jaehyunetz


“Maura!” panggil Jenar ke Maura yang lagi duduk diatas ranjang ruang kesehatan sambil di kompresin dikit-dikit pipinya sama Dimas, asisten dosen di fakultas hukum.

Jenar gak suka ngeliat Dimas yang keliatan terlalu megang-megang Maura, iya kayak lagi nyuri-nyuri kesempatan dalam kesempitan gitu. Tapi, Jenar juga gak mau nyari ribut, dia gak mau diusir sama Dimas dari dalam ruangan ini. Dia pengen liat keadaan Maura,

“Saya gak tahu jelas hubungan kamu sama Alice apa, tapi, tolong, peringatkan perempuan itu untuk bersikap sopan sama orang yang lebih tua, dan enggak membully orang yang gak tahu apa-apa.” ucap Dimas, dia sama sekali gak ngelirik Jenar, tapi Jenar tahu kalau ucapan yang Dimas lontarin itu untuknya.

Jenar mendengus sebal. Berapa kali Jenar harus jelasin ke semua orang kalau misalkan dia dan Alice itu enggak ada hubungan apa-apa. Mereka cuman fuck buddies doang, dan memang, Jenar akui Alice itu terlalu terobsesi sama Jenar. Tapi, itu bukan hal yang bisa Jenar kontrol kan? Jenar udah sebisa mungkin ngasih peringatan ke Alice, tapi cewek psikopat itu gak mau dengerin Jenar,

“Dia bukan cewek gue.” jawab Jenar dengan entengnya, dia natap Dimas yang lagi fokus beresin alat-alat kesehatan dengan tatapan tajam.

Sementara Maura, yang gak tau harus berbuat apa-apa, cuman diem doang, selain itu, rahangnya juga masih sakit, jadi agak susah untuk ngebuka mulutnya dan bicara,

“Tapi, alasan kenapa Alice nyiksa Maura itu ya karena kamu.” ucap Dimas melirik Jenar dengan lirikan yang seolah-olah meremehkan Jenar, “sekarang, lebih baik kamu fokus sama Alice, dan jauhin Maura, saya gak mau liat ada mahasiswi disini yang jadi korban kegilaan Alice.”

“Wow wow wow, ini gimana maksudnya? Kok lo jadi ngatur-ngatur hidup gue? Eh, lo disini cuman asdos ya? Tugas lo disini ngasih ilmu ke mahasiswa, bukan ngurusin hidup mahasiswa.”

“Kalau ngurusinnya demi kebaikan, apa salahnya?” Dimas masih bicara dengan santai tanpa kesulut emosi.

Beda sama Jenar, yang udah keburu kesulut emosinya,

“Eh jaga ya omongan lo brengsek!”

Cowok berbadan kekar itu langsung mendekati Dimas, dan menarik kerah cowok itu. Ngeliat itu, Maura langsung buru-buru misahin mereka berdua, agar supaya enggak ribut,

“EHHH UDAH UDAH.” pekik Maura sambil misahin dua laki-laki yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu.

Untungnya, Jenar nurut, dia langsung hempasin dengan kasar tangannya dari kerah baju Dimas. Matanya masih natap Dimas dengan tatapan nyalangnya,

“Kenapa sih kok jadi pada berantem gini?” Maura bertanya sambil ngelirik Jenar dan Dimas bergantian, “udah gede juga.”

“Kalau dia gak manc—”

“Iya kamu juga udah besar gampang banget kesulut emosi.” Maura motong omongan Jenar dengan nada membentak.

Kaget bukan main si Jenar, soalnya ini pertama kalinya dia denger Maura ngebentak dia. Padahal kemarin-kemarin diajak ngomong aja susah banget. Tapi, bukannya marah, justru Jenar malah ngerasa seneng, gak tau, dia ngerasa kayaknya setelah ini dia dan Maura bakal bisa lebih deket,

“Maaf, saya gak ada niatan untuk nyulut emosi kamu, tapi, saya cuma mau melindungi mahasiswi saya dari marabahaya, apalagi yang disebabin sama Alice. Perempuan itu psikopat, Maura kamu harus jauh-jauh dari dia.”

Maura nganggukkin kepalanya. Dimas senyum manis banget,

“Nanti, kalau kamu mau mandi, kamu bisa pakai kamar mandi yang ada disini, didalemnya ada sabun, shampoo, banyak kok disini komplit. Saya gak bisa nemenin kamu lama, karena sebentar lagi saya harus ngajar.”

“Iya pak. Makasih udah bantuin saya, udah tolongin saya, makasih banyak.”

Dimas ngangguk sambil senyum, “don't mention it.

“Oh iya, kalau kamu mau pulang silahkan, nanti saya bilangin ke dosen kamu, kebetulan dia teman dekat saya. Bisa saya lobi sedikit untuk gak ngealfain kamu.”

Maura ketawa pelan, “makasih banyak pak.”

“Sama-sama, kalau gitu saya permisi ya?” Maura mengangguk, “Jenar, saya permisi. Titip Maura.”

“Gak usah lo suruh juga gue bakal jaga Maura.” ketus Jenar.

Dimas tersenyum simpul. Lalu, pria itu pergi ninggalin ruang kesehatan untuk ngajar ke kelasnya. Dan, tersisalah, Jenar sama Maura di dalam ruangan ini,.

“Maura, nanti pulangnya sam—”

“Nggak kak. Makasih.” tolak Maura.

“Maura.” suara Jenar melembut.

Maura natap Jenar dengan tatapan tajamnya. Mata gadis itu keliatan bengkak banget,

“Kak, kakak kalau mau nyiksa aku karena aku kemarin mergokin kakak make out sama Kak Alice silahkan, tapi enggak dengan ini kak caranya. Enggak dengan kakak kerja sama sama Kak Alice, dan deketin aku, lalu Kak Alice yang nyiksa aku. Aku gak suka kak. Aku udah enggak bilang soal itu ke orang-orang yang di kampus, apa kurang? Aku harus gimana?”

Suara Maura kedengeran bergetar banget. Ini untuk pertama kalinya, Jenar gak tega ngedenger suara cewek yang bergetar karena mau nangis. Padahal biasanya sih dia bakalan cuek bebek, tapi itu semua gak berlaku buat Maura,

“Ra, gue gak pernah kerja sama sama Alice untuk hal licik kayak gitu. Itu semua diluar sepengetahuan gue. Ra, tolong percaya, gue gak pernah sejahat itu. Gue deketin lo karena emang gue pengen.” lirih Jenar.

Maura cuman diem, dia lagi mati-matian nahan air matanya. Soalnya, kalau dia bicara, bisa-bisa dia nangis. Dan dia gak mau nangis di depan Jenar,

“Tolong, Ra, biarin gue anterin lo pulang ya?”

“Gak usah kak.” Maura masih enggan, “aku masih punya Alara, temenku, dia masih bisa aku mintain bantuan. Kaka lebih baik balik ke kelas aja, aku gak mau ada yang ngeliat terus nanti dilaporin ke Kak Alice. Soalnya disini yang jadi korbannya aku, bukan kamu.”

Baru juga Jenar mau bicara, tiba-tiba Alara, sahabat baik Maura datang dengan mukanya yang super panik. Ngeliat kedatangan Alara, bener-bener bikin Maura lega. Dengan itu, ada alasan untuk dirinya ngusir Jenar dari sini,

“Astaga, Maura. Ya ampun, lo gak apa-apa?”

Maura ngangguk sambil senyum, “im fine.”

“Ra, sumpah gue minta maaf banget, harusnya gue susulin lo tau, biar lo gak diapa-apain sama si Alice. Gue minta maaf banget, Ra.” sesal Alara.

“Al, its okay gak apa-apa kok, gue ini juga udah gak terlalu gimana-gimana. Udah ah jangan jadi merasa bersalah gitu.”

Alara menunjukan ekspresi sedihnya,

“Maafin gue ya.”

