jaehyunetz


Sekitar jam dua belas siang waktu Paris, Jerhan sudah membawa Kanaya pergi untuk membeli mini dress dan juga merubah penampilan Kanaya, dikarenakan hari ini, Kanaya akan menemani Jerhan untuk datang ke acara birthday party Alice.

Sejujurnya, Kanaya sempat memberontak, sampai Jerhan harus sekuat tenaga menyeret gadis itu cantik itu agar dirinya mau untuk di make over dan juga pergi ke outlet baju mahal dan berkelas. Dan, pada akhirnya, Kayana pun mengalah.

Dia pasrah, dia pasrah atas apa yang akan Jerhan lakukan kepadanya. Syukur-syukur, Jerhan tidak menyuruh Kayana menari terlanjang di tengah jalanan Paris yang selalu padat oleh banyaknya kendaraan yang berlalu lalang.

Sekarang, tujuan utama mereka ialah, salah satu outlet baju dengan merk branded yang sudah tidak asing lagi dikalangan orang-orang, baik itu pecinta fashion maupun yang tidak terlalu perduli dengan fashion. Kanaya dan Jerhan masuk ke dalam, dengan wajah Kanaya yang ditekuk dan merengut, sementara Jerhan yang terlihat begitu antusias,

“Bienvenue, monsieur jerhan.” sapa seorang lelaki gemulai yang langsung menyambut kedatangan Jerhan dengan begitu ramah, tak segan ia memeluk Jerhan dan memberikan cipika cipiki kepada pria itu. Kanaya hanya mampu meringis menatap pemandangan tersebut. Welcome, Sir Jerhan.

Lelaki yang tidak sama sekali Kanaya kenali itu, melirik Kanaya yang sedari tadi berdiri disamping Jerhan. Ia meliriknya dari atas sampai bawah, seolah-olah mengobservasi penampilan Kanaya. Ekspresi mukanya bisa diliat sangat tidak enak untuk dipandang. Tidak lama, ia kembali menatap Jerhan,

“Qui est-elle? Est-elle ta petite amie?” tanya lelaki itu dengan nada yang meremehkan. Kanaya tidak tahu arti dari ucapan lelaki tersebut, karena dia tidak bisa sama sekali berbahasa Perancis. Namun satu yang pasti, Kanaya tahu, kalau lelaki itu seperti sedang merendahkannya, mungkin karena penampilan Kanaya saat ini yang bisa dibilang tidak glamour seperti beberapa pengunjung yang masuk kesini. Who is she? Is she your girlfriend?

Jerhan tiba-tiba memajukan langkahnya sekitar 2 langkah. Lalu, ia mendekatkan mulutnya ke telinga kiri sang pria tersebut, dan mulai berbisik,

“Bientôt.” jawab Jerhan, lalu menjauhkan badanny dari lelaki tersebut. Lelaki itu memasang ekspresi muka yang menandakan kalau dia tertarik dengan jawaban Jerhan barusan. Lalu, ia kembali menatap Kanaya yang sedang menatapnya dengan cengiran kikuknya. Sorot mata lelaki itu yang meremehkan Kanaya kini berubah menjadi sorot mata lembut, bak seorang teman yang menatap teman baiknya. Soon.

“Puis-je être honnête avec vous? Ton visage est très, très très beau. Mais, malheureusement, votre sens de la mode est très, très mauvais.” ucap lelaki tersebut, “Alors, aujourd'hui, je vais te transformer en princesse du jour au lendemain. Es-tu prêt?” Can i be honest with you? Your face is very, very very beautiful. But, unfortunately your fashion sense is very, very bad. So today I will turn you into a princess overnight. Are you ready?

Kanaya sebenarnya ingin menjawab, tapi tidak ada satu pun kalimat yang diucapkan oleh laki-laki itu yang Kanaya pahami. Lalu, dia melirik Jerhan. Sementara Jerhan hanya menahan tawanya, lalu dia sedikit merundukkan wajahnya sedikit dan mendekatkannya kepada Kanaya. Jerhan bilang,

“Jawab aja je ne suis pas prêt.”

“Itu artinya apa?” Kanaya bertanya dengan nada berbisik.

“Artinya im ready.”

“Bener ya? Awas kalau kamu bohong, aku gak mau jadi pacar pura-pura kamu.”

“Beneran astaga. Gak percayaan amat sih sama gue. Coba aja bilang sendiri.”

Kanaya mendelikkan matanya kepada Jerhan. Lalu, Kanaya memasang ekspresi mukanya yang elegan, dan juga berdehem. Lalu dia dengan penuh rasa percaya diri menjawab,

“Je ne suis pas prêt.”

“You're not ready? Oh, honey, it's just a dress pick anyway, nothing more to do here. Don't worry.”

Kayana mengerutkan dahinya bingung,

“No… but i said im ready, im not saying im not ready.”

*“You clearly said, je ne suis pas prêt, thats mean, you're not ready.”* lelaki tersebut mengoreksi kesalahan Kayana.

Kayana menoleh ke arah Jerhan, yang kini juga sedang menoleh ke arahnya sambil memasang senyuman manis. Sementara, Kanaya, terlihat seperti sudah siap untuk mencabik-cabik wajah tampan Jerhan,

“KAMUUUU.” Kanaya terpaksa menahan rasa kesalnya, karena dia tidak mau masuk headline news Perancis, dikarenakan dia memukuli wajah seorang laki-laki menyebalkan bernama Jerhan karena sudah membodohinya.

“Udah sana fitting dulu, kalau mau ngamuk nanti aja di apartement perjalanan kita masih panjang nih.” titah Jerhan tanpa merasa berdosa.

Kanaya sudah lelah, ia sudah tidak memilik tenaga untuk melawan Jerhan. Maka dari itu, dengan amat sangat terpaksa, Kanaya mengikuti lelaki paruh baya tersebut untuk memilih dress, sementara Jerhan, sembari menunggu, dia juga sembari membeli kemeja modern semi non-formal untuk dia pakai di acara birthday party Alice malam ini.


Belum sampai disitu, Kanaya dibawa oleh Jerhan ke sebuah salon yang selalu didatangi oleh artis artis dunia terkenal.

Di salon itu, Jerhan meminta kepada dua stylish untuk merubah penampilan Kanaya menjadi layak untuk dibawa ke pesta. Ya, sebenarnya, tanpa di dandanpun Kanaya sudah sangat layak untuk dibawa ke pesta, karena wajahnya yang memang sudah terlihat cantik tersebut.

Kanaya duduk di kursi salon dengan wajah yang masam. Dua pegawai salon sedang mengotak-atik rambutnya, menariknya ke sisi kanan dan kiri, belum lagi panas dari hair dryer membuat kepalanya pusing dan matanya terasa perih. Disaat-saat seperti itu, Jerhan malah berdiri dari duduknya, menghampiri Kanaya dan berpamitan dengan wanita tersebut,

“Gue pamit bentar ya, mau nyari sesuatu dulu, nanti gue balik lagi.”

Jerhan berujar seperti itu dengan sangat santai. Tidak melihatkah dia bagaimana tersiksanya Kanaya saat ini, karena rambutnya yang ditarik sana-sini dan juga sensasi panas yang disebabkan oleh hair dryer?

“Kamu gila ya? Kamu ninggalin aku disaat aku dikayak giniin. Gak mau!”

Jerhan mendecak sebal, “emang udah bener gak usah izin dari awal.” gumam Jerhan yang masih dapat di dengan oleh Kanaya.

“APA KAMU BILANG!?”

Jerhan tidak memperdulikan pertanyaan sewot Kanaya barusan. Ia melirik dua stylish wanita yang agak sedikit genit dengan Jerhan tersebut,

“Rendez-la belle, d'accord?” ucap Jerhan kepada kedua stylish tersebut sambil menunjukkan senyuman manisnya. Make her beautiful, okay?

Kanaya tidak mengerti apa yang Jerhan ucapkan, dia hanya mengerti respon dari dua stylish ini yang menyebutkan kata “oui” yang mana artinya ialah, iya, sebagai jawaban dari pernyataan Jerhan barusan..

Tanpa kembali berpamitan, Jerhan langsung pergi keluar, entah perginya kemana gadis itu. Sementara Kanaya di dalam, pupil matanya melebar, tidak menyangka kalau Jerhan akan pergi meninggalkannya bersama dua orang stylish kasar ini. Dia berteriak memanggili nama Jerhan, namun sepertinya lelaki itu tidak perduli dengan teriakan Kanaya yang memanggil namanya dari dalam sana. Buktinya, lelaki itu terus melanjutkan jalannya,

“Cowok annoying!” rutuk Kanaya, sambil dia menatap ke kaca dengan wajah merah padamnya yang menandakan bahwa dia kesal setengah mati kepada laki-laki sialan itu.

Kanaya mencoba untuk menstabilkan nafasnya. Emosi kepada Jerhan cukup membuat nafasnya menjadi tidak beraturan,

“Es-tu la petite amie de jerhan?” tanya si salah satu stylish yang rambutnya panjang namun disisi kirinya dibuat menjadi botak. Are you Jerhan's girlfriend?

Kanaya memasang wajah memelasnya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan oleh wanita tersebut,

“English please? I can't speak French.” pinta Kanaya sambil menatap wanita tersebut dari kaca rias besar di hadapannya.

“Elle est venu à Paris, mais elle n'a pas étudié le Français. Quelle chienne.” katanya, yang direspon oleh tawa kecil stylish temannya yang memiliki kulit hitam dan rambut gimbal yang cantik disampingnya. She came to Paris, but she didn't study French. What a bitch.

Kanaya semakin bingung dibuatnya,

“Sorry…… what?”

“Nothing, she said, that you're the most beautiful tourist who came to Paris.” jawab wanita berkulit hitam itu, yang membuat wajah Kanaya menjadi berseri-seri.

“Really?” tanya Kanaya tidak percaya.

Kedua stylish tersebut sama-sama menganggukkan kepalanya sambil menahan tawa mereka. Kanaya melihat itu mendadak langsung berubah menjadi perempuan terbahagia di dunia, karena sudah mendapatkan compliment dari seseorang yang tidak dikenalnya itu. Senyum tidak berhenti terukir di wajah cantiknya, seolah ia lupa bahwa beberapa menit yang lalu, dia sedang dibuat kesal oleh Jerhan yang pergi meninggalkannya begitu saja.

Kanaya benar-benar polos. Dia tidak tahu kalau hal yang dianggapnya sebagai sebuah pujian, ternyata merupakan bentuk hinaan. Mungkin kalau Kanaya tahu, dua stylish itu sudah habis Kanaya cabik-cabik.


Perawatan hari ini benar-benar membutuhkan waktu hampir 4 jam setengah. Jerhan sempat berpikir, kalau setidaknya mereka memiliki waktu untuk pergi jalan-jalan mengelilingi kota Paris terlebih dahulu, tapi nyatanya, acara di mulai setengah jam lagi, tapi Kanaya pun masih berada di ruang ganti untuk mengganti bajunya. Sedang, Jerhan sudah duduk di sofa besar yang menghadap langsung ke ruang ganti, jantungnya berdegup kencang menunggu Kanaya yang mungkin sebentar lagi akan keluar dari bilik tersebut.

Terakhir kali Jerhan merasakan hal seperti ini ialah, ketika dia menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampusnya yang sekarang ini. Tapi, ini rasanya jauh lebih dari itu. Rasanya Jerhan bisa gila, dia ingin berdiri dari sani dan pergi lalu masuk ke ruangan ganti untuk melihat secantik dan sesempurna apa Kanaya malam ini.

Dan, sepertinya, waktu pun sudah dimulai.

Gorden yang menutupi kamar ganti itu perlahan-lahan terbuka. Jerhan sudah bisa melihat kaki jenjang yang dihiasi oleh heels cantik keluar dari sana. Laki-laki itu kemudian menelan ludahnya kasar, tat kala ia melihat Kanaya yang keluar dari tempat tersebut, dengan dress indah yang menutupi tubuhnya, riasan muka sederhana yang membuat wajahnya tetap terlihat cantik, juga tatanan rambut yang pas dengan make up serta dressnya malam ini.

Kanaya mempersembahkan senyuman termanisnya, ketika dia sudah keluar dari dalam sana, dan berdiri di hadapan Jerhan. Melihat senyuman itu, Jerhan benar-benar dibuat membatu, tidak ada yang bisa dia lakukan. Kecantikan Kanaya malam ini bak medusa yang dapat membuat seseorang tidak berkutik alias berubah menjadi batu setiap kali melihatnya,

“Udah puas?” senyuman ramah itu dalam sekejap berubah menjadi ekspresi muka datar, juga nada suaranua yang begitu penuh dengan emosi.

Jerhan bersyukur. Setidaknya, dia masih mempunyai insting untuk tetap sadar dan tidak melakukan sesuatu yang gila yang mungkin dapat membuat Kanaya ilfeel kepada Jerhan,

“Ya udah kalah gitu, kita pergi sekarang.” ajak pria itu, sambil bangkit dari duduknya.

Kanaya memperhatikan Jerhan dengan seksama, “telinga kamu kok merah banget?” tanya Kanaya bingung.

Jerhan langsung kikuk,

“Oh enggak kok, ini kalau dingin emang gua suka merah telinganya. Biasa udah ada darah bule dalam diri jadi sorry aja nih.”

Kanaya mendecak, lalu ia berjalan meninggalkan Jerhan terlebih dahulu dari tempat itu. Sementara Jerhan masih berdiri ditempat, lelaki itu mengembuskan nafasnya dengan sekuat tenaga, lalu juga kemudian ikut pergi keluar menyusul Kanaya yang sudah setengah jalan.

Semoga, malam ini, semuanya berjalan dengan lancar.


