jaehyunetz


Setelah berkendara beberapa menit dari rumah Danita. Alaric menepikan mobilnya di sebuah jalan yang tidak terlalu ramai, malah cenderung sangat sepi.

Setelah mesin mobil itu matikan oleh Alaric. Keadaan mobil menjadi begitu sangat awkward, Alaric dan Danita hanya saling mencuri pandang beberapa kali. Mereka berdua terlihat begitu malu padahal belum melakukan apa apa sama sekali. Telinga Alaric memerah, dan pipi Danita yang bersemu.

Astaga, balada cinta anak muda memang seperti ini ya?

Lalu, selanjutnya, Alaric tiba-tiba berdehem, dan tangannya yang perlahan-lahan meraih tangan Danita, lalu menggenggam tangan itu dengan erat. Danita melirik Alaric yang kini tengah meliriknya juga sambil memberikan senyuman manisnya,

“Apaan pegang-pegang?” tanya Danita sedikit sinis.

Alaric mendecakkan lidahnya kesal, “ya emang ngapa si? Kan abis ini juga kita bakal ciuman.” sewot Alaric frontal.

Danita melotot, dan memberikan wajah kesalnya kepada Alaric karena sudah berujar dengan begitu frontal seperti barusan. Tidak tahukah Alaric kalau dirinya malu setengah mati sekarang?

“Oh iya, by the way gue mau nanya sesuatu sama lu. Sebenernya udah pingin nanya dari lama, tapi baru berani nanya sekarang.” Alaric berucap dengan serius.

“Tanya aja.”

“Waktu yang lo dipeluk sama Dimas itu, lo kenapa? Soalnya kata Dimas kan lo nangis. Gue kepo, waktu itu mau nanya tapi gengsi.”

Danita menggigit bibir bawahnya. Raut wajahnya terlihat bingung,

“Kenapa?” Alaric bertanya heran.

“Lu yakin mau tau banget alesan gue nangis waktu itu karena apa?”

Alaric mengangguk,

Well, kalau lo gak mau ya gak apa-apa, gue juga enggak bakalan maksa.”

Mulut Alaric memang berbicara seperti itu, tapi, Danita bisa melihat dari mata pria itu, kalau dia benar-benar ingin tahu apa yang menjadi alasan Danita menangis waktu itu.

Danita menghembuskan nafasnya. Terpaksa, Danita memberitahukan alasannya menangis kepada Alaric. Semoga setelah tahu alasannya, Danita tidak berakhir dengan perasaan malu karena terus diejek oleh Alaric,

“Gue waktu itu ngerasa insecure banget. Apalagi waktu ngeliat Anya keluar dari mobil lu, dia kan badannya tuh sexy banget, sedangkan gue? Disebut body goals aja nggak kayaknya.” ucap gadis itu sedih, “terus gue jadi mikir, kayaknya lo tuh ninggalin gue, karena gue gak se sexy itu. Ya, gue jadi resah gitu, terus ya udah gue nangis.”

“Terus Dimas dateng dan meluk lo gitu?”

Danita mengangguk,

“Enak banget si Dimas.” kesal lelaki itu.

Danita hanya terdiam, tidak bergeming. Gadis itu menundukkan kepalanya malu.

Lalu, detik selanjutnya, Alaric melepaskan genggaman tangannya dari tangan Danita, yang mana itu membuat sang gadis mendongak, lalu melihat Alaric yang sudah mengubah posisi duduknya menjadi menyamping. Entah bagaimana caranya, tetapi, Danita juga ikut merubah posisi duduknya dengan hanya melihat Alaric.

Kini, keduanya sudah duduk dengan saling berhadap-hadapan. Dengan mata yang saling mata masing-masing disertai percikan-percikan api cinta yang membawa dari tatapan mata itu,

“Jangan pernah ngerasa insecure. Lo sempurna, lo lebih dari cukup bagi gue. Gue sedih kalau lo insecure apalagi sampai nangis dan sampai ngebanding-bandingin diri lo sama orang lain. Gue cinta sama lo, sayang sama lo, dan gue gak mau lo kayak gitu. Lo tau kan? Itu termasuk tindakan self harm? So please, don't hurt yourself, i love you just the way you are.

Danita tidak bisa lagi menahan senyumnya ketika mendengar serentetan kalimat indah yang mengalun dari bibir manis Alaric. Gadis itu beruntung memilikinya. Ah, bisakah Danita disebut memiliki Alaric? Entahlah, tapi yang pasti, Danita benar-benar merasa beruntung. Tidak pernah ia merasa seberuntung ini.

Bak sebuah magnet, tubuh kedua anak adam dan hawa itu saling mendekat. Alaric memiringkan wajahnya sambil memejamkan matanya, begitu pula dengan Danita. Bibir Alaric menyapu bibir lembut milik Danita. Awalnya, hanya sebuah kecupan, namun, tiba-tiba Alaric melumat bibir Danita dengan begitu lembut, Danita pun tidak tinggal diam, ia membalas ciuman lembut itu. Ciuman yang lebih lembut dari awan dan juga kapas.

Keduanya saling melepaskan ciumannya, meraup udara masing-masing yang hilang akibat pagutan bibir barusan. Baik Alaric maupun Danita saling tatap, dan saling melemparkan tawa,

“Aku sayang kamu—ah enggak, lebih tepatnya aku cinta kamu.”

Danita tersenyum, “aku juga. Aku cinta kamu pake banget!”

“Jadi sekarang kita pacaran?”

“Terserah apapun kamu nyebutnya. Tapi aku milik kamu, dan kamu milik aku.”

Lalu setelah itu, keduanya saling berpelukan.

Hari ini adalah hari yang mungkin bisa dibilang biasa bagi beberapa orang, tapi bagi Danita dan Alaric, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi mereka berdua.

Di hari ini, cinta keduanya yang sempat putus karena sebuah kesalahpahaman kembali dipersatukan.

Tuhan memang baik. Sangat baik.


END!


Kedatangan mobil milik Alaric di rumah Danita, langsung disambut oleh sebuah motor trail berwarna hitam yang diduduki oleh seseorang dengan posisi membelakangi mobil Alaric. Pria itu jelas bingung dengan motor trail dan orang yang menumpanginya diatas tersebut, namun, beda halnya dengan Danita, ia sudah tahu itu siapa. Dan, Danita pun tanpa berpamitan kepada Alaric, langsung melepaskan safety beltnya, lalu keluar dari mobil dan menghampiri orang tersebut.

Alaric pun tak tinggal diam, ia juga, ikut keluar dari dalam mobil. Tidak berniat untuk mendekati Danita dan laki-laki itu. Alaric hanya berdiri sambil bersandar ke kap mobilnya. Memperhatikan dua manusia yang sedang berhadap-hadapan, sambil sesekali keduanya melirik ke arah Alaric dengan lirikan tidak nyaman,

“Lu abis jalan sama Bang Aric?” Jeano bertanya dengan suara yang pelan.

No, bukan jalan kok, cuman pulang bareng aja.” jawab Danita disertai dengan senyuman manisnya, “oh iya, Anna tadi bilang katanya lo dateng kesini mau minta maaf ya?”

Jeano mengangguk dengan menampilkan senyuman tulusnya,

“Iya gue mau minta maaf. Maafin gue karena gue gak cerita sama lu dari awal kalau gue udah punya cewek. Gue tau itu gue salah banget, tapi, gue pun pada saat itu mikirnya kayak, ya ngapain juga gue cerita soal gue yang udah punya pacar, karena i think, thats not important soalnya gue pun juga gak ada niatan lebih sama lu, gue cuma pingin jadi temen lu, kayak dulu waktu awal awal kita ospek. Tapi mungkin, sikap gue itu ngebuat lu jadi gak nyaman. So, i just wanna say, im so sorry.”

