jaehyunetz


“Luk—”

Karina berniat untuk meneriaki sosok Lukman, mantan gebetannya yang tengah duduk bercengkrama bersama seseorang. Namun, teriakan Karina masuk kembali ke dalam tenggorokannya, tat kala dirinya menyadari bahwa seseorang yang tengah bercengkrama dengan Lukman itu adalah Barra. Karina menggigit bibir bawahnya, otak gadis itu berpikir keras, haruskah dia menghampiri Lukman dan mengambil tas pesanannya, atau kembali ke gedung Fakultas Hukum setelah kurang lebih sepuluh menit dia berjalan dari gedung FH ke gedung Fakultas Ilmu Komunikasi dengan kondisi cuaca yang sangat panas.

Sebenarnya, tidak masalah sih Karina datang dan menghampiri Lukman meskipun disana ada Barra. Tapi entah kenapa, mengetahui fakta bahwa Barra sudah memiliki kekasih membuat Karina rasanya malas untuk bertemu dengan lelaki itu. Karina tidak dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa sikapnya yang seperti ini adalah karena dirinya sudah terpikat oleh karisma yang dimiliki Barra. Tidak sama sekali. Dia hanya merasa agak malas saja mungkin.

Setelah berpikir panjang kurang lebih satu menit, Karina memutuskan untuk kembali ke gedung Fakultas Hukum. Gadis itu berbalik, hendak berjalan meninggalkan kawasan gedung Fakultas Ilmu Komunikasi, namun baru juga beberapa langkah, suara bariton Lukman meneriaki namanya. Karina memejamkan matanya kesal. Wajahnya Karina jelas terlihat malas dan tidak ingin menghampiri Lukman, namun lelaki itu memanggil namanya, mau tidak mau Karina berbalik, dan matanya menangkap pemandangan Lukman yang sudah berdiri dari duduknya seraya melambai-lambaikan tangannya kepada Karina—memberi tanda bahwa Lukman lah yang memanggilnya. Sementara Barra, pria itu juga sama berdiri dari duduknya seraya menatap lurus ke arah Karina, dengan senyuman cool yang pria itu berikan kepada Karina.

Karina menghela nafasnya panjang. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju Lukman dan Barra. Sesampainya Karina di hadapan dua laki-laki jangkung itu, membuat dirinya awkward sendiri, terutama dengan Barra. Karina tidak berani untuk sekadar melihat wajah Barra, dia tidak mengerti akan dirinya sendiri, kenapa dia bersikap seaneh ini?

“Bang, pokoknya makasih banget buat saran yang lo kasih ke gue tadi. That means so much to me.” ujar Lukman seraya menepuk pundak Barra. Melihat itu, dapat Karina tebak kalau Lukman memang berteman dekat dengan Barra.

Barra mengangguk sambil tersenyum sederhana yang justru malah menambah kadar ketampanan lelaki itu. Karina semakin tidak sanggup dan tidak ingin melihat wajah Barra,

“Sama-sama.” ucap Barra, lalu mata pria itu mencuri-curi pandang untuk menatap Karina yang sedari tadi matanya bergerak kesana kemari, mencoba untuk menghindarian kontak mata dengan Barra.

Sorry banget nih bang, kayaknya gue harus cabut dulu, soalnya ini cewek gue gak bisa kalau lama-lama, nanti ngamuk.” Karina melotot mendengar perkataan Lukman, apalagi dengan laki-laki itu yang tiba-tiba merangkul bahu Karina. Sialan, batin Karina bergumam. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan mengumpati Lukman di dalam hatinya.

Barra melihat Lukman yang merangkul Karina dengan tatapan tidak suka. Tatapan mata Barra menajam, bak sebilah belati yang siap untuk memotong tangan Lukman agar tidak seenak jidatnya merangkul bahu Karina. Namun, Barra tidak dapat melakukan apapun, dia hanya bisa diam, sembari tangannya mengepal menyalurkan rasa kesalnya. Sedetik kemudian, Barra tetap memberikan senyumannya—yang terkesan terpaksa kepada Lukman,

“Oh iya, have fun sama cewek lu ya.” entah kenapa Karina merasa seperti Barra menekankan suaranya ketika dia menyebut kata have fun dan cewek lu ya. Entah memang dia benar menekankan suaranya, atau hanya Karina saja yang menyadari itu.

Setelah itu, Lukman membawa Karina pergi dari tempat tersebut. Beberapa kali, Karina mencoba untuk melihat ke belakang, dia berniat untuk memberikan salam perpisahan dengan Barra, namun yang nampak adalah Barra yang tengah berjalan pergi entah kemana. Karina tersenyum getir, mungkin lain kali, Karina bisa menyapa dan berpamitan dengan lebih baik kepada Barra.

Lukman membawa Karina pergi ke parkiran mahasiswa yang ada di gedung Fakultas Ilmu Komunikasi, untuk mengambil tas titipan Karina yang Lukman taruh di mobilnya. Tas itu harganya sepuluh juta, belinya pun di Milan, Italia, jadi, Lukman harus menyimpan tas mahal dan bermerk tersebut di tempat yang baik. Dan, mobilnya sendiri adalah pilihan yang tepat.

Sesampainya di mobil Lukman. Karina buru-buru melepaskan tangan Lukman dari bahunya, menggunakan tangannya sendiri dengan kasar. Lukman sudah biasa diperlakukan kasar seperti ini oleh Karina, jadi dia tidak marah sama sekali. Lelaki itu malah tertawa, membuat kekesalan Karina terhadapnya semakin membuncah,

“Ngapain lo ketawa!?” kesal Karina melihat Lukman yang tertawa.

“Lucu lo kalau lagi kesel.” bukannya merasa bersalah atau bagaimana, Lukman malah mengejek Karina, semakin kesal Karina dibuatnya.