Sekitar jam dua belas siang waktu Paris, Jerhan sudah membawa Kanaya pergi untuk membeli mini dress dan juga merubah penampilan Kanaya, dikarenakan hari ini, Kanaya akan menemani Jerhan untuk datang ke acara birthday party Alice.

Sejujurnya, Kanaya sempat memberontak, sampai Jerhan harus sekuat tenaga menyeret gadis itu cantik itu agar dirinya mau untuk di make over dan juga pergi ke outlet baju mahal dan berkelas. Dan, pada akhirnya, Kayana pun mengalah.

Dia pasrah, dia pasrah atas apa yang akan Jerhan lakukan kepadanya. Syukur-syukur, Jerhan tidak menyuruh Kayana menari terlanjang di tengah jalanan Paris yang selalu padat oleh banyaknya kendaraan yang berlalu lalang.

Sekarang, tujuan utama mereka ialah, salah satu outlet baju dengan merk branded yang sudah tidak asing lagi dikalangan orang-orang, baik itu pecinta fashion maupun yang tidak terlalu perduli dengan fashion. Kanaya dan Jerhan masuk ke dalam, dengan wajah Kanaya yang ditekuk dan merengut, sementara Jerhan yang terlihat begitu antusias,

“Bienvenue, monsieur jerhan.” sapa seorang lelaki gemulai yang langsung menyambut kedatangan Jerhan dengan begitu ramah, tak segan ia memeluk Jerhan dan memberikan cipika cipiki kepada pria itu. Kanaya hanya mampu meringis menatap pemandangan tersebut. Welcome, Sir Jerhan.

Lelaki yang tidak sama sekali Kanaya kenali itu, melirik Kanaya yang sedari tadi berdiri disamping Jerhan. Ia meliriknya dari atas sampai bawah, seolah-olah mengobservasi penampilan Kanaya. Ekspresi mukanya bisa diliat sangat tidak enak untuk dipandang. Tidak lama, ia kembali menatap Jerhan,

“Qui est-elle? Est-elle ta petite amie?” tanya lelaki itu dengan nada yang meremehkan. Kanaya tidak tahu arti dari ucapan lelaki tersebut, karena dia tidak bisa sama sekali berbahasa Perancis. Namun satu yang pasti, Kanaya tahu, kalau lelaki itu seperti sedang merendahkannya, mungkin karena penampilan Kanaya saat ini yang bisa dibilang tidak glamour seperti beberapa pengunjung yang masuk kesini. Who is she? Is she your girlfriend?

Jerhan tiba-tiba memajukan langkahnya sekitar 2 langkah. Lalu, ia mendekatkan mulutnya ke telinga kiri sang pria tersebut, dan mulai berbisik,

“Bientôt.” jawab Jerhan, lalu menjauhkan badanny dari lelaki tersebut. Lelaki itu memasang ekspresi muka yang menandakan kalau dia tertarik dengan jawaban Jerhan barusan. Lalu, ia kembali menatap Kanaya yang sedang menatapnya dengan cengiran kikuknya. Sorot mata lelaki itu yang meremehkan Kanaya kini berubah menjadi sorot mata lembut, bak seorang teman yang menatap teman baiknya. Soon.

“Puis-je être honnête avec vous? Ton visage est très, très très beau. Mais, malheureusement, votre sens de la mode est très, très mauvais.” ucap lelaki tersebut, “Alors, aujourd'hui, je vais te transformer en princesse du jour au lendemain. Es-tu prêt?” Can i be honest with you? Your face is very, very very beautiful. But, unfortunately your fashion sense is very, very bad. So today I will turn you into a princess overnight. Are you ready?

Kanaya sebenarnya ingin menjawab, tapi tidak ada satu pun kalimat yang diucapkan oleh laki-laki itu yang Kanaya pahami. Lalu, dia melirik Jerhan. Sementara Jerhan hanya menahan tawanya, lalu dia sedikit merundukkan wajahnya sedikit dan mendekatkannya kepada Kanaya. Jerhan bilang,

“Jawab aja je ne suis pas prêt.”

“Itu artinya apa?” Kanaya bertanya dengan nada berbisik.

“Artinya im ready.”

“Bener ya? Awas kalau kamu bohong, aku gak mau jadi pacar pura-pura kamu.”

“Beneran astaga. Gak percayaan amat sih sama gue. Coba aja bilang sendiri.”

Kanaya mendelikkan matanya kepada Jerhan. Lalu, Kanaya memasang ekspresi mukanya yang elegan, dan juga berdehem. Lalu dia dengan penuh rasa percaya diri menjawab,

“Je ne suis pas prêt.”

“You're not ready? Oh, honey, it's just a dress pick anyway, nothing more to do here. Don't worry.”

Kayana mengerutkan dahinya bingung,

“No… but i said im ready, im not saying im not ready.”

*“You clearly said, je ne suis pas prêt, thats mean, you're not ready.”* lelaki tersebut mengoreksi kesalahan Kayana.

Kayana menoleh ke arah Jerhan, yang kini juga sedang menoleh ke arahnya sambil memasang senyuman manis. Sementara, Kanaya, terlihat seperti sudah siap untuk mencabik-cabik wajah tampan Jerhan,

“KAMUUUU.” Kanaya terpaksa menahan rasa kesalnya, karena dia tidak mau masuk headline news Perancis, dikarenakan dia memukuli wajah seorang laki-laki menyebalkan bernama Jerhan karena sudah membodohinya.

“Udah sana fitting dulu, kalau mau ngamuk nanti aja di apartement perjalanan kita masih panjang nih.” titah Jerhan tanpa merasa berdosa.

Kanaya sudah lelah, ia sudah tidak memilik tenaga untuk melawan Jerhan. Maka dari itu, dengan amat sangat terpaksa, Kanaya mengikuti lelaki paruh baya tersebut untuk memilih dress, sementara Jerhan, sembari menunggu, dia juga sembari membeli kemeja modern semi non-formal untuk dia pakai di acara birthday party Alice malam ini.

— — — —

Belum sampai disitu, Kanaya dibawa oleh Jerhan ke sebuah salon yang selalu didatangi oleh artis artis dunia terkenal.

Di salon itu, Jerhan meminta kepada dua stylish untuk merubah penampilan Kanaya menjadi layak untuk dibawa ke pesta. Ya, sebenarnya, tanpa di dandanpun Kanaya sudah sangat layak untuk dibawa ke pesta, karena wajahnya yang memang sudah terlihat cantik tersebut.

Kanaya duduk di kursi salon dengan wajah yang masam. Dua pegawai salon sedang mengotak-atik rambutnya, menariknya ke sisi kanan dan kiri, belum lagi panas dari hair dryer membuat kepalanya pusing dan matanya terasa perih. Disaat-saat seperti itu, Jerhan malah berdiri dari duduknya, menghampiri Kanaya dan berpamitan dengan wanita tersebut,

“Gue pamit bentar ya, mau nyari sesuatu dulu, nanti gue balik lagi.”

Jerhan berujar seperti itu dengan sangat santai. Tidak melihatkah dia bagaimana tersiksanya Kanaya saat ini, karena rambutnya yang ditarik sana-sini dan juga sensasi panas yang disebabkan oleh hair dryer?

“Kamu gila ya? Kamu ninggalin aku disaat aku dikayak giniin. Gak mau!”

Jerhan mendecak sebal, “emang udah bener gak usah izin dari awal.” gumam Jerhan yang masih dapat di dengan oleh Kanaya.

“APA KAMU BILANG!?”

Jerhan tidak memperdulikan pertanyaan sewot Kanaya barusan. Ia melirik dua stylish wanita yang agak sedikit genit dengan Jerhan tersebut,

“Rendez-la belle, d'accord?” ucap Jerhan kepada kedua stylish tersebut sambil menunjukkan senyuman manisnya. Make her beautiful, okay?

Kanaya tidak mengerti apa yang Jerhan ucapkan, dia hanya mengerti respon dari dua stylish ini yang menyebutkan kata “oui” yang mana artinya ialah, iya, sebagai jawaban dari pernyataan Jerhan barusan..

Tanpa kembali berpamitan, Jerhan langsung pergi keluar, entah perginya kemana gadis itu. Sementara Kanaya di dalam, pupil matanya melebar, tidak menyangka kalau Jerhan akan pergi meninggalkannya bersama dua orang stylish kasar ini. Dia berteriak memanggili nama Jerhan, namun sepertinya lelaki itu tidak perduli dengan teriakan Kanaya yang memanggil namanya dari dalam sana. Buktinya, lelaki itu terus melanjutkan jalannya,

“Cowok annoying!” rutuk Kanaya, sambil dia menatap ke kaca dengan wajah merah padamnya yang menandakan bahwa dia kesal setengah mati kepada laki-laki sialan itu.

Kanaya mencoba untuk menstabilkan nafasnya. Emosi kepada Jerhan cukup membuat nafasnya menjadi tidak beraturan,

“Es-tu la petite amie de jerhan?” tanya si salah satu stylish yang rambutnya panjang namun disisi kirinya dibuat menjadi botak. Are you Jerhan's girlfriend?

Kanaya memasang wajah memelasnya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan oleh wanita tersebut,

“English please? I can't speak French.” pinta Kanaya sambil menatap wanita tersebut dari kaca rias besar di hadapannya.

“Elle est venu à Paris, mais elle n'a pas étudié le Français. Quelle chienne.” katanya, yang direspon oleh tawa kecil stylish temannya yang memiliki kulit hitam dan rambut gimbal yang cantik disampingnya. She came to Paris, but she didn't study French. What a bitch.

Kanaya semakin bingung dibuatnya,

“Sorry…… what?”

“Nothing, she said, that you're the most beautiful tourist who came to Paris.” jawab wanita berkulit hitam itu, yang membuat wajah Kanaya menjadi berseri-seri.

“Really?” tanya Kanaya tidak percaya.

Kedua stylish tersebut sama-sama menganggukkan kepalanya sambil menahan tawa mereka. Kanaya melihat itu mendadak langsung berubah menjadi perempuan terbahagia di dunia, karena sudah mendapatkan compliment dari seseorang yang tidak dikenalnya itu. Senyum tidak berhenti terukir di wajah cantiknya, seolah ia lupa bahwa beberapa menit yang lalu, dia sedang dibuat kesal oleh Jerhan yang pergi meninggalkannya begitu saja.

Kanaya benar-benar polos. Dia tidak tahu kalau hal yang dianggapnya sebagai sebuah pujian, ternyata merupakan bentuk hinaan. Mungkin kalau Kanaya tahu, dua stylish itu sudah habis Kanaya cabik-cabik.

— — — —

Perawatan hari ini benar-benar membutuhkan waktu hampir 4 jam setengah. Jerhan sempat berpikir, kalau setidaknya mereka memiliki waktu untuk pergi jalan-jalan mengelilingi kota Paris terlebih dahulu, tapi nyatanya, acara di mulai setengah jam lagi, tapi Kanaya pun masih berada di ruang ganti untuk mengganti bajunya. Sedang, Jerhan sudah duduk di sofa besar yang menghadap langsung ke ruang ganti, jantungnya berdegup kencang menunggu Kanaya yang mungkin sebentar lagi akan keluar dari bilik tersebut.

Terakhir kali Jerhan merasakan hal seperti ini ialah, ketika dia menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampusnya yang sekarang ini. Tapi, ini rasanya jauh lebih dari itu. Rasanya Jerhan bisa gila, dia ingin berdiri dari sani dan pergi lalu masuk ke ruangan ganti untuk melihat secantik dan sesempurna apa Kanaya malam ini.

Dan, sepertinya, waktu pun sudah dimulai.

Gorden yang menutupi kamar ganti itu perlahan-lahan terbuka. Jerhan sudah bisa melihat kaki jenjang yang dihiasi oleh heels cantik keluar dari sana. Laki-laki itu kemudian menelan ludahnya kasar, tat kala ia melihat Kanaya yang keluar dari tempat tersebut, dengan dress indah yang menutupi tubuhnya, riasan muka sederhana yang membuat wajahnya tetap terlihat cantik, juga tatanan rambut yang pas dengan make up serta dressnya malam ini.

Kanaya mempersembahkan senyuman termanisnya, ketika dia sudah keluar dari dalam sana, dan berdiri di hadapan Jerhan. Melihat senyuman itu, Jerhan benar-benar dibuat membatu, tidak ada yang bisa dia lakukan. Kecantikan Kanaya malam ini bak medusa yang dapat membuat seseorang tidak berkutik alias berubah menjadi batu setiap kali melihatnya,

“Udah puas?” senyuman ramah itu dalam sekejap berubah menjadi ekspresi muka datar, juga nada suaranua yang begitu penuh dengan emosi.

Jerhan bersyukur. Setidaknya, dia masih mempunyai insting untuk tetap sadar dan tidak melakukan sesuatu yang gila yang mungkin dapat membuat Kanaya ilfeel kepada Jerhan,

“Ya udah kalah gitu, kita pergi sekarang.” ajak pria itu, sambil bangkit dari duduknya.

Kanaya memperhatikan Jerhan dengan seksama, “telinga kamu kok merah banget?” tanya Kanaya bingung.

Jerhan langsung kikuk,

“Oh enggak kok, ini kalau dingin emang gua suka merah telinganya. Biasa udah ada darah bule dalam diri jadi sorry aja nih.”

Kanaya mendecak, lalu ia berjalan meninggalkan Jerhan terlebih dahulu dari tempat itu. Sementara Jerhan masih berdiri ditempat, lelaki itu mengembuskan nafasnya dengan sekuat tenaga, lalu juga kemudian ikut pergi keluar menyusul Kanaya yang sudah setengah jalan.

Semoga, malam ini, semuanya berjalan dengan lancar.


“Gimana? Enak gak sphagettinya?”