Danita bisa merasakan ketulusan dari nada bicara Jeano. Gadis itu tersenyum menyambut untaian kata maaf dari Jeano,

Dont worry, im already forgive you, cuman ya jangan di ulangin lagi ya? Kasian loh cewek lu disana, nanti mikirnya malah gimana-gimana lagi.”

“Dia anaknya santai sih, cuman iya, gue emang harus ngehargain dia, karena dia adalah orang yang udah bikin gue berhasil lupain masa lalu gue.” kalimat diakhir, Jeano ucapkan dengan nada yang serius, dan tatapan mata yang berarti untuk Danita.

Tapi, Danita tidak menyadarinya. Terbukti dari tawa pelan gadis itu sebagai sebuah respon dari ucapan Jeano. Yah, Jeano tidak memiliki hak untuk marah, karena semua ini juga salahnya yang sampai sekarang tidak mau jujur akan perasaannya dahulu kepada Danita. Jadi, bukan salah Danita kalau gadis itu masih bisa tertawa setelah Jeano berucap seperti barusan,

Believe me, kalau lu nyakitin cewe yang udah nyembuhin lu dari masa lalu lu, nantinya lu bakalan nyesel. Jadi, please, jaga dia oke?”

Jeano menganggukkan kepalanya sambil menyunggingkan senyumannya.

Karena dirasa urusannya dengan Danita sudah selesai, Jeano pun akhirnya berpamitan untuk pulang,

“Dan, kalau gitu, gue pulang dulu ya?” pamitnya yang dijawab anggukan kepala oleh Danita.

Jeano melirik Alaric, dan mengangguk sambil memberikan senyuman tipisnya—sebagai sebuah sapaan untuk kakak tingkatnya itu. Setelahnya, Jeano kembali menaiki motornya, memaki helmnya, dan menyalakan mesin motornya yang bunyinya lumayan berisik itu,

“Pamit dulu ya Dan.” pamit Jeano sekali lagi.

“Iya. Hati-hati.”

Setelahnya, Jeano melajukan motornya meninggalkan kawasan komplek rumah Danita.

Dan, sekarang, hanya tersisa, Danita dan juga Alaric. Gadis itu melirik Alaric dengan malas, lalu mendekati kakak tingkatnya itu dengan ekspresi muka yang datar,

“Cowok emang brengsek.” itu kalimat pertama yang Alaric ucapkan kepada Danita.

Danita mendecih sebal, “ya lo juga sama aja kayak dia, malah lo lebih parah, check in di hotel bareng sama cewe lain.”

Alaric menghela nafasnya kasar. Niat hati ingin menjelek-jelekkan Jeano, eh, hal tersebut malah menjadi bumerang baginya,

“Soal itu..” Alaric seperti hendak menjelaskan perihal kesalah pahaman yang terjadi diantara keduanya.

Danita pun terlihat seperti menunggu kelanjutan kalimat yang akan Alaric lontarkan.

Namun, tiba-tiba, ponsel Danita berbunyi. Alaric seperti kehilangan fokusnya, begitu pula dengan Danita. Gadis itu buru-buru melihat ponsel yang berada di genggamannya tersebut, dan melihat siapa yang menelfonnya. Ternyata itu adalah ibunya.

Danita langsung mengangkat telfonnya, dan tanpa sadar, ia berjalan masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Alaric tanpa berpamitan kepada lelaki itu. Memang, kalau soal orang tua, Danita seperti lupa dengan orang lain yang ada di sekitarnya.

Alaric hanya dapat tersenyum melihat Danita yang tiba-tiba pergi meninggalkannya begitu saja. Lelaki itu tidak marah, ia justru merasa gemas. Entahlah, di matanya, apapun yang dilakukan Danita selalu membuatnya merasa gemas. Pada akhirnya, Alaric harus menunda menjelaskan kesalah pahaman yang terjadi ini. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam mobilnya, dan pulang ke rumahnya untuk beristirahat.


“Selamat sore kawula muda! Hari ini, sesuai janji aku sama Yazid, kita bakal bacain curcol sore dari siapa hari ini, Zid?”

“Kita bakal bacain curcol di sore yang mendung dan dingin ini dari Greta. Wow keren banget ini curhatannya dikasih judul hahaha!”

“Oh iya? Judulnya apa? Wah kreatif banget ya buat mba Greta yang tinggal di Setrasari Indah.”

“Judulnya almost. Kayak lagu Ariana Grande gak sih?”

“Yang mana? Oh yang almost is never enough itu yah? Ih itu ceritanya sedih banget tau!”

“Jangan-jangan, ceritanya hampir sama lagi kayak lagunya Mba Ari.”

“Kita gak pernah tahu. Jadi sekarang, mending kita baca curhatannya, oke? Ini kayaknya bakal sedih, jadi buat kawula muda yang mungkin relate sama cerita ini, boleh banget persiapin tisu, antisipasi aja. Kan kata iklan juga, sedia payung sebelum hujan, sedia tisu, sebelum hujan air mata.”

Suara penyiar radio yang talkaktive melalui tape mobil Alaric itu memecah keheningan yang terjadi di dalam sini. Iya, dari sejak keluar basement kampus, sampai, mereka sudah setengah jalan, tidak ada percakapan yang terjadi diantara keduanya.

Mereka berdua sama-sama merasa canggung. Selain itu, keduanya juga terlalu larut dalam pikiran masing-masing,

“Hallo kak, nama aku Greta, aku mahasiswi di UNPAD. Dua tahun yang lalu aku sempet deket sama kakak tingkatku, dia anaknya baik, mukanya bener bener ganteng banget, proporsi badannya pun juga sempurna. Intinya, dia bener bener perfect banget. Semua cewek suka sama dia, tapi untungnya dia sukanya sama aku. Waktu itu sih dia bilangnya gitu. Kita itu dulu deket banget, bisa dibilang orang-orang ngeliat kita tuh kayak yang pacaran, padahal enggak, aku bahkan sampai mikir kalau misalkan kita beneran bakal jadi sepasang kekasih. Tapi, ternyata takdir gak memihak itu sama kita. Aku, waktu itu lagi ada acara di hotel, nemenin papa sama mama aku, dan aku ngeliat dia check in sama cewek. Sakit hati aku waktu liat itu. Aku pingin nyamperin dia, dan mukul dia, tapi aku urungin niat itu, karena aku juga sadar kalau aku gak punya hak untuk cemburu sama dia.”

Telinga Danita terus mendengarkan cerita milik Greta yang dibacakan oleh si penyiar radio perempuan. Begitu pun dengan Alaric. Sambil tangannya memegang stir mobil, sambil telinganya bekerja dengan baik—mendengarkan kisah cinta tragis milik gadis bernama Greta tersebut,

“Setelah itu, aku nge cut off hubunganku sama dia. Aku bener bener hancur, sampai aku sakit dan bisa dibilang hampir mati karena penyakitku itu. Untungnya, aku bisa survive dan sadar bahwa kesedihanku ini enggak bakal pernah bisa bikin aku kuat, sedangkan cita-citaku adalah aku pingin jadi perempuan yang kuat.”