“Eh sumpah ya! Gue gak suka lo kayak tadi bilang gue cewek lo, terus rangkul-rangkul gue. Emang laki gak ada otaknya ya lu. Minta gue jadiin orak arik daging.” omel Karina.

“Orak arik daging gak ada, adanya orak arik tempe kali.” ejek Lukman.

“NGEJAWAB AJA LU!”

“Ya elu ngamuk ngamuk aja, gak bakal gue kasih nih tasnya.”

“Ya udah, terserah, nanti gue laporin lo ke kantor polisi, atas pasal penipuan!” ancam Karina yang jelas saja tidak serius. Karena dia tahu, Lukman hanya sedang bercanda saja, jadi Karina juga tidak benar-benar serius menanggapi ucapan lelaki itu. Namun tetap saja, rasa kesal Karina kepada Lukman nyata adanya.

“Duh ileh, emang dasar anak hukum ye, dikit dikit lapor polisi.” Lukman menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari pria itu membuka bagasi mobilnya, dan mengambil tas pesanan Karina yang masih terbungkus rapih dengan paper bag bertuliskan Gucci tersebut, “nih tas lu!”

Lukman memberikan tas tersebut kepada Karina. Senyum Karina merekah, moodnya yang tadi hancur, seketika naik kembali karena tas yang sudah lama ia idam-idamkan bisa datang ke pelukannya juga. Butuh waktu 2 bulan untuk Karina bisa menabung dan membeli tas yang harganya belasan juta ini,

“Seneng lu?” tanya Lukman sedikit sarkas, melihat Karina yang beberapa menit lalu terlihat kesal dan mengomeli Lukman, lalu sekarang tersenyum senang karena tas mahal itu.

Karina mengangguk, “ya iyalah gila, lu gak tau aja gimana gue pingin banget beli tas ini, gue nabung sampai dua bulan asal lo tau aja!”

“Gak mau tau juga sih gue sebenernya.” ucapan Lukman itu langsung dihadiahi pelototan sinis dari Karina, “nah nah kan mau ngomel lagi kan pasti.”

Karina menggelengkan kepalanya seraya menunjukan bread smilenya yang menggemaskan. Mati-matian Lukman menahan hatinya untuk tidak jatuh ke pelukan gadis ini lagi, karena dia sudah memiliki kekasih sekarang. Tapi, pesona Karina yang seperti rubah—maksudnya dia bisa menjadi imut, dan tangguh, juga sexy secara bersamaan, membuat Lukman jatuh cinta kepada gadis ini,

“Gak kok, gue gak bakal marah-marah, soalnya lo udah bawain tas gue sooooo, thank you ya! Thank you banget!”

“Cium dulu dong kalau gitu.” goda Lukman sambil menaik turunkan alisnya.

Karina meludahi Lukman secara pura-pura. Lukman hanya mampu tertawa seraya tangannya mengacak-acak rambut Karina, membuat gadis itu merengek protes karena rambutnya yang sudah ia tata rapih jadi berantakan karena tangan besar Lukman,

“Jadi berantakan kan rambut gue!” omel Karina, Lukman hanya tertawa, kedua tangannya berinisiatif untuk membenarkan rambut Karina yang ia acak-acak.

Mungkin dulu, disaat Karina masih menaruh hati kepada Lukman, gadis itu akan sangat berbunga-bunga dan salah tingkah apabila di perlakukan seperti ini. Namun sekarang, semuanya sudah terasa biasa saja. Tidak ada getaran yang dulu Karina rasakan setiap ia melihat Lukman. Baginya, Lukman hanyalah masa lalu Karina yang membuat Karina tersadar bahwa, cinta pertama itu tidak selalu berakhir indah.

Tanpa sadar, ada seseorang di sebrang sana yang memperhatikan gerak-gerik Lukman juga Karina dari beberapa menit yang lalu, sembari orang itu menggertakan giginya, betapa kesalnya hati orang itu melihat bagaimana Karina dan Lukman yang berinteraksi dengan begitu romantisnya,

“Lo ngapain sih?”

“Anj—”

Orang yang mengintipi Lukman dan Karina itu hampir saja berteriak karena seseorang menepuk pundaknya dengan begitu keras. Dia berbalik, dan langsung menarik kerah orang yang menepuk pundaknya tersebut dan menyeretnya ke tempat lain yang lebih jauh dari tempat persembunyiannya,

“Apaan sih lu!” kesal pria tersebut sembari melepaskan paksa tangan sang empu dari kerahnya menggunakan tubuhnya sendiri, “lu ngapain sih Barra ngintip-ngintip kayak tadi? Ngeliatin apaan coba gue tanya!?”

Ya, si pelaku intip itu ternyata adalah Barra.

Bagaimana bisa? Jadi, ketika Karina dan Lukman sudah pergi, Barra pura-pura pergi juga, dia jalan sejauh mungkin, nah lalu, setelah itu Barra kembali ke tempat asal pertemuan mereka, dia melihat Lukman dan Karina yang berjalan dengan jarak yang sudah lumayan agak jauh. Maka dari itu, Barra langsung mengikuti keduanya dengan perlahan-lahan, seolah-olah dia tengah masuk ke dalam rumah yang isinya adalah berlian, dan Barra hendak mencuri berlian-berlian tersebut,

“Gue lagi ngeliatin si Lukman tadi sama cewek. Lu liat gak?” kesal Barra, misinya untuk mengintipi dua manusia itu gagal karena salah satu temannya yang rese menghancurkam segalanya.

“Ngapain anjir lu liatin si Lukman? Demen lu sama dia? Perasaan di GC semalem lu bilang lu demen Karina, sekarang lu malah demen sama yang berbatang. Kamuflase aja ya kelakuan lo ini?”

“Sialan lo, Dimas!” umpat Barra tepat di depan wajah Dimas, sahabatnya, “iya itu, Lukman tuh tadi lagi sama Karina. Gue mantau mereka, soalnya mereka mesra banget. Gagal gara gara elu sialan!” Barra tetap terus menyalahkan Dimas.