Tanya Kanaya yang duduk di hadapan Jerhan yang sedang menyantap sphagetti buatan Kanaya, sambil gadis itu menaruh kedua telapak tangannya yang sudah saling dieratkan dibawah dagunya, dengan kedua sikut tangannya yang digunakan untuk menahan beban tubuhnya,

Jerhan terlihat asik menikmati sphagetti tersebut, dan begitu diberi pertanyaan seperti barusan oleh Kanaya. Pria itu terdiam sebentar, dan merubah ekspresi mukanya menjadi ekspresi muka tidak enak. Kanaya mengerutkan dahinya bingung,

“Udah gue bilang juga apa, masakan lo tuh no taste.” bohong Jerhan.

Tidak, Jerhan tidak serius mengatakan itu. Menurutnya, ini adalah sphagetti terenak yang pernah dia makan, bahkan jauh lebih enak dari sphagetti buatan ibundanya. Perkataannya barusan, hanyalah bentuk kejahilan Jerhan terhadap Kayana.

Entahlah, sepertinya menjahili Kayana sekarang akan menjadi hobi baru untuk Jerhan selama gadis itu berada di Paris. Respon Kayana yang selalu menggemaskan, membuat Jerhan gemas dan selalu merasa kurang puas kalau hanya enjahili gadis itu sekali saja.

Contohnya sekarang, begitu Jerhan bilang kalau masakan Kanaya tidak ada rasa sama sekali. Kanaya langsung melipat kedua tangannya di dada, ekspresi mukanya berubah menjadi marah, bibirnya yang manis itu ia majukan beberapa senti ke depan. Benar-benar menggemaskan dimata Jerhan,

“Kamu tuh yah! Ih kenapa sih jadi orang jangan jujur jujur banget?” kesal Kanaya.

“Sini gue kasih tau…..” ucap Jarvis sambil mengunyah sphagetti yang ada di mulutnya, lalu menelannya 5 detik kemudian, “kita jadi manusia itu harus jujur, ya emang kadang kejujuran itu menyakitkan, tapi kan itu jadi pahala buat kita. Betul apa betul? Ya betul!”

Jerhan, lanjut menyantap sphagetti tersebut.

Kanaya diam-diam memperhatikan Jerhan yang tetap memakan sphagetti buatan Kanaya, padahal tadi dia bilang kalau sphagetti Kanaya itu sama sekali tidak ada rasa. Dalam hatinya Kanaya bergumam kesal,

“Cih! Katanya gak enak, tapi diabisin juga tuh buktinya. Dasar cowok super duper annoying, gak jelas, nyebelin, eughhhhh! Amit amit deh aku bisa suka sama cowok modelan begini.”

“Eh gue boleh nanya satu hal gak sama lu?” tanya Jerhan tiba-tiba. Nada suaranya terdengar begitu serius.

Rasa kesal Kanaya sedikit mereda, digantikan dengan rasa penasaran atas pertanyaan Jerhan yang akan ditanyakan kepada dirinya,

“Boleh.” jawab Kanaya.

“Do you still love him?” tanya Jerhan yang berhasil merubah air muka Kanaya yang asalnya terlihat penasaran kini menjadi sendu.

“Jendral?” Kanaya bertanya. Ia terdiam, sorot mata sedihnya menatap lurus ke arah kaca yang sengaja di taruh di sudut dapur apartement Jerhan. Senyum getir terpatri di wajah cantik gadis itu, “gak tau, aku bingung, perasaan apa yang aku rasain sekarang ini. Aku sedih? Enggak. Kecewa? Enggak. Apa mungkin my feelings for him are gone?”

Jerhan terdiam, dan malah melanjutkan sesi makannya.

Merasa tidak kunjung mendapatkan jawaban dari lelaki itu. Kanaya langsung menggebrak bawah meja makan berbahan dasar kayu itu menggunakan lututnya. Jerhan terkejut dan langsung melayangkan protesnya,

“Ya Allah, Nay, lagi makan gua Nay, lu deplok-deplokin meja makan gua yang ada ni sphagetti mental. Diem dulu ngapa.”

Kanaya menghela nafasnya kesal, “kamu ngeselin banget! Orang nanya bukannya di jawab malah diem aja.”

“Ya gue gak tau jawaban yang pas atas pertanyaan lu itu apaan.” jawab Jerhan dengan santainya, “lagian, yang bisa jawab pertanyaan itu tuh ya cuman diri lo sendiri. Lo yang punya perasaannya, lo yang ngerasain perasaan itu. Ini malah nanya ke orang lain, ya orang lain mana paham.”

Kanaya terdiam. Matanya fokus memperhatikan wajah Jerhan dengan begitu serius, dan raut wajah muka yang tidak bisa dijelaskan apa artinya,

“Masalahnya, semua perasaan sedih itu hilang, setelah aku kenal kamu, Jerhan. Aku gak tau, sehebat apa kamu bisa ngilangin perasaan sedih aku ini. Rasanya aneh, pertemuan kita pun bisa dibilang belum lama, tapi kamu cukup berhasil bikin aku lupa sama rasa sakit aku. Terima kasih.”

BRAK!!!!!

Kanaya terkejut setengah mati. Ia langsung mengelus-elus jantungnya. Mata indahnya itu menatap Jerhan marah,

“IHHHH KAMU!” tangan Kanaya hendak meraih tangan kekar Jerhan dan memberi pukulan yang sangat keras disana, namun sayangnya Jerhan terlalu pintar untuk menghindar, sampai pada akhirnya, Kanaya menyerah, “please, sehari aja, bisa gak sih gak berulah dan bikin aku marah?”

Jerhan hanya tertawa menanggapi permintaan Kanaya. Itu semakin membuat Kanaya kesal,

“Eh iya, besok kan lu jadi pacar pura-pura gua nih. Nah ayo kita latihan sekarang.” ajak Jerhan.

“Latihan gimana?”

“Ya latihan, dimulai dari panggilan.” ucap Jerhan begitu antusias, “kita mulai dari kata sayang ya?”

Kanaya pasrah, dia mengangguk dan mengikuti semua kemauan Jerhan yang semakin lama semakin aneh-aneh dan tidak masuk diakal. Semoga saja setelah ini, Jerhan tidak memintanya untuk melakukan bungee jumping dari menara eiffel tanpa pengaman,

“Kanaya sayang.” panggil Jerhan dengan begitu lembut.

Tubuh Kanaya seperti diserang oleh sengatan listrik tinggi ketika Jerhan memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Pipi Kanaya menghangat, dirinya juga seketika menjadi salah tingkah. Melihat reaksi yang diberikan Kanaya setelah Jerhan memanggil gadis itu dengan panggilan sayang, membuat Jerhan tersenyum penuh kemenangan,

“Sekarang gantian, lo yang panggil gue sayang.” lanjut Jerhan.

Kanaya tersadar, “eh apa?”

Jerhan mendecak,

“Panggil gue sayang. Kita kan besok mau jadi pacar pura-pura, masa gak ada panggilan romantis sih?”

“Emang harus banget?”

“Ya iyalah, kalau enggak, nanti keliatan banget dong boongnya.” ucap Jerhan, “udah pokoknya sekarang lo manggil gue sayang, tapi yang tulus ya? Terus juga nada suaranya harus lembut. Pokoknya harus mengkhayati.”

“Astaga iya iya. Banyak mau banget deh kamu!” jengah Kayana.

Kayana kemudian menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan,

“Sayang.” panggilnya dengan begitu lembut dan tulus, ditambah lagi, sambil memanggil itu, sambil Kayana menatap lurus mata Jerhan.

Jelas Jerhan salah tingkah, apalagi telinganya sudah berubah warna menjadi sangat merah sekarang. Namun, Jerhan sangat pandai dalam menyembunyikan perasaannya. Jadi, tidak akan ada yang menyangka kalau dirinya yang terlihat seperti biasa-biasa saja itu sedang sangat amat merasa salah tingkah,

“Udah kan?” Kayana bertanya dengan kesal.

Jerhan mengangguk,

“Selebihnya kayak pegangan tangan, rangkulan, enggak perlu gue ajarin kan?”

“Kita harus ada skinship banget?” tanya Kanaya.

Jerhan memutar bola matanya,

“Kalau mau jauh-jauhan mah mending lu jadi musuh pura pura gue aja.” kesal Jerhan, “coba bayangin kita dateng kesana, jalannya jauh-jauhan apa kata orang-orang disana coba?”

“Perduli banget sama pandangan orang tentang kita?”

Jerhan terdiam,

“Ya terserah lah, pokoknya gue mau besok kita ada skinship, ya kalau gak mau rangkulan, minimal pegangan tangan.”

Kayana hendak membuka mulutnya,

“Dan gak boleh protes! Kalau protes, utang lo yang 3 juta gue bungain.”

“KOK GITU?”

“Makanya nurut.”

“AAAAAAAA JERHANNNNNN KENAPA KAMU NYEBELIN BANGETTTTTT!!!!!!!!!!”

Teriak Kanaya kesal.

Mendengar itu, Jerhan hanya tertawa. Benar-benar suatu kebahagiaan yang sempurna apabila kita tertawa dibalik penderitaan seseorang.


Kalau boleh jujur, Alice itu cantik, sangat cantik. Banyak laki-laki yang rela berperang untuk mendapatkan hatinya. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Jerhan. Secantik apapun Alice, dimata lelaki itu, Alice tetaplah Alice yang biasa-biasa saja. Tidak cantik, tidak juga jelek. Silahkan panggil Jerhan arogan, sok ganteng, atau apapun itu, tapi, yang pasti setiap orang memiliki pandangan tersendiri kan terhadap orang lain?

Ditambah lagi dengan sifat Alice yang arogan, dan selalu merasa bahwa dia lah yang paling berkuasa di kota Paris ini, semakin membuat Jerhan muak. Dia tahu, bagaimana Alice begitu mengejarnya, hingga gadis mendapatkan julukan Jerhan hunter dari beberapa teman di kampusnya. Jerhan juga tahu alasan dibalik kenapa gadis itu sangat ingin menjadi kekasih Jerhan, ialah karena, Alice hanya ingin harta Jerhan.

Jangan salah, Jerhan memiliki banyak mata-mata di kampus ini. Dan, tiga bulan yang lalu, ada seseorang yang memberikan rekaman suara antara Alice dan temannya dalam bahasa Perancis. Rekaman itu menyebutkan bahwa Alice tidak benar-benar mencintai Jerhan, dia hanya mencintai harta Jerhan, karena Jerhan merupakan anak dari salah satu konglomerat Indonesia yang memang sudah terkenal di kancah luar negeri.

Dari situ, Jerhan semakin tidak menyukai Alice. Segala sifat maupun fisiknya yang selalu dielukan-elukan manusia bernama laki-laki di kampusnya. Jerhan tidak menyukainya,

“Apaan?”

Jerhan bertanya dengan nada yang begitu tidak ramah ketika dirinya berdiri dihadapan Alice. Sementara gadis itu, menunjukkan senyuman lebarnya yang membuat Jerhan malas bahkan hanya untuk melihatnya,

“Nih.” katanya memberikan sebuah kartu undangan berwarna merah muda pastel kepada Jerhan.

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya, lalu menerima kartu undangan tersebut, membolak-balikannya untuk mengamati kartu undangan tersebut,

“Kayak bocah, ulang tahun aja mesti dirayain segala.” Jenar berucap sarkastik setelah dirinya mengamati kartu undangan tersebut.

Alice berdecak sebal, “mumpung aku masih muda, kalau aku nanti udah dewasa, terus udah nikah, gak mungkin kan aku bikin party kayak begini, pastinya aku bakal lebih fokus sama anak aku dan suami aku.” katanya, matanya mengerling menatap Jerhan yang membuat lelaki itu mual dibuatnya.

“Ya udah thanks ya.”

Jerhan berujar dengan jutek. Lelaki itu hendak berbalik dan pergi meninggalkan Alice, namun, tangan kecil Alice keburu menahan tangan Jerhan, membuat lelaki itu terpaksa menghentikan langkahnya dan kembali berbalik untuk menatap Alice,

“Lepasin ga.”

Jefran bersuara dengan tegas, sambil matanya melirik tajam tangan dan juga mata Alice secara bergantian. Karena takut, Alice pun buru-buru melepaskan genggaman tangannya dari Jefran,

“Sorry, aku cuma mau bilang, kalau misalkan besok, jas kamu harus warna putih ya? Disesuain sama gaun aku soalnya.”

“Maksud lo?”

“Masa kamu enggak paham sih? Ya kamu besok dateng jadi pendamping aku di acara itu.”

Jerhan tertawa sekeras mungkin, setelah dirinya mendengarkan omong kosong Alice. Sementara Alice hanya diam, sambil mengamati Jerhan yang sedang tertawa dengan ekspresi bingungnya,

“Eh aduh sumpah, lo tuh lucu banget ya gila.” kata Jerhan di sela-sela tawanya. Senyuman Alice merekah tat kala Jerhan bilang bahwa Alice itu lucu, “gini gini, ngapain besok gue harus jadi pendamping lo? Emang lo anak TK yang ngerayain ulang tahun di KFC atau MCD harus pakai pendamping segala?”

Senyuman bahagia itu seketika hilang dari wajah cantik Alice,

“Aduh, lagian juga besok gue mau dateng sama orang lain.”

“Kamu gak boleh dateng sama orang lain! Kamu harus jadi pendamping aku!” pinta Alice memaksa.

Jerhan tertawa sarkastik, “gue kadang kasian sama si Jendral cowok asli lu, dia yang jelas-jelas pacar lu aja nggak lu anggap, bahkan gak lu ajak jadi pendamping di acara ulang tahun lu. Jangan gitu, Lis, lo udah terlalu banyak dosa, mau nambah dosa lagi lu dengan nyakitin hati laki-laki?”

