Video Call


Apa yang dilihat orang di depan layar, belum tentu sama dengan yang terjadi di belakang layar.

Kira-kira pepatah seperti itu lah yang pas menggambarkan hubungan Barra dan kekasihnya Anindira saat ini.

Banyak sekali beberapa perempuan diluaran sana yang menuntut pacar mereka untuk menjadi seperti sosok Barra yang dilihat sebagai seorang lelaki yang penyayang dan selalu memberikan suprise tak terduga untuk kekasihnya, Anindira.

Padahal pada kenyataannya, Barra tidak seperti itu. Apa yang dilakukan Barra kepada Anindira hanyalah sebuah keterpaksaan saja. Hubungan Barra dan Anindira hadir bukan karena sebuah ketulusan cinta, melainkan hadir karena sebuah perjanjian konyol yang dibuat oleh mendiang kakek mereka berdua di masa lalu.

Sesungguhnya, tidak pernah sedikit pun Barra menaruh hati kepada Anindira. Berbeda dengan Anindira, gadis itu benar-benar mencintai Barra, sampai dia selalu membicarakan Barra ke semua teman-temannya, membanggakan laki-laki itu, membuat semua orang berpikir kalau Barra begitu mencintai Anindira.

Seharusnya, yang dijodohkan itu adalah ayah dari Barra dan juga ibu dari Anindira. Namun, mereka berdua menolak, karena saat itu, ayah Barra sudah melamar ibunda Barra, dan ibu Anindira juga tengah mengandung Anindira—Anindira adalah hasil dari hubungan terlarang ibu dan ayahnya. Karena itulah, kakek Barra dan juga kakek Anindira membatalkan perjodohan tersebut, dan malah menjodohkan Barra dan juga Anindira.

Muak? Jelas, Barra sangatlah muak dengan semua kepalsuan yang dia buat. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua adalah wasiat dari kakeknya, Barra merupakan cucu kesayangan kakeknya, dan kakeknya sangat mengandalkan Barra. Jadi, Barra memiliki tanggung jawab yang besar akan hal itu, makanya dia tidak bisa memutuskan atau menolak perjodohan ini,

“Barra! Barra!” suara cempreng milik Anindira menyadarkan Barra dari lamunannya. Barra buru-buru menatap Anindira dengan tatapan polosnya.

“Hah? Kenapa?”

Dapat Barra lihat kekasihnya itu mendecakan lidahnya dan memutar bola matanya malas, “kamu dengerin ngga sih dari tadi aku cerita?” Anindira bertanya dengan nada dan ekspresi wajah yang terlihat sangat kesal.

“Denger.” jawab Barra, walaupun sebenarnya dia tidak sama sekali mendengarkan apa yang Anindira ceritaka. Pria itu sibuk memikirkan perjodohan sialan yang membuat hidupnya tersiksa ini.

“Apa, aku cerita apa coba?”

“Kamu kalau mau tebak-tebakan gini mending matiin aja deh. Aku mau tidur aja, besok kuliah pagi soalnya.” ini adalah jurus jitu bagi Barra untuk terhindar dari pertanyaan Anindira yang sudah jelas tidak bisa Barra jawab, karena Barra sendiri tidak tahu apa yang Anindira ceritakan.

“Tuh kan, kamu gak dengerin aku cerita.” Anindira protes sembari mengerucutkan bibirnya. Kalau Gista melihat ini, perempuan itu pasti tidak akan berhenti menghujat Anindira.

“Aku dengerin kok, di dengerin sama aku tadi. Aku kan ngelamun juga sambil dengerin cerita kamu. Udah nggak usah ngambek gitu.” ucap Barra dengan lembut, ia menatap Anindira melalui kameranya dengan tatapan yang juga lembut dan teduh.

Melihat itu, Anindira pun luluh. Rasa kesalnya kepada Barra seketika hilang. Ia suka ketika Barra bersikap lembut kepadanya. Kemudian, ide gila muncul di otak Anindira, gadis itu seperti sengaja memajukan tubuhnya ke kamera, dan memperlihatkan belahan dadanya. Yang jelas hal itu dinotice oleh Barra.

Sebagai laki-laki normal, meskipun tidak mencintai Anindira, sisi liar Barra terpanggil melihat tindakan Anindira itu. Namun, Barra buru-buru menepis hal tersebut. Dia tidak ingin merugikan dirinya sendiri dengan melakukan hal yang tidak-tidak,

“Itu kamu tidur pake baju yang bener coba, nanti masuk angin.” titah Barra.

Anindira merengut sebal. Niatnya untuk menggoda Barra malah sama sekali tidak dianggap oleh lelaki itu. Padahal biasanya laki-laki diluar sana akan langsung “paham” apabila kekasih mereka memancing mereka. Tapi Barra malah sebaliknya,

“Bar, do you love me?”

“Aku suruh ganti baju malah nanya-nanya hal yang gak penting.”

Emosi Anindira tersulut,

“Gak penting kamu bilang!? Urusan cinta itu gak penting. Kamu sinting apa gimana?”

“Apa sih Nin.” demi Tuhan, Barra jengah. Dia ingin mematikan sambungan video call ini. Seseorang tolong Barra sekarang.

“Apasih apasih, kamu kenapa sih? Kamu aku tanya kamu cinta sama aku, malah kamu bilang aku nanyain hal yang gak penting.” kesal Anindira.

Barra mendecakan lidahnya sebal, “apa dengan aku terima perjodohan ini, terus pacaran sama kamu, itu bikin kamu masih ragu sama perasaan cinta aku ke kamu? Iya? Kalau gitu, selesain aja semuanya. Aku juga gak suka dituduh-tuduh kayak barusan.” kali ini Barra benar-benar marah, dan dia sudah tidak dapat menahan emosinya lagi.

Jujur, putus dengan Barra adalah mimpi buruk bagi Anindira. Gadis itu begitu mencintai Barra, sampai rasanya dia ingin egosi, dia ingin terus memiliki Barra. Maka dari itu, meskipun dia masih sangat kesal dengan Barra, tapi Anindira memutuskan untuk mengalah. Dia akan menurunkan egonya, demi keutuhan hubungan mereka,

“Aku minta maaf, Bar.” begitu mudahnya Barra membuat Anindira mengucapkan kata maaf. Padahal gadis itu paling anti meminta maaf kepada seseorang yang dia sakiti baik disengaja maupun tidak disengaja.

“Iya.” jawab Barra singkat, “aku matiin ya, udah ngantuk, besok kuliah pagi soalnya.”

“Kamu udah maafin aku kan?” Anindira memastikan, karena gadis itu merasa Barra masih marah kepadanya, dan belum memaafkannya.

“Iya aku maafin. Udah ah aku matiin ini video callnya, ngantuk aku gak kuat.”

“Besok berangkat bareng kayak biasa ya?”

“Hm.”

“Oke deh kalau gitu. Dadah sayangggg! Mimpi yang indah ya, i love you!”

Tanpa berniat menjawab, Barra langsung mematikan sambungan video call tersebut. Masa bodoh dengan reaksi Anindira di rumahnya sana, Barra sudah keburu tidak mood. Lelaki itu memilih untuk menidurkan dirinya di ranjang empuk kamar tamu yang ada di rumah Gista.

Dalam hatinya, Barra berharap dia bisa memimpikan Karina malam ini.