“Aku dan kakak tingkatku ini akhirnya musuhan, kami sering berantem dan saling sindir kalau ketemu di kantin. Pokoknya hubungan kami berubah 180 derajat dari semulanya. Sedih, sakit, rindu, kecewa, campur aduk dan perasaan itu masih menghantuiku saat ini. Saat dia udah bahagia sama perempuan lain, dan aku disini masih berdiri, dan nangisin kisah cinta aku yang—”

Danita tiba-tiba mematikan tape tersebut. Alaric terkejut. Namun sedetik kemudian, pria itu menahan tawanya, dia sadar kalau Danita mematikan tape itu karena dirinya (mungkin) merasa tersindir dengan cerita milik si Greta itu. Alaric melirik sebentar ke arah Danita,

“Kenapa dimatiin? Ngerasa kesindir?” ejek Alaric sambil matanya tetap fokus membawa mobil mewahnya ini di jalanan Bandung yang semakin lama semakin menggelap.

Danita mendelik sewot, “kesindir apaan? Males aja gue denger cerita bucin lebay kayak gitu.” alibi Danita, padahal sebenarnya, dia merasa tersindir dengan cerita dari Greta yang mirip sekali dengan ceritanya.

“Dih, padahal dulu waktu kita masih adem ayem, tiap sore, pasti lu selalu dengerin ardan Curcol Sore kan? Mau ceritanya bucin atau kagak juga lu dengerin sampe congean kuping gue.”

“IH!” pekik Danita, “DIEM BISA GA SIH LO?”

Alaric tertawa renyah.

Membuat Danita kesal memang selalu membuat perasaan Alaric senang. Gadis itu benar-benar terlihat sangat lucu dan menggemaskan kalau sedang kesal dan marah,

“Oke, gue bakalan diem, tapi dengan satu syarat.” ucap Alaric disela-sela tawanya.

Danita tidak merespon dengan ucapan, tapi gadis itu merespon dengan lirikan mata sinis,

“Lo harus temenin gue makan sore. Gimana? Mau nggak? Kalau mau gue diem, kalau nggak, gue bakalan terus gangguin lu.”


Danita terkejut melihat eksistensi Alaric di kantin gedung fakultasnya. Sebenarnya ia malas, tapi karena ia lapar ditambah ia sudah janjian juga dengan Jeano—teman baiknya saat ospek, jadi mau tidak mau, Danita terpaksa melanjutkan langkahnya ke kantin, walaupun rasanya berat sekali.

Gadis itu tiba di bangku kantin yang Jeano duduki, Jeano jelas langsung menyambut kehadiran Danita dengan hangat, lelaki itu juga dengan sopan dan lembut mempersilahkan Danita untuk duduk di bangku yang berada di hadapannya.

Tidak ada penolakan dari Danita, gadis itu mendudukkan tubuhnya disana.

Ia menaruh tasnya di sisi kanan, lalu, kepalanya ia tolehkan ke arah kiri, melihat Alaric yang duduk bersama kedua temannya Dimas dan juga Johnny. Danita tersenyum sinis melihat Alaric yang melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Ide licik seketika memenuhi isi kepala Danita,

“Dan.” panggil Jeano, Danita buru-buru menoleh ke arah Jeano, “mau mesen nasi goreng aja?”

Danita mengangguk, “gue dari kemarin kangen banget nasi gorengnya Bu Tiyem.” ucap Danita yang membuat Jeano terkekeh pelan.

“Ya udah kalau gitu gue pesenin dulu ya.”

“Iya.”

Jeano bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju lapak nasi goreng Bu Tiyem—salah satu nasi goreng favorit seluruh mahasiswa fakultas hukum, setelah memesan dua porsi nasi goreng, Jeano langsung kembali dan duduk di hadapan Danita,

“Udah?” tanya Danita retoris.

Jeano mengangguk, “pedesnya tiga sendok kan? Terus telornya di ceplok?”

Danita terkejut mendengar Jeano yang begitu hafal dengan pesanan biasa gadis itu setiap membeli nasi goreng Ibu Tiyem. Pasalnya, Jeano dan Danita saja hanya pernah makan nasi goreng bersama itu sekali, dan itu pun saat hari hari terakhir ospek, karena di hari itu semua mahasiswa dan mahasiswi sudah boleh untuk jajan di kantin kampus,

“Jenis kelamin lu aja gue tau, Dan.” canda Jeano yang langsung dihadiahi pukulan kecil oleh Danita di punggung tangan pria itu.

Jeano mengaduh sambil tertawa kecil,

“Seriusan ih kok lu tau sih? Kita aja kan kalau nggak salah makan nasi goreng bareng tuh cuman sekali aja gak sih?”

“Ya gimana ya, ingatan gue cukup kuat sih, walaupun itu kejadian udah 2 tahun ke belakang, tapi gue masih inget banget sih sampai sekarang.” jelas Jeano dengan penuh keseriusan di wajah tampannya itu.

“Lo keren ya bisa inget sesuatu yang bahkan udah lampau banget. Keren deh pokoknya!” puji Danita sambil mengancungkan jempolnya ke udara.

Danita menatap lelaki itu dengan tatapan kagum, juga senyuman lebar yang menghiasi wajah cantiknya. Hal itu membuat Jeano salah tingkah dibuatnya. Senyuman lebar Danita memanglah salah satu daya tarik dari gadis itu, tidak salah, Jeano pernah menjatuhkan hatinya kepada gadis itu 2 tahun yang lalu, namun, Jeano memilih untuk berhenti, karena Danita yang pada saat itu sudah dekat dengan Alaric, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakak tingkat Jeano dan juga Danita. Saat itu, Jeano merasa berat, karena harus merelakan Danita kepada Alaric, namun, dengan keikhlasan penuh, Jeano merelakan gadis itu ke pelukan Alaric, dengan harapan bahwa Alaric akan membahagiakan Danita, namun pada kenyataannya Alaric malah meninggalkan Danita dengan seribu rasa sakit yang menancap di hati Danita.

Sayangnya, ketika Jeano ingin kembali memulai semua dengan Danita, menjadi obat atas kesakitan Danita, seorang perempuan datang ke kehidupan Jeano, merampas habis perasaan Jeano kepada Danita, dan digantikan dengan perasaan indah dan bahagia kepada gadis yang saat ini sudah resmi menjadi kekasihnya. Namun, sayangnya, gadis itu berada lumayan jauh dari Jeano. Ya keduanya sedang menjalani hubungan jarak jauh.

Tapi, tenang, Jeano tidak akan pernah macam-macam. Ia sudah melupakan Danita sebagai seorang gadis yang dicintainya, tetapi ia tidak pernah melupakan Danita sebagai teman baiknya,

“Eh itu pesenan buat kita gak sih?” Danita bertanya sambil menunjuk ke salah satu pegawai Bu Tiyem yang sedang menyiapkan dua piring nasi goreng entah milik siapa.

Jeano mengikuti kemana jari Danita menunjuk, “iya deh kayaknya.” jawab Jeano.

“YEAY!” Danita berseru dengan riang.

Lagi dan lagi, Jeano hanya bisa terdiam dan salah tingkah melihat bagaimana cantik dan menggemaskannya Danita barusan.

Dan, benar saja, pegawai Bu Tiyem itu berjalan ke meja yang diduduki oleh Jeano dan Danita. Membawa nampan yang diatasnya berisikan dua piring nasi goreng yang masing-masing milik Jeano dan juga Danita. Lelaki yang lebih tua dari Jeano dan Danita itu, menaruh masing-masing piring yang berisikan nasi goreng itu di depan Jeano dan juga depan Danita.

Setelah itu, pegawai Bu Tiyem tersebut memilih pergi untuk kembali membantu Bu Tiyem dalam membuat pesanan untuk para mahasiswa dan mahasiswi yang semakin lama semakin banyak. Sementara, Jeano dan Danita menikmati nasi goreng tersebut dengan nikmat, disertai obrolan-obrolan kecil dan juga candaan-candaan yang dilontarkan oleh Jeano yang tidak pernah gagal dalam membuat Danita tertawa renyah.