Tubuh Alice menegang,

“Kamu…”

Jerhan tersenyum sambil mengangkat alisnya,

“Yup, i know everything, Alice. Makanya, udah stop ngejar-ngejar gue ya—”

“Enggak. Itu gak kayak yang kamu pikirin Han, aku nggak ada apa-apa sama Jendral.”

“Gue gak perduli, Lis, demi Tuhan gue gak perduli mau lu ada apa-apa atau kagak sama Jendral. I don't give a fuck, cuman seharusnya, kalau udah begini lo tuh sadar, kalau yang patut ngedampingin lo di birthday party lo itu ya kalau gak orang tua lo, si Jendral, karena dia cowok lo. Bukan gue.”

Alice hanya terdiam. Perasaan malu menggerogotinya, ia tidak bisa berkutik lagi sekarang,

“Udah ya? Oh iya, for your information, sebenernya gue juga udah punya cewek, thats why gue selalu reject lo, karena gue bukan lo yang meskipun udah punya cowo, tapi masih aja gatel sana sini.” Jerhan melanjutkan kembali ucapannya, “Kartini liat lo bakalan malu banget. Jadi cewek tapi enggak punya harga diri.”

Setelah berkata seperti itu, Jerhan pergi meninggalkan Alice yang masih terdiam di tempatnya, dengan kedua tangan yang ia kepalkan, muka yang memerah, dan mata yang berkaca-kaca.

Semenit kemudian, Alice melangkahkan kakinya dengan penuh rasa amarah, meninggalkan koridor kampus, untuk pulang ke apartementnya, karena kebetulan hari ini, kelasnya sudah selesai.


“Woi Jendral!”

Jerhan berteriak kepada Jendral yang sedang duduk di kursi panjang di sekitaran kampus sambil berjalan mendekat ke arahnya,

“Eh bang.” Jendral balas menyahut sapaan Jerhan dengan begitu ramah.

Jendral tersenyum, ia menepuk pundak Jendral, lalu duduk di samping pria itu,

“Ngapain lu disini? Gak bareng sama si Alice?” pertanyaan Jerhan barusan cukup berhasil membuat Jendral memberikan reaksi yang sama seperti yang Alice berikan. Terkejut dan tubuhnya menegang.

Jerhan tertawa melihat reaksi Jendral. Ia kembali menepuk bahu juniornya itu,

“Santai udah santai sama gua mah, lu gak bakalan gua tonjok kok tenang. Gua gak demen yang modelan Alice, lagian gue udah punya calon.”

Jendral meringis,

“Mantep bang udah ada calon, orang Indonesia apa orang sini?”

“Indo.” jawab Jerhan, “namanya Kanaya, cantik banget anaknya.”

Jendral terdiam begitu mendengar Jerhan menyebutkan nama Kanaya. Ia teringat akan mantan kekasihnya yang sekarang entah bagaimana kabarnya dan dimana keberadaannya. Wajahnya berubah menjadi muram.

Jerhan yang sadar akan hal tersebut, langsung bertanya, walaupun dia sudah tahu alasan kenapa Jendral memasang raut wajah seperti itu,

“Kenapa lu? Sedih amat kayaknya, banyak cicilan di Paris?”

Jendral tertawa pelan,

“Bukan bang, cuman lagi keingetan seseorang aja.” jawab Jendral, “mantan gua sih, dia baru nyampe di Paris kemarin, gue gak tau dia dimana sekarang.”

“Gak coba lu tanya?”

Jendral menggelengkan kepalanya, “malu bang gue nanyanya, dia anaknya baik banget, lembut, dan gue udah terlalu gila nyakitin hatinya, gue rasa gue gak pantes, bahkan untuk ngechat dia.” jawab Jendral.

“Namanya siapa?”

“Kanaya.” jawab Jendral, Jerhan memperhatikan mata pria disampingnya itu. Ketika Jendral menyebutkan nama Kanaya, matanya terlihat begitu hidup.

Jerhan buru-buru sadar dari lamunan observasinya itu, dan langsung tertawa untuk mencairkan suasana, dan kegundahan di hatinya,

“Namanya sama kayak calon gue.” kata Jerhan, “gue minta maaf nih kalau misalkan tiba-tiba calon gue sama mantan lu ternyata orang yang sama.”

Jendral menggelengkan kepalanya sambil tertawa,

“Gak apa-apa kali bang, kalau pun iya, gue rasa lo laki-laki yang pantes untuk dia.”

Emang, brengsek. gumam Jerhan dalam hatinya,

“Eh iya, lu besok mau dateng ke birthday party cewek lu kagak?” tanya Jerhan mencoba untuk mengganti topik pembicaraan.

Jendral diam sebentar, lalu tidak lama ia menjawab dengan sebuah gelengan kepala,

“Lah kenapa?” heran Jerhan.

“Dia gak ngundang gua.” jawab Jendral, “gak tau deh bang kenapa, tapi ya gue juga gak terlalu suka pesta pesta kayak gitu, lebih enak diem di rumah sambil ngegames atau tidur aja udah.”

“Lah, kaga bisa gitu dong.” Jerhan melanjutkan, “lu itu pacaranya bro, lu kalau kagak dateng namanya goblog. Dengerin gue, si Alice ini lagi main-main sama harga diri lu sebagai seorang laki-laki, lu mau dimainin kayak gini? Come on, jangan malu-maluin orang Indonesia dong elah. Lu besok pokoknya harus dateng.”

“Iya bang siap.” ucap Jendral sambil tertawa kecil.

“Sekalian gue mau kenalin calon gue ke lu, Alice, sama temen-temen yang nanti dateng ke birthday partynya Alice.”

Jendral mengangguk.

Setiap kali Jerhan menyebutkan nama Kanaya, perasaan Jendral menjadi campur aduk. Siapapun yang bisa melihat mata Jendral setiap kali Jerhan menyebutkan nama Kanaya, pasti akan melihat ribuan perasaan rindu yang begitu besar dan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata,

“Ya udah kalau gitu gue cabut dulu ya, masih ada urusan di dalem.”

Jendral mengacungkan jempolnya, “siap bang.”

Setelah itu kedua laki-laki tersebut bersalaman ala laki-laki, dan Jerhan pun pergi meninggalkan Jendral sendirian di tempat duduknya.


Sinar cahaya yang masuk dari pintu balkon kamar milik Jerhan, berhasil mengusik mata Kanaya yang tengah terpejam. Gadis itu terpaksa membuka matanya perlahan-lahan karena silaunya cahaya matahari pagi di kota Paris ini.

Kanaya diam perlahan, gadis itu memperhatikan sofa yang semalam ia tempati kenapa berubah menjadi kasur empuk yang sangat nyaman? Juga warna cat tembok yang berubah, rasanya semalam cat tembok ruang tengah apatement Jerhan itu berwarna putih, kenapa sekarang berubah menjadi warna cokelat tua? Dimana dirinya sekarang?

Mata Kanaya tidak sengaja melihat foto milik Jerhan yang menggantung di sudut tembok kamar. Gadis itu terdiam sebentar, ia mencoba untuk mencerna semua dengan otaknya yang belum sama sekali bekerja dengan sempurna. Lalu, semenit kemudian, seiring dengan otaknya yang sudah mulai terhubung antar sel, Kanaya seketika sadar kalau dirinya saat ini berada di kamar Jerhan.

Kanaya buru-buru melepaskan selimutnya dan beringsut turun dari ranjang tersebut sambil berteriak. Ia memegangi tubuhnya yang masih dibalut oleh baju yang lengkap. Nafasnya tersenggal-senggal saking kagetnya Kanaya. Dengan langkah yang menggebu-gebu, Kanaya keluar dari kamar Jerhan, dan menghampiri laki-laki itu yang tengah sibuk mencuci beberapa peralatan masak yang ia gunakan untuk membuat sarapan untuknya dan juga Kanaya,

“Jerhan!” panggil Kanaya agak menyentak laki-laki itu.

“Hm.” sahut Jerhan tanpa menoleh ke belakang. Dia masih asyik berkutat dengan perlatan masaknya yang kotor akibat kegiatan memasak yang dilakukannya setengah jam yang lalu.

Kayana mendecak. Matanya menyiratkan ketidak sukaan atas sikap Jerhan yang dirasanya tidak sopan. Bagaimana tidak, jelas-jelas Kanaya sedang mengajaknya untuk berbicara, tapi Jerhan seolah-olah tidak perduli, ia malah sibuk mencuci peralatan masaknya,

“Have you never been taught about manners?”

Jerhan menghela nafasnya. Ia melepas sarung tangan karet yang melekat di tangannya, lalu mematikan kran sinknya. Dan setelah itu ia berbalik, menatap Kanaya yang sedang menatapnya dengan tatapan mata super galak, dan tidak lupa satu tangannya yang ia biarkan berkacak di pinggang bagian sebelah kiri,

“Iya, kenapa tuan putri?”

Kanaya berdehem sebelum gadis itu bertanya perihal, kenapa dirinya bisa tiba-tiba tidur di kamar? Padahal dia merasa kalau semalam, sehabis dia video call dengan kedua orang tua dan kakaknya, ia tidur di sofa sesuai dengan perintah Jerhan,

“Kenapa aku bisa tidur di kamar kamu?” tanya Kanaya penuh selidik.

Jerhan diam sebentar. Lantas ia mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban,

“Jerhan, jawab yang bener.” pinta Kanaya, raut mukanya terlihat begitu serius.

“Ya apa? Gue udah jawab dengan baik dan benar kan? Lo mau gue jawab kalau gue kayak cowo-cowo di drama gitu yang ngegendong lo ke kamar? Idih amit-amit, gendong lo pas pingsan aja berat kaya bawa lima karung.”

“Kok kamu jadi ngeledekin aku sih? Kayaknya hidup kamu gak seru ya kalau gak ledekin aku?”

Jerhan tertawa pelan,

“Jerhan, jawab yang bener kenapa aku tidur di kamar kamu, dan semalem kamu tidur dimana? Kita gak satu ranjang kan?”

Jerhan memasang ekspresi wajah ambigu, yang membuat Kanaya langsung berpikiran yang tidak-tidak. Melihat bagaimana ketakutannya wajah Kanaya sekarang, membuat Jerhan semakin gencar untuk menggoda Kanaya,

“We did something bad, but good.”

Sudah tidak bersih sekarang pikiran Kanaya. Sialan, apakah kesuciannya tadi malam direnggut oleh Jerhan secara tidak sadar? Ah tapi tidak mungkin separah itu, karena guru Kanaya di sekolah pernah bilang, wanita cenderung merasa ngilu setelah selesai melakukan hubungan sexual. Tapi, Kanaya tidak merasakan itu. Jadi, mungkin, Jerhan tidak melakukan sampai sejauh itu.

Tapi…. bagaimana kalau Jerhan mencumbu bibirnya? Astaga! Kanaya tidak bisa membayangkan itu. Ya Tuhan, Jendral saja bahkan tidak pernah menciumnya, bagaimana mungkin dia membiarkan seorang laki-laki tengil yang baru dikenalnya satu hari yang lalu ini mencium bibirnya.

Jerhan sudah tidak sanggup lagi menahan tawanya. Ia akhirnya tertawa lepas melihat bagaimana Kanaya yang semakin ketakutan karena kejahilannya. Hal itu membuat Kanaya naik pitam,

“JERHAN JANGAN KETAWA!” bentak Kanaya.

Jerhan mencoba untuk menghentikan tawanya, namun gagal, ia kembali lagi tertawa,

“JERHAN!”

“Astaga ya Tuhan, iya iya ampun ampun. Iya ini berhenti ketawa.” ucap Jerhan, “lagian pikiran lo kejauhan, gue gak ngapa-ngapain lo, lagian lo tau sendiri kan kalau gue gak suka sama cewek modelan kayak lo? Tangan gue terlalu berharga untuk manjain cewek kayak lo.”

“ISH!” kesal Kanaya, “terus kenapa aku bisa tidur di kamar kamu?”

“Tanya sama alam bawah sadar lo, lo ngapain tiba tiba jalan dengan mata tertutup ke kamar gue, terus tiba-tiba tidur diatas kasur gue hah?”

Kanaya terkejut mendengarnya. Apakah semalam dia benar benar seperti itu?

“Yang bener?”

“Ada gila gilanya gue ngibulin lu soal begituan. Dan, ini gue jelasin aja keburu lo ngamuk lagi, setelah lo tidur di kasur gue, gue langsung keluar dan tidur di sofa. Ini kedua kalinya gue berkorban buat lo. Sekarang, lo makan, ini gue udah bikin sarapan.”

Huft, Kanaya jadi merasa tidak enak karena sudah memarahi Jerhan pagi ini. Apalagi, Jerhan membuatkannya sarapan. Laki-laki ini memang tengil dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kurang ajar, namun apabila di perhatikan lagi, banyak sisi positif dari dalam dirinya,

“Gue bikin fettucini—”

“YEAY!”

Jerhan memasang ekspresi muka herannya yang begitu amat menggemaskan,

“Girang amat?”

“Aku bakal makan pasta, soalnya pasta itu makanan favorit aku.” ucap Kanaya dengan menggebu-gebu.

Jerhan tertawa kecil, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya,

“Well, nice info, tapi sorry nih, hari ini lo gak bisa makan pasta.”

“Maksud kamu?”

“Inget, kemarin kan lo baru aja pingsan kan? Nah, maka dari itu, lo sarapan buah-buahan, tenang aja, gue juga masak waffle selain itu, gue bikin smoothie buat lo.”

Kanaya merengut sedih,

“Sorry bestie, tapi muka sedih lo gak bakal mempan. Jadi, sekarang, makan sarapannya, atau lo pingsan lagi dan ngerepotin gue lagi.”

