Sometimes, its Better to be Evil


Amoura dan Nadin selalu bilang, kalau rumah Emily adalah rumah yang paling nyaman untuk ditempati. Selain karena design interior rumah itu ala-ala scandinavian, rumah itu juga dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang yang tulus diantara keluarga kecil yang meninggali rumah itu. Membuat rumah itu tidak seperti rumah biasa melainkan seperti surga untuk mereka-mereka yang tidak menemukan perasaan itu di rumah mereka sendiri.

Namun, malam ini, label “rumah indah” itu hilang, dikarenakan suasana menegangkan menyelimuti seisi rumah tersebut. Suasana ini mengingatkan Emily kepada wahana permainan yang amat sangat ditakutinya yaitu, rumah hantu. Emily benci suasana seperti ini, suasana dimana sang ayah hanya diam dan menatap Emily tajam dan menusuk, dengan rahangnya yang mengeras seperti sedang menahan amarah. Dan ibunya yang hanya bisa diam di samping suaminya itu dengan ekspresi wajah pasrah,

“Wow, i really feel the tension here. What's going on?” tanya Emily dengan gugup, sambil dirinya duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan kedua orang tuanya.

“I want to take back the credit card that i gave to you.” tanpa memperdulikan pertanyaan sang anak, laki-laki berkebangsaan Amerika Serikat itu meminta kepada Emily untuk mengembalikan kartu kredit yang beliau kasih kepada Emily.

Emily terkejut sekaligus bingung. Salah apa yang sudah ia perbuat sampai ayahnya tiba-tiba ingin mengambil kembali kartu kredit milik perusahaannya yang diberikan kepada Emily,

“Why?” tanya Emily kebingungan sekaligus tidak terima.

*“I can't believe you still can say “why” after what you've done.” jawab sang ayah begitu sarkastik.

Emily semakin dibuat bingung. Ia menatap sang bunda yang diam disamping sang ayah dengan wajah gelisah sekaligus pasrah. Pandangan dua perempuan itu bertemu, Emily menekankan tatapannya, seolah-olah memberi kode kepada ibundanya untuk menjelaskan semua keanehan yang menimpa ayahnya malam ini. Namun, bunda Emily lebih memilih untuk menunduk—menghindari kontak mata dengan anak perempuannya itu,

“Did i do something wrong?” lagi, lagi, Emily bertanya.

*“Yes, you did! You are doing something very very wrong and irresponsible. I gave you that credit card because i believe that you can use it wisely. But in reality, you're not. You keep wasting my money!” marah ayah Emily.

Selama ayah Emily menjabarkan beberapa kesalahan dari gadis itu. Emily benar-benar tidak bisa berkata apa-apa, dia tidak percaya kalau ayahnya menuduhnya sebagai orang yang tidak bertanggungjawab. Padahal, uang-uang itu juga tidak pernah Emily gunakan untuk masuk ke club malam, atau hal-hal negatif lainnya. Emily gunakan kartu kredit itu untuk membeli buku-buku. Maka dari itu, setelah perlu beberapa waktu untuk memahami, Emily mulai terpancing emosi,

“Ayah, for your information kartu kredit ayah ini aku pakai untuk beli koleksi-koleksi buku aku, dan aku juga gak pernah pakai kartu kredit ini untuk transaksi hal hal yang negatif. Why do you care about this?” balas Emily tidak kalah emosinya.

“Look, i don't care how much money that you spend. What i care is, your responsibility to this credit card.” Ayah Emily melanjutkan ceramahnya, *“when you were in college, i gave you that card with so many rules, one of which is that you must be responsible for this credit card and use this credit card wisely.”

Emily baru saja mau membuka mulutnya, namun keburu dipotong oleh ayahnya,

“I don't want to hear your excuse anymore. Now, give me the card.”

“Ayah.” rengek Emily.

“Give me the card!”

“Terus aku gimana?” tanya Emily sambil merengek kepada ayahnya itu.

Ia juga sempat menatap sang ibunda, berharap kalau ibundanya itu mau membantu, namun nyatanya, bunda Emily hanya diam saja dan tidak bisa membantu apa-apa,

“Emily!” Ayah Emily meninggikan suaranya, membuat Emily takut dan dengan terpaksa dia mengeluarkan kartu kredit dari dalam tasnya, dan memberikannya kepada sang ayah.

Diterimanya kartu kredit itu dengan senang hati oleh sang ayah,

“You're bad!” kesal Emily dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Its better to be evil for good, than to be irresponsible at all.” balas sang ayah, *“go find a job to support yourself.”

Emily berdiri dari duduknya dengan kesal, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis bukan karena sedih, tetapi karena dia kesal kepada ayahnya yang sudah bersikap seenak jidat kepada Emily,

“Fine! I will work to support myself. And i don't need a penny from both of you, especially you, ayah!”

Emily pergi menuju tangga dan naik ke atas untuk masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya di ruang keluarga,

“Honey, please, reduce the punishment for Milee, she is our child.” pinta ibunda Emily dengan bersungguh-sungguh, tangannya yang kecil menggenggam tangan suaminya yang dua kali lipat lebih besar darinya.

“Hei, this is the only way she can learn from her mistakes. We have spoiled her too often. And now, let her live independently without us who always spoil her. Especially you.” tutur ayah Emily sambil membalas genggaman tangan istrinya itu, dan punggung tangannya yang dikecup lembut olehnya.

Ibunda Emily menghembuskan nafasnya kasar, lalu mereka saling melepaskan genggaman tangan, dan digantikan dengan ayah Emily membawa istrinya itu ke dalam dekapannya. Mengecupi puncak kepala istrinya berulang-ulang sebagai bentuk kasih sayang dan juga kerinduan yang mendalam,

“Is she really going to get a job?”

“Our daughter is so amazing. She will definetly get a job.”