vier
Rasa kesal masih menyelimuti Karina. Gadis itu juga tidak paham kenapa dirinya bisa sekesal ini hanya karena Jeffrey terus menyebut dirinya Sekar, Sekar, dan Sekar. Ya, Karina akui dirinya dan Sekar memang 100% bisa dikatakan sangat mirip, dari mulai mata, hidung, bentuk pipi, bentuk rahang, dan lain sebagainya. Tapi, bisakah Jeffrey sekali saja melihat Karina itu sebagai Karina bukan sebagai Sekar?
Bahkan ketika Karina menunjukkan sifat aslinya yang kelewat bar-bar itu, Jeffrey masih saja menganggap Karina adalah Sekar, padahal Karina tahu percis kalau Sekar itu sepertinya gadis yang pemalu dan lemah lembut, berbanding terbalik dengan Karina. Meskipun parasnya sangat cantik, bentuk tubuh yang ideal, dan selalu disebut sebagai primadona dari sejak sekolah sampai gadis itu memasuki dunia kerja, sifat Karina jauh dari kata sempurna, gadis itu petakilan, ceroboh, mulutnya selalu berbicara banyak sekali umpatan yang membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa kesal dan ingin menyumpal mulut Karina. Dia tidak pernah bisa berdandan anggun, pakai rok saja hanya ketika dia pergi kerja, sisanya, dia selalu memakai kaus polos yang berbahan dasar tipis dan ada sedikit robek-robek, belum lagi hotpants berbahan dasar kain yang warna aslinya sudah pudar.
Sangat jauh berbeda bukan sifat Sekar dan Karina? Tapi kenapa Jeffrey masih saja menganggap kalau Karina adalah Sekar?
Entahlah, hanya Jeffrey dan Tuhan-Nya yang bisa menjawab semua itu.
Karina sekarang sedang tidak mau terlalu memikirkan hal tersebut. Hari ini pekerjaannya begitu banyak, membuat surat MOU, membuat laporan hasil dari kerja sama, membuat laporan hasil sidang empat hari yang lalu tentang sengketa tanah yang resmi di menangkan oleh perusahaan tempat Karina bekerja, dan masih banyak lagi tugas-tugas lainnya. Dan semua pekerjaan itu baru ia rampungkan setengahnya. Padahal daritadi Karina terus duduk di kursi kerjanya, dengan mata yang menatap layar komputer, juga tangan yang terus memgetik kata-kata yang akan ia tuangkan ke setiap pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Namun tetap saja, pekerjaannya terasa amat sangat lama untuk selesai.
Apa karena ini pengaruh dari rasa kesalnya kepada Jeffrey? Entah, Karina sendiri tidak bisa menjawab hal tersebut.
Tapi yang pasti, sekarang pintu kerjanya yang terbuka itu dimasukin oleh Jovan, Chief Operating Officer di perusahaan ini. Karina tidak menyadari akan kedatangan Jovan, karena dirinya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk. Dan, karena itu pula, Karina tidak menyadari kalau Jovan sudah berdiri di samping kubikel meja kerjanya, dengan jas rapih dan badan tegapnya, serta rambut klimisnya, juga kedua tangannya yang dia masukkan ke dalam saku.
Semua yang ada di dalam ruangan divisi legal ini sudah menyadari kehadiran Jovan, hanya Karina yang belum. Maka dari itu, semua pegawainya menahan tawa melihat Karina yang tidak menyadari eksistensi bosnya tersebut. Sampai pada akhirnya, Jovan lah yang harus berdehem dengan begitu kerasnya, barulah Karina sadar akan kehadiran Jovan. Gadis itu langsung meminta maaf karena telat menyadari kedatangan Jovan.
Dan, reaksi Jovan hanya tersenyum,
“Eh, ada Pak Jovan.” sapa Karina dengan lembut, “maaf pak keasyikan kerja jadi sampai gak sadar kalau bapa ada disini.”
Jovan mengangguk paham, senyumannya terukir dengan begitu manis,
“Gak apa-apa dilanjut aja—”
“JOVAN!”
Suara teriakan seorang perempuan dari pintu ruangan berhasil membuat Jovan dan beberapa karyawan di ruangan divisi legal ini menoleh ke arah pintu. Sudah ada Irene, si senior divisi manajemen yang membawa dua map yang sepertinya harus ditanda tangani oleh Jovan, selaku kaki tangan CEO di perusahaan, yang kebetulan sedang menghabiskan masa studinya di Cambridge University di Inggris sana.
Irene masuk ke dalam ruangan tanpa rasa sungkan, lagi pula tahta tertinggi di perusahaan ini sebenarnya adalah Irene, meskipun Jovan adalah Chief Operating Officer di kantor ini,
“Emang ganjen banget ya lu bukannya diem di ruangan malah main melipir kesini. Mau nyamperin adek gua kan lu hah? Mau modusin dia kan?” cecar Irene kepada Jovan yang mengundang gelak tawa seisi ruangan, kecuali Karina yang hanya diam sambil tersenyum kikuk.
“Apaan sih Mba Irene, orang lagi pengen jalan-jalan aja.” sanggah Jovan.
“Ceileh gegayaan jalan-jalan, ngapain jalan-jalan kesini? Kalau lo sumpek jalan-jalan ya ke taman, noh itu taman bisa bikin otak lo seger. Udah sini ikut gue, tanda tangan ini file, dibaca baik-baik jangan asal main tanda tangan.” tingkah Irene benar-benar terlihat seperti seorang ibu yang memergoki anak laki-lakinya membolos sekolah karena asyik bermain di tempat penyewaan play station.
Dan, Jovan yang memang pada dasarnya merasa segan dengan Irene, mau tidak mau harus menuruti permintaan perempuan yang empat tahun lebih tua darinya itu. Sebelum pergi, Jovan berpamitan kepada Karina, lalu Karina membalasnya dengan sebuah anggukan.
Begitu Jovan dan Irene pergi dari ruangan kerja Karina. Seseorang yang duduk di kubikel kerja sebelah Karina, langsung melemparkan pandangan menyebalkannya kepada Karina,
“Apaan sih?” sinis Karina.
“Pak Jovan.” godanya, “ganteng, mapan, gede pula badannya, bukannya lo suka yang gede-gede.”
Karina mendengus, ia menatap temannya itu dengan tatapan tidak suka,
“Eh gue kerik yang laptop lu.” ancam Karina yang mana itu malah membuat temannya merasa senang, “balik kerja sana. Gue tau kerjaan lo masih banyak.”
“Ceileh salting mba?”
“BISA DIEM GAK LO? ATAU MAU GUE TONJOK HAH?”
Chandra menahan senyumannya dan menganggukan kepalanya. Wajahnya terlihat seperti sedang meledek Karina,
“Oke gue diem.”
“Awas ya lu!”
“IYE KARIN INI GUA DIEM.”