Kayana mendengus pasrah. Jerhan benar-benar mirip sekali dengan keluarganya. Padahal Jerhan tidak tahu penyakit asli yang Kayana idap, bagaimana kalau laki-laki itu tahu?

Dengan malas, Kanaya menarik kursi di meja makan, dan mulai memakan wafflenya. Sementara Jerhan di hadapannya, memakan fettuccine sambil memasang ekspresi-ekspresi menyebalkan dan juga membuat suara-suara yang membuat Kanaya semakin kesal,

“Kenapa sih aku dikasihnya buah-buahan gini? Mana wafflenya cuma dua lagi.”

“Buset, rewog banget lu. Mau makan berapa waffle emang? 10? Lagian juga sengaja cuman dua, dan buah-buahannya gue banyakin biar lu sehat, terus lu nggak nyusahin gue lagi.”

Kayana mendecak, lalu mulai memakan sarapannya yang sama sekali tidak menggiurkan ini.

Acara makan mereka sangat damai, tidak disertai oleh protesan Kayana, atau ocehan ocehan tengil Jerhan yang mampu membuat Kanaya naik pitam. Namun, keheningan itu tidak berakhir lama, karena suara alarm yang berasal dari ponsel Kanaya berbunyi,

“Alarm hape siapa tuh?” tanya Jerhan bingung.

“Hapeku.” jawab Kayana.

Gadis itu langsung bangkit dari duduknya, berjalan menuju sofa dan mengambil tasnya lalu mengambil botol obat berwarna putih dari dalam sana. Kanaya kembali lagi ke tempat duduknya, dan mulai meminum obat tersebut. Jerhan tidak bisa berhenti menatap Kanaya dengan tatapan herannya,

“Lo minum obat sampai harus di alarm-in segala?” Jerhan bertanya heran.

Kayana mengangguk lalu lanjut memakan makanannya,

“Aneh.” gumam Jerhan yang dapat di dengar oleh Kanaya, gadis itu hanya tersenyum menanggapinya, “lu beneran sakit anemia kan bukan kanker?”

Tiba-tiba Kayana menjatuhkan sendoknya ke piring begitu mendengarkan pertanyaan Jerhan. Lelaki itu terkejut, tapi Karina buru-buru berdehem untuk menetralkan suasananya,

“Kenapa?” tanya Jerhan.

Kanaya menggeleng, “enak banget ini wafflenya, speechless, makanya aku cuman bisa jatuhin sendok kayak barusan.”

Jerhan terdiam sambil menatapi Kanaya, namun detik selanjutnya ia berlagak seolah ia tidak perduli dengan semua yang dilihatnya barusan. Meskipun, sebenarnya, jauh dari dalam lubuk hatinya, dia masih penasaran, apa sih penyakit yang Kanaya derita?

“Oh iya, gue hari ini mau ngampus ya?” izin Jerhan.

“Loh? Kalau kamu ke kampus, terus aku nyari hotelnya gimana dong? Kan katanya kamu janji hari ini mau bantu aku nyariin hotel.”

“Ya gue juga gak tau kalau misalkan gue bakal kuliah, kemarin dosennya bilang hari ini gak ada kelas, karena dia harus flight ke Aussie, tapi tiba-tiba dia cancel flightnya dan milih untuk ngajar.”

“Terus aku gimana, Jerhan?” Kanaya bertanya dengan nada penuh keputus asaan.

“Lagian lo punya uang berapa emang buat sewa hotel selama seminggu? Disini hotel gak kayak di Indo ya, ada yang ratusan permalam, disini mahal, permalamnya rata-rata lima juta, lu kaliin dah tuh tujuh 6 hari, 30 juta. Sanggup, emang?”

Kanaya menggebrak meja menggunakan kedua tangannya,

“30 JUTA!?”

Jerhan mengangguk. Sementara Kanaya tubuhnya melemas, wajahnya memelas. Dia hanya memiliki sepuluh juta di rekeningnya, itu pun ia pakai untuk membeli tiket nanti dia pulang ke Indonesai. Ah, dasar bodoh!

“Terus aku gimana dong?” tanya Kanaya menatap Jerhan dengan tatapan penuh harap. Berharap kalau lelaki itu memiliki solusi yang menguntungkan.

“Lo tinggal disini aja, gak perlu bayar sampai lima juta kok.” jawab Jerhan.

“WHAT!? AKU? TINGGAL DISINI? BIG NO!”

“Lah kenapa? Hotel di Paris tuh safetynya kurang banget. Banyak hidden camera dimana-mana.”

“YA APALAGI DISINI ADA KAMU LANGSUNG.”

“Gue emang keliatan se cabul itu ya di mata lo? Tenang aja kali, gue gak bakal nyentuh lo sama sekali.”

“Ga perlu aku tetep mau cari hotel, gak apa-apa nanti palingan ak—”

Tiba-tiba suara milik ayah dan ibu Kanaya yang sedang berbincang sore hari di pelataran rumah, seminggu sebelum Kanaya berangkat ke Paris berputar di otaknya. Ia ingat, hari itu, ia mendengar bahwa ayahnya bilang kalau perusahaan tempatnya bekerja keadaan perekonomiannya sedang tidak stabil, sehingga membuat beberapa bonus, atau uang makan, atau uang apapun lainnya dipaksa di tunja pencairannya.

Hal tersebut, membuat Kanaya tersadar, bahwa kalau ia meminta kepada ayah atau ibunya untuk mengiriminya uang, itu malah akan menjadi beban untik kedua orang tuanya itu. Kanaya, sudah terlalu banyak menorehkan beban ke kehidupan kedua orang tuanya dengan penyakit yang dideritanya itu.

Dengan sulit, Kanaya harus menerima tawaran Jerhan untuk tinggal di apartementnya,

“Oke.”

“Oke apa?” Jerhan bertanya.

“Oke aku akan tinggal disini.”

Jerhan tersenyum senang,

“Gitu dong!” seru Jerhan, “Oh iya, kebetulan karena lo tinggal di apartement gue. Nanti, tolong ya, di keranjang baju kotor, ada baju-baju gue yang belum sempet gue bawa ke laundry jadi, kebetulan ada lo disini, tolong cuciin ya? Gak banyak kok, cuma 28 baju doang kalau gak salah.”

Kanaya mengepalkan kedua tangannya, matanya menatap panas kepada Jerhan yang terlihat tidak begitu merasa bersalah karena sudah menyuruh-nyuruh Kanaya untuk mencuci baju,

“Oh iya gue hampir lupa ngasih tau kalau misalkan, mesim cuci di apartement gue ini lagi rusak, dan baru dibenerin nanti, soalnya tukang benerin mesin cucinya lagi libur. Dan laundry pun juga sama lagi libur, disini sebenernya ada lagi tukang laundry cuman jauh, harus naik kereta bawah tanah, agak ribet. Jadi, mending cuci manual aja.”

Kanaya baru saja mau membuka mulutnya untuk melayangkan sebuah protes. Namun, Jerhan buru-buru menyuapi fettuccine buatannya ke dalam mulut gadis itu,

“Di dunia ini gak gratis. Gue baik gak minta lo ganti 3 juta yang lo abisin buat biaya rumah sakit lo, gue malah biarin lo tinggal di apartement gue, dan gue juga masakin lo sarapan, lo bahkan nyobain fettuccine buatan gue. Kurang apa coba gue?”

“KURANG AJAR!”

Jerhan hanya tertawa mendengarnya.

Sementara Kanaya lanjut menyantap sarapannya. Sejujurnya, hatinya sedikit senang, karena ia bisa menyantap fettuccine super lezat buatan Jerhan. Tapi, tetap saja, rasa kesal dalam dirinya mendominasi untuk lelaki itu.

Dan Jerhan, dia diam-diam memperhatikan Kanaya yang memakan waffle juga buahnya. Pipi gadis itu berubah bentuk menjadi bulat, sangat amat menggemaskan. Gatal sekali rasanya tangan itu. Ia benar-benar ingin mencubiti Kanaya sekarang,

“Eh iya satu lagi.”

“Apa lagi?” sungut Kanaya.

“Wow chill aja kali, gue cuman kepo sama muka mantan lo aja.”

Kanaya mendelik, “buat apa aku kasih tau ke kamu? Emang kamu bakal kenal sama dia?” tanyanya retoris.

“Well, setidaknya gue tau, jadi kalau misalkan lagi ke supermarket, ke mall, atau ke eiffel tower, atau gue lagi jalan jalan sendiri dan liat muka dia, gue bisa kenalan.”

“Gak usah aneh-aneh.”

Jerhan mengangguk,

“Oke, kalau lu gak mau ngasih liat foto mantan lu, pekerjaan lu gue tambah, jadi nyuciin sprei kamar gue. Gimana?”

Emosi Kanaya langsung tersulut,

“Gila apa kamu hah!?”

Jerhan tersenyum,

“So, let me see your ex's picture.”

Kanaya mendecak kesal. Ada saja tingkah Jerhan yang membuatnya kesal setengah ampun. Sambil mengumpati Jerhan di hatinya, tangan Kanaya sambil aktif membuka galeri ponselnya dan mencari foto Jendral, mantan kekasihnya. Setelah foto itu ditemukan, Kanaya langsung menunjukkan layar ponselnya ke Jerhan.

Tanpa tahu malu, Jerhan mengambil ponsel tersebut dari tangan Kanaya.

Pria itu tertegun melihat sosok mantan kekasih dari Kanaya ini. Melihat itu, membuat Kanaya menjadi agak bingung,

“Jer, kamu kenal?” tanya Kanaya.

Jerhan sadar dari lamunannya, “im not sure.” jawabannya semakin membuat Kanaya bingung.

“Mukanya lumayan sih, makanya dia mutusin lu. Soalnya lu kan jelek.” ejek Jerhan sambil tertawa pelan dan memberikan ponsel itu ke Kanaya.

Dengan wajah kesal, dan nafas yang menggebu-gebu, Kanaya mengambil ponselnya dengan kasar,

“Udah ah lanjut makan lagi, terus abis itu gue mau mandi, cabut ke kampus, nah baru deh lu cuciin baju gue. Oke?”

Kanaya menghela nafasnya kasar. Bola matanya memutar jengah,

“Iya!”


Sinar cahaya yang masuk dari pintu balkon kamar milik Jerhan, berhasil mengusik mata Kanaya yang tengah terpejam. Gadis itu terpaksa membuka matanya perlahan-lahan karena silaunya cahaya matahari pagi di kota Paris ini.

Kanaya diam perlahan, gadis itu memperhatikan sofa yang semalam ia tempati kenapa berubah menjadi kasur empuk yang sangat nyaman? Juga warna cat tembok yang berubah, rasanya semalam cat tembok ruang tengah apatement Jerhan itu berwarna putih, kenapa sekarang berubah menjadi warna cokelat tua? Dimana dirinya sekarang?

Mata Kanaya tidak sengaja menampak foto milik Jerhan yang menggantung di sudut tembok kamarnya. Gadis itu terdiam sebentar, ia mencoba untuk menceran semua dengan otaknya yang belum bekerja dengan sempurna. Lalu, semenit kemudian, Kanaya tersadar kalau dirinya ada di kamar Jerhan.

Kanaya buru-buru melepaskan selimutnya dan beringsut turun dari ranjang tersebut sambil berteriak. Ia memegangi tubuhnya yang masih dibalut oleh baju yang lengkap. Nafasnya tersenggal-senggal saking kagetnya Kanaya. Dengan langkah yang menggebu-gebu, Kanaya keluar dari kamar Jerhan, dan menghampiri laki-laki itu yang tengah sibuk mencuci beberapa peralatan masak yang ia gunakan untuk membuat sarapan untuknya dan juga Kanaya,

“Jerhan!” panggil Kanaya agak menyentak laki-laki itu.

“Hm.” sahut Jerhan tanpa menoleh ke belakang. Dia masih asyik berkutat dengan perlatan masaknya yang kotor akibat kegiatan memasak yang dilakukannya setengah jam yang lalu.

Kayana mendecak. Matanya menyiratkan ketidak sukaan atas sikap Jerhan yang dirasanya tidak sopan. Bagaimana tidak, jelas-jelas Kanaya sedang mengajaknya untuk berbicara, tapi Jerhan seolah-olah tidak perduli, ia malah sibuk mencuci peralatan masaknya,

“Have you never been taught about manners?”

Jerhan menghela nafasnya. Ia melepas sarung tangan karet yang melekat di tangannya, lalu mematikan kran sinknya. Dan setelah itu ia berbalik, menatap Kanaya yang sedang menatapnya dengan tatapan mata super galak, dan tidak lupa satu tangannya yang ia biarkan berkacak di pinggang bagian sebelah kiri,

“Iya, kenapa tuan putri?”

Kanaya berdehem sebelum gadis itu bertanya perihal, kenapa dirinya bisa tiba-tiba tidur di kamar? Padahal dia merasa kalau semalam, sehabis dia video call dengan kedua orang tua dan kakaknya, ia tidur di sofa sesuai dengan perintah Jerhan,

“Kenapa aku bisa tidur di kamar kamu?” tanya Kanaya penuh selidik.

Jerhan diam sebentar. Lantas ia mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban,

“Jerhan, jawab yang bener.” pinta Kanaya, raut mukanya terlihat begitu serius.

“Ya apa? Gue udah jawab dengan baik dan benar kan? Lo mau gue jawab kalau gue kayak cowo-cowo di drama gitu yang ngegendong lo ke kamar? Idih amit-amit, gendong lo pas pingsan aja berat kaya bawa lima karung.”

“Kok kamu jadi ngeledekin aku sih? Kayaknya hidup kamu gak seru ya kalau gak ledekin aku?”

Jerhan tertawa pelan,

“Jerhan, jawab yang bener kenapa aku tidur di kamar kamu, dan semalem kamu tidur dimana? Kita gak satu ranjang kan?”