Dia langsung berhambur ke dalam dekapan Maura. Dengan senang hati, Maura nerima dekapan sahabat karibnya itu.

Melihat pemandangan tersebut, Jenar jadi merasa diabaikan, dan eksistensinya jadi kaya ghaib aja gitu disini. Makanya, dia langsung berdehem dengan keras, sampai Alara sadar dan langsung lepasin dekapannya, lalu dia ngelirik Jenar yang berdiri di sampingnya,

“Gue Jenar.” kata Jenar memperkenalkan dirinya ke Alara.

“Gak peduli.” ketus Alara, “tolong bilangin ke Alice, gak usah kurang ajar sama temen gue.”

“Iya nanti gue bilangin ke dia.” kata Jenar, “dia emang psikopat, gue akui itu. Dia gila.”

“Pantesan dipake terus.” Alara bicara dengan suara yang pelan sambil matanya ngeliat ke arah lain. Jenar sama Maura bisa denger suara pelannya Alara.

Maura cuman diem doang, dalam hatinya sih dia ngerasa gak enak karena omongan Alara yang terlalu vulgar dan sinis itu.

Meanwhile, Jenar, dia gak bisa ngelak, karena apa yang diucapin sama Alara itu benar adanya. Tapi, itu cuman kemarin-kemarin sebelum dia ketemu Maura. Setelah ketemu Maura, Jenar gak ada niat untuk kembali jadi bajingan,

“Ya udah, kalau gitu gue balik ke kelas dulu.” pamit Jenar ke Maura dan juga Alara.

Maura ngangguk, Alara diem aja.

Jenar pun keluar dari dalam ruangan tersebut. Setelah dirasa jauh, barulah Alara ngomel-ngomel cuap cuap panjang soal Jenar. Maura sih bagian dengerin aja sambil ketawa, karena Alara kalau udah mencak-mencak tuh emang lucu banget,

“Pokoknya lo harus jauh-jauh dari dia oke? Gue gak mau lo diapa-apain sama si Alice lagi.” Alara memberi peringatan ke Maura.

Maura langsung membentuk gesture tubuh seperti sedang hormat kepada bendera, “siap bos!”

“Kalau lo butuh cowok, asdos asdos disini pada ganteng semua. Kalau lo gak mau orang sini, bisa gue cariin di kampus lain, tenang aja.”

Maura ketawa,

“Gue mau pacaran sama kucing aja, soalnya mereka kaya prudential, always listening, always understanding

“Gila lo.”

Lalu keduanya tertawa.

Inilah Alara, dalam waktu sepersekian detik, mood Maura yang berantakan bisa kembali rapih karena Alara. Gadis itu memang sosok sahabat yang tepat untuk Maura.


Maura kaget setengah mati waktu tiba-tiba mulutnya di sekap oleh tangan seseorang dari arah belakangnya. Dia enggak tahu siapa orang itu. Maura berkali-kali coba untuk berontak, tapi tenaga si perempuan lebih kuat dari dia.

Pada akhirnya, Maura cuman bisa pasrah.

Orang asing itu ngebawa Maura ke sebuah gedung kosong yang usang—lebih pantes disebut gudang daripada gedung. Tanpa rasa bersalah, orang asing tersebut ngelepas tangannya dari mulut Maura, dan langsung mendorong Maura sampai dia tersungkur ke lantai. Untung, gak ada benda tajam, jadi Maura gak kena apa-apa, cuma ya itu, lututnya sakit aja karena berbenturan sama lantai keras banget.

Maura mencoba untuk berdiri dari duduknya, dengan sisa rasa sakit yang menerpa seluruh tubuhnya, dan juga tangisan yang mengiringi perempuan itu. Setelah berdiri sempurna, Maura berbalik, dan kalian tahu apa yang terjadi? Iya, Maura disembur oleh air kotor yang baunya seperti bau got.

Terkejut bukan main Maura ketika disiram oleh air got yang membuat seluruh tubuhnya kotor dan bau,

“Eh, sorry, bau ya?” suara yang tidak asing berhasil merebut perhatian Maura.

Gadis itu mendongak, melihat dua perempuan yang berdiri di depannya. Dia Alice, dan satu perempuan lagi, Maura gak kenal. Dan dia gak bakal pernah mau kenal sama perempuan jahat itu,

“Aduh kalau lo bau gini, kira-kira Jenar masih mau nggak ya sama lo? Menurut lo gimana Jul?” Alice masih bicara dengan nada yang mengolok-olok Maura.

Maura? Dia cuman diem, natap kedua perempuan itu dengan tatapan yang kesal. Kedua tangan Maura pun diem diem di kepal dengan kuat, untuk nyalurin perasaan kesal Maura ke Alice dan satu temannya itu. Sumpah, Demi Tuhan, kalau aja Maura berani, dua perempuan ini pasti udah habis di tangan Maura,

“Menurut sih, jangankan mau, nyentuh aja kayaknya si Jenar males. Soalnya bau.” jawab Julie sambil ngeliat Maura dari atas sampai bawah dengan tatapan sinis, “eh tapi kalau Jenar gak mau, lo bisa kok sama gue. Gue suka segala jenis manusia, mau cewe, mau cowo, mau transgender, gue suka kok.”

Bibir Maura bergetar hebat. Air mata luruh ke permukaan pipinya, membentuk sebuah aliran indah yang pilu,

“Tuh, mending lo sama Julie aja daripada sama cowok orang. Gatel lo? Sini gue garukin, mana yang gatel.” cecar Alice.

“Neo kok mau mauan nerima mahasiswi yang polos udah gitu sok cantik, tolol, goblog, dan bisu kayak lo? Gue kalau jadi rektornya, mending gue nerima jablay tapi ada otak daripada nerima cewek baik-baik tapi otak ngga dipake.”

Dalam hati Julie, sejujurnya, dia gak mau ngelakuin ini. Tapi, kalau dia gak nurut sama Alice, dia takut, dia takut kalau Alice bakal jauhin Julie, dan ajak-ajak Gladys untuk nggak nemenin Julie lagi. Dia merasa kasihan, bener-bener kasihan sama Maura, tapi mau gimana lagi, Julie gak bisa hidup tanpa teman. Dan dia masih butuh Alice dan juga Gladys di hidupnya. Meskipun Alice udah terlalu sering norehin luka ke Julie.

Suara tamparan keras yang dilakukan oleh Alice kepada Maura, membuat Julie dan Maura terkejut bukan main. Terutama Maura. Perempuan itu merasakan panas dan perih yang bukan main di pipinya, dia memegangi pipinya, dan air mata mengalir deras bak derasnya aliran sungai,

“NGOMONG ANJING BISANYA CUMAN NANGIS DOANG.” bentak Alice.

“Lis, apa lo gak merasa tamparan lo keterlaluan?” Julie nanya dengan suara yang pelan.

Alice yang lagi dikuasai emosi, dikasih pertanyaan kayak gitu sama Julie makin emosi,

“Lo kalau mau sama kaya Gladys mending keluar, biar ini perek satu gue yang abisin.”

Julie diem. Dia menggumamkan kata maaf, yang sebenernya gak dia tunjukin buat Alice, tapi buat Maura, cuman melalui Alice.

Perek perek perek, padahal lo yang kayak gitu. Sialan. Julie bergumam di dalam hatinya,

“Lo tuh masih maba disini.” Alice bicara sambil berjalan mendekati Maura, dan Maura juga mundurin langkahnya, saking takutnya dia sama Alice, “gak usah sok mau jadi perempuan yang dilihat sama Jenar, Jenar gak suka sama cewek yang badannya gak ada bentuk kayak lo. Lo tau, Jenar itu sukanya sama gue, gue sama dia emang gak pacaran, but we have a commitment, dan komitmen itu suatu hal yang paling berharga kan dalam hidup? Kalau lo berani rebut Jenar dan hancurin komitmen yang udah kita bangun, itu artinya apa? Itu artinya lo BITCH!”