Sementara itu di tempat lain—lebih tepatnya di meja yang diduduki oleh Alaric, Johnny, dan Dimas. Ada Alaric yang sedari tadi tidak sama sekali mengalihkan pandangan matanya dari Danita dan juga laki-laki bernama Jeano yang duduk dihadapan gadis itu. Kedua tangan Alaric mengepal melihat bagaimana mereka terlihat begitu akrab, dan juga sesekali melakukan skinship yang tidak terlalu intim namun cukup berhasil membuat Alaric jengah.

Dimas dan Johnny yang melihat itu hanya mampu diam sambil menertawakan Alaric dalam hati. Bagaimana tidak? Alaric selalu bilang kalau dia tidak lagi menyukai Danita, namun ucapan itu berbanding terbalik dengan bagaimana sikap Alaric saat ini. Saat laki-laki itu melihat Danita, gadis yang pernah hampir menjadi pacarnya, sedang bersama seorang lelaki lain,

“Secepat ini, Dan?”


Danita tidak tahu dosa apa yang sudah ia lakukan di masa lalu, sampai-sampai, sekarang mobilnya harus berhadap-hadapan dengan mobil milik Alaric. Gadis itu sekuat tenaga menghindari Alaric, tapi takdir seperti membuat hidupnya harus selalu terlibat dengan laki-laki gila itu,

“Sumpah ya? Gue harus sembunyi ke Antartika dulu apa biar enggak ketemu dia mulu?” monolog Danita sambil matanya terus memperhatikan mobil Alaric dengan jengah.

Tiba-tiba Danita terkejut ketika melihat seorang wanita bertubuh (maaf) sexy keluar dari dalam mobil tersebut. Diikuti dengan Alaric. Pupil mata gadis itu membulat besar, wajahnya memerah merasakan amarah yang perlahan-lahan naik ke permukaan perasaannya. Tanpa sadar, Danita mengepalkan kedua tangannya, gigi atas dan bawahnya saling bergesekan.

Kesal dan marah bercampur aduk di dalam sana.

Alaric memang definisi laki-laki paling brengsek di dunia ini. Padahal baru beberapa jam yang lalu, Alaric menawarkan tumpangan kepada Danita—yang memang gadis itu tolak, tapi apakah pantas, setelah Danita menolak tumpangan lelaki itu, dia malah memberikan tumpangan ke perempuan lain?

Danita buru-buru keluar dari dalam mobilnya. Keluarnya Danita dari dalam mobil, cukup berhasil membuat seorang Alaric terkejut. Namun sayangnya, lelaki itu terlalu pandai menyembunyikan rasa keterkejutannya,

“Eh ada adik tingkat kesayangan gua.” daripada sapaan ucapan Alaric barusan seperti sebuah ejekan yang cukup membuat Danita ingin melemparkan pot bunga di ujung sana ke muka lelaki itu.

Danita tidak memberi respon, ia hanya melihat kedua manusia itu dari atas sampai bawah, dengan tatapan datar namun cukup menusuk. Tatapan itu sebenarnya membuat Alaric gugup, tapi, sekali lagi, Alaric adalah orang yang paling ahli dalam menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya,

“Cewe baru lo?” tanya Danita sambil melirik gadis yang berdiri disamping Alaric.

Gadis itu hanya tersenyum, terlihat tersipu malu. Ia menundukkan pandangannya, sambil tangannya menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Argh! Danita kesal dengan sikap sok imut perempuan itu,

“Kalau cewe baru gue emangnya lo mau ngapain? Mau cemburu?”

Danita mendecakkan lidahnya,

“Cemburu?” tawa ejekkan Danita menggelegar di seluruh sudut basement, lalu seketika tawa itu berhenti dan wajah Danita berubah menjadi sangat datar, dengan tatapan matanya yang menusuk, membuat bulu kuduk berdiri untuk siapapun yang melihatnya.

Danita berjalan beberapa langkah untuk mendekati Alaric. Lalu tangannya ia gunakan untuk menepuk-nepuk pipi pria itu dengan pelan. Dari jarak sedekat ini, Danita sebenarnya bisa mendengar suara degup jantung Alaric, namun gadis itu tidak memperdulikannya,

“In your dream, honey.”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Danita memberikan senyuman miringnya yang bisa saja menantang maut siapapun yang melihatnya. Lalu, dia berlalu menjauh meninggalkan Alaric dan wanita yang tidak Danita ketahui namanya. Lagipula, Danita juga tidak ingin tahu nama perempuan itu. Tidak penting baginya.

Perasaan Alaric sekarang benar-benar tidak karuan. Katakan lah Alaric gila, tapi sesuatu dibawah sana terasa sesak setelah Danita melakukan hal diluar nalar barusan. Melihat gadis itu dari dekat, tangannya yang menyentuh kulit pipinya dan ditepuk-tepuk pelan, suaranya yang indah namun mematikan seperti sebuah siren dilautan sana, dan senyuman mautnya, membuat Alaric kehilangan akal sehatnya,

“Aric.” suara perempuan yang sedari tadi berdiri disampingnya menyadarkan Alaric dari lamunan gilanya.

Alaric menoleh ke samping. Wanita itu menatap Alaric dengan bingung, seperti meminta dijelaskan atas apa yang terjadi barusan. Namun, Alaric memilih bungkam, ia hanya menggelengkan kepalanya dan menampakkan senyuman tipisnya,

“Gue duluan.” pamit Alaric secara tiba-tiba. Namun langkah Alaric tiba-tiba terhenti ketika gadis itu membuka suaranya.

“Nanti pulang bareng lagi?”

Alaric terdiam sesaat, lalu ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum tulus,

“Sorry.”

Setelah itu Alaric pergi meninggalkan kawasan basement untuk menuju gedung fakultasnya yang tidak terlalu jauh dari basement kampusnya ini. Alaric benar-benar tidak perduli dengan nasib gadis yang tadi berangkat bersama dengannya itu.

Selama perjalanan menuju gedung kampusnya saja, yang memenuhi pikiran Alaric hanyalah Danita, Danita, dan Danita.

Tidak, ini bukan karena Alaric mencintainya seperti dulu atau bagaimana, tetapi ini karena Alaric terlalu terkejut dengan tindakan Danita barusan. Pria itu merasa, itu bukan seperti gadisnya—eh maksudnya, itu tidak seperti Danita.


“Lah itu bukannya si Rimbil?”

Alaric bermonolog sendiri ketika mobil yang ditumpanginya berhenti di persimpangan jalan, dan matanya melihat Danita yang tengah kebingungan. Melihat Danita yang seperti itu, Alaric bisa menyimpulkan kalau mobil putih yang dikendarai gadis itu tiba-tiba mogok.

Merasa ada kesempatan emas untuk menjahili gadis yang 2 tahun lebih muda darinya tersebut, membuat Alaric menyunggingkan senyuman nakalnya. Ia menurunkan rem tangannya ke bawah, dan menekan pedal gasnya pelan-pelan, lalu menggerakkan mobilnya ke arah Danita.

Alaric memarkirkan mobilnya tepat di depan mobil Danita. Bisa Alaric bayangkan bagaimana kesalnya wajah Danita sekarang karena melihat mobil Alaric ada di depan mobilnya. Pria itu keluar dari dalam mobilnya, lalu berjalan mendekati Danita.