Jerhan memasang ekspresi wajah ambigu, yang membuat Kanaya langsung berpikiran yang tidak-tidak. Melihat bagaimana ketakutannya wajah Kanaya sekarang, membuat Jerhan semakin gencar untuk menggoda Kanaya,

“We did something bad, but good.”

Sudah tidak bersih sekarang pikiran Kanaya. Sialan, apakah kesuciannya tadi malam direnggut oleh Jerhan secara tidak sadar? Ah tapi tidak mungkin separah itu, karena guru Kanaya di sekolah pernah bilang, wanita cenderung merasa ngilu setelah selesai melakukan hubungan sexual. Tapi, Kanaya tidak merasakan itu. Jadi, mungkin, Jerhan tidak melakukan sampai sejauh itu.

Tapi…. bagaimana kalau Jerhan mencumbu bibirnya? Astaga! Kanaya tidak bisa membayangkan itu. Ya Tuhan, Jendral saja bahkan tidak pernah menciumnya, bagaimana mungkin dia membiarkan seorang laki-laki tengil yang baru dikenalnya satu hari yang lalu ini mencium bibirnya.

Jerhan sudah tidak sanggup lagi menahan tawanya. Ia akhirnya tertawa lepas melihat bagaimana Kanaya yang semakin ketakutan karena kejahilannya. Hal itu membuat Kanaya naik pitam,

“JERHAN JANGAN KETAWA!” bentak Kanaya.

Jerhan mencoba untuk menghentikan tawanya, namun gagal, ia kembali lagi tertawa,

“JERHAN!”

“Astaga ya Tuhan, iya iya ampun ampun. Iya ini berhenti ketawa.” ucap Jerhan, “lagian pikiran lo kejauhan, gue gak ngapa-ngapain lo, lagian lo tau sendiri kan kalau gue gak suka sama cewek modelan kayak lo? Tangan gue terlalu berharga untuk manjain cewek kayak lo.”

“ISH!” kesal Kanaya, “terus kenapa aku bisa tidur di kamar kamu?”

“Tanya sama alam bawah sadar lo, lo ngapain tiba tiba jalan dengan mata tertutup ke kamar gue, terus tiba-tiba tidur diatas kasur gue hah?”

Kanaya terkejut mendengarnya. Apakah semalam dia benar benar seperti itu?

“Yang bener?”

“Ada gila gilanya gue ngibulin lu soal begituan. Dan, ini gue jelasin aja keburu lo ngamuk lagi, setelah lo tidur di kasur gue, gue langsung keluar dan tidur di sofa. Ini kedua kalinya gue berkorban buat lo. Sekarang, lo makan, ini gue udah bikin sarapan.”

Huft, Kanaya jadi merasa tidak enak karena sudah memarahi Jerhan pagi ini. Apalagi, Jerhan membuatkannya sarapan. Laki-laki ini memang tengil dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kurang ajar, namun apabila di perhatikan lagi, banyak sisi positif dari dalam dirinya,

“Gue bikin fettucini—”

“YEAY!”

Jerhan memasang ekspresi muka herannya yang begitu amat menggemaskan,

“Girang amat?”

“Aku bakal makan pasta, soalnya pasta itu makanan favorit aku.” ucap Kanaya dengan menggebu-gebu.

Jerhan tertawa kecil, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya,

“Well, nice info, tapi sorry nih, hari ini lo gak bisa makan pasta.”

“Maksud kamu?”

“Inget, kemarin kan lo baru aja pingsan kan? Nah, maka dari itu, lo sarapan buah-buahan, tenang aja, gue juga masak waffle selain itu, gue bikin smoothie buat lo.”

Kanaya merengut sedih,

“Sorry bestie, tapi muka sedih lo gak bakal mempan. Jadi, sekarang, makan sarapannya, atau lo pingsan lagi dan ngerepotin gue lagi.”

Kayana mendengus pasrah. Jerhan benar-benar mirip sekali dengan keluarganya. Padahal Jerhan tidak tahu penyakit asli yang Kayana idap, bagaimana kalau laki-laki itu tahu?

Dengan malas, Kanaya menarik kursi di meja makan, dan mulai memakan wafflenya. Sementara Jerhan di hadapannya, memakan fettuccine sambil memasang ekspresi-ekspresi menyebalkan dan juga membuat suara-suara yang membuat Kanaya semakin kesal,

“Kenapa sih aku dikasihnya buah-buahan gini? Mana wafflenya cuma dua lagi.”

“Buset, rewog banget lu. Mau makan berapa waffle emang? 10? Lagian juga sengaja cuman dua, dan buah-buahannya gue banyakin biar lu sehat, terus lu nggak nyusahin gue lagi.”

Kayana mendecak, lalu mulai memakan sarapannya yang sama sekali tidak menggiurkan ini.

Acara makan mereka sangat damai, tidak disertai oleh protesan Kayana, atau ocehan ocehan tengil Jerhan yang mampu membuat Kanaya naik pitam. Namun, keheningan itu tidak berakhir lama, karena suara alarm yang berasal dari ponsel Kanaya berbunyi,

“Alarm hape siapa tuh?” tanya Jerhan bingung.

“Hapeku.” jawab Kayana.

Gadis itu langsung bangkit dari duduknya, berjalan menuju sofa dan mengambil tasnya lalu mengambil botol obat berwarna putih dari dalam sana. Kanaya kembali lagi ke tempat duduknya, dan mulai meminum obat tersebut. Jerhan tidak bisa berhenti menatap Kanaya dengan tatapan herannya,

“Lo minum obat sampai harus di alarm-in segala?” Jerhan bertanya heran.

Kayana mengangguk lalu lanjut memakan makanannya,

“Aneh.” gumam Jerhan yang dapat di dengar oleh Kanaya, gadis itu hanya tersenyum menanggapinya, “lu beneran sakit anemia kan bukan kanker?”

Tiba-tiba Kayana menjatuhkan sendoknya ke piring begitu mendengarkan pertanyaan Jerhan. Lelaki itu terkejut, tapi Karina buru-buru berdehem untuk menetralkan suasananya,

“Kenapa?” tanya Jerhan.

Kanaya menggeleng, “enak banget ini wafflenya, speechless, makanya aku cuman bisa jatuhin sendok kayak barusan.”

Jerhan terdiam sambil menatapi Kanaya, namun detik selanjutnya ia berlagak seolah ia tidak perduli dengan semua yang dilihatnya barusan. Meskipun, sebenarnya, jauh dari dalam lubuk hatinya, dia masih penasaran, apa sih penyakit yang Kanaya derita?

“Oh iya, gue hari ini mau ngampus ya?” izin Jerhan.

“Loh? Kalau kamu ke kampus, terus aku nyari hotelnya gimana dong? Kan katanya kamu janji hari ini mau bantu aku nyariin hotel.”

“Ya gue juga gak tau kalau misalkan gue bakal kuliah, kemarin dosennya bilang hari ini gak ada kelas, karena dia harus flight ke Aussie, tapi tiba-tiba dia cancel flightnya dan milih untuk ngajar.”

“Terus aku gimana, Jerhan?” Kanaya bertanya dengan nada penuh keputus asaan.

“Lagian lo punya uang berapa emang buat sewa hotel selama seminggu? Disini hotel gak kayak di Indo ya, ada yang ratusan permalam, disini mahal, permalamnya rata-rata lima juta, lu kaliin dah tuh tujuh 6 hari, 30 juta. Sanggup, emang?”

Kanaya menggebrak meja menggunakan kedua tangannya,

“30 JUTA!?”

Jerhan mengangguk. Sementara Kanaya tubuhnya melemas, wajahnya memelas. Dia hanya memiliki sepuluh juta di rekeningnya, itu pun ia pakai untuk membeli tiket nanti dia pulang ke Indonesai. Ah, dasar bodoh!

“Terus aku gimana dong?” tanya Kanaya menatap Jerhan dengan tatapan penuh harap. Berharap kalau lelaki itu memiliki solusi yang menguntungkan.

“Lo tinggal disini aja, gak perlu bayar sampai lima juta kok.” jawab Jerhan.

“WHAT!? AKU? TINGGAL DISINI? BIG NO!”

“Lah kenapa? Hotel di Paris tuh safetynya kurang banget. Banyak hidden camera dimana-mana.”

“YA APALAGI DISINI ADA KAMU LANGSUNG.”

“Gue emang keliatan se cabul itu ya di mata lo? Tenang aja kali, gue gak bakal nyentuh lo sama sekali.”

“Ga perlu aku tetep mau cari hotel, gak apa-apa nanti palingan ak—”

Tiba-tiba suara milik ayah dan ibu Kanaya yang sedang berbincang sore hari di pelataran rumah, seminggu sebelum Kanaya berangkat ke Paris berputar di otaknya. Ia ingat, hari itu, ia mendengar bahwa ayahnya bilang kalau perusahaan tempatnya bekerja keadaan perekonomiannya sedang tidak stabil, sehingga membuat beberapa bonus, atau uang makan, atau uang apapun lainnya dipaksa di tunja pencairannya.

Hal tersebut, membuat Kanaya tersadar, bahwa kalau ia meminta kepada ayah atau ibunya untuk mengiriminya uang, itu malah akan menjadi beban untik kedua orang tuanya itu. Kanaya, sudah terlalu banyak menorehkan beban ke kehidupan kedua orang tuanya dengan penyakit yang dideritanya itu.

Dengan sulit, Kanaya harus menerima tawaran Jerhan untuk tinggal di apartementnya,

“Oke.”

“Oke apa?” Jerhan bertanya.

“Oke aku akan tinggal disini.”

Jerhan tersenyum senang,

“Gitu dong!” seru Jerhan, “Oh iya, kebetulan karena lo tinggal di apartement gue. Nanti, tolong ya, di keranjang baju kotor, ada baju-baju gue yang belum sempet gue bawa ke laundry jadi, kebetulan ada lo disini, tolong cuciin ya? Gak banyak kok, cuma 28 baju doang kalau gak salah.”

Kanaya mengepalkan kedua tangannya, matanya menatap panas kepada Jerhan yang terlihat tidak begitu merasa bersalah karena sudah menyuruh-nyuruh Kanaya untuk mencuci baju,

“Oh iya gue hampir lupa ngasih tau kalau misalkan, mesim cuci di apartement gue ini lagi rusak, dan baru dibenerin nanti, soalnya tukang benerin mesin cucinya lagi libur. Dan laundry pun juga sama lagi libur, disini sebenernya ada lagi tukang laundry cuman jauh, harus naik kereta bawah tanah, agak ribet. Jadi, mending cuci manual aja.”

Kanaya baru saja mau membuka mulutnya untuk melayangkan sebuah protes. Namun, Jerhan buru-buru menyuapi fettuccine buatannya ke dalam mulut gadis itu,

“Di dunia ini gak gratis. Gue baik gak minta lo ganti 3 juta yang lo abisin buat biaya rumah sakit lo, gue malah biarin lo tinggal di apartement gue, dan gue juga masakin lo sarapan, lo bahkan nyobain fettuccine buatan gue. Kurang apa coba gue?”

“KURANG AJAR!”

Jerhan hanya tertawa mendengarnya.

Sementara Kanaya lanjut menyantap sarapannya. Sejujurnya, hatinya sedikit senang, karena ia bisa menyantap fettuccine super lezat buatan Jerhan. Tapi, tetap saja, rasa kesal dalam dirinya mendominasi untuk lelaki itu.

Dan Jerhan, dia diam-diam memperhatikan Kanaya yang memakan waffle juga buahnya. Pipi gadis itu berubah bentuk menjadi bulat, sangat amat menggemaskan. Gatal sekali rasanya tangan itu. Ia benar-benar ingin mencubiti Kanaya sekarang,

“Kanaya, please jangan gemes-gemes dong.”


“Lo udah reservasi hotel?” tanya Jerhan sambil tangannya memegang kemudi dan matanya fokus ke jalanan.

Kanaya yang duduk disamping Jerhan, melirik lelaki itu dan menggelengkan kepalanya. Sekilas, Jerhan melirik Kanaya lalu kembali fokus ke jalanan.

Pria itu tertawa tidak menyangka,

“Lo nih liburan kesini niat enggak sih? Kok sampai enggak ngelakuin reservasi hotel?” Jerhan terheran-heran, tangannya membelokkan stang mobilnya ke arah kanan.

Kanaya menghela nafasnya.

Dia juga sebenarnya tidak mau pergi jauh ke negara orang tanpa persiapan seperti ini. Tapi, waktu itu dia memesan tiket dalam keadaan dia masih menjadi kekasih Jendral, dan, dia berpikir kalau hubungannya dengan Jendral akan bertahan sampai hari ini, jadi untuk apa dia melakukan reservasi hotel kalau dia bisa tinggal bersama Jendral di apartement lelaki itu. Tetapi, Tuhan berkehendak lain.

Maka dari itu, Kanaya tidak sempat untuk mereservasi hotel untuk tempatnya beristirahat selama dia berada di Paris,

“Sejujurnya, aku dateng kesini itu karena aku mau nemuin cowok aku, aku beli tiket waktu aku sama dia masih pacaran, jadi ya, aku pikir aku gak usah reservasi hotel, aku bisa kan tinggal di apartement dia. Ya, makanya aku enggak kepikiran buat reservasi hotel, terus ternyata aku sama dia putus, jadi ya, kamu bisa tebak sendiri lah.” jelas Kanaya.

Jerhan tertawa mendengar penjelasan Kanaya. Tawanya terdengar biasa saja, namun bagi Kanaya itu adalah suara tawa yang paling menyebalkan yang pernah di dengar oleh telinganya. Wanita itu memberikan tatapan tajamnya kepada Jerhan.