Alice berhasil menjangkau Maura. Dia langsung narik kerah baju Maura, dia goyang-goyangin Maura sambil neriakin Maura dengan kata-kata kasar yang sama sekali gak pantas diucapin sama seorang manusia, mau itu laki-laki atau bahkan perempuan.

Maura takut juga sakit hati sama semua kata-kata kasar yang Alice omongin untuknya. Benci, Maura benci dirinya yang gak bisa ngelawan saat dia diperlakukan seperti ini, saat dia diinjak mentalnya, saat dia disudutkan padahal disini bukan hanya dia yang salah. Maura terlalu takut untuk ngelawan Alice, dia gak mau dia mati di tangan perempuan yang bahkan gak pantes disebut perempuan karena kelakuannya.

Gadis polos itu mikir, apa sih yang udah terjadi di dalam hidup seorang Alice sampai dia berani sejahat ini sama orang?

“GUE BENCI SAMA LO ANJING! LO AMBIL JENAR DARI GUE! LO BRENGSEK! LO ASSHOLE! LO BITCH! LO PEREK! LO—”

“STOP!”

Kegiatan kekerasan yang dilakukan Alice ke Maura itu berhenti begitu saja waktu ada suara tegas dari arah pintu yang meminta Alice untuk berhenti.

Alice menoleh ke belakang, Julie juga, Maura gak perlu, karena posisinya dia menghadap ke arah pintu masuk gudang. Melihat kalau yang datang itu adalah asisten dosen di kampus ini, Alice buru-buru melepaskan cengkramannya dari kerah Maura.

Asisten dosen yang menggunakan pakaian rapih, dengan rambutnya yang menggunakan hairstyle hair up itu berjalan mendekati ketiga perempuan tersebut. Matanya langsung menatap Maura dengan tatapan kasihan dan khawatir, Maura langsung menunduk begitu ditatap oleh asisten dosen tersebut. Kemudian pria tersebut mengalihkan pandangannya kepada Alice dan juga Julie. Kali ini, tatapan matanya berbeda, kalau kepada Maura, tatapan mata itu berupa tatapan mata rasa kasihan dan khawatir, sementara kepada Julie dan Alice tatapan mata itu berupa tatapan mata kesal, benci, dan marah menjadi satu,

“Gak ada pikiran kalian hah?” tanya asdos yang diketahui bernama Dimas tersebut.

“Ya kalau gue sama temen gue gak ada pikiran, kita gak bakal bisa kuliah lah.” jawab Alice dengan tidak sopan, “lagian lo asdos aja belagu banget, sok jadi pahlawan. Pedofil ya lo demen sama anak ingusan kaya tu orang?”

Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya, saat dia mendengar kata-kata sampah yang keluar dari mulut Alice. Benar-benar tidak seperti seorang mahasiswa terpelajar Alice ini,

“Jaga bicara kamu ya. Kamu ini mahasiswa, kamu terpelajar. Masa omongan kamu kaya orang gak pernah sekolah? Bahkan orang yang gak sekolah aja ada yang lebih sopan dari kamu. Sekarang kalian berdua keluar.”

“Ngomongin soal sopan kesopanan, hallo bapak asdos yang terhormat, tata krama di kampus ini udah hilang. Lo gak tau apa kalau kampus ini isinya orang-orang gila semua.”

“Tapi mereka masih punya sopan santun. Gak seperti kamu. Sekarang kamu pergi, atau saya bisa ngelakuin hal yang lebih buruk ke kalian berdua.”

Alice masih enggan untuk pergi, tapi, Julie si pengecut udah nepuk-nepuk pundak Alice, dan ngajak cewek itu untuk keluar dari gedung ini,

“PERGI SEKARANG!” bentak Dimas, membuat Maura tersentak, begitu pula Julie sama Alice.

Julie langsung narik Alice keluar saat itu juga. Dan sekarang, tersisalah Dimas dan Maura di dalam ruangan tersebut. Dengan langkah perlahan, Dimas jalan ngedeketin Maura yang badannya bergetar karena nangis,

“Mereka udah pergi, kamu aman sama saya.” ucap Dimas.

Maura mendongakkan kepalanya. Dia natap muka Dimas dengan matanya yang basah dan pipinya yang memerah. Dimas kaget bukan main waktu liat pipi cewek itu yang merah dan sedikit agak bengkak,

“Astaga.” gumam Dimas, “ke ruang kesehatan ya? Saya coba kompres pipi kamu, ini merah sama agak bengkak pipinya.”

Maura diem aja, dia masih sibuk nangis. Dimas paham, Maura pasti takut.

Maka dari itu, Dimas ngelempar senyuman manisnya, yang lucunya, bener-bener berhasil bikin Maura tenang dan gak terlalu takut,

“Gak perlu takut, saya gak bakal jahatin kamu.” ucap Dimas, dia langsung ngelepasin kemejanya yang ngebuat Maura kaget, tapi untungnya, Dimas pakai kaus berwarna hitam lagi di dalamnya, “ini pake.”

Dimas dengan telaten menyampirkan kemejanya ke tubuh Maura, untuk menutupi bagian tubuh Maura yang nerawang.

Setelah itu, Dimas ngegandeng tangan Maura dan ngebawa Maura keluar dari gudang tersebut menuju ke ruang kesehatan yang tempatnya enggak jauh dari gudang ini.


“Hallo?”

Maura diam-diam langsung melirik Jenar ketika dia denger Jenar yang lagi ngobrol sama seseorang lewat layar telfonnya.

Nggak ada niatan buat kepo, tapi rasa keingin tahuan Maura bener bener ngalahin egonya banget. Makanya, dia jadi berani nguping,

“Apaan lagi sih, Alice?”

Pupil mata Maura langsung melebar waktu Jenar sebut nama Alice. Jantungnya berpacu dengan cepat, kalian harus tahu, badan Maura juga sekarang udah menegang. Saking takut dan traumanya dia sama nama itu,

“Ini gue lagi di jalan mau ke kampus. Lagi di mobil ini, masih agak lumayan nyampenya. Enggak gue gak sendiri. Lah? Urusannya sama lo apaan? Mau gue pergi sama siapa bukan urusan lo. Iya, gue bawa perempuan, kenapa sih? Gausah recet deh lu. Udah gue tutup.”

Maura ngeliat Jenar yang matiin telfonnya penuh emosi. Rasa takut makin nguasain diri Maura,

“Sorry ya.” ucap Jenar dengan lembut ke Maura.

Maura nganggukin kepalanya dengan pelan,

“Gak paham deh, itu si Alice, posesif banget, padahal dia cewek gue aja bukan, dan gue juga gak mau sih punya cewek kayak dia.”

Rasanya Maura pengen ketawa jahat banget sama si Jenar. Ngomong kayak gitu, tapi keseringan make out sama cewek namanya Alice itu,

“Sebenernya gue udah calon pacar sih.” ujar Jenar ketika lampu jalanan udah berubah jadi merah.

Sebenernya Maura enggak perduli, tapi karena Jenar itu kakak tingkatnya, jadi ya dengan terpaksa Maura nanggepin omongannya Jenar,

“Oh gitu.”

“Iya, nanti ya gue telfon dulu anaknya.”

Jenar ngotak-ngatik ponselnya, terus semenit kemudian dia ngehubungin cewek yang katanya calon pacarnya. Entah kebetulan atau gimana, tapi waktu Jenar nelfon si calon pacarnya itu, handphone Maura juga bunyi, tanda ada sambungan telfon yang masuk. Tapi, nomornya unknown, Maura gak biasanya ngangkat telfon dari nomor asing, tapi karena sekarang ada Jenar dan, Maura ngerasa males banget sama Jenar, cewek itu akhirnya ngangkat telfon tersebut.

Dan yang terjadi adalah,

“Hallo, calon pacarnya Jenar.”

Maura kaget, Jenar enggak, dia malah ngesmirk ke Maura.

