jaehyunetz


“Abim?”

Kaynara yang baru keluar dari pintu lift bersama Jevano, begitu terkejut ketika melihat Abimanyu yang duduk di lantai depan pintu unit apartemen Kaynara sembari bersandar di tembok,

“Kamu ngapain disini, Abim?” Kaynara bertanya ketika Abimanyu sudah berdiri dari duduknya.

Mata Abimanyu berkilat marah ketika melihat Kaynara, kekasihnya, datang bersama laki-laki lain di jam sepuluh malam. Api cemburu menguasai dirinya. Demi Tuhan, Abimanyu ingin menghajar laki-laki yang entah siapa namanya itu,

“Dia siapa?” suara Abimanyu berubah menjadi dingin dan ketus, sembari dagunya sedikit terangkat dan ia gunakan untuk menunjuk Jevano.

“Ini Jevano, temennya Grace.” jawab Kaynara, dia seperti tidak sadar kalau Abimanyu tengah dilanda perasaan cemburu, karena nada suara Kaynara terdengar santai tidak ada kepanikan, “nah, Jev, ini cowok gue, Abimanyu.”

Jevano mengangguk paham. Lelaki itu dengan ramah menyunggingkan senyumannya, seraya mengulurkan tangannya ke arah Abimanyu untuk berkenalan dengan lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu.

Tapi, bukan balasan jabatan tangan yang Jevano terima, melainkan pukulan lumayan keras yang mengenai pipi lelaki itu. Dan, siapa lagi pelakunya kalau bukan Abimanyu.

Mata Kaynara melebar melihat apa yang terjadi barusan di depan matanya. Melihat Jevano yang terjatuh akibat pukulan keras Abimanyu, membuat Kaynara ingin menolongnya. Tapi, ada Abimanyu yang harus Kaynara selamatkan. Karena kalau Kaynara menolong Jevano, sudah jelas, lelaki itu tidak akan pernah selamat dalam hidupnya.

Maka dari itu, ketika Abimanyu ingin kembali menghajar Jevano, buru-buru Kaynara menghalanginya. Namun, emosi sudah terlalu menyuluti Abimanyu, dia mencoba berkali-kali untuk memberontak, namun, sekuat tenaga Kaynara menahan Abimanyu,

“Abim udah!” mohon Kaynara dengan penuh penekanan.

“Lu brengsek anjing. Lu bawa cewek gue pergi, dan baru balik jam segini. Kontol lo bangsat.” maki Abimanyu sembari matanya menatap marah ke arah Jevano yang sudah berdiri sembari memegangi pipinya—terutama sudut bibirnya yang berdarah akibat pukulan Abimanyu.

Meskipun Kaynara sudah memohon kepada Abim untuk berhenti, lelaki itu seolah tuli, dia tetap memberontak ingin memukuli Jevano. Sampai akhirnya, Kaynara juga tersulut emosinya, dia menampar pipi Abimanyu dengan lumayan keras. Membuat Abimanyu terkejut, sembari memegangi pipinya.

Jevano juga terkejut, dia hanya mampu diam di tempatnya sembari melihat kedua pasangan yang tengah bersitegang tersebut.

Sementara, Kaynara, dia berdiri di tempatnya, sembari matanya yang dibanjiri oleh air mata itu menatap lurus ke arah Abimanyu yang kini juga sedang menatapnya dengan mata melebar—akibat terkejut. Nafasnya yang naik turun, seolah-olah dia sedang mengontrol emosinya,

“Kamu tampar aku, Kay?” tanya Abimanyu dengan lirih. Matanya menatap sedih Kaynara.

“Iya.” jawab Kaynara dengan suara bergetar namun tetap terdengar tegas, “aku gak suka cara kamu mukul Jevano kayak barusan. Dia temenku!”

“Tapi dia bawa kamu pergi, kamu gak balas pesan aku, gak ngehubungin aku sama sekali. Aku khawatir, kalau dia—”

Kalimat Abimanyu terpotong oleh Kaynara, “dia gak bawa aku pergi, tapi aku yang minta untuk pergi dari kamu!” kilah Kaynara. Dia tidak pernah meminta untuk pergi, Grace yang membawanya pergi. Tapi, karena sudah kepalang emosi, terpaksa Kaynara berbicara seperti barusan.

Perasaan takut langsung merasuki Abimanyu setelah dia mendengar kalimat yang Kaynara ucapkan barusan. Gadisnya ingin pergi menghilang tanpa jejak dari Abimanyu. Tidak, hal ini tidak boleh terjadi. Abimanyu bisa gila kalau Kaynara pergi meninggalkannya. Demi Tuhan.

Jevano yang paham bahwa Kaynara membutuhkan waktu untuk berbicara serius dengan Abimanyu pun memilih untuk tidak berdiam lebih lama seperti orang bodoh disana. Lelaki itu segera pergi meninggalkan koridor unit apartemen Kaynara, tanpa berpamitan baik kepada Kaynara maupun kepada Abimanyu.

Kembali kepada Abimanyu dan Kaynara.

Kaynara sudah tidak memperdulikan keberadaan Jevano, dia benar-benar lelah—apalagi menghadapi Abimanyu yang begitu tidak bisa mengontrol emosinya sama sekali. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju pintu apartemennya, menekan beberapa password, lalu tidak lama pintu pun terbuka.

Sebelum masuk, Abimanyu menahan tangan Kaynara. Kaynara menghela nafasnya kasar, dengan wajah lelahnya, Kaynara menatap Abimanyu dengan tatapan sendu yang dingin,

“Apa?”

“Kita harus bicara.” mohon Abimanyu, “tolong jangan pernah punya pikiran untuk pergi dari hidup aku. Aku mohon.”

Kaynara mendengus,

“Kamu selalu bilang kayak gitu, setiap saat, setiap waktu, dimanapun, tapi apa buktinya? Omongan kamu itu gak sesuai sama gimana perlakuan kamu ke aku!” Kaynara menghempaskan tangan Abimanyu, “kamu terus main sama perempuan di belakang aku, kamu kayak enggak mau aku ada di hidup kamu, kamu kayak push me away secara perlahan dengan main sama banyak perempuan.”

Abimanyu membasahi kedua bibirnya yang kering menggunakan lidahnya. Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Apa yang dipikirkan Kaynara jelas tidak benar, tidak pernah sedikitpun Abimanyu berpikiran seperti itu. Semua ini pure karena sifat brengsek Abimanyu bukan karena ia ingin Kaynara pergi dari hidupnya. Bukan sama sekali,

“Enggak sayang, semua yang kamu pikirin itu enggak bener.” Abimanyu memajukan tubuhnya 1 langkah, dia menangkup pipi Kaynara menggunakan satu tangannya. Menatap gadisnya itu dengan tatapan sedih, “ini semua jelas karena kebrengsekan aku. Kamu separuh nafas aku, Kay, gimana bisa aku buang kamu?”

Kaynara terdiam. Matanya menatap Abimanyu dengan penuh kekecewaan. Abim bisa merasakan itu. Air mata luruh dari mata cantik Kaynara, mengaliri pipi tirus namun sedikit tembam milik gadis itu. Detik berikutnya, tangisan itu berubah jadi tangisan yang pilu. Abimanyu tidak sanggup mendengarkan tangisannya, hatinya sakit, Abimanyu ingin menyakiti dirinya karena sudah membuat kekasihnya menangis seperti ini,

“Aku cape, Abim. Aku capek.” isak Kaynara, “aku capek setiap hari aku harus dapetin info tentang kamu yang make out sama perempuan-perempuan asing diluaran sana. Aku capek, bener-bener capek. Aku udah gak sanggup lagi.”

Abimanyu menggelengkan kepalanya. Lelaki itu juga ikut menitikan air matanya. Kepalanya tidak bisa membayangkan dia akan kehilangan Kaynara di dalam hidupnya. Ia tidak sanggup demi Tuhan,

“Abim, aku cinta banget sama kamu. Aku setiap hari selalu nanya ke diri aku sendiri, kenapa aku bertahan sama kamu, maksain diri aku untuk nerima segalanya. Aku sakit, Abim, sakit banget demi Tuhan. Kamu gak sadar kalau kita udah terlalu hancur? Terutama aku. Apa kamu gak sadar?”

Abimanyu terdiam,

“Abim, aku gak pernah mau kehilangan kamu, kamu cinta pertama aku Bim, you're my first, tapi aku juga cape buat berjuang. Kamu selalu bilang kalau kamu adalah rumah aku, tapi, apa ada rumah yang sehancur ini? Apa ada? Aku bingung, Abim, aku kalau sendirian gak bisa, aku ngabisin hidup aku sama kamu, tapi aku juga gak bisa dan gak sanggup kalau harus terus-terusan sama kamu. Sakit, Bim, semuanya nyakitin.”

“Kamu ngasih aku banyak trauma, Abim. Aku gak bisa kayak gini terus, Bim. Maaf, kita harus masing-masing dulu. Kamu harus renungin kesalahan kamu, dan aku juga disini bakal nyoba untuk bisa nerima kamu lagi.”

“Kay, enggak, aku gak mau. Aku udah terlalu banyak kehilangan orang di hidup aku, aku gak mau kehilangan kamu. Aku butuh kamu, Kay, kamu alasan aku untuk tetap bertahan hidup.” Abimanyu memohon kepada Kaynara, suaranya lirih, air matanya tidak berhenti keluar dari mata indah lelaki itu.

Kaynara menggelengkan kepalanya. Demi Tuhan, dia menyerah. Dia menyerah dengan hubungan yang menyiksa ini,

“Aku gak bisa, Bim. Maaf.”

Kaynara masuk ke dalam, meninggalkan Abimanyu dengan segala penyesalannya di depan sana.

Di dalam, Kaynara menjatuhkan dirinya ke lantai, menangis tersedu-sedu. Selama ini, dia yakin kalau dia akan terus bersama Abimanyu, dia juga yakin kalau keadaan akan berubah dan dia bisa merubah sifat kekasihnya itu, tapi kenyataannya, hari ini, hubungan mereka harus berakhir.

Sudah tidak ada lagi kita diantara Kaynara dan juga Abimanyu.

Cerita mereka sudah berakhir.

Mimpi dan cita-cita mereka harus mereka gantungkan diatas langit. Biarkan semuanya menjadi kenangan indah yang sekaligus menyakitkan.

Kaynara berharap semoga setelah ini, Abimanyu bisa berubah dan bisa menemukan kebahagiannya. Baginya, kebahagiaan Abimanyu adalah yang paling utama.


Kaynara's POV

Aku terduduk di salah satu tempat duduk yang bentuknya seperti batang pohon, yang berada di pinggiran kebun teh yang memang sudah sering menjadi destinasi wisata para wisatawan, baik asing maupun domestik. Hari ini adalah weekdays kebun teh tidak terlalu banyak dikunjungi oleh para pengunjung. Hanya ada beberapa yang datang kesini, termasuk aku, Grace, dan teman laki-laki Grace yang bernama Jevano.

Aku benar-benar bersyukur karena Grace membawaku ke sini. Ke tempat yang sejuk, asri, dan jauh dari kata polusi. Sedikit lumayan bisa merefresh pikiranku, meskipun tidak bisa sama sekali menghilangkan perasaan sedihku. Sakit hati yang aku rasakan belum hilang sama sekali, sesekali aku masih sering menangisi segala perbuatan Abimanyu kepadaku beberapa bulan terakhir ini.