Jerhan meliriknya sekilas lalu tawanya kini menjadi lebih keras,

“Gitu amat ngeliatin guanya? Gua tau gua ganteng, tapi ya biasa aja lah.” tengilnya.

Kanaya memukul pundak Jerhan pelan, “kamu orang Indonesia ternyebelin tau gak sih yang pernah aku temuin di Paris.” ungkapnya.

“Pernah? Lo sebelum kesini ketemu sama berapa orang Indo?”

“2.” jawab Kanaya.

“Siapa aja?” tanya Jerhan sambil membelokkan stangnya ke kiri.

“Supir taxi, dan mantan pacar aku.” jawab Kanaya.

Jerhan sedikit terkejut ketika gadis itu menjawab bahwa dia sempat bertemu dengan mantan pacarnya,

“Lo ketemu sama mantan pacar lo? Terus kenapa lo ngga tinggal sama dia aja?” tanya Jerhan.

Kanaya menghela nafasnya. Matanya melirik ke jalanan kota Paris yang terasa begitu indah ketika malam hari,

“Ya, dia udah ada perempuan lain, lagi pula rasanya aneh kalau aku tinggal sama dia, disaat kami aja udah gak ada hubungan apa-apa.” sambil menyenderkan kepalanya ke senderan kursi, Kanaya menoleh kepada Jerhan, “that would be so awkward, right?”

Jerhan menganggukkan kepalanya. Dia paham. Rasanya memang beda ketika harus tinggal bersama seseorang yang pernah menjadi siapa-siapa kita di masa lalu,

“Terus, sekarang lo mau tinggal dimana? Kalau cari hotel jam segini mungkin udah banyak yang full booked palingan juga besok pagi-pagi kita bisa cari.”

“Kalau kayak gitu, aku harus tidur dimana? Masa di pinggir jalan?”

“Kalau di apartement gue gimana?” tawar Jerhan.

Kanaya terkejut, ia langsung menegakkan tubuhnya, dan menatap Jerhan dengan posisi menyamping,

“Maksud kamu?” selidik Kanaya, “Jerhan, aku gak tau ya kamu punya niat apa sama aku.”

“Lah? Niat gue baik sumpah. Gak ada niat aneh-aneh.” jawab Jerhan.

“Kalau gak ada niat aneh-aneh kenapa kamu malah ngajak aku tinggal di apartement kamu?”

Jerhan mendecak kesal,

“Sekarang gini, kalau gue turunin lo di depan, terus gue suruh lo tidur di jalanan, lo bakal marah ga?” Jerhan bertanya, Kanaya mengangguk sebagai jawab, “terus gue tawarin lo untuk tidur di apartement gue, which is tempat yang amat sangat layak untuk lo tinggali barang sehari aja, lu marah juga? Jadi lu maunya gimana?”

Kanaya terdiam. Ada benarnya juga apa yang Jerhan bilang. Lebih baik ia dan Jerhan tinggal serumah, daripada Kanaya harus tidur mengemper di jalanan kota Paris,

“Lagian gue gak demen cewek modelan kayak lu. Rata gitu gak ada yang bisa di pegangin.” lanjut Jerhan.

Kanaya langsung tersinggung. Tangan kecilnya mencubit semut pinggang Jerhan. Pria itu langsung menjerit kesakitan, memohon untuk Kanaya melepaskan cubitannya. Tapi Kanaya tidak mengabulinya, ia malah meminta Jerhan untuk berkata ampun, dan Jerhan menuruti kemauan Kanaya, lalu Kanaya pun melepaskan cubitannya,

“Gila, lo punya anemia tapi cubitan lo keras banget anjir. Alamat merah ini pinggang gue. Elu sih!” protes Jerhan.

“Kok jadi aku? Kamu yang mulutnya gak bisa di rem, ngomong seenak jidat aja. Itu tuh termasuk pelecehan tau gak, untung gak aku bikinin thread di twitter, bisa mampus kamu kalau aku spill di twitter. Lagian juga aku kena anemia, bukan kena struk.”

Jerhan mendecak.

Ada saja jawaban yang keluar dari mulut perempuan itu.


Kanaya dan Jerhan tiba di apartement milik laki-laki itu.

Kanaya tersenyum melihat bagaimana rapihnya apartement Jerhan. Dia bahkan sampai tidak percaya kalau apartement ini milik Jerhan, saking rapihnya apartement ini.

Beda sekali dengan sifat pemiliknya.

Padahal tadi di otak Kanaya, ia sudah bisa membayangkan bagaimana berantakannya apartement yang ditinggali oleh Jerhan,

“Kamu punya pacar ya? Apartement kamu rapih banget.” tanya Kanaya sembari melirik Jerhan yang sedang menaruh kunci mobilnya di sebuah kotak yang ada di nakas atas dekat TV-nya.

Jerhan terkekeh. Ia menatap Kanaya dari jarak 1 meter,

“Emang cewe doang yang bisa rapih? Cowo juga bisa.” jawab Jerhan.

Kanaya mengangguk.

Satu hal positif dari Jerhan yang bisa Kanaya dapatkan. Lelaki itu benar-benar bersih, dan sepertinya, ia bukan sosok laki-laki yang akan membiarkan pacarnya bersih-bersih. Kanaya tersenyum membayangkan hal itu,

“Oh iya, by the way, malem ini, lo tidur di sofa.”

Senyuman manis itu dalam sepersekian detik bisa berubah menjadi wajah kesal layaknya singa yang siap memakan mangsanya kapanpun dia mau,

“Apaan mukanya kayak gitu? Gak suka gue suruh tidur di sofa?”

“You think!?” sewot Kanaya, “lagian kamu ini gimana sih? Aku perempuan, udah gila kali kamu suruh aku tidur di sofa, kalau badan aku sakit-sakit gimana?”

Jerhan mendecak sambil berkacak pinggang,

“Udah gue bayarin administrasi rumah sakit 3 juta, masih aja pengen tidur di kasur empuk gue? Gak tau diri banget buset.” ucapnya sarkastik, “udah anggep aja lo tidur di sofa itu sebagai ganti karena lo udah nguras ATM gue 3 juta on the first day we met.”

“Tapi kan—”

“The decision is unanimous and cannot be contested.” Jerhan tersenyum seolah olah mengejek Kanaya, “good night Kanaya, have a good rest.”

Jerhan melambaikan tangannya kepada Kanaya. Yang mana itu membuat Kanaya semakin kesal.

Lelaki itu berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat, meninggalkan Kanaya yang masih berdiri di tempatnya, melompat-lompat sambil tangannya meninju-ninju angin, seolah-olah angin itu adalah Jerhan.


“Udah tidur belum dah itu si freak?”

Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari waktu Paris. Sama sekali Jerhan belum bisa memejamkan matanya, otaknya dipenuhi oleh gadis itu. Kanaya, wanita yang berhasil menghabiskan 3 juta rupiah di hari pertama mereka bertemu.

Pria itu bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar, dan melihat Kanaya yang sudah mengganti bajunya dengan baju yang lebih nyaman, sedang tertidur di sofa. Tidurnya terlihat begitu damai, wajahnya seribu kali lipat lebih cantik ketika dia sedang tidur.

Jerhan mendekati Kanaya di sofa. Ia menatap wajah cantik wanita itu cukup lama. Memori tentang bagaimana ekspresi kesal Kanaya setiap kali Jerhan menggodanya memenuhi otaknya, hal tersebut membuat Jerhan sama sekali tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa, dan mengucap kata seperti berikut ini,

“Gemesin juga.”

Tiba-tiba Kanaya bergerak, namun mata gadis itu tetap terpejam. Jerhan bisa melihat bagaimana tidak nyamannya Kanaya tidur di sofa, apalagi mulut gadis itu yang tiba-tiba melakukam komat-kamit (seperti sedang mengutuk Jerhan karena sudah membiarkannya tidur di sofa). Hal itu membuat Jerhan tidak tahan untuk tidak kembali tertawa. Bagaimana bisa Kanaya selucu ini bahkan ketika dia sedang tidur pun, dia masih terlihat begitu menggemaskan.

Merasa kasihan dan tidak tega. Setelah cukup puas tertawa, Jerhan langsung merunduk sedikit untuk mengangkat tubuh Kanaya, dan memindahkannya ke kamar. Di kamar Jerhan, pria itu menghempaskan tubuh Kanaya dengan begitu pelan dan lembut di ranjang empuk milik Jerhan. Setelah itu, Kanaya langsung bergerak ke kiri, dan memeluk guling empuk milik Jerhan. Senyum nyaman langsung terpatri di wajah cantiknya yang terlihat begitu bersih dan sehat itu.

Jerhan tertawa kembali. Tingkah Kanaya seratus kali lebih menggemaskan apabila gadis itu sedang berada di alam mimpinya. Belum tentu laki-laki lain akan sekuat Jerhan, untuk tidak mencium pipi gembul Kanaya atau mencium bibir ranum pink milik gadis itu,

“Gue cuman mau bilang sama siapapun mantan lu itu, Nay, kalau dia bodoh karena udah mutusin perempuan kayak lu. Walaupun kelakuan lu aneh dan ngeselin, tapi, gue tau, lu orang yang baik, super duper baik. Semoga setelah ini kita bisa jadi temen ya, Nay?”


Kanaya membuka matanya. Harum obat-obatan langsung terhirup oleh hidungnya seketika dia sadar. Gadis itu melihat sekat-sekat di ruangan ini. Pikirannya sudah kacau. Lalu, ia lihat tangannya yang tertancap jarum infus disana. Kanaya semakin kacau.

Tidak bisa. Ia tidak bisa diam disini lebih lama. Ia tidak ingin seseorang yang membawanya kesini, tahu apa penyakit yang dideritanya.

Dengan sekuat tenaga, meskipun keadaan masih lemah, Kanaya dengan pelan-pelan mencabut infusannya dari punggung tangannya, membuat sedikit cairan berwarna merah pekat itu keluar dari dalam sana. Kanaya meringis perih.

Ia juga lantas melepaskan oksigen yang membantunya untuk bernafas selama pingsan tadi.

Setelah itu, ia membuka tirai, dan bersikap biasa-biasa saja. Kebetulan, para suster sedang sibuk, jadi mereka tidak bisa fokus dengan pasien-pasien yang tergeletak di ruangan UGD ini. Hal tersebut, jelas merupakan anugerah bagi Kanaya, karena dengan hal tersebut, sekarang, Kanaya dapat dengan mudah keluar dari ruangan UGD tersebut.

Dan pergi entah kemana.

Mungkin ada empat menit setelah Kanaya pergi, Jerhan kembali ke UGD, dia ingin memastikan apakah Kanaya sudah sadar atau belum. Namun, baru juga pintu UGD di buka, ia sudah melihat bangsal yang ditiduri oleh Kanaya tadi kosong begitu saja. Panik bukan main Jerhan di buatnya.

Laki-laki itu langsung bertanya kepada suster yang kelihatannya benar-benar sedang sibuk,

“Excusez-moi, avez-vous vu le patient là-bas?” Jerhan bertanya dengan nada panik sambil menunjuk bangsal yang sudah kosong di sebelah kirinya. Excuse me, did you see the patient over there?

Suster tersebut juga langsung terkejut begitu melihat bangsal yang seharusnya di tempati oleh Kanaya sudah kosong begitu saja,

“Je suis désolé, je suis sûr que le patient était dans son lit. Nous sommes très occupés, tant de patients arrivent aujourd'hui, nous traitons donc beaucoup de données. Nous sommes vraiment désolés.” ucap suster tersebut dengan nada menyesal. I'm sorry, I'm sure the patient was in her bed. We are really busy, so many patients are coming in today. So we are processing a lot of data. We are really sorry.

Jerhan mendecak kesal. Ini adalah rumah sakit terkenal dan juga bagus di Paris. Bagaimana bisa ada kejadian seceroboh ini? Mereka tidak tahu kalau ada satu pasiennya yang kabur. Astaga,

“Est-ce qu'elle s'est juste éloignée ou a-t-elle au moins laissé un message?” tanya Jerhan. Did she just walk away or at least leave a message?

“Le patient vient de partir sans nous laisser de message. Je suis désolé.” jawabnya. The patient just left without leaving us a message. I am sorry.

Jerhan memasang muka kesalnya mendengar jawaban dari suster tersebut. Dia benar-benar kesal, bisa-bisanya rumah sakit besar yang menjadi rumah sakit terkenal di ibu kota Perancis itu bersikap sangat tidak profesional kepada seorang pasien. Apalagi pasien itu bukan berasal dari negaranya, melainkan orang luar negeri.

Kalau sampai kedutaan besar tahu masalah ini, mungkin saja, rumah sakit ini bisa dituntut karena sudah lalai dalam menjaga keselamatan seseorang yang hendak mendapatkan pengobatan disini.

Jerhan dengan segera bergegas menuju bangsal. Entah lah, ia merasa, Kanaya meninggalkan sesuatu disana. Dan benar saja, ketika dia sudah berada di bangsal, ia melihat kartu nama lucu bermotif strawberry shortcake, dengan foto Kanaya yang sedang tersenyum imut di sampingnya. Jerhan tertawa pelan, padahal tadi dirinya sedang diselimuti rasa kesal.

Pria itu tidak habis pikir, di tahun 2022 seperti ini, masih saja ada orang yang memakai kartu nama semacam ini. Benar-benar perempuan yang unik.

Ah, Jerhan langsung tersadar dari lamunan absurdnya. Pria itu melihat nomor telfon milik Kanaya yang tercantum disana, buru-buru Jerhan mengetikkan nomor tersebut di ponselnya, setelah itu ia mencoba untuk menghubunginya berkali-kali namun tidak ada tanggapan juga.

Jerhan langsung mengirimkan gadis itu pesan. Dan tidak lama, pesan tersebut terbalaskan. Buru-buru, Jerhan keluar dari UGD tersebut.