Setelah itu sambungan telfon pun diputus oleh Jenar, bersamaan dengan lampu jalan yang udah berubah warna jadi hijau,

“Disave ya nomor gue, biar lebih gampang ngehubunginnya.”

Maura bener-bener speechless banget, dia enggak bisa berkata-kata, bahkan sampai ketika mobil Jenar sampai di wilayah parkiran kampus pun, Maura masih speechless dan gak mau ngebuka suaranya sama sekali.


Suara bell yang berasal dari pintu rumah Maura, menggema ke seluruh ruangan. Maura, yang sudah selesai sarapan di meja makan bareng sama kedua orang tuanya, langsung kebingungan. Gak cuman Maura, kedua orang tuanya Maura pun ikutan bingung,

“Siapa ya kok pagi-pagi sekali?” ibunya Maura nanya ke dirinya sendiri.

“Sebentar bu, Maura yang buka.”

Gadis dengan rambut panjang lurus berwarna hitam legam itu lantas berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Entah mengapa perasaannya sanga amat tidak enak. Dan benar aja, waktu pintu dibuka, ada Jenar yang berdiri disana.

Maura jelas langsung kaget. Dia buru-buru ngeliat ke belakang, mastiin kalau ayah atau ibunya gak nyusul. Setelah itu, Maura ngelangkahin satu langkah kakinya keluar, dan ditutupnya pintu rumah itu oleh Maura,

“Hai.” sapa Jenar dengan senyuman nakalnya, yang, ya Maura akuin sih cukup karismatik ya, tapi tetep aja, Maura takut liatnya.

“Tau rumah aku darimana kak?” Maura nanya dengan suara yang hampir pelan, kayak setengah bisik-bisik gitu.

“Laki-laki harus tau semua, apalagi urusan perempuan.” jawab Jenar dengan santainya, “kita ke kampus bareng yuk?”

“Enggak, jawab dulu, tau darimana alamat rumah aku.” desak Maura.

Jenar enggak ngejawab, dia cuman ketawa pelan doang, dan itu makin bikin Maura sebel, tapi dia juga nggak bisa marah. Jenar kakak tingkatnya, takut aja ini cowok mulutnya ember dan ngespill ke satu angkatan kalau Maura itu bukan adek tingkat yang sopan.

Tiba-tiba pintu rumah dibuka. Maura yang kaget langsung noleh ke belakang, dan dia ngeliat kedua orang tuanya udah berdiri disana. Cewek itu menghela nafasnya gelisah, beda sama Jenar yang kayaknya tenang-tenang aja. Dia malah mamerin senyumannya ke ayah sama ibunya Maura,

“Loh ini siapa Ra? Temen?” ayah bertanya sambil ngelirik anak perempuan satu-satunya itu.

“Saya kakak tingkatnya Maura, om.” itu yang ngejawab jelas-jelas bukan Maura ya, tapi Jenar.

Ayah senyum senang, “oh kakak tingkatnya, Maura. Mau jemput Maura ya?” laki-laki diumur sekitar 49 tahunan itu nanyanya ramah banget.

“Iya nih om.” jawab Jenar sambil ngelirik Maura yang daritadi cuman diem sambil masang ekspresi muka bingung yang lucu.

“Oh ya udah kalah gitu, Maura, berangkat ya sayang, kasian kakak tingkatnya nungguin.” sang ibu pun yang daritadi cuma senyam senyum merhatiin gerak-gerik anak perempuannya buka suara.

“Bu tapi kan makanannya Maura belom abis.” rengek Maura.

“Aduh kamu ini lupa ya? Itu di piring kamu aja tinggal sisa kerupuk itu pun kan kamu gak suka kerupuk sayang.”

Aduh bego banget gue.

“Sudah sayang, berangkat aja sama, siapa namanya?” kali ini ayah nyoba buat maksa-maksa Maura.

“Jenar om.”

“Nah, tuh sama Jenar aja, ayah juga kan gak bisa ke kampus kamu dulu soalnya mau ada rapat di kantor. Nggak bisa telat.”

Ya udah, kalau udah kayak gini, Maura mau nolak juga bingung. Apalagi orang tuanya kayak maksa-maksa banget. Makin-makin deh itu anak gak bisa nolak kemauan Jenar,

“Ya udah, Maura ambil tas dulu.” ucapnya dengan amat sangat terpaksa lahir dan batin.

Kaki kecil itu ngelangkah masuk ke dalam rumah untuk ngambil tas ngampusnya. Enggak lama kok, kayak dua menit kemudian pun dia udah kembali gabung lagi di luar sama orang tuanya dan juga si ngeselin, Jenar,

“Ibu, ayah, Maura pergi dulu ya.” pamit Maura sambil menyalami kedua orang tuanya.

Ayah dan ibu Maura menyambut dengan hangat salaman anak perempuannya itu.

Tidak bisa dipungkiri, ada rasa iri yang tertanam di dalam diri Jenar ketika melihat interaksi Maura dengan kedua orang tuanya,

“Om, tante, Jenar permisi dulu.” Jenar juga ikut berpamitan, dia menyalami kedua orang tua Maura.

Itu adalah yang pertama kalinya bagi Jenar menyalami orang tua, setelah dia resmi kehilangan sang ayah yang harus mendekam di penjara akibat tindak kejahatan pidana yang dilakukannya, dan ibunya yang sudah menyatu dengan tanah,

“Iya, kalian hati-hati ya? Jenar, bawa mobilnya yang bener ya, jalanan licin abis ujan kemarin soalnya.” wanti wanti sang ayah.

“Siap laksanakan om!”

Ayah sama ibunya Maura ketawa pelan, Jenar juga ikut ketawa, sementara Maura diem aja,

“Ya udah kalau gitu, yuk Maura? Kita pergi ke kampus, nanti kamu telat lagi.” ajak Jenar.

Sialan, ngapain juga ubah-ubah panggilan jadi aku kamuan di depan bonyok gue?

Maura dengan terpaksa mengangguk pelan.

Setelahnya, keduanya berjalan keluar dari rumah menuju mobil milik Jenar yang terparkir di depan gerbang rumah. Mereka berdua masuk ke dalam tanpa ada yang memulai percakapan, bahkan sampai mobil jalan pun, tidak ada yang mengucapkan apa-apa.

Maura sibuk menetralisir perasaan takutnya, dan Jenar juga sibuk diam-diam mencuri-curi pandang kepada Maura.


Suara bell yang berasal dari pintu rumah Maura, menggema ke seluruh ruangan. Maura, yang sudah selesai sarapan di meja makan bareng sama kedua orang tuanya, langsung kebingungan. Gak cuman Maura, kedua orang tuanya Maura pun ikutan bingung,

“Siapa ya kok pagi-pagi sekali?” ibunya Maura nanya ke dirinya sendiri.

“Sebentar bu, Maura yang buka.”

Gadis dengan rambut panjang lurus berwarna hitam legam itu lantas berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Entah mengapa perasaannya sanga amat tidak enak. Dan benar aja, waktu pintu dibuka, ada Jenar yang berdiri disana.

Maura jelas langsung kaget. Dia buru-buru ngeliat ke belakang, mastiin kalau ayah atau ibunya gak nyusul. Setelah itu, Maura ngelangkahin satu langkah kakinya keluar, dan ditutupnya pintu rumah itu oleh Maura,

“Hai.” sapa Jenar dengan senyuman nakalnya, yang, ya Maura akuin sih cukup karismatik ya, tapi tetep aja, Maura takut liatnya.

“Tau rumah aku darimana kak?” Maura nanya dengan suara yang hampir pelan, kayak setengah bisik-bisik gitu.

“Laki-laki harus tau semua, apalagi urusan perempuan.” jawab Jenar dengan santainya, “kita ke kampus bareng yuk?”

“Enggak, jawab dulu, tau darimana alamat rumah aku.” desak Maura.