Aku terus bertanya-tanya, apakah aku begitu kurang dimata Abimanyu, sehingga lelaki itu terus mencari kepuasan dari perempuan lain di luaran sana? Tak ayal, aku juga kerap menyalahkan diriku atas sikap Abimanyu, aku menyalahkan diriku yang tidak bisa terlihat sexy di depan Abimanyu sehingga dia memilih untuk melampiaskan nafsunya kepada perempuan lain dibandingkan kepadaku, kekasihnya.

Aku bukan manusia suci, aku tidak menampik bahwa sex adalah salah satu hal yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan, apalagi hubungan diantara dua orang yang umurnya sudah legal dan sudah paham apa itu arti tanggung jawab, seperti aku dan Abimanyu. Aku tidak masalah, kalau Abimanyu memintaku untuk berhubungan badan dengannya. Tapi kami tidak pernah melakukan hal yang terlalu jauh, selain french kiss dan aku yang memberikan breastfeeding kepadanya. Hanya sampai situ, tidak lebih.

Aku takut. Takut kalau Abimanyu menyentuh semua perempuan itu lebih dari dia menyentuhku. Aku benar-benar takut akan hal itu. Selama ini, aku hanya selalu mendapatkan laporan kalau Abimanyu berciuman dengan banyak perempuan, dan aku selalu berpikir apa yang dia lakukan setelah ciuman itu berubah menjadi menuntut dan membangkitkan gairah di dalam dirinya? Astaga, memikirkannya saja langsung membuat air mataku kembali menetes.

Aku menarik nafasku dalam-dalam, dan langsung menghapus air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin menangis hari ini, cukup kemarin malam aku menangis sampai pagi, sekarang, biarkan aku menikmati liburanku dengan rasa sakit yang entah sampai kapan akan hilang,

“Kay.” suara berat seorang pria dari arah kanan memanggilku. Aku langsung menoleh, dia adalah Jevano, teman laki-laki Grace.

“Hai.” aku membalas sapaannya dengan tersenyum lebar. Ya, biarpun terlihat lebar, tapi sebenarnya, senyuman ini hanyalah senyuman palsu.

“Can i sit?” Jevano bertanya dengan begitu sopan sebelum ia mendudukan dirinya di sebelahku. Aku langsung mengangguk, memberikannya izin untuk duduk disampingku.

Benar-benar pria yang sopan dan penuh akan tata krama,

“Ahhhhhh.” Jevano mengeluarkan suara hembusan nafasnya, sambil matanya menatap ke hamparan daun teh di depannya. Aku hanya melirik wajahnya dari samping. Struktur wajah Jevano benar-benar seperti dewa. Hidungnya mancung, matanya yang indah, bibir tipisnya yang berwarna merah, benar-benar sempurna, “sejuk disini, diatas sana gue stress disuruh ini itu sama si Grace.” keluh Jevano.

Aku tertawa,

“Kalau gak riweuh nyuruh-nyuruh orang bukan Grace namanya.” ucapku yang dijawab dengan kekehan dan anggukan setuju Jevano.

“Lo temenan sama Grace udah lama?” Jevano bertanya sembari melirikku.

Aku terdiam seolah-olah sedang berpikir. Mengingat-ingat, sudah berapa lama aku dan Grace berteman,

“Hmm, udah lama banget sih, dari awal ospek sampai sekarang.” jawabku.

Jevano menganggukan kepalanya paham.

Lalu, keadaan diantara kami pun kembali hening. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat setelah aku melontarkan jawabanku, Jevano kembali melontarkan pertanyaan,

“Selama kalian temenan, Grace ada gak ya suka sama cowok gitu?”

Sebagai seorang perempuan, aku memiliki radar atas pertanyaan laki-laki yang memang pure hanya bertanya, atau ada maksud dibalik pertanyaan itu. Dan, untuk kali ini, aku entah kenapa merasa, kalau Jevano memiliki maksud terselubung dari pertanyaannya. Entahlah, aku merasa, sepertinya Jevano menaruh perasaan kepada Grace?

“Tunggu dulu deh, pertanyaan lo agak sus ya, lo suka sama Grace?” aku menebak curiga, dan cengiran dari Jevano itu sudah cukup menjawab kecurigaanku.

Iya, Jevano memang menaruh perasaan kepada Grace,

“Gue udah dari lama suka sama dia.” ungkapnya, “tapi dia kayaknya cuman nganggep gue temen main dan curhat dia doang.”

“Lu kok sok tau banget sih? Emang lo udah nanya langsung ke Gracenya?”

“Yaelah, Kay, gue juga tau kali mana cewe yang suka sama kita, dan mana cewek yang cuman suka hang out sama kita. Lagipula juga, kalau dia demen sama gue mah, dia gak bakalan ngejodohin kita.”

Aku terkejut. Jadi, Grace menceritakan soal rencananya untuk menjodohkan ku dengan Jevano kepada laki-lakinya langsung? Itu artinya, Grace juga menceritakan soal hubungan toxicku dengan Abimanyu? Astaga, Grace!

“Dia cerita kalau ke lo kalau mau jodohin gue sama lo?” aku mengulangi pernyataan dia menjadi sebuah pertanyaan yang penuh keterkejutan.

Jevano menganggukan kepalanya. Diam-diam aku menggigit bibir bawahku—demi Tuhan aku malu. Sangat malu,

“Aduh, dia cerita soal cowo gue juga gak?” aku bertanya, walaupun aku sudah tau jelas jawabannya pasti iya.

“Iya, malah cowok lu dijelek-jelekin mulu sama dia.” kan, benar apa dugaanku, pasti Grace menceritakan tentang Abim kepada Jevano, “eh tapi kalau misalkan kita ngomongin tentang cowok lo boleh gak?” Jevano meminta izin terlebih dahulu kepadaku sebelum dirinya membicarakan soal Abim.

Ketika ada seseorang yang berkata seperti barusan, sebenarnya aku takut. Takut kalau Jevano tahu hal-hal liar yang dilakukan oleh Abim dibelakangku. Ya, walaupun mereka berbeda fakultas, tapi Abimanyu adalah mahasiswa yang memiliki social butterfly yang tinggi, temannya ada dimana-dimana. Siapa tau sebenarnya Jevano mengenali Abimanyu tanpa sepengetahuanku,

“Lo kenal sama cowok gue?” tanyaku.

Jevano mengangguk, “siapa yang gak kenal seorang Abimanyu sih? Pentolan kampus yang terkenal tukang mainin perempuan, yang haters sama fansnya itu jumlahnya hampir sama.” lelaki itu terkekeh kecil ketika mendeskripsikan tentang Abim. Aku juga ikut tertawa, namun hatiku menjerit merindukan keberadaan Abim.

“Dulu, Bang Abim pernah main-main ke gedung teknik, dan ya ribut gitu sama mahasiswa teknik, gue gak ngerti permasalahannya apa, pokoknya si mahasiswa teknik itu sampai masuk IGD, dan rahangnya ada yang geser apa gimana gitu karena pukulan keras Bang Abim.”

Aku tidak terkejut dengan apa yang diceritakan oleh Jevano. Kekasihku itu memang tukang ribut dan pemukul yang handal, setiap orang yang dia pukul pasti tidak akan pernah berakhir dengan hanya luka lebam saja, melainkan adanya cidera parah di bagian-bagian yang dipukul dan yang paling parah adalah kritis dan di rawat di ICU,

“Anak teknik semuanya gak ada yang berani sama Bang Abim sampai sekarang.” aku dapat mendengar tawa sarkas dari Jevano, “padahal sama-sama makan nasi, tapi sebegitu takutnya.”

“Emang lo gak takut?”

Jevano melirikku seraya menggelengkan kepalanya, “buat apa? Toh gua sama dia sama-sama manusia, dia juga bukan Tuhan yang harus gua takutin. Jadi santai aja, selama kita ga macem-macem ya dia juga engga bakal macem-macemin kita.”

Aku mengangguk setuju. Ya, memang tidak sepatutnya kita begitu takut kepada manusia, atau memuja manusia, karena sejatinya, kita dan mereka itu sama. Yang membedakan hanyalah jenis kelamin saja,

“Jev.”

“Hm.”

“Menurut lo, gue bodoh gak?” aku bertanya dengan nada yang lirih namun terdengar serius, “Grace bilang gua bodoh karena masih bertahan sama Abim, padahal jelas-jelas Abim kelakuannya fucked up banget.”

Aku dapat mendengar hembusan nafas yang keluar dari mulut Jevano,

“Ya enggak lah. Lo gak bodoh.” aku diam tidak bergeming, membiarkan Jevano melanjutkan ucapannya, “gue pernah ada di situasi yang sama kayak lu, Kay. Waktu SMA, gue pacaran sama kakak kelas, dia manipulatif banget, dan demen banget ngegaslighting gue. Temen temen gue sadar akan hal itu, dan gue pun sadar. Temen-temen gue selalu nyuruh gue untuk putus sama dia, tapi gue gak mau, kenapa? Karena rasa cinta gue terlalu besar untuk dia, dan pada saat itu, gue berpikir kalau keadaan kita bakal membaik cepat atau lambat, gue cuman harus sabar aja. Tapi nyatanya, semua gak pernah membaik, malah dia jadi semakin semena-mena sama gue.”

“Lalu, gimana caranya lu keluar dari hubungan toxic itu?”

“Banyak faktor yang bikin gue akhirnya bisa keluar dari hubungan racun itu. Salah satunya adalah, harga diri gue sebagai laki-laki. Lu tau kan, cowok itu pridenya tinggi banget?” aku mengangguk, setuju, “nah, gue waktu itu udah lulus SMA, dan gue masih berhubungan sama dia, gue selalu ngabarin dia meskipun dia ga bales kabar gue, ya intinya gue ngejar-ngejar dia lah. Terus gue merenung selama beberapa hari, gue mikir, kayak, gue ngapain ya begini? Gue ngapain nurunin harga diri gue cuma demi perempuan yang gak mau sama gue. Im just wasting my time, dan ya udah setelah gue menyadari akan hal itu, ya, gue akhirnya berani ambil tindakan tegas dengan mutusin dia, meskipun gue sedih, karena ya gue cinta dan sayang banget sama dia.”

“Tapi, laki-laki sama perempuan itu beda. Laki-laki mungkin kalau ada di dalam hubungan yang toxic, bisa lebih mudah untuk mengakhiri, tapi perempuan enggak. Gak semua perempuan kuat dan bisa untuk pisah sama seseorang yang mereka cintai, meskipun udah disakitin ampun-ampunan sampai nimbulin trauma ke mereka.”

“Gue harus gimana ya, Jev? Bingung banget gue.” aku mengeluh dengan suara yang bergetar.

“Lo pernah cari tahu gitu gak sih soal latar belakangnya Bang Abim?” Jevano tidak menjawab pertanyaanku, dan malah balik bertanya.

