What Really Happen 3 Years ago


“Jihan!”

Suara seorang perempuan berhasil menghentikan langkah kaki Jihan.

Gadis itu berbalik untuk melihat siapa yang teriak memanggil namanya.

Itu adalah Yunita. Perempuan yang tiga tahun lalu menjadi perusak hubungan Jihan dan juga Juan.

Wanita itu sedikit berlari menghampiri Jihan yang masih terdiam di tempatnya dengan memegang koper besar berwarna putih. Sekarang, Yunita ada di depannya.

Perempuan yang telah merenggut kebahagiannya kini berdiri dengan senyum di depan Jihan,

“We need to talk, Ji.” pinta Yunita lirih, “gue harus jelasin semuanya ke elu. Disini, Juan ga salah, gue yang salah.”

Sebenarnya, Jihan sudah mengubur dalam dalam permasalahan ini. Dia sudah tidak ingin mengorek luka yang sudah lama ia lupakan. Tapi, satu sisi di dalam diri Jihan, meminta Jihan untuk mendengar penjelasan Yunita,

“Iya.”

Dan, mereka berdua pun pergi ke salah satu kedai kopi. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan. Terasa sekali ketegangan diantara keduanya—apalagi Jihan. Tapi perempuan itu sangat pandai dalam menyembunyikan semua yang dirasakannya,

“Lo apa kabar?” tanya Yunita basa-basi.

“Baik.” jawab Jihan, “kamu gimana?”

“Buruk.” jawab Yunita, “hidup gue selalu dipenuhi rasa penyesalan atas apa yang udah gue lakuin di masa lalu ke elu dan juga Juan.”

Jihan hanya diam,

“Gue sekarang tinggal di Solo sama suami gue. Gue udah menikah, dan udah punya anak dua. Gue hidup bahagia sama suami dan dua anak gue. Harusnya gue baik-baik aja kan? Tapi, gue ngeliat gimana hancurnya Juan di Bandung sana, dia yang masih selalu berharap sama lo, itu bener bener bikin gue gak bisa untuk bahagia sama sekali. Gue bertanggung jawab atas kekacauan yang gue perbuat ini.”

Jihan masih diam, namun matanya menatap serius kepada Yunita,

“Sebelum kejadian malam itu, Juan ngechat gue, dia bilang, kalau hari itu adalah hari jadi lo dan dia yang kedua tahun.”

Mata Jihan seketika memanas. Air mata yang dia simpan, sepertinya akan keluar hari ini. Memori kelam akan malam itu, kembali terputar di kepalanya, bak piringan hitam. Sebuah keputusan yang salah ketika Jihan mengiyakan ajakan Yunita,

“Di hari itu, dia mau ngelamar lo. Dia udah beli cincinnya, dia beli bareng gue. Dia udah nyiapin banyak suprise buat lo. Tapi gue, masalahnya semua ada di gue. Malam itu, gue dapet kabar kalau mantan pacar gue, dia selingkuh sama rekan kerja di kantor dia. Gue stress disitu, dan bodohnya, gue ngajak Juan minum. Juan, nolak, dia bilang kalau dia mau nemuin lu dan ngelamar lu. Tapi gue malah ancem dia, gue ancem dia kalau gue bakal gantung diri kalau dia enggak mau nemenin gue.”

“I know, im so stupid. Im sorry.” sesal Yunita, “dan kami berdua akhirnya sama sama mabok. And, yeah, that shit happen.”

Jihan menghela nafasnya. Ia menghapus air matanya dengan cepat. Tiba-tiba, Yunita meraih tangan Jihan. Mata itu menatap mata sembab Jihan dengan penuh harapan,

“Gue tau, perbuatan gue di masa lalu gak pantes untuk lu maafin. Gue juga ngelakuin ini bukan untuk minta maaf sama lu, karena perbuatan gue ga pantes untuk dimaafin sama sekali.”

“Gue cuman berharap, penjelasan gue ini bisa menjadi pertimbangan lu untuk terus jauhin Juan. Tolong maafin Juan.”

Jihan melepaskan genggaman tangan Yunita pelan-pelan,

“Kamu seenak itu bilang saya harus maafin Juan? Kamu tahu apa yang saya alami setelah kejadian itu? Saya bolak-balik psikiater hanya untuk membuat diri saya tetep waras dan bisa lanjutin hidup saya. Saya trauma, setiap hari saya dibayang-bayangi oleh kamu, dan Juan yang making love di kasur, di hari perayaan ke dua tahun hubungan saya sama Juan. Butuh waktu yang panjang untuk saya bisa berdiri kembali dan mencoba untuk berdamai sama masa lalu saya.”

“Jihan, gue bener bener minta maaf. Gue gak tau... kalau...”

Jihan menggelengkan kepalanya, “gak perlu minta maaf. Saya sudah maafin kamu dari semenjak hari itu, begitupun dengan Juan. Saya maafin kalian berdua. Ada lagi yang mau kamu sampein ke saya?”

“Gue berharap lo bisa hidup bahagia. Dan terima kasih karena udah maafin gue.”

Jihan mengangguk,

“Kalau gitu saya pamit, saya mau pulang ke Bandung untuk kerja disana. Titip salam saya untuk dua anak kamu dan suami kamu. Saya permisi.”

Jihan bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan Yunita yang masih duduk di kursinya dengan matanya yang berkaca-kaca. Rasa bersalah wanita itu semakin membuncah ketika mengetahui fakta bahwa dirinya adalah penyebab Jihan terus pergi ke psikiater untuk mengobati mentalnya yang hancur karena trauma yang Yunita dan Juan buat kepada gadis itu.

Tidak ada cara lain. Juan harus tahu ini.