Jenar enggak ngejawab, dia cuman ketawa pelan doang, dan itu makin bikin Maura sebel, tapi dia juga nggak bisa marah. Jenar kakak tingkatnya, takut aja ini cowok mulutnya ember dan ngespill ke satu angkatan kalau Maura itu bukan adek tingkat yang sopan.

Tiba-tiba pintu rumah dibuka. Maura yang kaget langsung noleh ke belakang, dan dia ngeliat kedua orang tuanya udah berdiri disana. Cewek itu menghela nafasnya gelisah, beda sama Jenar yang kayaknya tenang-tenang aja. Dia malah mamerin senyumannya ke ayah sama ibunya Maura,

“Loh ini siapa Ra? Temen?” ayah bertanya sambil ngelirik anak perempuan satu-satunya itu.

“Saya kakak tingkatnya Maura, om.” itu yang ngejawab jelas-jelas bukan Maura ya, tapi Jenar.

Ayah senyum senang, “oh kakak tingkatnya, Maura. Mau jemput Maura ya?” laki-laki diumur sekitar 49 tahunan itu nanyanya ramah banget.

“Iya nih om.” jawab Jenar sambil ngelirik Maura yang daritadi cuman diem sambil masang ekspresi muka bingung yang lucu.

“Oh ya udah kalah gitu, Maura, berangkat ya sayang, kasian kakak tingkatnya nungguin.” sang ibu pun yang daritadi cuma senyam senyum merhatiin gerak-gerik anak perempuannya buka suara.

“Bu tapi kan makanannya Maura belom abis.” rengek Maura.

“Aduh kamu ini lupa ya? Itu di piring kamu aja tinggal sisa kerupuk itu pun kan kamu gak suka kerupuk sayang.”

Aduh bego banget gue.

“Sudah sayang, berangkat aja sama, siapa namanya?” kali ini ayah nyoba buat maksa-maksa Maura.

“Jenar om.”

“Nah, tuh sama Jenar aja, ayah juga kan gak bisa ke kampus kamu dulu soalnya mau ada rapat di kantor. Nggak bisa telat.”

Ya udah, kalau udah kayak gini, Maura mau nolak juga bingung. Apalagi orang tuanya kayak maksa-maksa banget. Makin-makin deh itu anak gak bisa nolak kemauan Jenar,

“Ya udah, Maura ambil tas dulu.” ucapnya dengan amat sangat terpaksa lahir dan batin.

Kaki kecil itu ngelangkah masuk ke dalam rumah untuk ngambil tas ngampusnya. Enggak lama kok, kayak dua menit kemudian pun dia udah kembali gabung lagi di luar sama orang tuanya dan juga si ngeselin, Jenar,

“Ibu, ayah, Maura pergi dulu ya.” pamit Maura sambil menyalami kedua orang tuanya.

Ayah dan ibu Maura menyambut dengan hangat salaman anak perempuannya itu.

Tidak bisa dipungkiri, ada rasa iri yang tertanam di dalam diri Jenar ketika melihat interaksi Maura dengan kedua orang tuanya,

“Om, tante, Jenar permisi dulu.” Jenar juga ikut berpamitan, dia menyalami kedua orang tua Maura.

Itu adalah yang pertama kalinya bagi Jenar menyalami orang tua, setelah dia resmi kehilangan sang ayah yang harus mendekam di penjara akibat tindak kejahatan pidana yang dilakukannya, dan ibunya yang sudah menyatu dengan tanah,

“Iya, kalian hati-hati ya? Jenar, bawa mobilnya yang bener ya, jalanan licin abis ujan kemarin soalnya.” wanti wanti sang ayah.

“Siap laksanakan om!”

Ayah sama ibunya Maura ketawa pelan, Jenar juga ikut ketawa, sementara Maura diem aja,

“Ya udah kalau gitu, yuk Maura? Kita pergi ke kampus, nanti kamu telat lagi.” ajak Jenar.

Sialan, ngapain juga ubah-ubah panggilan jadi aku kamuan di depan bonyok gue?

Maura dengan terpaksa mengangguk pelan.

Setelahnya, keduanya berjalan keluar dari rumah menuju mobil milik Jenar yang terparkir di depan gerbang rumah. Mereka berdua masuk ke dalam tanpa ada yang memulai percakapan, bahkan sampai mobil jalan pun, tidak ada yang mengucapkan apa-apa.

Maura sibuk menetralisir perasaan takutnya, dan Jenar juga sibuk diam-diam mencuri-curi pandang kepada Maura.


“I got you pretty.”

Jenar ngegumam di dalam hatinya sambil memperlihatkan smirk khasnya waktu dia ngeliat Maura, perempuan yang tadi siang mergokin dia lagi make out sama Alice di kamar mandi. Dan, tanpa pikir panjang, Jenar langkahin kakinya untuk mendekat ke arah Maura, yang sepertinya lagi nunggu ojek online yang di pesennya,

“Hai.” Jenar nyapa Maura, yang mana hal itu cukup berhasil bikin Maura kaget bukan main.

Enggak bisa, Jenar enggak bisa tahan sama tingkah gemes Maura kali ini. Makanya, dia ketawa kecil yang bikin Maura bukannya terpesona malah jadi takut. Keliatan banget dari raut mukanya, dan tangannya yang diem-diem mengepal ketakutan,

“I know you scared of me, but don't worry, im not gonna hurt you.” ujarnya, seolah dia tahu percis apa yang lagi Maura pikirin kali ini, “gue cuman mau kenalan sama adik tingkat gue sendiri, is that wrong?

Jenar menatap mata Maura dalam-dalam. Ada perasaan gila yang muncul di dalam dirinya waktu matanya berhasil masuk ke perangkap mata indah Maura. Sementara Maura, dia hampir kehipnotis sama Jenar, dan untungnya suara klakson motor berhasil menyadarkan Maura bahwa Jenar bukanlah laki-laki yang baik,

“Sorry tapi aku harus pergi kak, ojekku udah dateng. Perm—”

Jenar langsung menahan tangan Maura begitu dia bilang permisi dan hendak pergi ninggalin Jenar. Hahaha! Jenar enggak sebaik itu, kalau dia pengen sesuatu, dia enggak bakalan pernah ngebiarin sesuatu itu pergi, sebelum dia selesai sama urusannya.

Maura gak bisa nyembunyiin perasaan takutnya waktu tangan dia ditahan sama Jenar. Keliatan dari badannya yang tiba-tiba menegang, dan raut wajahnya yang gemang, dan tangannya yang sedikit gemetar,

“Cuman kenalan doang, gak ngabisin waktu lima jam. Nama gue Jenar, nama lu?” ucap Jenar dengan suaranya yang rendah.

Maura menghela nafasnya kasar, sambil dia nelen air liurnya kasar,

“Maura.”

Senyum kemenangan langsung terpatri di wajah tampannya yang bak seorang Don Juan. Akhirnya, dia tahu nama perempuan yang berhasil merebut perhatiannya,

“Nice to know your name. Your name is so beautiful, just like you.” sanjung Jenar kepada Maura.

Enggak ada sama sekali perasaan salah tingkah atau seneng waktu Jenar ngegombalinnya kayak gitu, yang ada cuman rasa takut dan gak nyaman. Tapi, Jenar enggak peka juga akan hal itu, atau mungkin dia peka tapi dia gak peduli? Entahlah,

“Kak, maaf, tapi aku mau pulang.”

Jenar pengen banget ngajakin Maura pulang bareng, tapi sialnya, dia udah janji buat main sama Alice. Sialan! Kesempatan Jenar jadi hilang hanya karena kecerobohannya sendiri. Dengan sangat amat terpaksa, Jenar ngelepasin tangan Maura, dan ngebiarin Maura pulang naik ojol pesenennya yang udah dateng dari lima belas menit yang lalu.

Enggak ada kata perpisahan atau pamitan yang dilontarin dari mulut Maura ke Jenar, begitupun sebaliknya, enggak ada kata hati-hati yang keluar dari mulut Jenar ke Maura. Begitu Jenar lepasin tangannya dari Maura, cewek itu buru-buru nyamperin motor beat milik abang ojolnya, dan naik setelah itu abang ojolnya pergi—karena perintah Maura, karena hal itu lah, Jenar gak sempet bilang hati-hati ke Maura.