Alaric bisa melihat kejengahan yang tercipta di wajah Danita saat melihat Alaric datang. Tapi, Alaric tidak merasa bersalah sama sekali, membuat Danita kesal adalah stress relief baginya,

“Mogok ya?” Alaric bertanya dengan nada yang terdengar seperti mengejek di telinga Danita.

Danita mendelik sebal, “buta mata lu? Pake nanya segala lagi.” kesal Danita.

Alaric tertawa renyah,

“Kalem dong. Gue nanya baik-baik loh ini, lo jawabnya udah kayak gue ngajak ribut aja.”

“Muka lo emang muka muka ngajak ribut mulu monyet.” jengah Danita.

Alaric tidak membalas ucapan itu. Pria itu hanya tertawa. Ia menyenderkan punggungnya ke bagian belakang mobilnya, sambil tangannya ia lipat di depan dadanya. Danita menatap kesal Alaric yang masih berdiri disana,

“Ngapain sih? Pergi sana lo dari sini.” usir Danita tidak bersahabat.

“Hari ini lo matkul siapa?”

“Urusannya sama lo apa?”

Alaric mendecakkan lidahnya,

“Jawab aja susah amat.”

“Bu Bonita.”

Senyuman jahil di wajah lelaki itu tercipta tat kala mendengar jawaban yang keluar dari mulut Danita,

“Sebagai kakak tingkat lu, gue cuman mau bilang sama lu, kalau Bu Bonita itu—”

“Galak kan?” potong Danita, “udah tau, gak usah ngasih tau gue.”

Alaric mengangguk setuju. Ia membenarkan ucapan Danita diatas,

“Dia juga pelit nilai sama orang yang selalu telat dateng ke kelas, sama yang baru pertama kali telat juga sih suka pelit nilai. Soalnya kan, you know telat itu kebiasaan, jadi ya bisa aja nanti terulang terus kebiasaan telat itu.” Alaric melanjutkan ucapannya, “enggak perduli nanti pas ujian lu dapet nilai sebagus apapun, nilai akhirnya bakalan C atau E, apalagi kalau lu telat masuk kelas dia. Bahaya banget deh itu dosen satu.”

“Maka dari itu, gue menawarkan lo sebuah privilege, yaitu, dengan mengantarkan lo ke kampus, biar lo selamat dari hukuman Bu Bonita.”

Danita menggeleng angkuh,

“No need to. Gue udah mesen gojek kok.”

Alaric mengangguk, “ya udah kalau gitu.”

Tiba-tiba ponsel Danita berbunyi. Alaric melihat Kaluna yang buru-buru mengangkat telfon tersebut. Lelaki itu bisa pastikan kalau itu adalah driver ojek online yang akan menjemput Danita,

“Hallo. Iya pak, saya Danita. Hah? Bapak minta di cancel?”

Alaric menahan tawanya ketika melihat Danita yang tiba-tiba memelankan suaranya ketika mengatakan kata di akhir,

“Bapak ini gimana sih, niat nyari uang gak? Bapak suruh cancel gitu aja. Ya terus kalau jauh kenapa? Apaan sih driver jaman sekarang pada manja banget. Emang udah kerjaan lo nge pick up penumpang mau jauh mau enggak. Terserah bapak lah, saya bisa aja laporin ini ke mitra gojek bapak ya? Saya merasa dirugikan udah nunggu beberapa menit disini tapi bapak gak dateng dan tiba-tiba suruh cancel karena tempatnya kejauhan. Gak usah pak, gak usah kesini. Saya merasa dirugikan jadi saya akan mengadu ke pihak gojeknya. Permisi!”

“Jadi gimana?” tanya Alaric menatap Danita dengan satu alis yang terangkat.

Tanpa menjawab apa-apa, Danita dengan wajah yang memerah menahan rasa kesal berjalan mendekati mobil Alaric. Melihat itu, Alaric langsung mengepal kedua tangannya dan membuat gerakan sambil mengatakan yes dengan suara yang pelan,

“Cepet bukan pintunya!” titah Danita ketiia dia sudah tiba di samping pintu mobil milik Alaric.

“Siap!”


Pagi ini, Danita dan kedua orang tuanya sedang sarapan bersama di meja makan kayu jati berbentuk oval yang letaknya berada di tengah-tengah kitchen counter di dapur kering yang ada di rumah sederhana tipe 120 ini.

Tidak ada percakapan yang terjadi di meja makan tersebut. Yang ada hanyalah suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Memang sudah menjadi adab bagi keluarga Danita—dan mungkin keluarga lain di luar sana—untuk tidak makan sambil bercengkrama ketika di meja makan.

Danita yang terlebih dahulu menghabiskan nasi goreng seafood buatan ibunya tersebut, lalu yang kedua ayahnya, dan yang terakhir ibunya. Meskipun sudah selesai dengan sarapan masing-masing, ketiganya masih tidak beranjak dari meja makan dan memilih untuk bercengkrama terlebih dahulu. Hal tersebut juga merupakan adab (bagi keluarga Danita).

Biasanya banyak hal yang akan menjadi perbincangan diantara keluarga kecil nan harmonis ini. Yang paling sering sih masalah perkuliahan Danita. Kedua orang tua Danita memang selalu ingin tahu perihal segala kegiatan Danita selama di kampus, itu tidak membuat Danita merasa risih atau bagaimana, gadis itu justru merasa senang karena setidaknya orang tuanya masih perihal soal pendidikan gadis itu.

Namun, topik pagi ini agaknya sensitif bagu Danita. Gadis itu menjadi sedikit kehilangan mood untuk melakukan harinya yang masih panjang ini,

“Kakak tingkat kamu yang waktu itu kemana? Kok sudah jarang datang ke rumah?” tanya ayah Danita sambil melirik anak gadisnya penasaran.

Danita memasang ekspresi datarnya. Gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya sebagai sebuah jawaban,

“Lagi slek ya kamu sama dia?” sang ibunda ikut bertanya.

“Gak sih biasa aja.” jawab Danita dari nada suaranya terdengar sekali kalau gadis itu memendam rasa kesal yang mendalam.

Kedua orang tua Danita mengulum senyum, tat kala melihat gerak-gerik Danita. Mereka bukanlah manusia yang baru hidup setahun atau dua tahun yang lalu, mereka sudah hampir empat puluh tahun hidup di dunia, mengalami banyak hal apalagi perihal percintaan. Dan, melihat respon juga ekspresi Danita saat ini, membuat keduanya tahu apa yang sudah terjadi diantara Danita dan laki-laki itu tanpa Danita harus menjelaskannya secara detail dan terperinci,

“Kalau ada masalah jangan dipendem, nanti kamu jadi stress sendiri.” nasihat ibu.

“Ih siapa juga yang punya masalah? Aku sih santai-santai aja, di kampus juga aku gak pernah punya musuh.” bantah Danita.

Sang ayah terkikik geli mendengar jawaban nyolot khas Danita, sementara sang ibu hanya mampu menahan tawanya—beliau tidak ingin membuat Danita menjadi semakin kesal,

“Iya iya, ayah sama ibu percaya kalau kamu itu enggak pernah punya masalah sama siapapun di kampus. Percaya kok kami.”

Seharusnya, Danita senang tat kala sang ayah berujar seperti barusan, tapi ini malah kebalikannya. Danita malah merasa kesal, mungkin karena ia merasa kalau kedua orang tuanya itu tahu bahwasanya Danita tidak benar-benar jujur ketika berucap dia tidak memiliki musuh di kampus.

Padahal, faktanya, Danita memiliki satu musuh di kampus yang membuatnya setiap datang ke kampus merasa seperti ia sedang datang ke neraka. Alaric, musuh abadi Danita, sampai kapanpun, Danita akan terus membenci Alaric,

“Terserah ayah sama ibu aja ah.” kesal Danita, gadis itu langsung berdiri dari duduknya, “Danita mau ngampus aja.”

