Trauma
Karenina berdiri di koridor gedung Fakultas Ilmu Komunikasi. Matanya telihat melirik ke sekeliling dengan rasa tidak nyaman dan aman. Demi Tuhan, Karenina tidak tahu ada apa dengan dirinya, tapi satu yang pasti, dia benar-benar takut sekali berada di lingkungan ini. Tangan Karenina dikepal, ia melakukannya dengan sengaja, agar rasa takut, cemas, dan gelisahnya tersalurkan.
Sementara tidak jauh dari posisi Karenina, ada seorang laki-laki yang tengah berdiri sembari memperhatikan Karenina dengan kebingungan. Dari jarak yang lumayan agak jauh, lelaki itu bisa melihat bahwa Karenina seperti tidak nyaman dan ketakutan berada disana. Entah apa yang sudah merasuki lelaki itu sehingga dia tiba-tiba melangkahkan kakinya dan berjalan mendekati Karenina,
“Hai.” suara bariton lelaki itu menyapa indera pendengaran Karenina.
Gadis itu terlonjak kaget, lelaki yang berdiri di depan Karenina juga ikut terkejut (meskipun tidak separah Karenina),
“Oh…hai.” Karenina balas menyapa sapaan lelaki itu dengan suara yang sedikit gemetar dan tawanya yang terkesan dipaksakan.
“Lo bukan anak fikom ya?” lelaki itu bertanya. Sebenarnya dia tahu kalau perempuan itu bukanlah anak fikom, karena dia tahu hampir semua perempuan di fikom dari mulai mahasiswa seangkatannya sampai junior-nya.
Karenina menggelengkan kepalanya,
“Oh kesini pasti nungguin pacar ya?” lagi, lelaki itu kembali bertanya. Dan, jawaban yang dia terima dari Karenina pun masih sama, yaitu sebuah gelengan kepala yang berarti artinya adalah tidak atau bukan.
Masih banyak pertanyaan yang bercabang di otak lelaki itu, ia juga ingin menanyakan semua pertanyaannya kepada Karenina. Namun, niatnya itu ia urungkan, dikarenakan takut membuat Karenina semakin tidak nyaman. Bahkan sekarang saja, gadis itu masih terlihat tidak nyaman, matanya masih sesekali melirik takut ke beberapa orang yang lewat di koridor,
“By the way, gue Yudha, mahasiswa tingkat akhir disini.” lelaki bernama Yudha itu memperkenalkan dirinya sembari tersenyum manis, tidak lupa tangannya pun ia ulurkan ke hadapan Karenina.
Untuk beberapa saat Karenina terdiam, dia melihat tangan Yudha yang terulur ke arahnya berniat untuk mengajaknya berjabat tangan, lalu sedetik kemudian dirinya menatap Yudha yang tengah tersenyum ke arahnya. Entah kenapa, ketika menatap mata dan senyum Yudha, Karenina merasa sedikit aman dan nyaman. Dengan itu, Karenina meraih tangan Yudha dan berjabatan tangan dengannya,
“Karenina.”
Keduanya pun saling melepaskan jabatan tangan mereka,
“Manggilnya Nina apa Karen apa siapa nih?”
“Nina aja kak.” jawab Karenina sembari tersenyum tipis.
“Oke Nina.” entah untuk alasan apa Yudha tiba-tiba terkekeh, sepertinya sesuatu yang lucu melintasi otaknya, “by the way, lo anak fakultas mana?” Yudha bertanya sembari matanya menatap mata Karenina.
“Fakultas Hukum.” jawab Karenina.
“Wow….. surganya bidadari tuh disana. Pada cantik-cantik semua mahasiswinya.” canda Yudha seraya terkekeh kecil.
Karenina juga ikut terkekeh mendengar candaan Yudha. Gadis itu sudah cukup sering mendengar candaan-candaan seperti itu setiap kali dia bercengkrama dengan mahasiswa yang berbeda jurusan dengannya.
Saat sedang asyik bercengkrama dengan Yudha, tiba-tiba ada seorang lelaki yang menghampiri Yudha. Karenina terkejut melihat siapa sosok lelaki itu, rasa takut kembali menguasai dirinya, kenangan-kenangan buruk di masa lalu yang menjadi traumanya kembali bermunculan satu persatu. Tidak hanya Karenina yang terkejut, lelaki itu pun ikut terkejut melihat Karenina. Namun keterkejutannya berbeda jauh dengan Karenina, dia terlihat seperti begitu bahagia karena bisa melihat Karenina kembali,
“Nina!? Astaga.” suara lelaki itu terdengar begitu membahagiakan, namun di telinga Karenina, suara itu membuat kenangan-kenangan menyesakkan itu bangkit kembali, “Nin, gue gak nyangka bisa ketemu sama lo lagi. Gue Johnny, Nin. Lo inget gue kan?” tanya lelaki yang bernama Johnny itu.
“Inget.” jawab Karenina dengan suara yang gemetar, dan matanya yang berkaca-kaca. Ya, Karenina menahan bulir air matanya agar tidak mengalir. Dia sudah berjanji kepada kakaknya untuk tidak menangisi semua kenangan-kenangan buruk di masa lalu yang pernah terjadi kepadanya.
“Ini lo berdua saling kenal?” Yudha yang sedari tadi diam dan memperhatikan Johnny juga Karenina secara bergantian pun akhirnya bertanya.
Johnny menganggukan kepalanya, tapi tidak dengan Karenina. Gadis itu hanya diam, sambil terus mendoktrin dirinya sendiri untuk tetap tenang dan tidak meledak saat ini juga,
“Adek kelas gue dia waktu SMA, adek kelasnya Jayden juga.”