Emang, kayanya buat deketin Maura Jenar harus akting dulu jadi cowok baik-baik dan gak galak kayak pas dia sama cewek lain.


Sarapan di pagi hari emang seharusnya gak pernah Maura lakuin.

Beneran deh, untuk orang-orang seperti Maura—yang perutnya labil dan gak normal, sarapan di pagi hari tuh bikin mules gak karuan, tapi kalau gak di lakuin maagnya juga bakalan kambuh.

Dan, pagi ini, di rumahnya, she woke up, and choose a violent. Iya, dia sarapan, karena dipaksa sama ibunya. And turns out, sampai di kampus malah dia yang kesiksa karena mules.

Mau ditahan gak enak, mau dikeluarin juga gak enak. Masalahnya, Maura itu bukan tipe anak yang bisa buang air besar di sembarang tempat. Apalagi di toilet kampus. Cuman, dengan amat sangat terpaksa, Maura milih untuk buang air besar di kamar mandi kampus, ya, daripada ditahan dan malah cepirit itu lebih malu-maluin kan?

And now, she standing at the door, tangannya megang gagang pintu, lalu dia gerakin gagang pintu tersebut ke bawah, sampai akhirnya pintu terbuka. Dia masuk ke dalem. Baru jalan beberapa langkah, tapi Maura udah ngerasa aneh, karena dia ngedenger suara-suara desahan dari tempat yang lebih dalem lagi dari kamar mandi kampus ini—iya kamar mandinya luas banget, saking luasnya ada dua ruangan beda di sini.

Maura gak mau terlalu perduli sama suara itu. Dia tetep lanjut ngelangkahin kakinya. Cuman, pas udah sampai di ruangan toilet. Mulut Maura menganga waktu ngeliat ada dua orang yang lagi bercumbu disana, yang cewe udah gak tau atasannya kemana, yang cowok masih pakai pakaian yang lengkap, cuman ya gitu, tetep aja, Maura jijik, geli, merasa ternodai liatnya. Maura teriak seketika,

“AAAAAA!”

Dua manusia yang lagi berzina itu langsung buru-buru lepasin cumbuan mereka. Dua orang itu jelas kaget waktu ngeliat Maura, apalagi Maura, dia kayak ngeliat setan banget sekarang mukanya. Keringet dingin menjalar dimana-mana, rasa mulesnya seketika ilang karena kejadian gila yang diliat pakai mata kepalanya itu,

“Lo siapa?” tanya perempuan yang sekarang cuman pakai bra itu.

Sementara si laki-laki cuman diem, dia ngeliatin Maura dari atas sampai bawah, dengan tatapan yang enggak bisa dipahami oleh siapapun. And the smirk, Maura gak sanggup liatnya, kayak om om mesum.

Gak ada jawaban apa-apa dari Maura, cewek itu keburu takut. Dia cuman bisa nunduk sambil ngeremes jari-jarinya sendiri. Dari bawah dia bisa ngeliat sepatu mahal yang dipakai perempuan itu berjalan mendekat ke arahnya. Maura nelen ludahnya kasar. Dia bener-bener takut banget sekarang,

“Gue tanya sama lo, lo siapa anjing?” perempuan itu nanya sekali lagi, terselip nada amarah di balik suaranya.

“Maba kak.” jawab Maura dengan suara yang pelan. Pelan banget.

“Lo tau gak? Lo udah ganggu gue sama Jenar yang lagi make out.”

“Tapi kak, saya kan mau pakai toilet ini.”

“YA PAKE TOILET LAIN KAN BISA? TOILET DOSEN KEK, TOILET OB KALAU BISA SEKALIAN. ANJING YA LO.”

Badan Maura kesentak beberapa kali denger bentakan si cewek yang berdiri di depannya itu. Kalian boleh sebut Maura lemah, tapi, Maura dibesarkan di keluarga yang harmonis, gak pernah ada satupun keluarganya yang ngebentak Maura. Dan, kali ini, dia dibentak sama orang lain, bikin dia jadi kaget dan takut.

Si laki-laki yang dari tadi cuman diem di belakang, senderan ke tembok sambil ngeliatin Maura yang dimarah-marahin sama cewek gila itu, akhirnya jalan, dan bergabung sama mereka berdua,

“Nih pake baju lo.” kata cowok itu begitu dia berdiri di samping pacarnya—mungkin.

Dan, perempuan itu pun memakai kausnya yang terbilang ngetat dan gak sopan dipakai sama seorang mahasiswi apalagi masih di wilayah kampus,

“Udah kan? Ya udah kita pergi dari sini.” cowok itu bicara tanpa ngalihin pandangannya dari Maura. Kayaknya, dia tertarik sama Maura.

“Tapi yang tadi?”

“Masih bisa dilanjutin di mobil gue atau enggak kita cari hotel.”

Rasanya, Maura mau nangis denger kata-kata kayak barusan, belum lagi dia yang terus-terusan ditatap sama cowok mesum bin brengsek itu,

“Ya udah deh kalau gitu.” girang cewek itu, “heh, denger ya, lo jangan bocorin hal ini ke siapapun, meskipun semua orang di kampus ini gak ada yang waras, tapi gue minta keep it yourself kalau sampai lo bocor ke orang-orang, mati lo ditangan gue.”

“I—iya kak.”

Setelah ngancem dengan nada yang galak, perempuan itu akhirnya keluar bareng sama laki-laki. Setelah pintu tertutup, barulah Maura bisa bernafas lega. Dia bener-bener shock banget ngeliat kejadian kayak barusan, belum lagi juga tadi dia dibentak. Ini yang pertama kali baginya liat hal gak ladzim, semoga setelah ini dia gak bakal pernah liat hal gila itu lagi, dan semoga, dia juga gak ketemu sama dua manusia gila itu.

Huh, saking shocknya, rasa mules di perut Maura sampai ilang rasanya.


“Mas…. Mas….”

Mendengar suara lembut seorang perempuan, membuat Jarvis yang sedang asyik bermain di dunia mimpinya tiba-tiba terbangun. Pria itu sedikit terkejut, ketika wajahnya ditutupi oleh sebuah topi (yang percis seperti yang dialaminya di mimpi barusan).

Jarvis buru-buru melepaskan topi tersebut, dan menoleh ke sisi kanannya. Pria itu terkejut ketika melihat sosok Kylie yang kini duduk disampingnya, sambil memasang ekspresi muka yang kebingungan dan juga terkejut karena melihat Jarvis yang terkejut begitu melihat wajahnya,

“Kylie!?”

Gadis mengerutkan dahinya bingung, “maaf mas, saya bukan Kylie, saya Karina.” katanya.

Tunggu sebentar? Bagaimana mungkin gadis yang duduk disampingnya itu bernama Karina? Padahal jelas-jelas gadis itu mirip sekali dengan Kylie,

“Enggak kamu bukan Karina, kamu Kylie.”

“Mas, saya beneran Karina, nama saya Karina. Mas kalau gak percaya saya bisa liatin KTP saya sekarang.” ngotot gadis bernama Karina itu.

Jarvis terdiam, dia seperti tersadarkan oleh sesuatu,

“Anjrit jadi selama tadi gue mimpi? Blangsak.” desis Jarvis di dalam hatinya.

“Saya sebenernya udah mau pergi dari tadi, tapi saya nungguin topi saya yang tadi di ambil gitu aja sama mas pas tidur, terus dipakein ke muka mas buat nutupin mas.” jelas Karina.

Cowok goblok! Malu-maluin aja lu.

“Oh maaf mba, ya ampun, saya emang lagi capek banget ini. Tugas juga lagi banget, jadi agak stress.” ujar Jarvis salah tingkah, “ini mba topinya.”