Aku menggeleng. Lalu sedetik kemudian, rasa sedih muncul di dalam hatiku. Sudah hampir satu tahun aku dan Abimanyu berhubungan, tapi aku sama sekali tidak tahu menahu tentang latar belakang lelaki itu. Yang aku tahu, hanyalah kedua orang tua Abimanyu yang bercerai dengan cara yang baik-baik,

“Menurut gue ya Kay, gak ada asap kalau gak ada api. Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang itu ada pengaruh dari masa lalu. Dan, tingkah laku dan perbuatan Bang Abim yang separah ini, menurut gue ada sangkut pautnya dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu dia. Entah itu kedua orang tua dia yang cerai, atau dia yang pernah diselingkuhin sama seseorang.”

“Orang tua dia cerai sih, Jev.”

“Nah, maybe, that's the reason why dia bener bener kayak asshole banget kelakuannya. Lu harus omongin dulu semuanya sama dia.”

Bicarakan semuanya dengan Abim? Ya Tuhan, aku bahkan sedang menghindari laki-laki itu, karena tidak sanggup untuk melihat wajahnya, bayangan dimana dia mencumbu banyak perempuan tak dikenal di luaran sana, membuatku tidak ingin untuk melihat wajah tampannya.


Abimanyu's POV

Good morning, handsome.

Gue baru bangun, dan langsung kaget begitu ngeliat perempuan lain yang nyambut dan ngucapin selamat pagi ke gue. Dia adala Callista, salah satu partner one night stand gue dari jaman gue masih maba dulu. Dia cantik, baik, tapi dia gak sesempurna Kaynara.

Ah, bicara soal Kaynara, gue merasa bersalah karena lagi dan lagi gue ngelakuin kesalahan yang sama. Gue berharap gak ada seseorang yang ngasih tau perihal ini ke dia, gue gak mau kalau Kaynara harus kecewa lagi karena gue,

“Mau sarapan dulu? Gue udah buatin sarapan spesial buat lo.” Callista menawari gue sarapan dengan begitu ramah, juga nada suara yang dibuat sesensual mungkin. Jujur, gue mual dengernya.

Gue menggelengkan kepala sebagai jawaban atas tawaran Callista.

Gue langsung beringsut turun dari atas ranjang Callista. Dan memungut kemeja yang sempat terlepas, karena sesi make out gue semalem sama Callista, lalu memakainya. Gue gak bisa lama-lama disini, gue harus pulang, dan tempat pertama yang akan gue tuju adalah apartemen Kaynara,

“Tapi lo gak bisa keluar dengan perut kosong gitu aja, apalagi lo masih hangover.” Callista masih memaksa. Gak. Gue gak mau, waktu gue sama dia cuma tadi malam aja, dan setelah ini gue gak ada waktu untuk meladeni dia.

Sorry, gue gak bisa, gue mau breakfast sama cewek gue aja.”

Ya, Callista memang sudah tau kalau gue punya pacar, kayaknya semua partner one night stand gue tau kalau gue punya pacar. Mereka enggak mempermasalahkan hal itu, ada sih beberapa yang mempermasalahkan, tapi yang begitu udah gue buang jauh-jauh. Mereka mengharapkan gue bisa ngasih perasaan lebih ke mereka, meanwhile, cinta gue aja udah mentok untuk Kaynara. Gak mau gue kasih ke orang lain lagi.

Callista mengangguk paham. Yang gue seneng selama gue berpartner sama dia itu adalah, dia gak pernah ngurusin soal Kaynara, dan dia juga selalu menghargai gue sebagai laki-laki yang udah punya pacar, jadi sesi make out kami pun gak pernah sampai penetrasi, cuman foreplay. Itu udah masuk ke dalam perjanjian kita,

“Ok, have fun with your girlfriend.” ucap Callista dengan senyuman ramahnya.

Gue menganggukan kepala gue dan membalas senyuman ramah Callista dengan senyuman tipis. Tidak ada sama sekali kecurigaan dari gue ketika mendengar ucapan Callista barusan. Karena ya gua merasa gak ada yang aneh aja dari ucapan dia.

Dengan kepala yang masih pening, gue memutuskan untuk pergi dari apartemen Callista, dan menuju apartemen Kaynara menggunakan mobil gue. Gue tahu sih kayaknya Kaynara udah pergi ke kampus, tapi biasanya di hari ini, Kaynara selalu datang terlambat ke kampus, karena kebetulan dosennya yang jarang masuk untuk mengajar.

Butuh waktu sekitar 13 (tiga belas) menit untuk sampai ke apartemen Kaynara. Gue langsung bergegas turun dari dalam mobil, setelah mobil gue terparkir dengan rapih di basement apartemen Kaynara. Lalu berjalan menuju lobby, masuk ke dalam lift bersama beberapa para penghuni apartemen lain. Dan sampailah gue di lantai 7 (tujuh) dimana unit apartemen Kaynara berada.

Gue mencoba untuk menekan bell apartemen Kaynara, namun udah lebih dari tujuh kali gue tekan, gak ada jawaban sama sekali. Gue juga mencoba untuk menghubungi Kaynara, entah itu lewat chat, atau lewat telfon, gak ada balasan dan jawaban juga. Perasaan gue bener-bener enggak enak. Gue panik, berbagai macam skenario buruk bermunculan di otak gue.

Gak, gak mungkin Kaynara pergi tanpa jejak ninggalin gitu aja. Gak mungkin sama sekali.

Tangan gue langsung berkeringat, jantung gue berdegup dengan begitu cepat, perut gue kerasa sakit. Gue panik, gelisah, bingung, campur aduk menjadi satu. Sialan! Dimana, Kaynara sekarang? Gue pun mencoba untuk nelfon Grace sahabatnya, nihil, gak ada sama sekali jawaban dari sebrang sana.

Gue memutuskan untuk kembali turun ke bawah menggunakan lift. Dan, sesampainya di lobby, gue berlari kecil menghampiri resepsionis untuk bertanya, siapa tahu, gue mendapatkan titik terang tentang keberadaan Kaynara,

“Mba, maaf saya mau nanya.” gue berucap dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan.

“Iya boleh, ada yang bisa kami bantu.” mba-mba resepsionis itu bertanya dengan begitu ramah dan lembut.

“Residen atas nama Kaynara Flora Arabelle kira-kira udah keluar apa belum ya?” gue bertanya sembari harap-harap cemas, semoga gue mendapatkan jawaban seperti apa yang gue inginkan.

“Oh iya, Mba Kaynara sudah pergi dari sejak tadi pagi mas. Tapi dia gak ngasih tau kami mau pergi kemana.” jawab mba resepsionis tersebut.

Okay! I got it! Dia pasti pergi ke kampus, gak mungkin kan dia pergi ke tempat lain?

“Ya udah nakasih ya, mba.”

“Iya sama sama, mas.”

Gue langsung berlari secepat mungkin menuju basement untuk masuk ke dalam mobil, dan menggerakan mobil gue menuju kampus. Walaupun jaraknya cukup jauh, demi Kaynara, gue bakalan tempuh. Terkesan cheesy memang, tapi, kalau Kaynara meminta gue untuk menjemputnya di Antartika pun hal itu akan gue lakukan.

Tiga puluh menit dalam perjalanan, akhirnya gue tiba di gedung Fakultas Hukum kampus gue. Gue keluar dari dalam mobil, setelah mobil itu gue parkir di cafe yang letaknya bersebrangan dengan gedung Fakultas Hukum. Gue berjalan dengan berlarian menyusuri koridor gedung FH untuk bisa sampai ke kelas Kaynara.

Gue berharap kalau Kaynara masih ada di dalam kelasnya. Namun ternyata hasilnya nihil, begitu gue sampai, kelas Kaynara sudah kosong melompong. Tidak ada siapapun di dalam sana, gue semakin panik. Gue beneran takut Kaynara pergi ninggalin gue entah kenapa. Dia sama sekali gak ngasih gue pesan, atau izin.

Tiba-tiba dari arah belakang gue ada seorang office boy yang berucap permisi. Gue langsung berbalik, dan langsung bertanya kepada office boy tersebut,

“Mas, mas tahu gak ya kelas ini udah selesai dari kapan?” gue bertanya.

“Oh kelasnya Pak Rimba sudah selesai dari satu jam yang lalu. Dikarenakan Pak Rimbanya gak bisa ngajar, jadi baru beberapa menit mereka datang, sudah diperbolehkan pulang.” jawabnya, demi Tuhan gue langsung lemes.

“Mas kenal mahasiswi yang namanya Kaynara gak?”

“Oh yang suka sama Neng Grace ya? Kenal saya, tadi pagi ada kok dia masuk kelas, tapi tadi waktu papasan sama saya, mukanya murung gitu mas, terus juga dia sesenggukan kayak habis nangis.”

Sial! Pasti ada seseorang yang ngasih tau apa aja yang gua lakuin kemarin di birthday partynya Callista. Argh! Brengsek, brengsek, brengsek! Lo nyakitin dia lagi, Abimanyu, lo nyakitin dia lagi!,

“Mas tau gak kira-kira Kaynara sama Grace pergi kemana setelah selesai kelas?”

“Duh, saya gak tau ya mas, saya cuman office boy disini, gak merhatiin semua mahasiswa dan mahasiswi mas.”

“Ya udah, makasih mas.”

“Iya sama-sama.”

Kay, kamu dimana? Aku minta maaf, Kay. Aku beneran minta maaf. Tolong jangan tinggalin aku, Kaynara.


Abimanyu's POV

Waktu SMA, gue bisa dibilang adalah laki-laki yang paling baik di sekolah. Gue selalu sopan sama semua orang, dan gue pun selalu menghargai mereka semua. Di SMA, gue punya satu pacar, namanya Rosa, dulu gue sayang banget sama dia, sangking sayangnya gue sampai membuat boundaries antara gue dan beberapa perempuan di sekolah gue. Itu semua gue lakukan demi untuk menghargai posisi Rosa sebagai pacar gue. Gue gak mau ngebuat dia sakit hati.

Hubungan gua dan Rosa pada akhirnya harus kandas, meskipun sekuat tenaga gua mencoba untuk mempertahankan dia, tapi dia tetap ingin lepas dari gua. Akhirnya, gak ada hal yang bisa gua lakukan selain mengikhlaskan dia pergi dari hidup gue. Selama kurang lebih dua bulan gue bertanya-tanya, apa salah dan kurang gue sampai Rosa mutusin gue, bahkan gue sampai sering menyalahkan diri sendiri atas perpisahan kami berdua. Karena memang, pada saat Rosa minta putus pun, dia gak bilang apa alasannya, dia cuman mengeluarkan kalimat mematikan, yaitu, aku mau putus. That's it.

Namun pada akhirnya gue tau alasan kenapa dia minta untuk mengakhiri hubungan ini. Itu karena dia selingkuh. Iya, selama dia pacaran sama gue, dia juga pacaran sama laki-laki lain di belakang gue. Saat itu perasaan gue campur aduk, gue marah, kecewa, sedih, kesel pokoknya jadi satu. Entah udah berapa banyak samsak tinju yang gue pake buat gue pukul-pukulin sampai beberapa dari samsak tinju itu jebol percis seperti adegan Captain America di film The Avengers. Gue bener-bener hancur pada saat itu.