“Mbanya mau saya bawa kemana?”

Pupil mata Kayana membesar ketika mendengar sang supir taxi yang bertanya menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar,

“Loh? Bapak orang Indonesia?” Kayana bertanya tidak menyangka.

Mata bapak itu melihat sosok Kayana dari kaca depannya. Mata itu membentuk sebuah lengkungan, yang menandakan kalau beliau sedang tersenyum—mengiyakan pertanyaan Kayana,

“Enggeh, mba, saya orang Indonesia, asli Jogja saya.”

Senyuman Kayana merekah ketika mendengar jawaban sang bapak,

“Bapak Jogja dimananya pak?” tanya Kayana mencoba membangun percakapan yang lebih dalam diantara keduanya.

“Saya di Sleman, mba.” jawab beliau, “kalau mbanya, Indonesia dari mananya mba?”

“Saya dari Bandung pak.” jawab Kayana.

Sang supir tertawa riang, “walah, sama sama dari Jawa kita, cuman beda Tengah sama Baratnya terus beda bahasa juga.”

Kayanya tertawa pelan,

“Iya pak.”

Lalu, kemudian, hanya keheningan yang tercipta disana. Hal itu digunakan Kayana untuk menikmati jalanan Paris yang basah akibat hujan, dan beberapa orang yang berlalu lalang mengenakan pakaian hangat juga payung sebagai pelindung agar tubuh mereka tidak basah oleh air hujan.

Berbicara soal hujan, Kanaya sangat menyukai hujan. Karena baginya, setiap tetes air hujan yang turun ke bumi ialah kumpulan nada indah yang diturunkan oleh Tuhan untuk menemani waktu penat manusia di bumi. Namun, terkadang, masih saja banyak manusia yang selalu menganggap bahwa hujan adalah suatu kesialan bagi mereka.

Kanaya tidak pernah seberuntung sang kakak. Irena, ketika kecil, setiap kali hujan turun membasahi tanah pasundan, ia selalu bermain, berlari-lari, atau menari-nari di taman belakang rumah. Sementara Kanaya? Dia tidak pernah merasakan hal itu, hidup Kanaya sejak kecil selalu berada di dalam kamar, ditemani dengan kotak musik pemberian almarhum sang kakek saat beliau liburan ke Swiss, dan juga koleksi boneka barbienya. Tidak, pernah sekalipun, Kanaya menari-nari dibawah tetesan air hujan, bahkan sampai dia beranjak dewasa pun, pengalaman itu tidak pernah dirasakannya.

Gadis itu selalu merasa dirinya seperti burung di dalam sangkar, diurus dengan baik, namun tidak pernah dibiarkan dengan bebas. Kanaya tahu, semua itu mereka lakukan demi kebaikannya, namun, Kanaya ingin, satu kali saja, sebelum dia pergi, dia bisa melakukan semua hal yang dilarang oleh dokter atau kedua orang tuanya. Semoga, penyakit jahat yang bersarang di dalam tubuh Kanaya ini bisa segera kalah, agar bisa menghantarkan Kanaya ke pintu kebebasan yang sudah didamba-dambakan olehnya,

“Loh iya saya lupa mba nanya, ini mbanya mau dibawa kemana ya?”

Suara lembut nan medok milik supir taxi tersebut berhasil membuyarkan lamunan Kanaya tentang bagaimana dia begitu ingin berdiri dibawah hujan,

“Oh, saya mau ke Résidence Charles Floquet” jawab Kanaya.

“Siap mba.” pak supir kembali berbicara, “eh iya mba, ini mbanya itu liburan apa gimana toh? Apa kuliah?”

“Oh enggak pak, saya kebetulan kesini dateng karena mau ketemu sama sese—”

Kanaya terdiam tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya, tat kala matanya yang sedari tadi melihat keluar jendela, menangkap sosok Jendral yang tengah berjalan bersama seorang perempuan. Tangan lelaki itu berada di pinggang sang wanita, dengan satu tangannya yang memegangi payung. Dari samping, terlihat jelas tawa Jendral yang lepas, tidak ada rasa penyesalan atau sedih paska keduanya mengakhiri hubungan dua hari yang lalu.

Mata Kanaya terasa panas, bulir-bulir air mata sudah memupuk di pelupuk matanya, mendesak untuk keluar. Namun, Kanaya menahannya. Tidak, untuk kali ini ia jangan menangis karena Jendral,

“Pak, maaf, tapi boleh berhentiin mobilnya disini aja?” pinta Kanaya dengan suara yang bergetar.

“Loh mba? Tapi kan ini ujan.”

“Gak apa-apa pak, seseorang yang saya mau temuin ada disini.” jawab Kanaya dengan suara yang lirih.

Kanaya tidak perduli dengan akibat yang akan ditimbulkannya setelah ia berjalan menerobos hujan sambil membawa kopernya untuk menghampiri Jendral yang belum terlalu jauh melangkah. Kaki kecil gadis itu berlari, dibawa derasnya hujan yang mengguyur kota Paris,

“JENDRAL!” teriak Kanaya.

Kanaya bisa melihat Jendral dan wanita yang ada disampingnya itu berhenti melangkah. Pria itu dengan tubuhnya yang menegang berbalik badan, pupil matanya membesar tat kala melihat Kanaya berdiri di jarak 1 meter darinya. Mulutnya menggumami nama Kanaya, matanya berkaca-kaca melihat sang mantan kekasih akhirnya berada disini.

Begitu pula dengan Kanaya, gadis berambut panjang itu menatap Jendral lurus. Bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis, namun air mata terus mengaliri pipinya. Berterima kasih lah pada hujan, karena setidaknya Kanaya bisa menyembunyikan tangisnya,

“Kamu ngapain kesini?” tanya Jendral agak berteriak.

“Liburan.” jawab Kanaya sambil tersenyum, “pacar baru kamu?” tanya Kanaya sambil melirik perempuan yang berdiri disamping Jendral. Wanita itu terlihat kebingungan dengan semua yang terjadi saat ini.

Jendral hendak menjawab, namun, wanita disampingnya itu terlebih dahulu membuka suaranya,

“Iya gue pacarnya.” jawab wanita itu, Jendral melirik gadis disampingnya dengan wajah yang tegang.

Mencelos hati Kanaya mendengarnya. Air matanya semakin tidak tahu diri keluar dari pelupuk matanya,

“Dia siapa sih sayang?” wanita itu bertanya.

“Dia—”

“Aku sodaranya Jendral. Nama aku Kanaya.”

Kanaya mengulurkan tangannya, berniat baik untuk mengajak wanita yang sudah merusak kebahagiannya itu berkenalan.

Namun, wanita itu tidak menerima uluran tangan Kanaya,

“Alice.” jawabnya, “udah ah yuk sayang, aku males banget lama-lama disini.” rewelnya.

Ada perasaan sedih ketika Jendral melihat Kanaya berdiri disana, tanpa payung sama sekali. Ingin rasanya Jendral memayungi Kanaya, namun, pria itu menghargai Alice sebagai kekasih barunya. Dia suduh cukup jahat untuk Kanaya, maka untuk kali ini, dia tidak ingin menjadi jahat untuk Alice,

“Nay, aku duluan, mau ada urusan sama Alice.”

Kanaya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Membuat dirinya seolah olah terlihat kuat, padahal pada nyatanya, hati Kanaya—bila saja bisa dilihat oleh mata telanjang sudah remuk, hancur, tidak berbentuk sama sekali.

Jendral berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya bersama wanita bernama Alice itu. Meninggalkan Kanaya, yang masih berdiri dibawah air hujan, di hadapan menara eiffel, dengan tangisan pedihnya yang disembunyikan oleh air hujan.

Kepala Kanaya terasa begitu sakit, amat sakit. Semua pandangan terasa begitu mengabur baginya, lama kelamaan semakin mengabur, perlahan-lahan menghitam, dan pada akhirnya, Kanaya jatuh ke tanah begitu saja. Membuat semua orang berteriak panik.

Namun, ada satu teriakan dari seorang laki-laki yang begitu jelas terdengar di telinganya.

Setelah itu, tidak ada yang Kanaya ingat dan tidak ada yang bisa Kanaya dengar.

Kanaya sudah benar benar pingsan.


Suara pengumuman keberangkatan pesawat yang akan di tumpangi oleh Kanaya menggema ke seluruh sudut bandara. Gadis kecil dengan senyuman manis itu, lantas berdiri dari duduknya. Ia menghadap keluarga kecilnya dan kedua temannya yang ikut serta mengantar kepergiannya ke Paris,

“Ayah, ibu, Kak Iren, aku berangkat dulu ya? Tolong jaga diri kalian baik-baik, makan teratur, tidur teratur, dan minum vitamin biar selalu fit. Aku gak mau, di Paris sana, aku denger kabar kalau ayah, ibu, atau Kak Iren sakit, ya?”

Keluarga Kanaya dengan kompak menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

Kanaya berjalan mendekat ke mereka dan langsung mendekap tubuh ketiga manusia yang menjadi alasannya dia bertahan dan melawan penyakit ganas yang sekarang menggerogoti tubuhnya. Kanaya dapat merasakan elusan lembut tangan sang ayah di punggungnya, isakan tangis tertahan sang ayah, dan juga helaan nafas berat sang kakak.

Gadis itu tahu, dia lemah, dia harus selalu bersama keluarganya, karena besar kemungkinan kalau ia akan meninggal kapan saja. Tapi, Kanaya sadar, kalau hidupnya terlalu singkat untuk ia habiskan dengan berdiam sendiri di rumah, atau pergi kemanapun harus selalu bersama keluarganya. Ia harus menikmati setiap detik terindah di dalam hidupnya sendirian, sebelum akhirnya ia akan benar-benar pergi, membawa seluruh kenangan itu ke singgasana paling indah di atas sana.

Kanaya melepaskan dekapan itu. Mata indahnya menangkap sang ibu yang tengah menangis, hal tersebut langsung disambut oleh tawa meledek oleh Kanaya, yang mana berhasil membuat kelima orang terpenting dalam hidup Kanaya itu juga ikut tertawa mendengarnya,

“Nay, ayah titip pesan sama kamu, tolong, tolong kamu selalu minum obatnya ya? Tolong jangan sampai enggak kamu minum. Ayah gak mau di Paris sana kamu kenapa-kenapa, ya sayang ya?”

Kanaya menghentakan satu kakinya, menegapkan tubuhnya, dan memberi hormat bak seorang pembina upacara kepada pemimpin upacara. Lagi, tingkah Kanaya berhasil melukiskan tawa indah di wajah orang tersayangnya,

“Siap gerak!” Kanaya terkekeh, “ayah gak perlu khawatir, ibu juga, Kak Iren juga, minum obat udah harus aku lakuin setiap hari, karena aku mau kalahin si orang jahat yang lagi ngekost di badan aku ini, biar aku bisa hidup seribu tahun lagi.”

Ibu mengangguk, “iya sayang, jangan kecapean ya? Sampai sana, langsung telfon ibu ya.” ucap ibu sambil menangkup pipi Kanaya dengan tangan kanannya beberapa saat.

“Iya ibu.”

“Beliin oleh oleh untuk kaka.”

“Aku bawain bule mau?”

“KANAYA!”

Kanaya terkekeh, merasa puas karena sudah berhasil mengejek sang kakak.

Lalu, ia menatap kedua sahabatnya. Yasmin dan Gretta. Kanaya tersenyum, kedua sahabatnya itu pun tersenyum. Gadis itu berjalan dan langsung memeluk kedua sahabatnya dengan erat. Ayah, ibu, dan Kak Iren hanya bisa tersenyum melihat pemandangan indah tersebut,

“Pokoknya lo kalau udah di Paris harus sering sering kabarin kita. Gak boleh enggak.” suara Gretta terdengar agak sedikit bergetar.

Kanaya melepaskan dekapannya,

“Iya iya aku bakal kabarin kalian berdua, udah ah jangan nangis. Cengeng tau.” ejek Kanaya sambil tersenyum simpul.

“Yeee sialan lo!” protes Gretta, “gue nangis karena ini pertama kalinya lo pergi ke luar negeri, mana sendirian lagi, kan gue jadi parno.”

“Iya bener, jujur, gue percaya sama lo, gue percaya lo bisa jaga diri lo, tapi, tetep aja, rasa khawatir itu ada. Jadi, jangan larang kita untuk nangis ya.” tambah Yasmin.

Kanaya menghela nafasnya,

“Aku tinggal ke Paris aja begini, gimana aku tinggal meninggal nanti? Nangis darah kali kalian.” ucap Kanaya asal.

Ucapan Kanaya ini berhasil membuat semua orang yang ada di hadapannya memasang wajah tegang,

“Udah, pokoknya jangan anter aku ke Paris dengan tangisan, come on cuman satu minggu, setelah itu, aku bakal pulang bawain oleh oleh yang buanyakkkkk banget buat kalian, oke? Jangan nangis ah jelek jelek jelek kalau nangis.” Kanaya mencoba mencairkan suasana.

Gretta dan Yasmin mengangguk paham, mereka mengukirkan senyuman manis di wajahnya, padahal hatinya menjerit takut. Takut kalau mereka akan kehilangan sahabat sebaik, setegar, dan sekuat Kanaya kapanpun. Tapi mereka percaya, Kanaya adalah gadis yang kuat, sejauh apapun dia pergi, Tuhan selalu bersamanya, memberikannya kekuatan.

Kanaya pada akhirnya berjalan pergi menuju pesawatnya. Sambil berjalan, mata Kanaya berkaca-kaca, ia sedih karena harus meninggalkan keluarga dan kedua sahabatnya, ditambah lagi, saat ini, seseorang yang seharusnya ia tunggu di Paris, sudah tidak menginginkan keberadaannya lagi.