“Ya sorry gue kan gak tau. Lagian lo juga gue cariin, di tungguin noh sama dosbim lu, mau ngomongin soal sempro. Nelfonin gue dari tadi.”

“Alah sempro lagi sempro lagi ngentot, niat gue mau ngintilin Lukman sama Karina gagal dah.”

“Ngapain ngintilin gue bang?”

Suara milik Lukman dari arah belakang, langsung mengejutkan Dimas dan Barra. Dua lelaki itu dengan bebarengan berbalik ke belakang, melihat tubuh jangkung Lukman yang sudah berdiri disana sembari menatap dua kakak tingkatnya itu,

“Lu dari kapan di belakang kita berdua?” tanya Barra panik.

“Pas lu ditarik sama Bang Dimas, terus Karina pamit balik ke gedung FH, gue langsung nyusulin kalian berdua.” jawab Lukman dengan santai, meanwhile Barra sudah ketar-ketir karena rencananya tercium oleh Lukman.

Dimas sebenarnya ingin tertawa, namun, dia mencoba untuk menahan tawanya. Dia menghargai Lukman sang sahabat yang gagal menjalankan rencananya untuk memata-matai Lukman dan Karina,

“Lo tau?” Barra bertanya dengan ragu. Sebenarnya pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban, karena sudah jelas dan pasti, Barra tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri itu.

Lukman mengangguk seraya tersenyum,

“Gue tau lu ngintilin gue sama Karina bang.” jawab Lukman, “gue juga bisa ngeliat dari tatapan mata lo yang kayaknya naruh perasaan lebih ke Karina.”

Barra terdiam,

“Tenang bang, gue sama Karina cuman temen doang. Ya, walaupun gue masih kadang deg-degan kalau liat dia, tapi don't worry, gue udah gak minat untuk macarin dia, karena gue juga udah ada cewe.” Lukman bicara lagi.

Dan, Barra masih setia dengan diamnya. Begitu pun dengan Dimas,

“Tapi bang, saran gue, selesain dulu hubungan lo sama Kak Anin, baru habis itu, kejar Karina. Soalnya sayang kalau sesempurna Karina harus dijadiin selingkuhan.”

Setelah bicara seperti itu, Lukman dengan santainya berbalik untuk pergi kembali menuju mobilnya yang masih terparkir di parkiran khusus mahasiswa, lalu pulang ke apartemennya dan beristirahat, sebelum nanti malam, dia pergi menemui kekasihnya. Sementara, Barra dan Dimas masih diam di tempat mereka. Begitu, Lukman pergi, Dimas langsung menepuk pundak Barra dengan lumayan keras, membuat Barra tersadar dari lamunannya dan menatap Dimas disampingnya dengan kesal,

“Denger, selesain dulu sama Anin, baru sama cewek lain.” sindir Dimas langsung. Laki-laki itu langsung pergi meninggalkan Barra.

Sementara Barra hanya menghela nafasnya kasar. Ya dia tahu betul bahwa dirinya juga harus mengakhiri hubungannya dengan Anindira terlebih dahulu sebelum mulai melakukan pendekatan dengan Karina. Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana caranya dia mengakhiri hubungannya dengan Anindira? Bagaimana dia meminta kedua orang tuanya berbicara kepada kedua orang tua Anindira untuk membatalkan perjodohan ini?


Apa yang dilihat orang di depan layar, belum tentu sama dengan yang terjadi di belakang layar.

Kira-kira pepatah seperti itu lah yang pas menggambarkan hubungan Barra dan kekasihnya Anindira saat ini.

Banyak sekali beberapa perempuan diluaran sana yang menuntut pacar mereka untuk menjadi seperti sosok Barra yang dilihat sebagai seorang lelaki yang penyayang dan selalu memberikan suprise tak terduga untuk kekasihnya, Anindira.

Padahal pada kenyataannya, Barra tidak seperti itu. Apa yang dilakukan Barra kepada Anindira hanyalah sebuah keterpaksaan saja. Hubungan Barra dan Anindira hadir bukan karena sebuah ketulusan cinta, melainkan hadir karena sebuah perjanjian konyol yang dibuat oleh mendiang kakek mereka berdua di masa lalu.

Sesungguhnya, tidak pernah sedikit pun Barra menaruh hati kepada Anindira. Berbeda dengan Anindira, gadis itu benar-benar mencintai Barra, sampai dia selalu membicarakan Barra ke semua teman-temannya, membanggakan laki-laki itu, membuat semua orang berpikir kalau Barra begitu mencintai Anindira.

Seharusnya, yang dijodohkan itu adalah ayah dari Barra dan juga ibu dari Anindira. Namun, mereka berdua menolak, karena saat itu, ayah Barra sudah melamar ibunda Barra, dan ibu Anindira juga tengah mengandung Anindira—Anindira adalah hasil dari hubungan terlarang ibu dan ayahnya. Karena itulah, kakek Barra dan juga kakek Anindira membatalkan perjodohan tersebut, dan malah menjodohkan Barra dan juga Anindira.

Muak? Jelas, Barra sangatlah muak dengan semua kepalsuan yang dia buat. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua adalah wasiat dari kakeknya, Barra merupakan cucu kesayangan kakeknya, dan kakeknya sangat mengandalkan Barra. Jadi, Barra memiliki tanggung jawab yang besar akan hal itu, makanya dia tidak bisa memutuskan atau menolak perjodohan ini,

“Barra! Barra!” suara cempreng milik Anindira menyadarkan Barra dari lamunannya. Barra buru-buru menatap Anindira dengan tatapan polosnya.

“Hah? Kenapa?”