Ia menyalami sang ibu, lalu memutari meja makan untuk menyalami sang ayah. Setelah mengucapkan salam, Danita keluar dari rumahnya itu dengan perasaan kesal. Bayang-bayang Alaric menghampiri otaknya yang semakin membuat Danita muak akan lelaki brengsek itu.


Dilan tidak langsung mengantar Kaluna pulang.

Lelaki itu membawa Kaluna untuk makan di pinggir jalan terlebih dahulu. Ya, ini memang permintaan Dilan, ketika di dekat perempatan lampu merah, Dilan mengeluh kepada Kaluna, kalau lelaki itu merasa sangat amat lapar, dan meminta Kaluna untuk menemaninya makan sebelum Dilan antarkan gadis itu pulang ke rumahnya.

Kaluna tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Dilan tersebut. Lagipula, akan sangat amat jahat kalau Kaluna menolak permintaan Dilan, dan membiarkan pria itu membawa motornya mengantarkan Kaluna pulang dengan kondisi perut yang kelaparan.

Dan sekarang, kedua manusia itu sudah duduk di meja makan, dengan Dilan yang asik menyantap makanannya, sementara Kaluna yang duduk dihadapan Dilan dengan diam dan tak bergeming sama sekali,

“Lu beneran gak mau mesen?” tanya Dilan setelah menelan dengan nikmat nasi goreng yang dikunyahnya barusan itu.

Kaluna mengangguk, “tadi di cafe aku udah lumayan banyak makan, jadi, aku udah kenyang.” jelas Kaluna.

Dilan hanya mengangguk sambil seraya menyuapi satu suapan lagi nasi goreng ke dalam mulutnya. Sekarang, nasi goreng yang tadinya sepiring penuh itu sudah habis, masuk ke dalam perut Dilan.

Kaluna melihat Dilan yang meminum es teh manis pesanannya dengan membuat gerak-gerik dan ekspresi serta suara khas orang-orang yang selalu ada di iklan minuman. Melihat itu, Kaluna tidak sanggup menahan tawanya,

“Kenapa ketawa?” tanya Dilan heran.

“Mas tadi minumnya kayak orang-orang yang ada di iklan minuman mas. Ekspresinya, gerak-gerik ya, sama suara khas selesai minumnya pas banget.” jawab Kaluna disela-sela tawanya.

Dilan tertegun tat kala ia mendengar Kaluna yang memanggilnya dengan panggilan, mas. Ini yang pertama bagi Dilan dipanggil seperti ini oleh seseorang, dan rasanya benar-benar sangat mendebarkan. Lutut Dilan terasa lemas,

”“Lun, lo tadi manggil gue mas?” Dilan bertanya di luar topik yang dibahas.

Kaluna mengangguk memasang ekspresi bingung, “emang kenapa mas? Mas gak nyaman ya? Saya kadang emang suka manggil mas ke orang yang lebih tua dari saya.”

Sudut bibir Dilan terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman,

“Gak. Gak apa-apa. Gue suka kok lo panggil gue mas.”

Kaluna tersenyum lega.

Ah, ingin rasanya Dilan berteriak kepada Kaluna, untuk berhenti menyunggingkan senyumannya, karena itu benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantung seorang Dilan.

Selain itu, kewarasan Dilan juga bisa hilang kalau Kaluna terus tersenyum seperti itu kepadanya,

“Lun, gue sampai lupa nanya nih sama lo.” Dilan mencoba untuk mendistract dirinya sendiri, “rumah lo tuh dimana ya? Ini gue kan mau nganterin lo balik tapi gue sendiri gak tau rumah lo dimana.”

Astaga! Kenapa Kaluna bisa lupa kalau sekarang dia sudah tinggal di rumah Jordan?

Sekarang, Kaluna harus menjawab apa pertanyaan dari Dilan barusan,

“Lun.” panggil Dilan menyadarkan Kaluna dari kekalutan dan kepanikannya.

Kaluna berhasil sadar dan menatap Dilan dengan tatapan polosnya,

“Ya kenapa?”

Dilan terkekeh, “rumah lo dimana? Ini gue mau nganterin lo ke rumah gimana caranya kalau gue gak tau rumah lo dimana.”

“Rumah aku… Rumah aku di Jalan…”

Baru juga Kaluna mau menjawab, tiba-tiba saja telfon Dilan berdering, menandakan ada satu panggilan masuk ke ponselnya. Dilan memberi kode kepada Kaluna untuk menahan sebentar jawabannya. Lalu, pria itu menangkat telfonnya.

Sementara Kaluna hanya bisa menghela nafas lega. Tetapi, tidak lama, karena mengingat setelah sambungan telfon itu terputus, Dilan akan kembali menyuruh Kaluna melanjutkan kalimatnya yang terpotong barusan,

“Apaan Jod? Hah? Haikal pingsan? Anjing kok bisa? Elah, gue lagi nganterin cewe ini, atau gini aja deh, gue anter dulu ini cewe balik, baru abis itu gue susul si Haikal—hah? Emang nyokapnya kemana? Yaudah anjir lu aja dulu yang jaga disana. Apa-apaan lo mau nganterin temen gue balik, kaga ada kaga ada. Ih si Jordan mah ada-ada aja, lu ribet banget tolol.”

Nafas Kaluna tercekat ketika mendengar Dilan menyebutkan nama Jordan,

“Ya udah sini dah, di Jalan Gatsu, depan Fellen, ya pokoknya cari aja tukang nasi goreng Sagilek tar ada motor gue keliatan pas di depan rodanya. Iye. Iye anjing berisik lu ah.”

Lalu sambungan telfon pun terputus. Dilan menaruh ponselnya diatas meja dengan raut wajah kesal,

“Mas, kenapa?” tanya Kaluna penasaran.

“Temen gue recet banget Lun, padahal kan gue mau anterin lo balik, eh dia malah minta gue buat nemuin temen gue yang pingsan. Temen gue namanya Jordan, lo tandain aja, anaknya ngeselin banget, awas lo hati hati kalau nanti di jalan dia tiba-tiba modusin lo, langsung lu pukul aja.”

Kaluna menelan salivanya gugup. Sambil kepalanya ia anggukkan.

Aduh, mas, masalahnya aku sama Mas Jordan tinggal satu rumah. Pukul dia? Yang ada aku yang dipukulin sama dia duluan.

Tidak butuh menunggu waktu lama, Jordan sudah tiba di tukang nasi goreng kaki lima ini. Dia melirik Kaluna sekilas dengan lirikkan sinisnya, lalu setelah itu menatap Dilan dengan tatapan paniknya,

“Lu cepet tolongin Haikal dah mending. Itu anak pingsan dari maghrib kagak bangun-bangun.” panik Jordan.

“Kenapa lo malah tinggal? Kenapa ga sama lo aja?” Dilan bertanya heran.

“Gue yakin Haikal nyariin lo, soalnya sebelum dia pingsan, dia sempet cerita soal lo gitu.” jawab Jordan ngaco.

Dilan mengerutkan dahinya bingung.

Jordan mendecakkan lidahnya kesal,

“Buruan anjing itu temen lo hampir mati.” paksa Jordan dengan penuh emosi.

Dilan juga jadi ikutan panik karena dipaksa-paksa seperti itu oleh Jordan,

“Iya iya anjing bentar.” ucap Dilan, “eh gue minta lu anterin Kaluna ampe depan rumahnya ya? Awas kalau sampai kagak. Abis lu besok di kampus sama gue. Terus jangan coba-coba lu modusin dia.”

