The Day


Kurang dari tiga puluh menit, Jefri akan melepas masa lajangnya di umurnya yang sudah menginjak tiga puluh tujuh tahun. Sejujurnya, bayangin kalau Jefri akan menikah itu tidak pernah ada di benak pria itu, karena selama ini dia hanya mendedikasikan hidupnya untuk perusahaan sang ayah.

Namun, Tuhan dengan baik menghadirkan sosok seorang perempuan ke kehidupannya dengan cara yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Namun, perempuan itu mampu membuat Jefri memiliki bayangan untuk sebuah pernikahan dan kehidupan setelah pernikahan nanti bersama perempuan itu.

Jani Maritza Zaila.

Jani adalah sosok perempuan itu. Perempuan yang memberikan gambaran tentang indahnya kehidupan pernikahan di dalam benak Jefri. Perempuan yang berhasil membuat Jefri berani untuk mengambil tindakan sejauh ini. Perempuan yang berhasil membuat Jefri ingin menghabiskan sisa hidup pria itu bersamanya. Tidak ada perempuan lain yang bisa melakukan itu semua terkecuali Jani.

Gugup. Bukan main. Ini adalah hari pemberkatan, dimana dia akan bersaksi di hadapan Tuhan, untuk menjadikan Jani sebagai istrinya dan menjaga gadis itu baik dalam suka maupun duka, baik sehat maupun sakit. Beberapa kali Jefri mengepalkan tangannya, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

Melihat kedua orang tuanya yang duduk di barisan paling depan, kedua temannya yang duduk di barisan kedua, dan beberapa kolega serta keluarganya. Membuat Jefri mendapatkan kekuatan untuk bisa mengatasi perasaan gugupnya.

Tak terasa acara pun sudah mulai.

Pintu gereja yang tadinya tertutup, kini terbuka, dan masuklah Jani bersama dengan Chandra yang menjadi pengiring Jani di altar. Tidak hanya itu, ada empat anak kecil di depan Chandra dan Jani yang menaburkan bunga ke lantai dengan malas-malasan, dan tingkah mereka itu mengundang tawa sebagian tamu undangan.

Ditempatnya, Jefri tidak kuasa menahan air matanya. Melihat bagaimana cantik dan sempurnanya Jani yang menggunakan wedding dress pilihannya. Sungguh, Jefri benar-benar merasa beruntung. Begitu sampai di tempat, Chandra menyerahkan Jani kepada Jefri. Lelaki yang berstatus sebagai kakak ipar dari mempelai wanita, menatap Jefri dengan tatapan seolah-olah memohon agar Jefri menjaga dan merawat Jani dengan baik sebagaimana kedua mendiang orang tua Jani merawat gadis itu dengan baik.

Chandra kembali ke tempat duduknya.

Sebelum janji pernikahan di ucapkan, sang pendeta meminta kepada Jefri agar lelaki itu membuka veil yang menutupi wajah cantik Jani ke belakang kepala gadis itu. Dan kini, Jefri semakin tak kuasa menahan tangisnya akibat melihat dengan jelas bagaimana cantiknya Jani di pagi hari yang cerah ini,

“You're pretty.” bisik Jefri yang dapat didengar oleh Jani.

Jani tersenyum tipis, “thank you. You look handsome too.” Jani balas berbisik dan memuji Jefri.

Setelah saling memuji, sang pendeta kemudian mengucapkan janji pernikahan yang nanti akan dijawab oleh kedua Jefri dan Jani,

“Hadirin yang terhormat, tibalah saatnya kita untuk meresmikan perkawinan antara Jefri dan Jani. Saya persilahkan saudara masing-masing untuk menjawab pertanyaan saya.” ucap pendeta tersebut dengan lantang. “Jefri, maukah saudara menikah dengan Jani Maritza Zaila yang hadir disini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun duka?” sambung sang pendeta yang bertanya akan kesiapan lelaki ini untuk menjadi suami dari gadis yang berdiri di hadapannya ini.

“Ya, saya mau.” jawab Jefri seraya matanya menatap kagum manik mata Jani yang berkaca-kaca pada hari ini.

“Jani, maukah saudara menikah dengan Jefri Adrian Bramantyo yang hadir disini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun duka?” tanya sang pendeta sembari giliran melirik Jani.

Jani terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan dari pendeta tersebut. Mata kecilnya itu menatap mata dalam Jefri, mencari-cari apakah ada sesuatu di mata itu yang akan membawa Jani ke dalam kebahagiaan di masa depan. Dan ternyata, Jani menemukan itu disana. Jani menemukan harapan bahwasanya kehidupan rumah tangga mereka di masa depan akan menjadi cerah.

Maka setelah diamnya beberapa saat, gadis itu meyakinkan dirinya dan dengan tenang namun tetap tegas menjawab,

“Ya, saya mau.”

Chandra dan Jadira yang sedari tadi panik karena takut adiknya itu tiba-tiba menolak langsung tersenyum lega. Begitupun dengan para tamu, kolega, dan keluarga dekat kedua mempelai.

Pemasangan cincin pun di mulai. Pertama-tama, Jefri memasangkan cincin kepada Jani, dan setelahnya, Jani yang memasangkan cicin kepada Jefri. Kini dua manusia yang pada awalnya tidak saling mengenal itu sudah sah menjadi sepasang suami istri,

“Sekarang, kalian sudah sah menjadi suami istri baik itu dimata agama maupun dimata negara. Jadi, Jefri, silahkan cium istri kamu.”

Jefri kemudian maju selangkah ke arah Jani. Ia mendekatkan tubuh dan wajahnya, lalu mengecup bibir Jani lumayan lama. Suara riuh tepuk tangan pun menggema di dalam gereja ini, seolah mereka ikut berbahagia atas resminya Jani dan Jefri menjadi sepasang suami istri.

Jani, selama berciuman dengan Jefri sama sekali tidak melakukan apapun. Bibirnya tidak bergerak. Bukan, bukan karena Jani tidak tahu bagaimana caranya dia membalas ciuman mesra seseorang, hanya saja, Jani terkejut, belum lagi ritme degup jantungnya yang amat sangat tidak beraturan, dan perasaan aneh yang muncul di hatinya membuat otak gadis itu seketika tidak dapat bekerja sama sekali.

Bahkan ketika ciuman itu sudah usai pun, Jani masih shock.

Di tempat duduknya, Yasmin dan Anindita melihat itu. Mereka berdua menggeleng-gelengkan kepalanya, bagaimana bisa Jani bertindak seperti barusan ketika suaminya menciumnya?

Lalu bagaimana urusan malam pertama mereka nanti?

Ah, berbicara urusan malam pertama. Jani sama sekali tidak berpikir sampai kesana. Entah kalau Jefri, secara dia laki-laki, nafsu yang dia miliki pasti lebih besar.

Hari ini, rangkaian pernikahan Jefri dan Jani belum selesai tentunya. Masih ada resepsi dan after party—khusus para pemuda dan tetua dilarang untuk bergabung di acara ini. Huft, semoga saja Jani bisa tahan dan tidak langsung tumbang ketika nanti mereka tiba di rumah Jefri.