Dapat Barra lihat kekasihnya itu mendecakan lidahnya dan memutar bola matanya malas, “kamu dengerin ngga sih dari tadi aku cerita?” Anindira bertanya dengan nada dan ekspresi wajah yang terlihat sangat kesal.

“Denger.” jawab Barra, walaupun sebenarnya dia tidak sama sekali mendengarkan apa yang Anindira ceritaka. Pria itu sibuk memikirkan perjodohan sialan yang membuat hidupnya tersiksa ini.

“Apa, aku cerita apa coba?”

“Kamu kalau mau tebak-tebakan gini mending matiin aja deh. Aku mau tidur aja, besok kuliah pagi soalnya.” ini adalah jurus jitu bagi Barra untuk terhindar dari pertanyaan Anindira yang sudah jelas tidak bisa Barra jawab, karena Barra sendiri tidak tahu apa yang Anindira ceritakan.

“Tuh kan, kamu gak dengerin aku cerita.” Anindira protes sembari mengerucutkan bibirnya. Kalau Gista melihat ini, perempuan itu pasti tidak akan berhenti menghujat Anindira.

“Aku dengerin kok, di dengerin sama aku tadi. Aku kan ngelamun juga sambil dengerin cerita kamu. Udah nggak usah ngambek gitu.” ucap Barra dengan lembut, ia menatap Anindira melalui kameranya dengan tatapan yang juga lembut dan teduh.

Melihat itu, Anindira pun luluh. Rasa kesalnya kepada Barra seketika hilang. Ia suka ketika Barra bersikap lembut kepadanya. Kemudian, ide gila muncul di otak Anindira, gadis itu seperti sengaja memajukan tubuhnya ke kamera, dan memperlihatkan belahan dadanya. Yang jelas hal itu dinotice oleh Barra.

Sebagai laki-laki normal, meskipun tidak mencintai Anindira, sisi liar Barra terpanggil melihat tindakan Anindira itu. Namun, Barra buru-buru menepis hal tersebut. Dia tidak ingin merugikan dirinya sendiri dengan melakukan hal yang tidak-tidak,

“Itu kamu tidur pake baju yang bener coba, nanti masuk angin.” titah Barra.

Anindira merengut sebal. Niatnya untuk menggoda Barra malah sama sekali tidak dianggap oleh lelaki itu. Padahal biasanya laki-laki diluar sana akan langsung “paham” apabila kekasih mereka memancing mereka. Tapi Barra malah sebaliknya,

“Bar, do you love me?”

“Aku suruh ganti baju malah nanya-nanya hal yang gak penting.”

Emosi Anindira tersulut,

“Gak penting kamu bilang!? Urusan cinta itu gak penting. Kamu sinting apa gimana?”

“Apa sih Nin.” demi Tuhan, Barra jengah. Dia ingin mematikan sambungan video call ini. Seseorang tolong Barra sekarang.

“Apasih apasih, kamu kenapa sih? Kamu aku tanya kamu cinta sama aku, malah kamu bilang aku nanyain hal yang gak penting.” kesal Anindira.

Barra mendecakan lidahnya sebal, “apa dengan aku terima perjodohan ini, terus pacaran sama kamu, itu bikin kamu masih ragu sama perasaan cinta aku ke kamu? Iya? Kalau gitu, selesain aja semuanya. Aku juga gak suka dituduh-tuduh kayak barusan.” kali ini Barra benar-benar marah, dan dia sudah tidak dapat menahan emosinya lagi.

Jujur, putus dengan Barra adalah mimpi buruk bagi Anindira. Gadis itu begitu mencintai Barra, sampai rasanya dia ingin egosi, dia ingin terus memiliki Barra. Maka dari itu, meskipun dia masih sangat kesal dengan Barra, tapi Anindira memutuskan untuk mengalah. Dia akan menurunkan egonya, demi keutuhan hubungan mereka,

“Aku minta maaf, Bar.” begitu mudahnya Barra membuat Anindira mengucapkan kata maaf. Padahal gadis itu paling anti meminta maaf kepada seseorang yang dia sakiti baik disengaja maupun tidak disengaja.

“Iya.” jawab Barra singkat, “aku matiin ya, udah ngantuk, besok kuliah pagi soalnya.”

“Kamu udah maafin aku kan?” Anindira memastikan, karena gadis itu merasa Barra masih marah kepadanya, dan belum memaafkannya.

“Iya aku maafin. Udah ah aku matiin ini video callnya, ngantuk aku gak kuat.”

“Besok berangkat bareng kayak biasa ya?”

“Hm.”

“Oke deh kalau gitu. Dadah sayangggg! Mimpi yang indah ya, i love you!”

Tanpa berniat menjawab, Barra langsung mematikan sambungan video call tersebut. Masa bodoh dengan reaksi Anindira di rumahnya sana, Barra sudah keburu tidak mood. Lelaki itu memilih untuk menidurkan dirinya di ranjang empuk kamar tamu yang ada di rumah Gista.

Dalam hatinya, Barra berharap dia bisa memimpikan Karina malam ini.


“Nyari siapa?”

Seorang pria yang umurnya beberapa tahun lebih tua dari Karina bertanya kepada gadis itu setelah ia membukakan pintu rumah Gista untuknya. Lelaki itu cukup tampan (Karina tidak mau munafik), belum lagi wangi parfum maskulinnya yang membuat perempuan manapun hanyut (termasuk Karina). Karina akui dirinya sempat terpana beberapa detik, mengagumi kesempurnaan laki-laki yang merupakan kakak sepupu dari Gista ini.

Namun, Karina bisa untuk mengontrol dirinya, awal tujuan dia datang kesini adalah untuk memberikan oleh-oleh kepada Gista dari ibunya. Gadis itu buru-buru membuang jauh-jauh pikiran anehnya, dan kembali bersikap biasa saja, seolah-olah lelaki dihadapannya ini tidak menarik baginya,

“Nyari Gista.” Karina menjawab dengan suara yang seramah mungkin. Tidak, tolong jangan salah sangka, Karina kalau berbicara dengan orang yang belum dikenalnya selalu dengan nada yang ramah dan lembut. Jadi, tidak ada maksud lain.