“Gak bakal.” ucap Jordan dengan datar.

“Kaluna, gue pulang dulu ya? Besok kita ketemu lagi oke?”

Kaluna mengangguk sambil tersenyum tipis.

Setelah itu Dilan membayar tagihan nasi goreng yang dipesannya, dan lalu pulang untuk menyusul Haikal yang katanya sedang pingsan di kostannya.

Kini tersisa Jordan dan Kaluna,

“Pulang sama gue.” ucap Jordan dengan datar.

Kaluna mengangguk dan langsung berdiri dari duduknya.

Jordan berjalan terlebih dahulu ke arah mobilnya, dan Kaluna yang mengekori Jordan di belakang.


Kaluna berdiri tepat di depan pintu kamar Jordan. Ditangannya sudah ada segelas teh chamomile yang disinyalir dapat membuat siapapun yang meminumnya merasa tenang, dan bisa meredam emosi mereka.

Gadis itu terlihat cemas dan ketakutan. Iya, sejujurnya, bayang-bayang tatapan tajam mata Jordan masih menghantuinya. Kaluna masih takut, namun ia juga ingin meminta maaf secara pribadi kepada Jordan atas semua kekacauan yang ditimbulkannya.

Kaluna menghembuskan nafasnya. Memberi kekuatan kepada dirinya untuk berani menemui Jordan dan mengajak pria itu berbicara empat mata.

Satu tangan Karuna yang sebelah kiri, terangkat ke udara untuk mengetuk pintu kayu berwarna putih tersebut. Dan, Kaluna pun mendengar suara sahutan Jordan dari dalam sana.

Sial, padahal Jordan hanya bilang,

“Masuk!”

Tapi, bulu kuduk Kaluna langsung meremang, seperti dia baru saja mendengar suara paling seram di dunia.

Dengan penuh keyakinan, Kaluna membuka pintu tersebut. Begitu pintu berhasil terbuka, Kaluna langsung mendapatkan sambutan sinis dari Jordan. Itu membuatnya semakin gugup dan juga takut. Tapi, Kaluna mencoba untuk santai dan tetap tenang.

Gadis itu berdehem,

“Mas Jordan.” panggil Kaluna dengan suara gemetar.

“Lo ngapain dateng ke kamar gua? Mau pamer karena udah dibela sama bokap nyokap gue, gitu?” cecar Jordan dengan begitu sinis.

Kaluna langsung menggelengkan kepalanya, tidak membenarkan semua tuduhan yang dilayangkan oleh Jordan kepadanya,

“Terus kalau gitu mau apa?” tanya Jordan dengan suara yang agak tinggi.

Kaluna tersentak kaget, “i..ini m..mau nga..sih i..ni.” jawab Kaluna dengan terbata-bata.

“Apaan? Racun?”

“Bukan mas, ini teh chamomile, teh yang bisa bikin mas tenang dan ngilangin emosi mas.” jawab Kaluna, “sekalian, saya disini juga mau ngejelasin semuanya ke mas, dan minta maaf.”

Jordan terdiam tidak memberi respon apa-apa. Sedetik kemudian, pria itu sibuk memainkan ponselnya, dengan tubuhnya yang duduk di atas ranjang, beban tubuhnya yang ia senderkan ke dashboard kasur, lalu kakinya yang dia biarkan lurus.

Sementara Kaluna masih diam berdiri di tempatnya.

Gadis itu kebingungan harus berbuat apa sekarang. Jordan seperti tidak tertarik untuk mendengar penjelasan yang akan Kaluna sampaikan demi membereskan segala macam kekacauan ini.

Jordan yang sadar kalau gadis itu masih berdiri di tempatnya, segera menon aktifkan ponselnya, dan melirik gadis itu dengan lirikan tanpa minat sama sekali,

“Siniin tehnya.” pinta Jordan dengan ketus.

Kaluna mengangguk. Dengan sigap, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, dan menaruh segelas teh chamomile tersebut di nakas kecil samping ranjang berukuran king size milik Jordan. Setelah itu, Kaluna kembali berjalan mundur beberapa langkah untuk kembali berdiri di tempatnya berasal,

“Ngapain masih disitu?” tanya Jordan heran, “balik sana ke kamar lo, gak usah ganggu gue.”

Kaluna menggeleng,

“Maaf kalau kesannya saya gak sopan atau gak menghormati mas sebagai Tuan Rumah, tapi, saya cuman mau meluruskan semuanya, saya juga mau minta maaf secara pribadi atas kejadian tadi subuh. Saya sadar saya udah terlalu kurang ajar sama mas.”

“Gue gak minat buat dengernya.”

Kaluna tersenyum getir,

“Gak apa-apa. Saya bakal tetep jelasin, biar enggak ada kesalahpahaman lagi. Biar mas gak berantem lagi sama orang tua mas.”

“Terserah.”

Lalu, Jordan kembali memfokuskan dirinya ke ponselnya. Memainkannya seolah-olah dia sedang membalas pesan dari seseorang, padahal sebenarnya dia hanya sedang mengetik kata-kata asal di memo ponsel pintarnya tersebut,

“Okai, kayanya kalau nama, gak perlu saya sebutin, karena mas juga pasti udah siapa nama saya kan? Disini, saya bener-bener mau minta maaf atas kejadian tadi subuh, saya gak pernah punya maksud untuk nyembur mas pakai air yang udah ada di dalam mulut saya. Saya cuman kaget mas waktu tadi, subuh, kaget banget mas. Saya minta maaf.”

Jordan masih asik dengan ponselnya, tetapi telinganya bekerja dengan begitu keras mendengarkan suara lembut Kaluna,

“Apa yang dibilang sama mas tadi subuh itu benar, saya emang anak yatim piatu mas, saya dibuang sama ayah dan ibu saya di panti asuhan. Dan asal-usul saya juga emang gak jelas, jadi, saya maklum kalau mas merasa agak kurang nyaman dengan kehadiran saya disini.”

Seketika rasa bersalah menggerogoti hati Jordan,

“Saya juga gak pernah nyangka kalau misalkan, saya bakalan tiba-tiba dipertemukan sama Tante Tiffany dalam keadaan darurat seperti waktu itu, dan dari pertemuan itu membawa saya ke rumah ini, tinggal disini, saya enggak pernah nyangka mas. Satu sisi, saya senang, saya senang karena saya bisa punya keluarga baru, dan saya gak kesepian lagi, tapi disatu sisi, saya juga ngerasa enggak enak, terutama sama Mas Jordan.”

“Jadi mas, nanti, saya akan bicara lagi sama Om Darmawan dan Tante Tiffany, untuk supaya saya bisa keluar dari rumah ini, dan tinggal kembali di kontrakan saya yang lama. Mas tenang aja.” Kaluna memamerkan senyuman tipis di akhir kalimatnya.

“Udah segitu aja yang mau saya sampein ke mas. Saya pamit keluar dul—”

“Gak usah.” potong Jordan seketika.

Kaluna menatap Jordan dengan alis yang mengkerut bingung,

“Maksudnya?”

Jordan mendecakkan lidahnya, “ya lo gak usah pergi dari sini. Stay aja disini.”

Senyuman cerah menghiasi wajah cantik Kaluna. Melihat senyum itu, Jordan dibuat agak sedikit salah tingkah. Tapi pria itu masih mencoba untuk bersikap cool,

“Ini beneran mas?” tanya Kaluna tidak percaya.