Setelah gue mencoba untuk ikhlas dan menerima semua fakta menyakitkan itu, dan mencoba kembali hidup sebagai Abimanyu seperti biasanya, masalah yang sama pun kembali muncul. Tapi kali ini datangnya dari orang tua gue, lebih tepatnya nyokap gue. Iya, nyokap gue ketahuan selingkuh sampai sering check in hotel sama temen kuliahnya jaman dulu. Mengetahui fakta itu, gue langsung bener-bener benci sama nyokap gue, untuk sekedar ngeliat dia pun gue merasa jijik. Gak sampai disitu aja, satu bulan kemudian, ada seorang perempuan yang umurnya beberapa tahun dibawah gua, dateng ke rumah dan bilang kalau dia hamil, dan bokap gua adalah ayah dari bayi yang dikandung sama anak itu. Gue stress. Bener-bener stress.

Gue sampai gila memikirkan kedua orang tua gue yang bisa-bisanya jadi manusia paling bejat di seluruh dunia, disaat seharusnya mereka menjadi orang yang paling bijak dan selalu mengajarkan hal-hal yang baik ke gue sebagai anaknya.

Kedua orang tua gue selalu ribut di beberapa bulan sebelum mereka cerai. Semua barang di rumah habis mereka lempar-lemparin ke lantai, bahkan guci kesayangan nyokap gue yang beli di Paris pun sampai hancur karena kekesalan nyokap gue ke bokap gue. Suara teriakan dan lempar-lemparan barang udah menjadi makanan sehari-hari gue. Sampai di hari dimana mereka resmi cerai, mereka masih sering ribut di pengadilan dan bahkan saling menyalahkan. Sebagai anak gue merasa malu, padahal jelas mereka berdua sama-sama salah, tapi entah gimana ceritanya mereka bisa jadi sama-sama egois dan gak mau disalahkan atas hancurnya pernikahan mereka.

Kalau kalian pikir hidup gue tenang setelah kedua orang tua gue bercerai, kalian salah. Trauma-trauma selalu menghampiri gue, setiap malam gue gak pernah bisa tidur dengan tenang, dendam gue terus mengudara sampai gue berpikir kalau, gak ada manusia yang baik di dunia ini, semua manusia itu jahat dan punya kecenderungan untuk nyeleweng. Maka dari itu, gua berpikir, kenapa gua gak sama aja kayak nyokap dan bokap gue? Kenapa gue gak main-main aja sama perempuan diluaran sana, tidur sama mereka dan membuat mereka jadi pelacur gue dalam semalam.

Pada akhirnya, gue bener-bener berubah. Gue bukan lagi Abimanyu yang setia, gue bukan lagi Abimanyu yang selalu menghargai orang dan menjungjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Gue adalah Abimanyu yang doyan nyeleweng, gue adalah Abimanyu yang selalu merendahkan perempuan, gue adalah Abimanyu yang jahat, brengsek, dan bajingan percis seperti nyokap, bokap, dan mantan pacar gua, Rosa.

Masuk kuliah, kehidupan liar gue semakin parah, gue sempet nyoba narkoba, tapi untungnya Gilang dan Langit menyelematkan gue. Gue yang gak pernah berani nyentuh alkohol sama sekali pun mulai berani nyoba-nyoba mabok di semester satu. Perempuan-perempuan yang gua tidurin pun gak cuman dari kalangan kupu-kupu malam di club aja, tapi beberapa mahasiswi di fakultas gue pun semuanya udah pernah gue “rasain”.

Gue gak pernah menikmati kehidupan liar gua yang seperti ini. Setiap malam, gue selalu pergi ke luar, ngeliat bintang-bintang, dan minta ampun sama Tuhan atas segala dosa yang udah gua perbuat. Tak ayal, gua juga selalu menangis mengingat semua rasa sakit, trauma, dendam, dan juga perbuatan-perbuatan jahat yang gua lakukan. Satu waktu, gue pernah memohon sama Tuhan. Gue bilang ke Tuhan, kalau Dia masih sayang sama gua, dan masih menganggap bahwa gue adalah umat-Nya, coba tolong hadirkan perasaan cinta di hati gue.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya saat gue berada di semester 3. Tuhan menjawab doa gue. Dia mempertemukan gue dengan seorang perempuan cantik yang polos, yang sekarang jadi pacar gua. Kaynara Flora Arabelle. Pertemuan kita pada saat itu bisa dibilang cukup unik. Gue masih inget, waktu itu gue lagi butuh banget nyari buku untuk bahan tugas gue. Gue akhirnya memutuskan untuk datang ke perpustakaan kampus, akhirnya gue mengambil salah satu buku yang mau gue jadiin rujukan untuk tugas gue. Waktu gue ngambil bukunya, eh, ada kertas yang ikutan jatuh. Gue ambil kertas itu, dan pas gue buka di kertas itu ada tulisan kurang lebih seperti ini:

“Hallo, kalau ada yang mau kenalan, boleh hubungi nomor temen gue ini ya, namanya Kaynara, anaknya cantik banget, tapi sayang jomblo dari lahir. Ini nomornya 081321665779.”

Gue terkekeh kecil waktu baca surat itu, namun sedetik kemudian gue termangu dan berpikir, haruskah gue menghubungi nomor ini? Atau gue buang aja, karena mungkin ini cuman kerjaan orang iseng aja. Dan, pada akhirnya—setelah berpikir cukup lama, gue memutuskan untuk menghubungi nomor tersebut. Gue gak kebayang kalau seandainya gue gak ngehubungin nomor telfon itu, mungkin sekarang, yang jadi pacarnya Kaynara itu bukan gue, melainkan orang lain.

Gue cukup berterima kasih sama Tuhan, karena masih mau mendengarkan satu doa gue, dengan memberikan sosok Kaynara di hidup gue. Sosok perempuan paling sabar dan paling tegar yang pernah gue kenal. Dia adalah perempuan yang masih bertahan, meskipun sering kali gue bikin kecewa. Dia perempuan yang masih sudi membalas setiap kata cinta yang keluar dari mulut gue untuk dia. Dia perempuan yang masih membela gue, disaat semua orang memandang gue dengan sebelah mata. Dia Kaynara. Kaynara gue.

Dan keributan gue dengan Gilang di group chat beberapa jam yang lalu, cukup berhasil menyadarkan gue betapa brengseknya gue selama ini kepada Kaynara, pacar gue. Tapi, sialnya, setan di dalam diri gue enggak mau mengakui kalau gue salah, dan gue malah membenarkan sikap jahat gue ini dengan alasan semua kebrengsekan dan kebajinganan gua ini hadir karena trauma gue atas perceraian kedua orang tua gue,

“Abim, kamu dengerin aku cerita enggak? Kok daritadi diem aja?” suara kesal itu, selalu berhasil menghangatkan hati gue, dan menaikkan mood gue yang hancur.

“Aku gak denger, maaf.” gue melanjutkan kalimat gue, “pelukan kamu terlalu nyaman. Maaf ya.”

Oh iya, dan satu lagi, Kaynara adalah perempuan yang masih sudi memberikan pelukannya disaat badan gue sudsh sering disentuh oleh banyak perempuan diluaran sana,

“Ck.” gue tertawa kecil di dalam dekapannya saat mendengar Kaynara yang mendecakan lidahnya. Kesel dia, “lain kali aku gak mau cerita sama kamu ah, kamu gak pernah mau denger cerita aku.”

Bukan gak mau sayang. Tapi pelukan kamu yang bikin nyaman, bikin semua organ tubuh aku kayak gak berfungsi.

Gua melonggarkan pelukan ini, cuman biar gua bisa liat wajah cantiknya yang lagi kesal. Kalian harus tahu, Kaynara yang lagi kesal itu lucu banget, lebih lucu dari hal apapun yang lucu di dunia ini,

“Maaf ya.”

Perkataan maaf yang gue lontarkan kepada Kaynara ini maknanya luas. Gak cuman karena gue yang gak dengerin cerita dia yang panjang tadi, tapi untuk semua rasa sakit yang udah gue kasih ke dia. Semua kekecewaan yang udah gue kasih ke dia. Dan semua kehancuran yang udah gue kasih ke dia,

“Maaf untuk semua yang aku lakuin ke kamu.”

Gue yakin, kesedihan sekarang menghiasi wajah gue, karena jujur gue merasa mata gue memanas, bulir-bulir air mata berkumpul di pelupuk mata gue,

“Kamu kenapa?” suara Kaynara menjadi lembut dan rendah, gue bisa ngerasain lembutnya sentuhan tangan dia di pipi gue. Hal tersebut ngebuat air mata yang gue tahan agar nggak keluar, malah mengaliri pipi gue gitu aja tanpa seizin gue.

“Ya ampun, Abim, ini kamu kenapa nangis, Bim.” Kaynara khawatir. Disaat gue yang udah hancurin perasaannya, dia masih khawatir dengan gue yang nangis kayak begini di depan dia.

“Jangan tinggalin aku, Kay.” lirih gue, suara gue tercekat. Seketika gue bisa merasakan semua kesakitan yang Kaynara rasakan.

Gue lihat Kaynara yang menggelengkan kepalanya, matanya yang menatap gue dengan tulus dan penuh kekhawatiran. Bibirnya yang tersenyum menenangkan. Betapa sempurnanya pacar gue ini,

“Aku gak akan pernah pergi dari hidup kamu, sebelum kamu yang minta aku untuk pergi dari hidup kamu.” ucap Kaynara.

Cuman orang bodoh yang pingin kamu pergi, Kaynara. Aku gak bakalan pernah mau hidup kalau kamu pergi dari kehidupan aku. Kamu jantungku, Kaynara, kamu separuh nafasku. Apa jadinya aku kalau tanpa kamu?

“I love you.”

“I know.”

Kami kembali lagi berpelukan. Gue menangis dengan begitu kencang di pelukan Kaynara, sambil merapalkan kata-kata “maaf”, Kaynara sama sekali gak mengeluarkan suaranya, yang dia lakukan cuman membalas pelukan gue dan mengelus-elus punggung gue.

Hanya dengan cara ini, dia berhasil membuat gue tenang.

Gue gak bisa bayangin kalau suatu saat Kaynara pergi. Apa gue bisa hidup tanpa dia?


“Enak banget kayaknya masakan aku, sampai belepotan gini kamu makannya.”

Kaynara menyindir Abimanyu, seraya jempolnya bergerak membersihkan sisa-sisa masakan di pinggiran bibir lelaki itu,

“Iya, ini makanan terenak yang pernah aku coba!” seru Abimanyu dengan begitu semangat. Satu tangannya ia angkat untuk menepuk-nepuk dengan lembut puncak kepala Kaynara, “pacarku emang keren! Aku beruntung banget punya kamu. Kamu satu-satunya perempuan yang paling berharga di hidup kamu. Aku gak bisa bayangin, Kay, hidup aku tanpa kamu kayaknya udah hancur.”

Kaynara tidak memberikan reaksi apapun, selain senyuman tipis dan tatapan mata yang menatap Abimanyu dengan lembut.

Perkatan, Abimanyu barusan, Kaynara rasa berbeda dengan kenyataan yang Kaynara rasakan. Dia bilang kalau Kaynara adalah satu-satunya perempuan yang paling berharga di hidup Abimanyu. Tapi pada kenyataannya, Abimanyu masih sering bermain dengan banyak perempuan diluaran sana.

