Tiga


Saat itu, selepas dari bintalis, aku bersama Aura, Sara, dan Aisha kembali ke kelas.

Kedatangan kami disambut dengan senyuman sumringah dari Kiki. Yang entah mengapa membuatku menjadi agak sedikit salah tingkah ketika itu.

Kami berempat, duduk bersama. Aku duduk disamping Kiki, sementara Sara, Aura, dan Aisha duduk bertiga di bangku mereka yang hanya ada dua. Mereka bertiga harus menyatukan terlebih dahulu 2 bangku itu agar bisa duduk bertiga.

Kami mengobrol banyak hal, dari mulai soal guru-guru muda di sekolah kami, tempat-tempat rekreasi seru yang ada di Bandung, dan sekarang kami membahas tentang masa lalu kami, yaitu masa-masa SMP.

Aisha bercerita kalau masa SMPnya tidak begitu indah, karena dia menerima banyak perundungan dari beberapa teman di kelasnya, bahkan beberapa guru pun ada yang ikut membullynya, entah untuk alasan apa. Aku turut prihatin akan hal tersebut, orang-orang pembully itu sangatlah hina mereka lebih hina daripada binatang. Aku benci sekali mereka. Aku harap mereka tidak akan pernah tenang hidup di dunia.

Lalu, Sara, dia bilang, dia menghambiskan masa SMP-nya di Lampung, kota kelahiran ayahnya. Tidak terlalu spesial (katanya). Sara bilang juga kalau dia tidak terlalu merasa nyaman dengan orang-orang yang ada disana. Tidak, Sara tidak mengalami apa yang Aisha alami, hanya saja, ia benar-benar merasa tidak nyaman. Hal itu membuatnya menjadi murid yang pendiam untuk 3 tahun lamanya.

Aura, Aura bilang masa SMPnya seru, tapi tidak seseru saat dirinya berada di bangku SMA. Aura menjadi anggota osis, ia sering didekati oleh kakak kelasnya, yang mana semua itu tidak pernah Aura perdulikan. Sungguh, Aura adalah perempuan yang paling anti dengan laki-laki yang menyukainya. Aura lebih menyukai laki-laki yang tidak pernah menyukainya sama sekali.

Dan kini, giliran aku yang bercerita tentang masa-masa SMP-ku,

“Kalau aku sih biasa aja.” kataku dengan jujur, “maksudnya ya seru sih seru, tapi gak seseru SMA sih. Sama kayak Aura.”

“Gak ada yang spesial gitu? Kaya misalkan punya pacar atau gimana? Atau gebetan?” Sara bertanya dengan menggebu-gebu.

Aku menggeleng, “gak punya.” jawabku, sejujurnya, aku punya beberapa mantan kekasih ketika dulu aku masih SMP, namun, aku tidak mau menceritakannya, entahlah, rasanya tidak perlu saja, toh, aku dan mereka juga sudah tidak memiliki sama sekali akses untuk saling berhubungan, dan juga, Aura, Sara, Aisha, dan Kiki tidak memiliki hak untuk mengetahui masa lalu ku.

“Bohong banget.” sindir Kiki, yang kini duduk sambil menghadap ke arahku.

Aku tertawa, “dih ya udah kalau gak percaya juga gak apa-apa kok, wle!” aku menjulurkan lidahku di akhir kalimat, Kiki hanya mendelik sebal, lalu tangannya mencubi pipiku gemas.

Aku masih ingat percis bagaimana reaksiku pada saat itu. Telingaku memerah, tubuhku membeku seperti batu. Aku tidak tahu apakah Sara, Aisha, Kiki, atau Aura sadar akan hal itu, yang pasti saat itu, aku benar-benar merasa salah tingkah dengan tindakan Kiki yang aku pikir itu adalah tindakan yang spontan yang dilakukannya.

Jujur, pada saat itu aku tidak pernah merasa kalau reaksi yang aku berikan atas tindakan Kiki waktu itu adalah karena aku sudah mulai menaruh hati kepadanya. Namun, ketika aku sudah beranjak dewasa dan sudah paham akan banyak hal seperti sekarang ini, aku sudah mulai sadar, kalau hari itu adalah hari dimana aku sudah mulai menjatuhkan perasaanku kepada Kiki,

“Eh tapi tau gak sih, Cral?” tanya Sara, aku langsung mengalihkan pandanganku kepada Sara pada saat itu.

Wanita bertubuh tinggi dengan kacamata yang bertengger di matanya itu mulai membuka suaranya,

“Kiki pas SMP mantannya dua loh.”

“Wah? Serius?” aku bertanya sambil melirik Kiki yang wajahnya sudah terlihat begitu panik.

Aisha dan Aura juga Sara tertawa melihat bagaimana paniknya Kiki ketika itu. Tapi aku? Aku sama sekali tidak tertawa, aku hanya memaksakan senyumanku. Aku merasa kesal dan agak sedikit marah pada saat itu. Yang kemudian, aku ketahui bahwa perasaan itu adalah perasaan cemburuku terhadap Kiki,

“Enggak Clar bohong. Aku gak pernah pacaran. Sumpah.” Kiki dengan begitu menggebu-gebu menjelaskan semuanya kepadaku. Aku hanya tersenyum membalas itu semua, namun pikiranku pergi entah kemana pada saat itu.

“Sara anjir.” celetuk Kiki menatap Sara dengan tatapan kesal.

Aku ingat sekali tatapan dia pada saat itu. Tatapan itu juga adalah tatapan mata yang sama yang ia perlihatkan kepadaku ketika kami berdua kembali di persatukan kembali di kelas yang sama di kelas 12, namun dengan keadaan yang sudah berbeda.

“Aku beneran gak punya pacar sumpah.” katanya dengan begitu bersungguh-sungguh, aku dapat mendengar keputus asaan dari nada suaranya itu.

Aku tersenyum tipis, lagi. Kali ini ditambah dengan anggukan kepala.

Lantas, aku berpura-pura menguap saat itu, aku membuat diriku seolah-olah merasa mengantuk, padahal aku sama sekali tidak mengantuk, aku hanya merasa cemburu dan kesal kepada Kiki. Aku tahu hal itu seharusnya tidak aku lakukan, tapi mengingat pada saat itu umurku masih 17 tahun, aku merasa tidak masalah untuk memaklumi sikap kekanak-kanakan ku itu.

Aku bangkit dari dudukku, dan berjalan ke bangku belakang dekat jendela—bangku dimana aku dan Aura duduk—bersama dengan Aura. Aku dan Aura duduk disana. Kiki terus memperhatikanku dari tempat duduknya, aku sadar akan hal itu, tapi aku mencoba untuk tidak memperdulikannya.

Dan ya, berhasil! Aku langsung melipat kedua tangankan di meja, dan meletakkan kepalaku disana. Kepalaku sudah tenggelam jauh ke dalam tanganku yang sengaja aku jadikan sebagai bantal. Aku tidak tahu setelah itu apa yang terjadi kepada Kiki, karena aku sudah berkelana jauh di alam mimpiku.