DEG
Ketika mendengar nama itu disebut, air mata Karenina seketika lolos dari pelupuknya. Hatinya begitu sakit ketika mendengar nama itu. Dia pikir, dia tidak akan pernah lagi mendengar nama itu di sisa hidupnya, namun ternyata dugaannya salah, dirinya kembali mendengar nama laki-laki yang paling ia benci, yaitu Jayden.
Sialan! Kenapa harus sekarang?
Johnny sadar bahwa dirinya sudah dalam bahaya karena menyebut nama Jayden di depan Karenina, rasa bersalah pun menguasai dirinya, namun Johnny mencoba untuk menyembunyikannya, karena dia ingin terlihat biasa-biasa saja. Lelaki itu diam-diam melihat Karenina yang tengah sibuk menghapus air matanya menggunakan tangannya,
“Eh, Nin, kok lu nangis?” Yudha bertanya ketika melihat Karenina dan sadar bahwa gadis itu terlihat seperti baru saja selesai menangis.
Karenina menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar ingin segera pergi dari tempat itu, dan untungnya, Pak Asep, baru saja keluar dari pintu aquarium. Karenina—tanpa berpamitan buru-buru berlari dan menghampiri Pak Asep. Johnny serta Yudha masih terdiam di tempatnya, sembari memperhatikan Karenina yang sedang bercengkrama kecil dengan seorang dosen,
“Dia punya trauma sama keramaian, Jo?” Yudha tiba-tiba bertanya.
“Lo kenapa tiba-tiba nanya gitu?” Johnny bertanya heran.
“Tadi pas dia dateng kesini, dia kayak kebingungan dan takut gitu. Ya udah gue samperin, pas gue samperin juga dia masih ketakutan, tapi gue berhasil bikin dia gak takut sama gue. Eh, lu dateng, dia jadi kayak gitu, mana nangis pula. Lu sama Jayden pernah nyakitin dia apa ya waktu SMA?”
Johnny diam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan akhir Yudha,
“Ah udah lah gak usah dipikirin. Mending kita ke warkop aja, makan indomie, mendung gini enak makan indomie kuah yang rebus terus pake sosin pake telor abis gitu pake cengek 10 biji.” Johnny memilih untuk mengakhiri topik pembicaraan yang terbilang agak sensitif ini.
Yudha sebenarnya masih curiga. Dia merasa kalau jawaban atas pertanyaan akhirnya itu adalah betul. Betul bahwa diantara Johnny ataupun Jayden pernah menyakiti atau melakukan sesuatu hal yang sampai membuat Karenina ketakutan seperti barusan,
“Cengek 10 biji, mau berak lu keluar lahar panas apa gimana?”
Johnny hanya tertawa mendengar itu.
Dua sahabat itu pun pergi meninggalkan kawasan gedung kampus menuju warkop untuk mengisi perut Johnny yang meronta-ronta ingin diisi oleh mie kuah spesial dengan kepedasan diatas rata-rata.
Sementara, Karenina, dia tidak memiliki waktu untuk berdiam diri dan menenangkan dirinya yang masih terguncang setelah mengetahui bahwa seseorang yang dibencinya berkuliah disini. Gadis itu kembali pergi menuju gedung fakultasnya dengan tubuh yang gemetar, jantung yang berdebar-debar, dan sekujur tubuhnya yang dikucuri oleh peluh. Sungguh, Karenina benci merasakan hal ini kembali.
Lima tahun yang lalu, Karenina bersekolah di salah satu SMA negeri terkenal di Bandung. Saat itu, dia masih kelas 10 SMA. Karenina masih begitu polos pada waktu itu, sampai akhirnya kepolosan Karenina menyita perhatian Jayden, lelaki yang dua tahun lebih tua darinya itu. Saat itu, Jayden berada di kelas 12 SMA awal.
Tidak ada satu perempuan yang tidak mengenal sosok Jayden, semuanya mengenali lelaki dengan paras sempurna itu. Banyak kaum hawa yang memuja Jayden dan ingin menjadi kekasih Jayden, begitu pula dengan Karenina. Tidak dapat dipungkiri, Jayden merupakan cinta pertama Karenina.
Karena itu, ketika Jayden mencoba untuk mendekati Karenina, hal tersebut membuat Karenina begitu bahagia, ia merasa bahwa ia seperti main character, bagaimana tidak, dia adalah sosok gadis sederhana yang tidak terlalu populer tapi mampu menaklukan hati seorang pentolan sekolah.
Namun, setelah 1 (satu) tahun hubungan mereka berjalan, Karenina mengetahui fakta yang menyakitkan, bahwa ternyata, Jayden tidak pernah benar-benar mencintainya, dia hanya dijadikan alat oleh laki-laki itu untuk melupakan mantan kekasihnya (yang Karenina masih ingat namanya adalah Bianca). Hancur Karenina saat mengetahui hal tersebut.
Dia tidak berhenti menangis selama 1 minggu, gadis itu terus mengurung dirinya di kamar, beberapa kali juga dia mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri. Rasa trauma itu terus menghantui Karenina, sampai akhirnya Karenina memutuskan untuk ikut sang kakak pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Karenina perlahan-lahan bisa melupakan rasa traumanya, sampai akhirnya (dia pikir) rasa trauma itu sudah benar-benar hilang, dan Karenina bisa kembali bahagia seperti dulu.
Namun, sayang seribu sayang, hari ini, trauma itu kembali menghantui Karenina. Rasa sakit yang sudah ia lupakan bagaimana rasanya kembali datang bersamaan dengan kembali basahnya luka di hati Karenina.
Sekarang, satu hal yang Karenina harapkan. Ia berharap, ia tidak akan pernah bertemu dengan Jayden, meskipun mereka satu almamater. Karena bertemu dengan Jayden adalah kesialan bagi Karenina.