Merasa ada yang aneh dengan Kaynara, karena gadis itu diam saja, Abimanyu pun berhenti memakan santapan makan siangnya, dan memfokuskan dirinya kepada kekasihnya itu,

“Sayang, are you okay?” tanya Abimanyu dengan lembut.

Kaynara tersadar dari lamunannya. Matanya yang berkaca-kaca kini menatap Abimanyu, “ya, kenapa?” gadis itu mengulang pertanyaan.

“Kamu kenapa? Kamu sakit?” Abimanyu bertanya sembari tangannya mencoba untuk menyentuh kening Kaynara, namun Kaynara langsung menghindar, membuat si pria kebingungan.

“Aku gak apa-apa.” jawab Kaynara berbohong. Dia sebenarnya ingin mengutarakan semua kesakitan yang ia rasakan selama ini kepada Abimanyu, namun rasanya tidak sanggup, terlalu banyak rasa sakit yang Abimanyu torehkan sampai Kaynara sendiri bingung, harus bagaimana.

Abimanyu menggeleng, “no, you're not okay, aku tahu dari mata kamu, kenapa? Ada yang bikin kamu sedih, iya? Siapa orangnya, kasih tau aku, biar aku pukulin dia sampai dia mati.” desak Abimanyu.

Dalam hatinya Kaynara bergumam,

Kalau gitu, kamu harus pukul diri kamu sampai mati Abim. Karena kamu adalah sumber segala rasa sakit dan sedih aku.

Kaynara tertawa pelan, seraya menggelengkan kepalanya. Ia sedikit mengangkat badannya untuk memberikan kecupan lembut di pipi kekasihnya itu,

“Udah aku gak apa-apa. Aku baik-baik aja. Kamu gak usah khawatir ya?” Kaynara bicara seperti itu hanya bertujuan untuk menenangkan Abimanyu yang terlihat clueless dengan keadaan Kaynara.

Abimanyu masih tidak percaya kalau Kaynara baik-baik saja, namun dia tidak mau terlalu membombardir kekasihnya ini dengan ribuan pertanyaan, dia takut nantinya hal itu malah membuat Kaynara menjadi tidak nyaman dan moodnya malah semakin down,

“Kalau gitu, aku mandi dulu ya, kamu nanti tolong cuci piring boleh kan?”

Abimanyu menganggukan kepalanya, “tapi nanti abis cuci piring aku minta hadiah ya?”

“Hadiah apa?” kening Kaynara mengernyit bingung.

“Cium.” jawab Abimanyu sambil tersenyum jahil, yang membuat Kaynara tertawa dan mencubit pelan perut kekasihnya itu.

“Modus!”

“Ya aku juga modusin pacar aku sendiri, bukan modusin orang lain.”

“Udah ah, aku mau mandi.”

“Ya tapi ntar cium. Yaaaaa?”

Kaynara tidak menjawab permintaan Abimanyu, hal tersebut membuat Abimanyu kesal dan meneriaki nama Kaynara (konteks disini Abimanyu hanya bercanda), namun sang gadis seperti tidak perduli, dia terus berjalan ke kamar mandi, dan memandikan badannya. Rencananya, hari ini Kaynara ingin berendam, dia ingin menetralkan pikiran dan hatinya.


Bagi Abimanyu, tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain terbangun dari tidurnya dengan Kaynara yang berada di sampingnya,

“Good morning.” sapa Kaynara dengan suara lembutnya. Tangan mungil gadis itu mengelus setiap inch wajah tampan Abimanyu.

Senyum merekah menghiasi wajah Abimanyu. Moodnya yang semalam hancur, kini kembali membaik karena Kaynara. Gadis ini memang pembawa kebahagiaan di hidup Abimanyu,

Good morning too, pacarku yang jelekkkkkkk!” ejek Abimanyu dengan suara khas bangun tidur, sembari tangannya mencuil ujung hidung Kaynara.

Membuat Kaynara mendecak kesal, sembari memegangi ujung hidungnya yang berubah warna menjadi “lumayan” agak memerah,

“Semalem kamu mabuk sampai pingsan tau gak.” ucap Kaynara mencoba mengingatkan memori sisa semalam Abimanyu, “kamu dibawa kesini sama Kak Gilang sama Kak Langit, kasian mereka harus bopong kamu dari lobby sampai ke lantai tujuh loh.”

“Biarin aja, mereka juga kalau mabok nyusahin aku. Gantian dong.”

“Terus juga muka kamu babak belur kayak begini, untung tadi sebelum kamu bangun udah aku bersihin luka-lukanya biar enggak infeksi. Kamu berantem sama siapa sih?” Kaynara mencoba untuk memancing Abimanyu.

Dan sepertinya pancingan itu berhasil, karena raut wajah Abimanyu langsung berubah menjadi kesal, apalagi sorot matanya penuh akan kemarahan, kalau mata itu bisa mengeluarkan api, mungkin akan keluar api dari sana, saking marahnya Abimanyu,

“Sama orang gila.” jawab Abimanyu terdengar ketus dan kesal.

Kaynara menghela nafasnya, dia mengikis jarak diantara dirinya dan Abimanyu. Membuat Kaynara bisa mendengarkan degup jantung Abimanyu, dan begitu pun sebaliknya. Keduanya saling menatap dengan tatapan yang lembut dan penuh akan cinta. Kaynara seperti lupa bahwa semalam ia menangis di pelukan Grace, sambil menjelek-jelekan Abimanyu,

“Sebenernya, aku tadi mancing kamu aja, aku tahu kok alasan kenapa kamu sampai babak belur begini.” Kaynara melanjutkan ucapannya, sementara Abimanyu mengelus pipi Kaynara dengan lembut, “terima kasih kamu mau lindungi aku, tapi aku mohon, jangan kayak gini ya? Aku sayang banget sama kamu, aku gak mau kamu kenapa-kenapa, semuanya bisa diselesain dengan baik-baik, gak perlu pakai kekerasan ya.”

Abimanyu menghela nafasnya,

“Aku cuman takut kehilangan kamu. Aku gak mau kehilangan kamu. Dia mau lukain kamu sayang, aku gak bisa tinggal diem.” suara Abimanyu terdengar agak bergetar, membuat Kaynara sedikit terkejut.

Kaynara mengecup bibir Abimanyu sekilas, lalu matanya menatap dalam mata Abimanyu, “you wont lose me, jadi kamu gak usah khawatir ya? Aku minta sama kamu untuk gak berantem-berantem kayak gini lagi, karena aku khawatir banget sama kamu. Kamu paham, kan?” sekarang, kalau diperhatikan dengan seksama, Kaynara terlihat seperti ibu dari Abimanyu.

“Yes, mommy.”

Kaynara tertawa geli mendengar ucapan Abimanyu barusan, Abimanyu juga ikut tertawa sebentar, karena setelah itu ia langsung menyosor bibir Kaynara. Melumat bibir gadis itu dengan lembut, Kaynara pun tidak tinggal diam, ia membalas ciuman Abimanyu tidak kalah lembut dan memabukan.

Kaynara melepaskan pagutan itu terlebih dahulu, membuat Abimanyu sedikit kecewa dan menatap Kaynara dengan tatapan kesal penuh tanda tanya. Melihat tatapan itu, Kaynara hanya tertawa geli,

“Aku punya penawaran lebih daripada sekedar ciuman kayak tadi.” ucap Kaynara sambil mengedipkan matanya genit kepada Abimanyu, disertai senyuman miring yang menggoda.

“Maksud kamu?” Abimanyu yang masih sedikit dikuasai alkohol (sepertinya) tidak paham akan maksud ucapan Kaynara.

Kaynara menghela nafasnya sedikit kesal.

Langsung saja, Kaynara melepaskan empat kancing piyamanya. Abimanyu terkejut sekaligus senang dengan apa yang Kaynara lakukan ini. Mulutnya menganga, ketika ia melihat dua gundukan besar dan sempurna itu. Tangannya gatal ingin menyentuh dan meremasnya, tapi, Abimanyu mencoba menahannya. Dia tidak mau melakukan hal tersebut tanpa adanya persetujuan dari Kaynara,

“Time for a milkkkkkkk.” ucap Kaynara seperti seorang ibu kepada bayinya.

“Kay?” Abimanyu masih bingung sekaligus tidak percaya. Bagaimana bisa Kaynara berubah menjadi liar seperti ini? Padahal hubungan mereka biasanya tidak jauh dari kissing dan cuddle.

“Berhubung pasta yang kemarin aku bikin untuk anniversary kita dihabisin sama Grace, jadi, hadiahnya sekarang dari aku adalah ini.” Kaynara mendekatkan wajahnya ke wajah Abimanyu, ia berbicara dengan suaranya yang dibuat serak namun sexy, “A milk.”

Abimanyu tidak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya,

“Kay, can i?” Abimanyu bertanya seraya menatap mata Kaynara dengan tatapan penuh harap.

Kaynaran tersenyum sembari menganggukan kepalanya. Dengan penuh semangat, Abimanyu menurunkan kepalanya dari bantal dan dibuat sejajar dengan payudara Kaynara.

Baru, dimulailah kegiatan kotor dua pasangan tersebut.


Astagfirullah, Abim.” suara Kaynara berubah lirih, saat ia membuka pintu apartemennya, dan melihat Abimanyu yang dibopong oleh Langit dengan Gilang, dengan wajahnya yang penuh akan luka lebam, “kok Abim bisa kayak begini?” tanya Kaynara seraya menatap Langit dan Gilang secara bergantian dengan tatapan matanya yang penuh kekhawatiran dan berkaca-kaca.

Gilang yang terlihat kelelahan karena membopong tubuh Abimanyu yang begitu berat pun menjawab,

“Nanti kita ceritain, boleh gak ini Abimnya dibawa ke kamar dulu. Berat soalnya.” keluh Gilang.

Meskipun badan Gilang dan Langit sama-sama besar, tetap saja, membopong Abimanyu yang tengah tidak sadarkan diri dari lantai dasar sampai lantai 7 itu sangatlah berat dan melelahkan.

Kaynara langsung mempersilahkan Gilang dan Langit untuk membawa Abimanyu masuk ke dalam kamar Kaynara. Gadis itu mengekori Gilang dan Langit dari belakang. Sesampainya di dalam kamar Kaynara yang bernuansa pink pastel ini, Gilang dan Langit langsung menidurkan Abimanyu di atas ranjang Kaynara. Dua lelaki itu langsung bernafas lega,

“Emang sinting si Abim.” keluh Gilang sambil memegangi tangannya yang terasa pegal.

“Kay, gue sama Gilang tunggu diluar ya buat jelasin semuanya.” pamit Langit yang langsung diiyakan oleh Kaynara.

Pergilah, Gilang dan Langit keluar, menunggu Kaynara sembari duduk di sofa ruang tengah yang masih berada di satu ruangan yang lebar dan luas dengan kamar Kaynara.