“Oh, Gista, duh, Gistanya lagi enggak ada, dia lagi nginep di apartemen pacarnya.” padahal, tanpa perlu lelaki itu bilang, Karina sudah tahu dimana Gista sekarang, “by the way, temennya Gista, ya?”

Karina menganggukan kepalanya pelan sembari tersenyum tipis. Senyuman yang mampu membuat hati siapapun terpana melihatnya,

“Oh ya udah gak apa-apa, paling cuman mau nitip oleh-oleh aja buat Gista.”

“Oh ya udah boleh.”

Lalu kemudian, Karina melepaskan tas ransel yang dibawanya, dan memberikannya kepada pria di depannya ini. Dia cukup terkejut ketika Karina tiba-tiba memberikan tasnya yang sangat berat itu. Tubuhnya bahkan hampir jatuh sangking beratnya tas itu. Untung massa otot pria itu lebih besar, jadi dia bisa menahan bobot tubuhnya agar tidak tersungkur ke lantai,

“Ini isinya oleh-oleh apa bom? Berat banget.” candaan pria itu berhasil membuat Karina tertawa pelan. Siapapun pasti akan terheran-heran ketika membawa tas ransel milik Karina yang berisikan buah tangan khas Jakarta yang banyak itu.

“Oleh-oleh kok, tenang aja, enggak ada bom sama sekali. Emang sengaja beli banyak buat Gista.” jelas Karina.

Akhirnya dia dapat bernafas lega sekarang, bahunya sudah terasa ringan tidak seperti saat dirinya tiba di stasiun Bandung. Bahunya benar-benar terasa berat, sangking beratnya dia sampai berpikir kalau dia membawa oleh-oleh sembari menggendong seorang tuyul di bahunya,

“Sebentar ya, ini disimpen di dalem dulu berat soalnya.” pamit lelaki itu, Karina menganggukan kepalanya, memberi izin. Dia pergi meninggalkan Karina, namun belum ada 3 langkah, lelaki itu kembali, membuat Karina kebingungan, “mau masuk ke dalem?”

Karina menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala, lagi dan lagi, disertai senyuman tipis yang mematikan, “gak usah, nunggu disini aja.” tolak Karina dengan sopan.

“Oke kalau gitu.”

Kemudian, lelaki itu masuk kembali ke dalam rumah Gista, untuk menaruh tas ransel berisi oleh-oleh itu. Dan, tidak lama kemudian, dia kembali lagi untuk menemui Karina yang masih setia berdiri di depan pintu,

“Udah disimpen oleh-olehnya di tempat yang aman.” ucapnya dibarengi dengan kekehan sederhana yang membuat Karina tersenyum kecil, “by the way, kita belum kenalan. Nama gue Barra, kakak sepupunya Gista.” lanjutnya, seraya mengulurkan tangannya ke arah Karina.

Karina menerima uluran tangan tersebut, lalu menyebut namanya, “Karina.” kemudian, dia langsung melepaskan jabatan tangan tersebut.

Karina melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjukan angka sepuluh malam, itu artinya malam sudah semakin larut, dan Karina harus buru-buru pulang ke apartemennya, dikarenakan besok dia harus kuliah jam setengah tujuh pagi,

“Gue pamit pulang dulu ya, udah jam sepuluh soalnya.” pamit Karina kepada Barra.

“Eh, pulang naik apa? Emang bawa mobil kesini?” Barra bertanya.

Karina menggeleng sebagai jawaban, “gue tadi kesini naik indrive sih, jadi ya paling balik naik indrive lagi aja.”

Sebagai seorang pria sejati, Barra jelas tidak akan membiarkan begitu saja seorang perempuan pulang sendirian di waktu malam, apalagi perempuannya itu secantik Karina,

“Jangan pulang naik ojol udah malem begini, Bandung bahaya soalnya suka banyak kasus begal. Mending gue anterin aja.”

“Eh ga usah.” Karina menolak dengan halus, “beneran, gue udah biasa kok naik ojol malem-malem.”

Barra tetap keukeuh ingin mengantarkan Karina pulang. Bukan hanya sekedar modus, tapi dia juga khawatir hal yang tidak diinginkan terjadi kepada Karina,

“Gue tetep anterin.” Barra melanjutkan ucapannya, “sorry terkesan kayak maksa tapi ini demi keselamatan lu sebagai perempuan.”

“Tapi—” Karina tidak melanjutkan ucapannya, karena buru-buru dipotong oleh Barra.

“Sebentar, gue ambil kunci mobil gue dulu. Lu tunggu disini, jangan kabur, oke.”

Karina menghela nafasnya pasrah. Pada akhirnya, dia harus pulang bersama laki-laki yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Tapi, ya sudah, tidak masalah, lagipula apa yang diucapkan oleh Barra benar juga. Karina sering membaca berita-berita soal pembegalan yang terjadi di Kota Bandung. Jadi, demi keselamatan diri sendiri, apa salahnya kalau dia menerima tawaran Barra.

Tidak lama kemudian, Barra kembali dengan kunci mobil yang sudah ada di genggamannya. Lelaki itu entah untuk alasan apa memberikan senyuman manis kepada Karina, yang membuat Karina sedikit salah tingkah dan mendadak gugup. Sebelum mereka pergi, Barra terlebih dahulu mengunci rumah Gista agar aman,

“Lo emang tinggal bareng Gista ya?” Karina bertanya seraya berjalan berdampingan dengan Barra menuju garasi mobil rumah Gista.

“Enggak, gue disini karena disuruh nyokap bokapnya Gista buat jagain dia, eh tapi anaknya malah nginep di apartemen pacarnya.” jawab Barra sambil tertawa, Karina juga ikut tertawa pelan.