Jordan mengangguk, “tapi, lo gak perlu sering-sering berinteraksi sama gue, anggep aja kita stranger disini. Pokoknya gue gak mau lo nanya ke gue, atau ngajak ngobrol gue, gue gak mau. Apalagi nanti kalau udah ngampus bareng, gue mohon sama lo jangan pernah lo deket-deket gue di wilayah kampus maupun diluar wilayah kampus.”

Kaluna agaknya merasa sedih dengan permintaan Jordan barusan. Apa Kaluna begitu menjijikan ya sampai-sampai Jordan tidak mau berteman dengannya? Ah, mungkin karena Kaluna yang tidak cantik, jadi Jordan tidak suka akan hal itu. Okey, Kaluna paham,

“Iya mas.” jawab Kaluna, “kalau gitu saya permisi dulu ya mas.”

Jordan mengangguk, Kaluna hendak berbalik, namun terhenti karena tiba-tiba Jordan memanggilnya,

“Kaluna.”

“Ya?” Gadis itu menyahut panggilan Jordan dengan lembut.

“Jangan terlalu formal. Jangan pakai saya.”

“Oh iya, nanti say—maksudnya aku usahain.” cengir Kaluna, “kalau gitu, say—eh aku maksudnya pamit dulu ya, mas.”

Jordan mengangguk mempersilahkan.

Kaluna pun keluar dari kamar Jordan dengan perasaan yang campur aduk.

Sementara Jordan di dalam, entah kenapa, bibir pria itu tidak bisa untuk tersenyum setelah Kaluna pergi dari kamarnya. Jantungnya juga berdetak tidak karuan, rasanya sangat aneh. Tapi, Jordan tidak memikirkan hal yang macam-macam sih, mungkin, menurutnya, ini biasa terjadi kepada seseorang yang baru saja bangun tidur.

Mungkin.


“Nah, karena Jordan udah gabung bareng sama kita, jadi hari ini, ayah mau ngasih pengumuman penting.” ucap Darmawan dengan begitu ceria, begitu pula dengan Tiffany.

Berbeda dengan Jordan yang hanya diam sambil memasang ekspresi masamnya. Dan juga Kaluna yang juga sama diamnya, namun bedanya, gadis cantik itu seperti ketakutan setengah mati, apalagi sekarang, Jordan duduk tepat disebrangnya,

“Sebelum itu, ayah mau minta maaf dulu sama Jordan. Maaf, karena ayah tadi subuh harus tampar kamu, tapi itu juga ada sebabnya, kamu bicara enggak sopan sama Kaluna.” ucap Darmawan sambil melirik anak laki-lakinya itu, dan Jordan yang diajak bicara tidak memberikan reaksi apa-apa selain hanya diam. Lalu, Darmawan beralih menatap Kaluna, “dan Kaluna, om sebagai perwakilan dari Jordan, mau meminta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu, karena kata-kata Jordan yang mungkin tadi subuh, ada bikin kamu ngerasa sedih atau jadi down, om minta maaf ya?”

Kaluna mengangguk sambil tersenyum kikuk. Jordan tiba-tiba menatap Kaluna dengan tatapan matanya yang tajam, menyaratkan sebuah rasa kekesalan yang mendalam. Kaluna takut akan tatapan itu, dia sempat tersentak, dan kemudian menurunkan pandangannya. Tidak, dia tidak sanggup kalau harus melakukan eye contact dengan Jordan,

“Okey, karena problem udah clear sekarang, sebelum kita mulai sarapan. Ayah mau kenalin Jordan sama Kaluna. Nah, Jordan, ini Kaluna, dia—”

“Dia yang nyelamatin bunda waktu bunda hampir jadi korban tabrak lari.” Jordan memotong ucapan sang ayah, “gak usah dijelasin beratus-ratus kali yah, Jordan juga tau.”

Darmawan terlihat kesal akan sikap anaknya yang menyebalkan dan dirasa amat sangat tidak sopan itu. Namun, dia mencoba untuk sabar dan tetap menyunggingkan senyumannya. Ia tidak mau merusak pagi yang cerah ini,

“Nah, lalu, Kaluna, ini Jordan, anak om dan tante satu-satunya. Om harap kamu sama Jordan bisa berteman dengan baik ya? Karena kan nanti, Kaluna bakal jadi adek tingkatnya Jordan di kampus, walaupun kalian beda jurusan.”

“Hah?” kaget Jordan, “ini dia kuliah disana atau gimana?”

“Jordan, Kaluna ini gap year, dia enggak punya banyak biaya—”

Jordan lagi-lagi kembali memotong ucapan orang tuanya. Kali ini, ucapan sang bunda yang dicelanya,

“Oke, jadi ayah sama bunda yang biayain dia? Ngapain sih yah, bun? Jordan tahu kita ini kaya, Jordan paham. Tapi gak gini yah, bun caranya. Kuliah itu gak murah loh, Jordan gak mau uang ayah sama bunda dipakai untuk ngebiayain orang lain yang tinggal di rumah ini.”

Tiffany memejamkan matanya untuk beberapa sehat, merasa lelah dengan tingkah Jordan yang entah mengapa menjadi seperti ini. Dan, Darmawan, kembali tersulut emosinya lantaran sikap Jordan yang menjadi sangat kurang ajar,

“JORDAN!” sentak Darmawan.

Jordan berdiri dari duduknya, menggebrak meja. Darmawan pun melakukan hal yang sama. Kini, dua laki-laki tersebut saling melempar pandangan marah. Tiffany dan Kaluna hanya bisa diam melihat pertumpahan darah yang akan terjadi diantara Jordan dan juga ayah kandungnya sendiri,

“Apa? Ayah mau marah lagi? Ayah mau bela anak itu lagi? Terserah. Lama-lama ini rumah isinya ngaco tau gak. Jordan yang anak kandung diperlakuin kayak anak tiri, sementara dia, gak jelas asal-usulnya dari mana, diperlakuin kaya anak kandung.”

“Jordan muak! Emang bener, mendingan Jordan gak usah pulang sekalian dari Paris, daripada pulang tapi ngga sama sekali disambut dengan baik. Dimarahin terus dimarahin terus. Capek! Sekarang terserah kalian mau ngapain!”

Setelah bicara seperti itu, Jordan pergi meninggalkan meja makan untuk masuk menuju kamarnya.

Darmawan meneriaki nama Jordan, namun tidak dihiraukan oleh lelaki itu. Beliau sempat ingin menyusuli Jordan, dan memberikan sedikit pelajaran kepada anak lelakinya itu, namun, Tiffany menahannya. Akhirnya Darmawan kembali duduk ke tempatnya.

Kaluna yang sedari tadi diam, merasa bersalah atas keributan yang terjadi di meja makan hari ini. Ia merasa semua ini adalah salahnya, dan ia memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki semua ini. Maka dari itu, Kaluna akan berbicara langsung kepada Jordan, meskipun rasanya takut, tapi Kaluna akan mencobanya,

“Tante, om, boleh gak kalau Kaluna yang bicara sama Mas Jordan?” izin Kaluna dengan begitu sopan.

“Kamu mau?” Tiffany balik bertanya dengan lembut dan tatapan mata yang berbinar.

Kaluna menganggukkan kepalanya mantap,

“Semua kekacauan ini ada karena kehadiran Kaluna, jadi Kaluna punya tanggung jawab penuh untuk ngeberesin semua ini. Gak apa-apa kan, tante, om?”

Tiffany mengangguk setuju, Darmawan pun melakukan hal yang sama,

“Sekarang kita sarapan aja dulu, nanti juga dia kalau laper bakalan turun ke bawah buat makan.”

Dan, ketiga manusia itu pun lanjut sarapan, tanpa adanya Jordan ditengah-tengah mereka.