalu, dia menjalankan mobilnya menuju apartemen Karina.
Kondisi mobil benar-benar hening, tidak ada obrolan sama sekali diantara Karina dan Barra. Yang terdengar hanya lagu milik MAX feat Keshi yang berjudul IT'S YOU lewat radio tape yang ada di dalam mobil ini. Karina sangat amat menyukai lagu ini, disaat dirinya mengalami hari yang berat, atau sedang dalam kondisi stress pasti lagu ini yang akan dia putar, sampai dirinya tertidur.
Tanpa sadar, Karina bersenandung mengikuti nada dari lagu kesukaannya itu. Barra yang tengah menyetir pun, langsung mengalihkan fokusnya kepada Karina. Pria itu menoleh sekilas ke arah Karina, yang tengah humming sambil melihat ke arah jendela. Diam-diam, pria itu tersenyum. Mendengar suara humming Karina entah kenapa membuatnya senang, mungkin karena suara humming gadis itu yang terdengar sangat merdu,
“Suka sama lagu ini kayaknya.” tebak Barra yang sudah kembali fokus melihat jalanan.
Karina langsung berhenti bersenandung, dan ia menolehkan kepalanya ke arah Barra. Gadis itu tertawa pelan seraya menganggukan kepalanya,
“Suka banget.” jawab Karina, “nadanya itu calm, bikin kalau hari lagi berat banget terus dengerin lagu ini kayak bakal langsung enteng gitu harinya, terus juga kalau lagi stress bisa langsung seneng lagi.”
“Gitu ya?” Barra bertanya seraya terkekeh pelan.
“Iya.” jawab Karina dengan penuh kepercayaan diri yang sangat tinggi.
“Ya udah deh, gue cobain nanti. Soalnya mahasiswa tingkat akhir lagi stress-stressnya mikirin skripsi.”
“Nah boleh dicoba tuh kak.”
“Tapi emang lo suka genre musik yang kayak gimana sih, Rin?” Barra bertanya seraya membelokkan strinya ke arah kanan.
Karina tampak berpikir, “hmmmm…. banyak sih, depends on mood juga, tapi akhir-akhir ini lagi suka dengerin lagu RnB, blues, sama jazz gitu. Terus lagu-lagu mozart.”
“Mozart?” Barra mengulang ucapan Karina, gadis itu menganggukan kepalanya dengan semangat, “wah, gue pernah tuh dimarahin sama nyokap, disuruh bersih-bersih rumah, terus gue bersih-bersihnya sambil dengerin lagu-lagu mozart, demi apapun berasa lagi bersihin rumahnya Napoleon Bonaparte.”
Karina tertawa mendengar ucapan Barra.
Tawanya tidak terlalu kencang, namun terdengar begitu manis di telinga Barra. Laki-laki itu tidak bisa mengatur degup jantungnya setiap kali melihat Karina tersenyum, dan sekarang Karina tertawa karena ucapannya. Apa Barra tidak berakhir gila? Dia seperti benar-benar lupa kalau dia sudah memiliki kekasih,
“Napoleon Bonaparte kenapa sih astaga.” Karina menyeka sudut matanya yang basah akibat terlalu semangat tertawa.
“Beneran. Cobain aja.”
“Oke, nanti dicobain.”
Lalu, keadaan mobil pun tidak sedingin awal. Banyak sekali percakapan yang kini menghiasi mobil tersebut. Bahkan, mereka berdua sampai tidak sadar kalau lagu sudah dua kali berganti sangking asyiknya mereka bercengkrama.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh lima menit, sampailah mobil Barra di kawasan apartemen Karina, yang masih begitu ramai dimasuki oleh para residen, meskipun waktu sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam.
Karina melepaskan safety beltnya. Dia sudah bersiap untuk turun dari mobil Barra,
“Kak, thank you banget udah nganterin gue pulang.” ucap Karina dengan tulus. Barra menganggukan kepalanya sembari tersenyum, “kalau gitu gue turun ya kak.”
“Iya.” Barra kemudian melanjutkan, “langsung tidur ya, Rin, gak baik begadang soalnya.”
“Hahahaha siap!”
Setelah itu, Karina turun dari dalam mobilnya. Sebelum masuk ke dalam lobby apartemennya, Karina melambaikan tangannya terlebih dahulu kepada Barra. Lelaki itu pun membalas lambaian tangan Karina. Lalu, kemudian, Karina masuk ke dalam lobby apartemennya, dan bersamaan dengan itu, Barra pun menjalankan mobilnya untuk pulang kembali ke rumah Gista.