Karina mengangguk dan mengambil kembali topinya, “saya permisi ya mas.” pamit Karina setelah topinya kembali ke dalam genggamannya.

Jarvis mengangguk.

Lalu, Karina berdiri dari duduknya, dan berjalan meninggalkan studio bioskop. Belum ada 10 langkah, tiba-tiba Karina menghentikan langkahnya karena suara Jarvis yang memanggil namanya.

Karina berbalik menatap Jarvis,

“Pulangnya bareng saya aja mba. Sekalian saya juga mau ada urusan.”

“Urusan apa?”

“Urusan buat mengenal Mba Karina lebih jauh. Siapa tahu bisa jadi temen atau lebih dari temen.”


“Mba, wali dari pasien bernama Jibran, ya?” tanya sang suster kepada Zara yang sudah berdiri dari duduknya—bersama dengan Safira yang selalu disampingnya.

“Iya sus. Saya.” jawab Zara.

Tidak dapat diragukan lagi, air muka Zara benar-benar menunjukkan sebuah perasaan kekhawatiran yang mendalam. Ditambah, suaranya yang bergetar, membuat siapapun yang mendengarnya akan sangat yakin, kalau saat ini Zara sedang tidak baik-baik saja,

“Baik kalau begitu, ikut saya ke dalem ya? Dokter mau bicara sama mba.”

Suster tersebut mempersilahkan Zara untuk berjalan masuk ke ruangan dokter yang kebetulan berada di ujung lantai satu rumah sakit ini. Ada perasaan gelisah dan tidak enak yang menggerayangi Zara ketika ia berjalan menuju ruangan khas bau obat tersebut.

Zara duduk di depan sang dokter begitu dirinya masuk ke dalam ruangan. Dokter lelaki yang umurnya kurang lebih sekitar 50 tahunan, tersenyum menyambut kedatangan Zara, dengan kumis baplangnya, juga kepalanya yang di bagian depan terlihat botak, namun di belakang dipenuhi rambut tipis yang sudah ditumbuhi uban yang lumayan banyak,

“Selamat sore, ini kakaknya Jibran ya?” dokter tersebut bertanya dengan nada begitu ramah dan tenangnya. Mungkin, itu strategi dokter untuk membuat Zara tenang dan tidak terlalu khawatir, sebelum nantinya dokter tersebut memberikan hasil pemeriksaan Jibran.

Zara mengangguk sambil menelan ludahnya kasar, “iya dok, saya. Saya kakaknya Jibran.”

“Mirip sekali ya dengan Jibrannya.” sanjung sang dokter, Zara hanya mampu tertawa tipis. Tidak dia tidak benar-benar tertawa. Gadis itu sedang menyembunyikan perasaan takut dan khawatirnya, ia sendiri bahkan tengah asyik memainkan kedua tangannya dibawah sana.

Mata Zara tertuju ke arah tangan sang dokter yang tengah membuka hasil lab milik Jibran,

“Baik, saya akan jelaskan hasil dari pemeriksaan lab milik Jibran ya?”

Zara mengangguk.

Dokter tersebut menjelaskan semua hasil yang ada di dalam kertas tersebut dengan sedetail-detailnya, Zara mendengarkannya dengan seksama,

“Saya tahu, mungkin ini adalah hal yang paling berat yang akan di dengar oleh Mba Zara.” setelah selesai menjelaskan hasil lab, dokter langsung berucap seperti itu, yang mana hal itu langsung membuat Zara lemas seketika.

Mata Zara bahkan sudah berkaca-kaca sebelum dokter memberitahukan apa penyakit yang Jibran, adik kesayangannya tersebut derita,

“Dengan berat hati saya sampaikan, bahwa Jibran mengidap kanker darah atau leukimia stadium 3.”

Hancur. Dunia Zara hancur saat itu juga.

Tanpa sadar, gadis itu menangis tersedu-sedu dihadapan sang dokter. Tidak pernah terbayangkan oleh Zara kalau hari ini akan datang. Hari yang tidak pernah Zara harapkan sepanjang hidupnya.

Hatinya begitu sakit mengetahui satu-satunya keluarga yang ia punya mengidap penyakit separah itu. Kenapa Zara tidak pernah menyadarinya? Mungkin kalau Zara menyadarinya sejak awal, ia bisa membawa Jibran untuk pergi berobat, meskipun ia harus pontang panting mencari biaya,

“Dok, apa yang harus saya lakuin supaya adik saya bisa sembuh total dan gak pergi ninggalin saya?” Zara bertanya dengan suara yang terisak.

“Kemoterapi, tapi kemoterapi itu salah satu pengobatan kanker paling keras. Seseorang yang di kemo, setelah selesai kemo akan merasakan banyak efek samping, seperti mual-mual atau pun rambut rontok dan akhirnya menjadi botak.”

“Kalau boleh saya tahu, berapa biaya untuk sekali melakukan pengobatan kemoterapi, dok?”

“Sebelas juta lima ratus lima belas ribu tujuh ratus rupiah.”

Zara tercengang mengetahui biaya kemoterapi harus tiga kali lipat dari biaya pembayaran IKT-nya. Darimana dia bisa mendapatkan uang tersebut? Sedangkan hutang Zara tahun lalu di bosnya saja belum sempat Zara lunaskan, karena banyaknya keperluan yang harus gadis itu penuhi.

Zara takut kalau ia tidak bisa membayar pengobatan tersebut, tapi ia jauh lebih takut kalau harus kehilangan adik kesayangannya. Maka dari itu, tanpa berpikir panjang, Zara mengucapkan,

“Lakuin dok. Lakuin kemoterapi untuk adik saya, berapapun biayanya saya akan bayar.” mohon Zara dengan sisa tangisnya.

Dokter tersebut mengangguk,

“Baik, kami akan lakukan, sebelum itu, saya buatkan surat rujukan untuk melakukan kemoterapi, lalu nanti di urus di kassa 2 yang ada di lobby ya?”

“Iya dok.”


Zara menghampiri Jibran di ruang UGD dengan penampilan yang bisa dibilang lumayan hancur, membuat Safira juga Jibran yang memang sudah tersadar dari beberapa menit yang lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Zara hari ini.

Senyum tipis yang terkesan dipaksakan Zara umbarkan kepada Safira dan juga Jibran,

“Zar? Lo gak apa-apa kan?” Safira bertanya dengan penuh rasa bingung, penasaran, dan kecurigaan.

Hati Zara benar-benar lemah. Mendengar Safira yang bertanya seperti itu, ditambah Jibran yang terlihat pucat, dengan selang infus yang menghiasi punggung tangannya, juga fakta bahwa adik kandungnya itu mengidap penyakit berat, membuat Zara hancur, dan Zara tidak sanggup lagi untuk menahan tangisnya.

Lagi, Zara menangis sesenggukan di hadapan Safira dan Jibran.

Safira terkejut, begitu pula Jibran. Wanita itu buru-buru menghampiri Zara, dan mendekap tubuh Zara dengan erat. Menepuk-nepuk punggung sahabatnya dengan begitu tenang, berharap memberikan sedikit kenyamanan kepada Zara. Namun, hasilnya, Zara malah semakin menumpahkan air matanya di dalam dekapan Safira.

Jibran juga menjadi bingung melihat sang kakak yang tiba-tiba menangis seperti ini. Pria itu berpikir, apakah ada seseorang yang melukainya di luar sana? Atau mungkin, kakaknya ini tahu, apa penyakit yang sebenarnya Jibran derita.

Sibuk dengan pikirannya, Jibran sampai tidak sadar kalau sang kakak sudah melepas dekapannya dari Safira, dan kini malah menatap Jibran—badannya setengah membungkuk, tangannya ia taruh di atas rambut Jibran, rambut yang mungkin nanti akan menghilang seiring berjalannya waktu, akibat efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan kemoterapi. Jibran menatap sang kakak,

“Jibran.” lirih Zara.

“Iya ka?”