Dari kejauhan, Barra sudah membuka pintu mobilnya menggunakan alarm dari kunci mobilnya. Jadi, Barra langsung membukakan pintu mobil untuk Karina. Sang empu terkejut ketika Barra melakukan hal ini kepadanya. Karena demi apapun, belum pernah ada seseorang lawan jenis yang membukakan pintu untuk Karina seperti ini. Bahkan ayahnya sendiri pun tidak pernah melakukan ini Maka dari itu untuk beberapa saat Karina diam tidak bergeming sama sekali,

“Lo mau nginep disini kah?” ucapan Barra itu langsung menyadarkan Karina dari lamunannya.

“Hah, apa? Ada apa?” Karina malah balik bertanya, hal tersebut mengundang tawa pelan kepada Barra. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis dihadapannya ini selain cantik, menggemaskan juga ternyata.

“Lo dari tadi diem aja, mau nginep disini apa gimana? Kalau mau gue siapin kamarnya nanti.”

“Hah, ya engga lah, gue mau pulang. Apartemen gue udah ditinggalin tiga hari, ya kali gue nginep disini.” Karina kalau sedang salting, tiba-tiba bisa menjadi sewot seperti ini. Barra terkejut tentunya, tapi sedetik kemudian insting prianya langsung berjalan, dia dapat menebak kalau Karina tengah salah tingkah sekarang. Maka dari itu, sang adam hanya menyunggingkan senyuman tipisnya.

Buru-buru Karina masuk ke dalam mobil. Duduk di sebelah bangku pengemudi di depan. Tidak lama, Barra juga masuk ke dalam mobilnya. Dia mengunci pintu, lalu menggunakan safety belt, tidak lupa Barra juga mengingatkan Karina untuk menggunakan safety beltnya itu. Safety belt sudah dipasang oleh keduanya, berikutnya, Barra menyalakan mesin mobilnya. Lalu, dia menjalankan mobilnya menuju apartemen Karina.


Kondisi mobil benar-benar hening, tidak ada obrolan sama sekali diantara Karina dan Barra. Yang terdengar hanya lagu milik MAX feat Keshi yang berjudul IT'S YOU lewat radio tape yang ada di dalam mobil ini. Karina sangat amat menyukai lagu ini, disaat dirinya mengalami hari yang berat, atau sedang dalam kondisi stress pasti lagu ini yang akan dia putar, sampai dirinya tertidur.

Tanpa sadar, Karina bersenandung mengikuti nada dari lagu kesukaannya itu. Barra yang tengah menyetir pun, langsung mengalihkan fokusnya kepada Karina. Pria itu menoleh sekilas ke arah Karina, yang tengah humming sambil melihat ke arah jendela. Diam-diam, pria itu tersenyum. Mendengar suara humming Karina entah kenapa membuatnya senang, mungkin karena suara humming gadis itu yang terdengar sangat merdu,

“Suka sama lagu ini kayaknya.” tebak Barra yang sudah kembali fokus melihat jalanan.

Karina langsung berhenti bersenandung, dan ia menolehkan kepalanya ke arah Barra. Gadis itu tertawa pelan seraya menganggukan kepalanya,

“Suka banget.” jawab Karina, “nadanya itu calm, bikin kalau hari lagi berat banget terus dengerin lagu ini kayak bakal langsung enteng gitu harinya, terus juga kalau lagi stress bisa langsung seneng lagi.”

“Gitu ya?” Barra bertanya seraya terkekeh pelan.

“Iya.” jawab Karina dengan penuh kepercayaan diri yang sangat tinggi.

“Ya udah deh, gue cobain nanti. Soalnya mahasiswa tingkat akhir lagi stress-stressnya mikirin skripsi.”

“Nah boleh dicoba tuh kak.”

“Tapi emang lo suka genre musik yang kayak gimana sih, Rin?” Barra bertanya seraya membelokkan strinya ke arah kanan.

Karina tampak berpikir, “hmmmm…. banyak sih, depends on mood juga, tapi akhir-akhir ini lagi suka dengerin lagu RnB, blues, sama jazz gitu. Terus lagu-lagu mozart.”

Mozart?” Barra mengulang ucapan Karina, gadis itu menganggukan kepalanya dengan semangat, “wah, gue pernah tuh dimarahin sama nyokap, disuruh bersih-bersih rumah, terus gue bersih-bersihnya sambil dengerin lagu-lagu mozart, demi apapun berasa lagi bersihin rumahnya Napoleon Bonaparte.”

Karina tertawa mendengar ucapan Barra.

Tawanya tidak terlalu kencang, namun terdengar begitu manis di telinga Barra. Laki-laki itu tidak bisa mengatur degup jantungnya setiap kali melihat Karina tersenyum, dan sekarang Karina tertawa karena ucapannya. Apa Barra tidak berakhir gila? Dia seperti benar-benar lupa kalau dia sudah memiliki kekasih,

“Napoleon Bonaparte kenapa sih astaga.” Karina menyeka sudut matanya yang basah akibat terlalu semangat tertawa.

“Beneran. Cobain aja.”

“Oke, nanti dicobain.”

Lalu, keadaan mobil pun tidak sedingin awal. Banyak sekali percakapan yang kini menghiasi mobil tersebut. Bahkan, mereka berdua sampai tidak sadar kalau lagu sudah dua kali berganti sangking asyiknya mereka bercengkrama.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh lima menit, sampailah mobil Barra di kawasan apartemen Karina, yang masih begitu ramai dimasuki oleh para residen, meskipun waktu sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam.

Karina melepaskan safety beltnya. Dia sudah bersiap untuk turun dari mobil Barra,

“Kak, thank you banget udah nganterin gue pulang.” ucap Karina dengan tulus. Barra menganggukan kepalanya sembari tersenyum, “kalau gitu gue turun ya kak.”