Sementara di dalam kamar, Kaynara sembari menangis, sembari melepaskan sepatu Abimanyu, tidak lupa dia juga melepaskan jaket yang digunakan oleh kekasihnya itu yang merupakan hadiah ulang tahun yang diberikan oleh Kaynara tahun lalu. Abimanyu bilang, itu adalah jaket kesayangannya, makanya lelaki itu selalu mengenakan jaket tersebut kemanapun. Setelah sepatu dan jaketnya terlepas, Kaynara menarik selimut berwarna cream itu sampai menutupi dada Abimanyu.

Gadis itu diam sebentar, memperhatikan wajah tampan Abimanyu sambil menangis. Lalu, setelah itu, ia sedikit merunduk dan memberi kecupan lembut di bibir kekasihnya itu. Dan setelahnya, Kaynara keluar dari kamarnya sembari menghapus air matanya, dan menyusul Langit juga Gilang yang sudah menunggu kehadirannya di ruang tamu,

“Mau dibikinin minum?” tanya Kaynara dengan suara paraunya.

Tadinya, Gilang ingin melunjak meminta dibuatkan kopi, namun melihat mata bengkak Kaynara, dan mendengar suara parau gadis itu membuat Gilang mengurungkan niatnya untuk meminta dibuatkan kopi,

“Gak usah, Kay, udah kembung minum mulu tadi sambil nemenin cowo lo mabok.” jawab Langit disertai tawa candanya, Gilang juga ikut tertawa.

Kaynara hanya tersenyum tipis.

Lalu, dia berjalan ke arah sofa, dan duduk di salah satu sofa yang masih kosong. Kaynara sudah siap untuk mendengar cerita dari Gilang dan juga Langit,

“Boleh diceritain gak, kenapa Abim bisa sampai gitu mukanya?” Kaynara bertanya sambil menatap Langit dan Gilang bergantian.

Bukannya menjawab, Gilang dan Langit malah saling bertatap-tatapan, seolah saling melempar tanggung jawab untuk siapa yang akan menceritakan semua kekacauan yang terjadi malam ini kepada Kaynara. Sampai pada akhirnya, Langit lah yang memilih untuk bercerita,

“Semua ini ada sangkut pautnya sama lo, Kay.” ucap Langit.

Kaynara mengerutkan dahinya bingung, “gue? Kenapa gue? Gue perasaan gak ngapa-ngapain.” bingung Kaynara.

“Abim itu punya musuh dari jaman SMA, namanya Marlo, nah beberapa hari yang lalu, Marlo ini ngirim chat ke Abim, dia ngefotoin lo yang lagi belanja di mini market deket sini, terus ya Marlo bilang, kalau semisal Abim gak dateng buat nemuin dia, Marlo bakal nyulik lo dan merkosa lo.” jelas Gilang.

Kaynara terkejut, ketakutan terpancar jelas diwajahnya,

“Kenapa gue?”

“His weakness is you.” jawab Langit, “dia gak masalah kalau harus kehilangan hartanya, tapi kalau kehilangan lo, dia bisa hancur sehancur-hancurnya, Kay.”

“Ya walaupun kelakuan dia brengsek dan bajingan, tapi, dia emang cinta sama lu. Gue juga gak tau, sifat dia yang sering main perempuan itu gak bisa ilang, padahal dia udah dapetin lu, dan dia juga sering banget bangga-banggain lu. Tapi, gue ga paham lah sama isi otak dia.” Gilang ikut menimpali.

Apa yang Kaynara pikirkan setelah Langit bilang bahwa Abimanyu bisa hancur apabila kehilangannya itu sama seperti apa yang dipikirkan oleh Gilang. Dia tidak paham, bagaimana bisa ada seorang lelaki yang begitu mencintai kekasihnya, tapi dengan terang-terangan juga dia main dengan perempuan lain. Kaynara, Gilang, dan Langit sama-sama tidak mampu untuk memahami jalan pikiran Abimanyu yang terlalu melenceng itu,

“Terus, Marlo Marlo itu gimana kabarnya?” Kaynara bertanya, dia takut kalau Marlo baik-baik saja, dan malah mengganggunya sungguhan bukan hanya ancaman belaka.

“Gue berharap dia baik-baik aja, tapi kayaknya, Marlo masuk ICU.” jawab Gilang.

“Hah?” Kaynara terkejut, “masuk ICU?”

“Iya. ICU. Lo harus tahu, cowok lo kalau udah gebukin orang itu udah kayak kemasukan setan. Gue aja tadi sampai ngeri mau lepasin Abim. Dia kayak gak ngasih ampun ke Marlo.”

“Ya Tuhan.” lirih Kaynara.

“Tapi lo tenang aja, Abim kebal hukum, kalau pun keluarga Marlo nuntut Abim, ya dia gak bakal bisa dipenjara, bokapnya Abim itu orang terkenal dan terhormat, gak mungkin dia ngebiarin anaknya masuk penjara. Jadi, lo tenang aja.” jelas Gilang.

“Bener, lo gak perlu takut, Abimanyu gak bakalan pernah ngerasain diem di dalam penjara sebanyak apapun dia ngelanggar hukum.” lanjut Langit.

Semuanya semakin begitu sulit dan membingungkan bagi Kaynara,

“Ya udah, ini udah malem juga, kita kayaknya harus balik, Kay. Titip salam ke Abim ya kalau udah bangun.” pamit Gilang sambil berdiri dari duduknya, diikuti dengan Langit dan juga Kaynara.

Kaynara mengangguk, senyuman tipis ia perlihatkan kepada kedua sahabat kekasihnya ini, “makasih ya udah mau anterin Abim kesini. Maafin Abim ngerepotin kalian terus.” ucap Kaynara.

“Abim kalau gak ngerepotin gue sama Gilang, dunia kiamat kayaknya Kay.”

Ketiga orang itu tertawa.

Gilang dan Langit pun kembali pulang ke tempat mereka masing-masing. Sementara Kaynara, gadis itu masih diam di tempatnya, banyak sekali hal yang ia pikirkan, terutama tentang Abimanyu. Semuanya benar-benar membuat Kaynara semakin stress. Bisakah ia dan Abimanyu merasakan normalnya kisah cinta pasangan mahasiswa yang indah seperti di dalam drama-drama?

Kaynara pergi menuju kamarnya. Kepalanya pening, dia harus mengistirahatkan dirinya, kalau tidak, dia bisa sakit. Sesampainya di kamar, Kaynara melepaskan branya terlebih dahulu, lalu ia naik ke atas ranjangnya. Dia menidurkan dirinya disamping Abimanyu. Posisi tidur Kaynara menyamping menghadap Abimanyu, dengan kepalanya yang ia taruh tepat di dada lelaki itu.

Ajaibnya, meskipun tidur dalam keadaan mabuk, Abimanyu seolah tahu kalau Kaynara berada di sampingnya dan tengah memeluknya. Tangan Abimanyu memegang tubuh Kaynara. Keduanya pun tertidur dengan begitu nyenyak.


Seharusnya, Abimanyu yang datang ke apartemen Kaynara malam ini.

Seharusnya, Abimanyu lah yang sekarang duduk di hadapan Kaynara.

Seharusnya, pasta buata Kaynara itu dihabiskan oleh Abimanyu bukan oleh Grace.

Seharusnya. Ya, seharusnya.

Namun, entah apa urusan yang sedang Abimanyu jalankan sampai dia harus membatalkan acara perayaan anniversary hubungan mereka yang ke 1 (satu) tahun. Kaynara tidak paham dengan isi kepala Abimanyu, lelaki itu bersikap seolah-olah sangat mencintainya, namun disisi lain, lelaki itu juga sangat sering menorehkan luka dihatinya.

Sebut saja Kaynara bodoh, meskipun Abimanyu lebih banyak memberikan luka dibanding kebahagiaan kepada Kaynara, tapi gadis itu masih tetap mau bertahan bersama Abim—panggilan kesayangan dari Kaynara untuk kekasihnya itu. Padahal Grace, sahabatnya, sudah menyuruh Kaynara untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Abimanyu, namun Kaynara enggan melakukannya.

Sebenarnya, bukan enggan melakukannya. Kaynara pernah di satu waktu meminta kepada Abimanyu untuk putus, karena gadis itu pernah melihat secara langsung Abimanyu yang bercumbu dengan seorang wanita di salah satu club malam di Bandung. Namun, Abimanyu menolak, dia memohon-mohon kepada Kaynara, bahkan Abimanyu sampai mengancam untuk membunuh dirinya sendiri kalau sampai Kaynara benar-benar ingin putus dengannya.

Kaynara yang mudah sekali untuk di manipulasi pun, pada akhirnya luluh, dan memilih untuk bertahan dengan Abim, meskipun Abim kerap kali mengulangi kesalahannya. Seolah mati rasa, Kaynara tidak pernah marah setiap kali ada orang yang melapor kepadanya sembari mengirimkan foto Abim yang tengah berciuman dengan seorang perempuan. Kaynara lebih memilih untuk mendiaminya, dan bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa.

Lelah? Jangan ditanya. Kalau lelah adalah uang, mungkin sekarang Kaynara sudah menjadi orang nomor terkaya di dunia. Dan apakah Kaynara ingin menyerah? Sangat. Ia sangat ingin menyerah, tapi dia juga tidak mau mendengar Abimanyu yang mengancam akan membunuh dirinya sendiri apabila Kaynara pergi dari hidup lelaki itu.

Posisi Kaynara sekarang benar-benar serba salah. Bertahan, menyakitkan, melepaskan, Kaynara tidak ingin Abimanyu menyakiti dirinya sendiri, ditambah, rasa cinta Kaynara masih begitu besar dan tulus untuk kekasihnya itu,

“Gue berasa makan sama patung tau gak!”

Suara kesal Grace berhasil menyadarkan Kaynara dari lamunannya. Gadis itu langsung membenarkan posisi duduknya, dan menatap Grace dengan tatapan linglung serta senyuman tipis.

Melihat itu, Grace hanya mampus menghela nafasnya kasar. Dia meletakan garpunya diatas piring yang masih berisikan pasta lezat buatan Kaynara. Mata Grace menatap mata sayu Kaynara yang menyimpan beribu kesedihan dengan begitu serius,

“Kalau sakit, lepasin, Kay, lo jangan terus-terusan ngehold dia dengan ngorbanin perasaan lo sendiri.” nasihat Grace kepada Kaynara, membuat Kaynara menghela nafasnya kasar.

“Seandainya gue bisa dengan mudah lepasin dia, nyatanya gue gak bisa.” suara Kaynara terdengar gemetar.

“Apa yang bikin lo gak bisa lepasin dia? Ancaman dia, iya?” Grace melanjutkan, “Kay, udah gue bilang, orang yang emang bener-bener mau bunuh diri itu, dia bakal bunuh diri langsung, tanpa perlu bilang ke orang atau ngancem ke orang lain. Apalagi laki-laki kayak dia, gue yakin, dia gak pernah bisa serius sama omongannya.”

Air mata yang sudah mengering entah kenapa kini kembali luruh di pipi chubby Kaynara. Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Mata basahnya yang sedari tadi melihat kemana-mana, kini terfokus menatap Grace yang tengah menatapnya dengan tatapan iba.

Teman mana yang tega melihat temannya diperlakukan seperti ini oleh laki-laki?