“Janji ya sama kakak untuk tetep hidup? Janji untuk terus ada sama kakak, okay? Jangan tinggalin kakak ya, cuman kamu satu-satunya keluarga sedarah kakak.”

“Iya kak, Jibran janji. I will stay here with you. I will never leave you.”

Zara tersenyum sambil menahan tangisnya,

“Promise?”

”“Promise.”*


“Mba, wali dari pasien bernama Jibran, ya?” tanya sang suster kepada Zara yang sudah berdiri dari duduknya—bersama dengan Safira yang selalu disampingnya.

“Iya sus. Saya.” jawab Zara.

Tidak dapat diragukan lagi, air muka Zara benar-benar menunjukkan sebuah perasaan kekhawatiran yang mendalam. Ditambah, suaranya yang bergetar, membuat siapapun yang mendengarnya akan sangat yakin, kalau saat ini Zara sedang tidak baik-baik saja,

“Baik kalau begitu, ikut saya ke dalem ya? Dokter mau bicara sama mba.”

Suster tersebut mempersilahkan Zara untuk berjalan masuk ke ruangan dokter yang kebetulan berada di ujung lantai satu rumah sakit ini. Ada perasaan gelisah dan tidak enak yang menggerayangi Zara ketika ia berjalan menuju ruangan khas bau obat tersebut.

Zara duduk di depan sang dokter begitu dirinya masuk ke dalam ruangan. Dokter lelaki yang umurnya kurang lebih sekitar 50 tahunan, tersenyum menyambut kedatangan Zara, dengan kumis baplangnya, juga kepalanya yang di bagian depan terlihat botak, namun di belakang dipenuhi rambut tipis yang sudah ditumbuhi uban yang lumayan banyak,

“Selamat sore, ini kakaknya Jibran ya?” dokter tersebut bertanya dengan nada begitu ramah dan tenangnya. Mungkin, itu strategi dokter untuk membuat Zara tenang dan tidak terlalu khawatir, sebelum nantinya dokter tersebut memberikan hasil pemeriksaan Jibran.

Zara mengangguk sambil menelan ludahnya kasar, “iya dok, saya. Saya kakaknya Jibran.”

“Mirip sekali ya dengan Jibrannya.” sanjung sang dokter, Zara hanya mampu tertawa tipis. Tidak dia tidak benar-benar tertawa. Gadis itu sedang menyembunyikan perasaan takut dan khawatirnya, ia sendiri bahkan tengah asyik memainkan kedua tangannya dibawah sana.

Mata Zara tertuju ke arah tangan sang dokter yang tengah membuka hasil lab milik Jibran,

“Baik, saya akan jelaskan hasil dari pemeriksaan lab milik Jibran ya?”

Zara mengangguk.

Dokter tersebut menjelaskan semua hasil yang ada di dalam kertas tersebut dengan sedetail-detailnya, Zara mendengarkannya dengan seksama,

“Saya tahu, mungkin ini adalah hal yang paling berat yang akan di dengar oleh Mba Zara.” setelah selesai menjelaskan hasil lab, dokter langsung berucap seperti itu, yang mana hal itu langsung membuat Zara lemas seketika.

Mata Zara bahkan sudah berkaca-kaca sebelum dokter memberitahukan apa penyakit yang Jibran, adik kesayangannya tersebut derita,

“Dengan berat hati saya sampaikan, bahwa Jibran mengidap kanker darah atau leukimia stadium 3.”

Hancur. Dunia Zara hancur saat itu juga.

Tanpa sadar, gadis itu menangis tersedu-sedu dihadapan sang dokter. Tidak pernah terbayangkan oleh Zara kalau hari ini akan datang. Hari yang tidak pernah Zara harapkan sepanjang hidupnya.

Hatinya begitu sakit mengetahui satu-satunya keluarga yang ia punya mengidap penyakit separah itu. Kenapa Zara tidak pernah menyadarinya? Mungkin kalau Zara menyadarinya sejak awal, ia bisa membawa Jibran untuk pergi berobat, meskipun ia harus pontang panting mencari biaya,

“Dok, apa yang harus saya lakuin supaya adik saya bisa sembuh total dan gak pergi ninggalin saya?” Zara bertanya dengan suara yang terisak.

“Kemoterapi, tapi kemoterapi itu salah satu pengobatan kanker paling keras. Seseorang yang di kemo, setelah selesai kemo akan merasakan banyak efek samping, seperti mual-mual atau pun rambut rontok dan akhirnya menjadi botak.”

“Kalau boleh saya tahu, berapa biaya untuk sekali melakukan pengobatan kemoterapi, dok?”

“Sebelas juta lima ratus lima belas ribu tujuh ratus rupiah.”

Zara tercengang mengetahui biaya kemoterapi harus tiga kali lipat dari biaya pembayaran IKT-nya. Darimana dia bisa mendapatkan uang tersebut? Sedangkan hutang Zara tahun lalu di bosnya saja belum sempat Zara lunaskan, karena banyaknya keperluan yang harus gadis itu penuhi.

Zara takut kalau ia tidak bisa membayar pengobatan tersebut, tapi ia jauh lebih takut kalau harus kehilangan adik kesayangannya. Maka dari itu, tanpa berpikir panjang, Zara mengucapkan,

“Lakuin dok. Lakuin kemoterapi untuk adik saya, berapapun biayanya saya akan bayar.” mohon Zara dengan sisa tangisnya.

Dokter tersebut mengangguk,

“Baik, kami akan lakukan, sebelum itu, saya buatkan surat rujukan untuk melakukan kemoterapi, lalu nanti di urus di kassa 2 yang ada di lobby ya?”

“Iya dok.”

— — — —

Zara menghampiri Jibran di ruang UGD dengan penampilan yang bisa dibilang lumayan hancur, membuat Safira juga Jibran yang memang sudah tersadar dari beberapa menit yang lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Zara hari ini.

Senyum tipis yang terkesan dipaksakan Zara umbarkan kepada Safira dan juga Jibran,

“Zar? Lo gak apa-apa kan?” Safira bertanya dengan penuh rasa bingung, penasaran, dan kecurigaan.

Hati Zara benar-benar lemah. Mendengar Safira yang bertanya seperti itu, ditambah Jibran yang terlihat pucat, dengan selang infus yang menghiasi punggung tangannya, juga fakta bahwa adik kandungnya itu mengidap penyakit berat, membuat Zara hancur, dan Zara tidak sanggup lagi untuk menahan tangisnya.

Lagi, Zara menangis sesenggukan di hadapan Safira dan Jibran.

Safira terkejut, begitu pula Jibran. Wanita itu buru-buru menghampiri Zara, dan mendekap tubuh Zara dengan erat. Menepuk-nepuk punggung sahabatnya dengan begitu tenang, berharap memberikan sedikit kenyamanan kepada Zara. Namun, hasilnya, Zara malah semakin menumpahkan air matanya di dalam dekapan Safira.

Jibran juga menjadi bingung melihat sang kakak yang tiba-tiba menangis seperti ini. Pria itu berpikir, apakah ada seseorang yang melukainya di luar sana? Atau mungkin, kakaknya ini tahu, apa penyakit yang sebenarnya Jibran derita.

Sibuk dengan pikirannya, Jibran sampai tidak sadar kalau sang kakak sudah melepas dekapannya dari Safira, dan kini malah menatap Jibran—badannya setengah membungkuk, tangannya ia taruh di atas rambut Jibran, rambut yang mungkin nanti akan menghilang seiring berjalannya waktu, akibat efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan kemoterapi. Jibran menatap sang kakak,

“Jibran.” lirih Zara.

“Iya ka?”

“Janji ya sama kakak untuk tetep hidup? Janji untuk terus ada sama kakak, okay? Jangan tinggalin kakak ya, cuman kamu satu-satunya keluarga sedarah kakak.”

“Iya kak, Jibran janji. I will stay here with you. I will never leave you.”

Zara tersenyum sambil menahan tangisnya,

“Promise?”

”“Promise.”*