“Iya.” Barra kemudian melanjutkan, “langsung tidur ya, Rin, gak baik begadang soalnya.”

“Hahahaha siap!”

Setelah itu, Karina turun dari dalam mobilnya. Sebelum masuk ke dalam lobby apartemennya, Karina melambaikan tangannya terlebih dahulu kepada Barra. Lelaki itu pun membalas lambaian tangan Karina. Lalu, kemudian, Karina masuk ke dalam lobby apartemennya, dan bersamaan dengan itu, Barra pun menjalankan mobilnya untuk pulang kembali ke rumah Gista.


Minuman keras atau biasa disebut juga dengan miras (bahasa kerennya adalah alkohol) sudah bukan lagi menjadi hal yang tabu bagi sebagian masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa. Contohnya adalah Barra, Johnny, dan Dimas. Ketiga mahasiswa tingkat akhir ini, termasuk ke dalam mahasiswa-mahasiswa yang selalu meminum minuman keras.

Kalau ditanya alasannya untuk apa mereka meminum minuman keras, pasti mereka akan menjawab untuk menghilangkan stress. Ya, memang betul, efek dari minuman beralkohol itu membuat kita seakan-akan melayang diatas udara, dan kita seperti sengaja dibuat lupa akan masalah-masalah yang tengah kita hadapi.

Seperti Johnny contohnya, tadi, saat pertama kali sampai di club malam milik pamannya ini. Wajahnya begitu terlihat seperti wajah-wajah orang yang tengah menanggung banyak masalah. Tapi, setelah dia meminum beberapa gelas alkohol, kini wajah Johnny terlihat biasa-biasa saja, justru dia terlihat begitu bahagia, sembari ditemani dengan perempuan berbaju sexy yang duduk disampingnya sambil bersender manja ke tubuh besar lelaki itu.

Tidak hanya Johnny yang minum sambil ditemani dengan seorang perempuan. Barra pun sama. Dia malah lebih parah. Lelaki itu minum ditemani dengan dua orang perempuan, yang satu bergelayut manja di tangan Barra, dan yang satu lagi duduk di pangkuan Barra. Dia asyik bermesraan dengan dua perempuan penghibur sampai Barra lupa, kalau dia memiliki kekasih yang seharusnya ia jaga hatinya dengan tidak melakukan hal-hal seperti ini.

Dimas tidak separah Johnny dan Barra. Lelaki itu meskipun dalam keadaan mabuk, tapi dia masih bisa mengontrol dirinya untuk tidak didekati atau disentuh-sentuh oleh perempuan-perempuan manapun yang ada di dalam club malam ini. Dimas sungguh menjaga hati kekasihnya yang sekarang tengah menimba ilmu di negeri Paman Sam sana,

“Kamu cantik banget.” Barra memuji gadis penghibur yang bergelayut manja dilengannya, sembari tangannya membenarkan poni yang menghalangi wajah cantik yang penuh akan dempul milik gadis itu, “namanya siapa, hm?” meskipun suara Barra suara khas-khas orang mabuk, namun entah kenapa tetap terdengar sexy.

“Winda.” jawab perempuan itu sambil tersenyum manis, dan matanya yang menatap Barra dengan tatapan tajam penuh nafsu.

Semua perempuan yang melihat Barra, pasti akan terobsesi dengan laki-laki itu. Jadi, rasanya wajar apabila wanita bernama Winda itu menatap Barra dengan tatapan yang sarat akan nafsu,

“Kenapa cuman dia aja yang ditanya? Aku enggak ditanya?” perempuan yang duduk di pangkuan Barra protes.

Barra tertawa, lalu tangannya ia biarkan melingkar di pinggang ramping gadis blonde itu,

“Iya maaf, kamu namanya siapa?” Barra kemudian bertanya sambil mata telernya menatap mata wanita yang berada dipangkuannya ini.

“Nama aku Rosa.” katanya, moodnya langsung berubah ketika Barra menanyakan namanya.

“Namanya cantik, sama kayak orangnya.” goda Barra, sembari melayangkan kecupan lembut di pipi gadis itu, yang mana hal itu membuat Winda cemburu.

“Aku juga mau dicium kayak dia.” protes Winda, sembari tangannya menarik-narik kecil lengan Barra.

Barra kemudian memfokuskan dirinya kepada Winda, dan memberikan kecupan yang manis juga di pipi gadis itu yang tirus namun terlihat sedikit chubby. Winda tidak dapat menyembunyikan ekspresi bahagianya setelah mendapatkan ciuman lembut dari Barra.

Johnny juga sibuk dengan wanitanya, kini dua pasangan itu sudah berciuman dengan sangat panas, sambil tangan Johnny yang mengangkat rok mini wanita sewaannya tersebut. Barra yang melihat hal tersebut hanya tertawa, sambil dirinya sibuk mengabadikan moment tersebut.

Melihat hal tersebut membuat Dimas merasa kurang nyaman. Ia malas berdebat, maka dari itu ia memilih untuk turun ke lantai dansa. Tidak, Dimas tidak pergi ke tengah-tengah untuk berjoget ria bersama para pengunjung club lainnya. Dimas hanya diam di pinggir, sembari melihat layar ponselnya yang terpasang foto selfie dirinya bersama kekasihnya sebagai lockscreen.

Kembali kepada Barra, melihat Johnny yang semakin liar bercumbu dengan wanita sewaannya itu, membuat Barra juga ikut terangsang dan ingin melakukan hal tersebut. Tapi, ia tidak mau menyentuh dua perempuan ini diluar batas. Maka dari itu, Barra yang memang sudah tidak tahan meminta untuk Rosa yang duduk dipangkuannya berpindah tempat ke samping Barra, Rosa pun menuruti perintah Barra.