“I still love him so much.” ucap Kaynara, setelah berbicara itu, tangis Kaynara langsung pecah. Ini adalah tangisan terpilu dari Kaynara yang pernah Grace dengar.

Demi Tuhan, melihat Kaynara sengsara seperti ini. Membuat Grace ingin pergi mencari Abimanyu, memukuli lelaki itu sampai dia mati, karena dia sama sekali tidak pantas untuk hidup di bumi. Dia lebih pantas membusuk di neraka bersama para pendosa lainnya.

Grace bangkit dari duduknya. Dia mendekati Kaynara, dan menarik sahabatnya itu ke dalam dekapannya. Posisinya, Grace berdiri, dan Kaynara duduk di bangkunya. Jadi, Kaynara hanya memeluk pinggang Grace. Tapi tidak masalah bagi Kaynara, yang penting seseorang memeluknya dan memberikan dia kekuatan.

Meskipun dalam hatinya, Kaynara berharap kalau Abimanyu lah yang memeluknya,

“Kay, lo baik, Kay, you deserve someone better, orang brengsek kayak dia gak pantes dapet cinta suci lo. Tapi gue juga gak bisa ngelarang lo, karena kalau lo ninggalin dia disaat lo masih cinta sama dia, semuanya bakal sama aja. Tapi, kalau emang lo udah gak kuat, lepasin ya, banyak yang sayang sama lo dengan tulus. Gue mohon ya, gue gak mau sahabat kesayangan gue sakit hati kayak gini.”

Di dalam dekapannya, dengan tangis yang masih kencang dan sesenggukan, Kaynara menganggukan kepalanya paham dengan ucapan Grace barusan.

Kaynara hanyalah manusia biasa, dia memiliki batas kesabaran. Suatu saat nanti, Tuhan pasti akan menyelamatkan Kaynara dari semua rasa sakit ini, dan setelah itu, Kaynara janji, dia akan melepaskan Abimanyu dengan ikhlas.

Kaynara berjanji.


Juan duduk di bangku kantinnya seorang diri—tadinya dia bersama Annette, sepupunya, tapi gadis itu pamit sebentar untuk ke kamar mandi. Jadilah, Juan disana sendirian sembari menyantap nasi goreng seafood pesanannya yang sudah tinggal setengah piring.

Disela-sela waktu makannya, tiba-tiba ada seorang perempuan yang datang menghampiri meja kantin yang ditempati oleh Juan dan Annette itu. Juan langsung tersedak begitu dia melihat sosok perempuan di hadapannya ini.

Dia terlihat terkejut ketika Juan batuk-batuk akibat tersedak makanannya sendiri. Di atas meja itu, dia tidak melihat adanya air minum, maka dari itu, dengan penuh inisiatif, gadis tersebut memberikan botol air mineral yang masih penuh kepada Juan.

Juan awalnya menolak, tapi gadis itu tetap memaksa karena dia tidak tega melihat wajah Juan yang memerah akibat tersedak. Pada akhirnya, Juan menerima minuman tersebut, dan meminumnya hingga sisa air di dalam botol tersebut sisa setengahnya.

Lelaki itu bernafas lega,

Thank you buat minumannya.” ucap Juan dengan nafas yang masih agak berat.

“Sama-sama.” jawab gadis itu sambil menyunggingkan senyuman tipisnya.

By the way, kalau boleh tahu, nyariin siapa ya?” Juan bertanya kembali.

“Annette, dia bilang tadi katanya duduk di meja nomor 7, tapi kayaknya gue salah meja.” jawab gadis itu sembari melirik ke sekeliling kantin, mencari dimana sosok Annette berada.

“Oh, lo temennya Annette ya?”

“Iya.”

“Annette duduk disini kok, dianya lagi ke kamar mandi sebentar, paling bentar lagi juga balik.” tiba-tiba Juan berdiri dari duduknya, dan dia mengulurkan tangannya kepada gadis dihadapannya itu, “nama gue Juan.” ucapnya memperkenalkan diri.

Gadis itu menerima uluran tangan Juan, “Jessie.” jawab gadis yang ternyata bernama Jessie itu sembari tersenyum.

Percaya atau tidak, senyuman Jessie yang terkesan tipis namun manis itu berhasil membuat degup jantung Juan berada di batas normal alias tidak karuan. Dia tidak pernah melihat senyuman semanis itu di sepanjang hidupnya,

“Duduk aja silahkan, di tunggu Annettenya.” ucap Juan mempersilahkan Jessie untuk duduk setelah jabatan tangan mereka terlepas.

Jessie pun mengangguk. Juan kembali duduk di tempatnya, dan kemudian Jessie mendudukan dirinya di tepat di kursi yang ada di depan Juan. Kini mereka berdua sudah sama-sama duduk di meja yang sama, situasinya benar-benar awkward, terlihat sekali dari mereka berdua yang hanya saling diam, sambil sesekali saling mencuri pandang.

Baik Jessie maupun Juan, keduanya sama-sama gugup, tidak tahu harus berbicara apa,

“Cantik banget anjinggggggg ini cewek, udah gila apa ya si Annette punya temen secantik ini bukannya dijodohin sama gue?” batin Juan memuja salah satu hasil ciptaan Tuhan dihadapannya itu.

“Demi apapun, gue gak expect kalau sepupunya Annette bakalan secakep ini. Ya Allah, dia kalau sama gue aja boleh gak sih? Cakep banget soalnya, sayang kalau gak dijadiin pacar mah.” tidak hanya Juan, Jessie pun ikut memuja Juan di dalam hatinya.

Tidak lama kemudian, Annette pun datang setelah cukup lama dia berada di toilet. Senyum Annette langsung merekah ketika dia melihat sahabatnya, Jessie sudah berada disini—duduk berdua bersama Juan, sepupu kesayangannya,

“Ehhhhhhh sahabatku dateng juga akhirnyaaaaaaa.” sambut Annette dengan begitu ceria.

“Kalau gue gak dateng nanti lo kangen sama gue lagi.” jawab Jessie.

“Tau aja.” Annette melanjutkan ucapannya, “eh lo udah kenalan belom sama temen gue?” tanya Annette sambil menatap Juan.

“Udah, iya kan, Jess?” jawab Juan seraya menatap Jessie, dan Jessie pun menganggukan kepalanya.

“Bagus deh kalau udah kenalan, jadi gue gak perlu capek-capek ngenalin lo berdua lagi.” ucap Annette sembari duduk di kursi yang berada di sebelah Juan, “lo gak pesen makanan, Jess?”

“Iya ini mau pesen kok. Bentar ya.”

Annette dan Juan kompak menganggukan kepalanya. Mempersilahkan Jessie untuk memesan makanan,

Jessie langsung bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan pergi meninggalkan Annette dan juga Juan disana.

Setelah memastikan kalau Jessie sudah agak sedikit jauh dari meja makan Annette dan Juan. Lelaki itu langsung bersikap heboh, membuat Annette cukup terkejut,

“Lo kenapa anjir?” Annette bertanya begitu heran.

“Kenalin gue!” desak Juan, “kenalin gue sama dia please.”

“Kan tadi katanya udah kenalan.”

“Maksudnya comblangin gue.” mohon Juan, “gue kayaknya jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia.”

“Ada duit ada barang sih kalau gue.” Annette selalu pintar dalam memanfaatkan keadaan.

Juan mendecak,

“Gue traktir lo sampai gue berhasil deket sama dia.”

“Ok, deal!”

Annette tersenyum senang.

Sementara Juan membatin, namun dia pikir tidak apa-apa, toh uang Juan banyak, yang penting dia bisa dekat dengan Jessie setelah ini.


Mobil Honda CR-V Turbo berwarna putih milik Kinara sudah terparkir dengan rapih dan sempurna di pekarangan luar rumah Giselle. Kinara pun keluar dari dalam mobilnya seraya membawa parcel buah yang ukurannya lumayan besar. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam halaman rumah Giselle.

Pintu rumah Giselle memang dibiarkan terbuka, namun, rasanya tidak etis kalau Kinara main masuk ke dalam saja tanpa mengetuk terlebih dahulu. Bagi Kinara, meskipun keluarga Giselle menerimanya dan menganggap Kinara seperti bagian dari keluarga mereka, tapi Kinara harus tetap bersikap sopan.

Gadis itu menekan bell sebanyak dua kali, dan Giselle pun langsung datang menyambut Kinara di depan pintu rumahnya. Giselle tersenyum begitu bahagia menyambut Kinara, begitu pula dengan Kinara. Mereka berpelukan sebentar seraya cipika-cipiki,

“Dipikir-pikir kita kaya emak-emak rempong gak sih pake pelukan sama cipika-cipiki segala?” celetuk Giselle yang membuat Kinara tertawa, “udah ayo ah masuk, nyokap gue di dalem heboh banget nanyain lo.” ajak Giselle.

“Nyokap lo obsessed banget kayaknya sama gue, Sell.” Kinara berbicara dengan nada bercanda, dan Giselle pun paham akan hal tersebut, jadi, no hard feelings diantara mereka berdua.

Kinara dan Giselle pun masuk ke dalam rumah minimalis namun tetap mewah yang ditinggali oleh Giselle dan ibunya. Ayahnya Giselle tidak tinggal disini. Ya, ayah dan ibunya Giselle memang sudah lama bercerai, dan ayahnya Giselle memutuskan untuk tinggal di Amerika bersama keluarga barunya, sementara disini ibunda Giselle masih setia dengan status jandanya.

Ibunda Giselle benar-benar tidak memiliki pikiran untuk kembali menikah, menurutnya, menikah hanya membuatnya stress dan menambah kerutan penuaan, sementara ketika dia hidup sendiri seperti ini, dia semakin awet muda dan jauh dari kata stress. Jadi, untuk apa menikah selama hidup sendiri saja, ibunda Giselle bisa jauh lebih bahagia?

Giselle membawa Kinara ke arah ruang keluarga, dimana semua keluarga Giselle berkumpul disana. Mereka semua benar-benar menyambut Kinara dengan begitu baik, ada beberapa dari mereka yang sudah mengenal Kinara, dan ada beberapa dari mereka juga yang belum mengenal Kinara, namun begitu ramah dan terbuka kepada Kinara,

“Eh ya Allah ada anak aku yang kedua ini.” suara menghebohkan datang dari arah belakang, itu suara ibundanya Giselle. Tante Krystal.

Kinara dan Giselle kompak langsung berbalik ke belakang. Melihat Kinara yang membawa parcel buah, membuat Tante Krystal bertanya,

“Ini buahnya buat siapa?” tanya Tante Krystal.

“Buat dimakan bareng-bareng disini tante, makanya tadi agak lama dateng kesininya.” jawab Kinara dengan ramah.

“Ih kamu mah, padahal tante ini open house loh, malah kamu yang bawa makanan. Tapi terima kasih ya nak.”

Kinara mengangguk, “iya sama-sama tante.” jawab Kinara.

Lalu, Tante Krystal memanggil satpam di rumahnya dan menyuruh beliau untuk membawa parcel buah milik Kinara ke dapur. Satpam tersebut mengerjakan apa yang Tante Krystal suruh. Setelah tangan Kinara kosong, barulah Tante Krystal dan Kinara berpelukan untuk beberapa saat, dan Tante Krystal pun memberikan cipika-cipiki kepada sahabat dari anaknya itu.

Tidak ada sama sekali kecemburuan di raut wajah Giselle, gadis itu justru sangat senang melihat sahabatnya yang merantau dari Jakarta ke Bandung bisa dekat dengan keluarga besarnya. Jadi, Kinara tidak pernah merasa kesepian, karena di Bandung dia memiliki figur keluarga.

Kinara, Tante Krystal, dan Giselle bercengkrama bersama dengan keluarga Giselle yang lainnya, banyak topik yang mereka bahas, dari mulai tentang perkuliahan, keluarga, asmara, dan masih banyak lagi. At this point, Kinara benar-benar bisa masuk dan nyambung dengan keluarga Giselle, padahal Kinara termasuk orang yang sulit untuk bonding dengan orang lain.

Ketika tengah asyik bercengkrama, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang keluar dari kamar dengan muka khas bangun tidurnya. Anak kecil tersebut langsung mencuri perhatian Kinara. Ya, Kinara memang sangat menyukai anak kecil, mengingat di Jakarta dia memiliki sepupu yang masih balita. Kinara menyenggol bahu Giselle pelan yang duduk disampingnya, Giselle menoleh ke samping,

“Itu siapa?” tanya Kinara, “gemes banget kayak boneka.”

“Itu anaknya sepupu gue yang duda, namanya Nasya.” jawab Giselle, “bapanya bentar lagi kesini, lu bakal kesemsem sama dia, soalnya cakep banget walaupun kelakuannya kayak anjing.”

“Ya kali gue sama duda, Sell.”

“Sepupu gue nih duda bukan sembarang duda. Udah lu liat aja ntar lagi dateng.”

Kinara terkejut ketika Nasya—anak kecil itu datang mendekatinya. Mata puppy eyesnya menatap Kinara, membuat Kinara terhipnotis dengan gadis kecil itu. Tanpa aba-aba, Nasya meminta digendong oleh Kinara, gadis itu pun terkejut, dia menatap keluarga besar Giselle (termasuk Giselle sendiri) meminta persetujuan, apakah boleh atau tidak, lalu salah satu dari mereka menjawab,

“Gendong aja, Nasya jarang mau digendong sama orang lain, tapi sama kamu mau. Gak apa-apa.”

Maka dari itu, Kinara tanpa ragu langsung menggendong Nasya. Dengan nyaman, Nasya menaruh kepalanya di dada Kinara. Kinara paham kalau Nasya masih mengantuk, jadi, tangan Kinara menepuk-nepuk bokong Nasya dengan pelan dan lembut, membuat Nasya kembali masuk ke alam mimpinya,

“Mba Jess, udah jodohin aja atuh sama Jayden, liat udah cocok gitu jadi ibunya Nasya.” ucap Tante Krystal kepada wanita bernama Jessica yang tengah memperhatikan Kinara dan Nasya.

Kinara terkejut mendengar ucapan Tante Krystal, tidak dengan Giselle, gadis itu hanya senyum-senyum saja. Senyumannya pun tampak seperti senyuman meledek,

“Ah apa-apaan masih gadis terus cantik begini dapetinnya duda, mana udah ada buntutnya pula. Lebar, mending sama yang masih single aja ya neng Kinar ya?” Tante Jessica berbicara sambil menatap Kinara.

Kinara hanya tertawa kikuk, bingung mau menjawab pertanyaan itu seperti apa.

Kinara sebenarnya tidak mempermasalahkan status orang yang akan jadi jodohnya di masa depan. Mau dia single atau duda, Kinara tidak mempermasalahkannya. Karena bagi Kinara, mau single atau duda, semuanya tetap sama saja, tidak ada perbedaan yang begitu signifikan,

“Kan gue bilang juga apa, lu bakal di jodoh-jodohin sama sepupu gue.”

“Apaan sih lo, Giselle.”


“Assalamualaikum.”

Jayden pun akhirnya datang, setelah bermacet-macet ria di jalan. Semua keluarga menyambutnya dengan riang. Maklum, Jayden adalah anggota yang paling disayangi oleh keluarga besar Giselle, sebenarnya tidak ada alasan spesifik kenapa dia begitu disayangi disini, hanya saja mungkin karena sifatnya yang baik dan humble, membuat semua orang nyaman untuk dekat dengannya. Ditambah lagi, Jayden tidak membuat boundaries dengan semua anggota keluarganya. Itu yang menjadi nilai plus bagi Jayden.

Sebagai seorang ayah yang sudah memiliki satu anak. Hal yang pertama kali ia cari ketika sampai di rumah ini bukanlah ibunya, apalagi makanan, melainkan anaknya. Ya, Jayden benar-benar tidak bisa jauh dari sang anak, di hari-hari biasa, dia bisa membombardir aplikasi chating bernama whatsapp milik sang ibunda—Tante Jessica, hanya untuk menanyai kabar Nasya. Terkadang Tante Jessica kewalahan, dan ingin rasanya dia memarahi anak laki-lakinya itu, namun, Tante Jessica urungkan niatnya tersebut, karena dia paham bahwa Jayden sangat menyayangi anaknya,

“Nasya dimana, mam?” tanya Jayden kepada sang ibu.

“Itu tuh dibelakang lagi digendong sama calon ibu barunya.” jawab salah satu anggota keluarga besar yang ada disana.

Jayden mengerutkan dahinya—bingung dengan ucapan salah satu saudaranya itu. Namun, tidak mau terlalu lama memikirkan hal membingungkan tersebut, akhirnya, Jayden pun pergi menuju ke taman belakang untuk menemui sang anak.

Sesampainya disana, Jayden tidak berani untuk lanjut melangkahkan kakinya masuk ke pekarangan halaman belakang. Dia terdiam ketika melihat Nasya yang tengah bermain bersama seorang perempuan asing yang tidak ia kenali sama sekali. Entah mengapa, hati Jayden menghangat melihat pemandangan di depannya itu.

Ini adalah pertama kalinya, Jayden melihat Nasya yang telihat begitu bahagia bermain bersama seorang perempuan asing. Biasanya, gadis kecil itu selalu takut dengan orang asing, dan tangisnya bisa begitu kencang kalau dia bertemu dengan orang yang tidak dikenalinya, bahkan bersama beberapa saudaranya pun, Nasya masih selalu takut dan menangis.

Sejak kecil, Nasya tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Ibu kandung Nasya menjadi sosok yang paling tidak bisa menerima kehadiran Nasya di hidupnya. Satu minggu setelah Nasya lahir, ibu kandung Nasya tidak ingin memberikan Nasya asi, dan dia lebih memilih untuk pergi ke club dan berpesta miras bersama teman-temannya. Tidak hanya itu, banyak sekali hal-hal buruk yang terjadi kepada Nasya yang disebabkan oleh ibunya sendiri. Hal tersebut membuat Jayden geram, dan akhirnya ia melayangkan surat cerai kepada ibu kandung Nasya.

Setelah perceraian itu, Jayden tidak pernah mendengar kabar ibu kandung Nasya. Dia pun tidak perlu, dia tidak sudi mendengar kabar dari perempuan bajingan seperti wanita itu,

“Nasya akrab banget kayaknya sama temen gue.”

Jayden terkejut ketika mendengar suara Giselle di sampingnya. Lelaki ini menoleh sekilas untuk melihat sepupunya itu,

“Ngagetin aja lu.” protes Jayden.

Giselle tidak mengidahkan ucapan Jayden,

“Itu temen lu?” Jayden bertanya.

Giselle mengangguk, “namanya Karenina, dia anak Jakarta, kuliahnya di Bandung.” jawab Giselle, “tapi sambel masakan dia enak loh, lo kan suka sambel.”

“Ini lo lagi mau ngejodohin gue ceritanya?”

Giselle melirik Jayden dan tersenyum. Jayden menghela nafasnya berat,

“Gue gak mau nikah dulu, gue pingin ngurus Nasya.”

“Terus yang ngurus lo siapa?”

“Gue bisa ngurus diri gue sendiri.” jawab Jayden, “lagian gue nikah bukan karena biar gue ada yang ngurusin. Gue nikah ya untuk ibadah.” lanjutnya.

“For your sexual things, Jay.” Giselle kembali berbicara, “gue gak yakin lo sanggup untuk ga berhubungan badan sama perempuan.”

“Anjir, lo pikir gue PK?”

“Gue gak ada bilang lo PK, tapi, kayak—lo ngeduda udah mau masuk ke 3 tahun loh, bayangin ya anjing 3 tahun. 3 tahun lo gak having sex sama orang, dan lo cuman main sendiri terus, apa gak capek?”

“Bentar bentar bentar.” Jayden heran, “ini lo tau hal ini darimana?”

“Nyokap lo.”.

“Bangsat.” umpah Jayden.

“Nyokap lo mergokin lo ngeloco di kamar mandi. Lo gak malu apa?”

Jayden terdiam,

“Udah kata gua coba aja dulu.”

“Dia seumuran lu, Sell.”

“So what? Age just a number.”

Iya sih, memang betul, umur hanyalah sebuah angka. Toh, Jayden juga memang lebih menyukai gadis yang jauh lebih muda darinya,

“Nara.” Giselle berteriak memanggil Kinara.

Dari kejauhan, Kinara langsung berbalik, diikuti dengan Nasya. Nasya terlihat begitu senang ketika ia melihat ada sang ayah disana, gadis kecil itu pun langsung berlari menuju ayahnya. Melihat hal tersebut, membuat Kinara tersenyum, ikut senang melihat Nasya akhirnya bertemu dengan sang ayah.

Kinara berjalan menghampiri Jayden, Nasya, dan Giselle. Sekarang gadis itu sudah bergabung dengan ketiganya. Dan, bisa kalian tebak, Jayden mendadak kikuk ketika melihat Kinara. Demi Tuhan, baru kali ini Jayden melihat seorang perempuan yang sangat amat cantik seperti Kinara,

“Nar, ini Jayden, sepupu gue, bokapnya Nasya. Dan, Jayden, ini Nasya temen gue.” ucap Giselle saling memperkenalkan keduanya.

Kinara tersenyum, “Kinara.”

“Jayden.”

“Papa-papa, tadi Aca main cama Tante Nala, Tante Nala cantik papa, Tante Nala jadi mamanya Aca ya papa? Boyeh ya?”

Kinara dan Jayden sama-sama terkejut mendengar penuturan polos Nasya. Tapi tidak dengan Giselle, gadis itu justru merasa senang, dan ingin sekali ia memberikan banyak hadiah kepada Nasya karena sudah berbicara seperti barusan,

“Tuh anaknya aja udah setuju.” setelah berbicara seperti itu, Giselle pergi meninggalkan Kinara dan Jayden berdua.

Suasana tiba-tiba menjadi awkward. Baik Kinara maupun Jayden hanya saling diam dan sesekali saling menatap lalu tertawa kikuk,

“Sorry, Nasya tadi bicara kayak gitu.”

“Oh gak apa-apa…mas.”

Kalau bisa teriak, Jayden ingin teriak sekarang. Suara lembut Kinara yang memanggilnya dengan sebutan “mas”, berhasil membuat jantung Jayden berdegup secara tidak normal.