Setelah itu, Barra berdiri dari duduknya, dan berjalan menuju toilet di club ini dengan sempoyongan. Winda dan Rosa terlihat kebingungan karena Barra yang tiba-tiba pergi. Sementara Barra, lelaki itu berjalan sembari satu tangannya memegangi pusat tubuhnya dibawah sana yang sudah sesak dan minta dibebaskan. Mata Barra yang sudah teler itu masih mampu untuk melihat dengan jelas banyaknya pasangan-pasangan yang bercumbu di luar pintu toilet. Hal itu semakin membuat Barra terangsang.

Barra yang sudah tidak tahan lagi, langsung membuka pintu toilet, dan masuk ke dalam salah satu bilik di dalam sana. Di dalam, Barra buru-buru membuka celana dan juga celana dalamnya. Lalu, dia melakukan apa yang harus dia lakukan, sembari otaknya membayangkan seorang perempuan asing yang entah kenapa tiba-tiba terbayang oleh Barra.

Suara lenguhan Barra sudah jelas terdengar sampai keluar. Tapi, Barra tidak perduli, toh, orang-orang disini juga dalam keadaan mabuk, jadi mereka tidak akan terlalu memperdulikan suara desahan Barra, karena mereka juga sibuk dengan aktifitas seksual mereka masing-masing.


Karina menepati janjinya untuk memberikan hadiah kepada Barra berupa cuddle karena laki-laki itu sudah rela datang ke apartemennya jam 2 (dua) pagi.

Sekarang, baik Barra dan Karina, keduanya sudah sama-sama terbaring diatas ranjang empuk milik sang puan. Barra berbaring dengan posisi telentang, sementara Karina berbaring dengan posisi miring. Gadis itu menaruh kepalanya tepat di lekukan lengan Barra,

“Sayang, kamu tau gak? Kemarin yah, di kantorku, ada semut, terus aku tuh kan merhatiin semut itu yah, nah aku mikir gitu kayak, bisa gak sih semut ngantuk?” Karina memang kadang selalu memiliki random thought yang benar-benar diluar nalar. Tidak ada yang bisa Barra lakukan selain tertawa gemas akan pertanyaan Karina itu.

“Kamu mau tau fakta keren tentang semut nggak?” Barra bertanya, Karina menatap Barra dengan penuh semangat sambil menganggukan kepalanya.

Barra tidak mampu lagi menahan rasa gemasnya terhadap sang kekasih. Ia memajukan sedikit wajahnya ke wajah Karina, dan bibirnya mengecup lembut bibir Karina. Sang empu tersenyum dikala-kala ciuman singkat keduanya. Lalu, setelah puas mengecup bibir Karina, Barra melepaskan kecupannya dan lanjut bercerita,

“Jadi, semut itu bisa tidur sebanyak dua ratus lima puluh kali dalam sehari.” ucap Barra.

Karina membulatkan matanya, dia terkejut mengetahui fakta bahwa semut dapat tidur selama ratusan kali dalam sehari. Padahal, setelah kemarin Karina meneliti semut-semut yang dilihatnya di kantor, tidak pernah Karina melihat semut-semut itu tidur,

“Kok bisa sesering itu? Tidurnya berapa lama deh.” heran Karina.

“Tidurnya mereka itu cuman satu menit aja, makanya sering banget kan tidurnya sampai dua ratus lima puluh kali.”

Karina menganggukan kepalanya paham seraya mulutnya membentuk huruf “O”.

Hari ini, dia mendapatkan ilmu baru yang bermanfaat dari kekasihnya. Karina akui, bahwa wawasan Barra itu sangatlah luas. Maklum, hobi kekasihnya itu adalah membaca buku, tak ayal, banyak hal yang tidak Karina ketahui, tapi Barra mengetahuinya,

“Masih belom bisa tidur juga ini bayi gede aku?” suara Barra terdengar seperti lelaki itu tengah memanjakan Karina.

Karina menggelengkan kepalanya sembari memajukan bibirnya kesal. Dia benar-benar ingin istirahat, karena takut besok di kantor dia mengantuk dan bablas tidur, yang akhirnya, Karina bisa terkena omelan dari bosnya yang super duper galak dan disiplin itu,

“Ya udah aku itungin angka mau? Sambil aku puk-pukin kamu?” tawa Barra.

Karina menganggukan kepalanya setuju. Dia percaya kalau cara ini akan berhasil membuatnya mengantuk dan bisa melanjutkan tidur sorenya,

“1…” Barra mulai mengitung sembari menepuk lembut dan pelan bokong Karina.

“2…”

“3…”

“4…”

Barra baru saja hendak menyebutkan angka lima, namun telinganya sudah mendengar suara dengkuran yang lembut dan kecil, yang berasal dari mulut Karina.

Mendengar itu, Barra tidak mampu menyembunyikan senyumannya. Ia selalu merasa apapun yang dilakukan oleh Karina menggemaskan, bahkan disaat kekasihnya itu mendengkur pun seperti sekarang ini, baginya Karina tetap menggemaskan, malah seribu kali lipat lebih menggemaskan dari biasanya.

Barra mengeratkan pelukannya kepada Karina. Pria itu mengecup puncak kepala Karina, dan dia pun mulai memejamkan matanya lalu ikut masuk menyusul Karina ke alam mimpi.


“Ayah.”

Sang ayah yang tengah fokus membaca koran di halaman belakang rumahnya pun langsung menutup korannya dan berbalik ke belakang, untuk melihat anak perempuannya yang paling cantik yang baru saja terbangun dari tidurnya,

“Eh anak ayah udah bangun. Sini nak.” ayah selalu memperlihatkan wajah bahagianya baik di depan Kaynara maupun di depan Jibran. Dia adalah ayah yang hebat dan yang paling baik yang pernah Kaynara miliki.

Kaynara melangkah masuk ke pekarangan belakang rumahnya. Dia duduk di bangku kosong yang ada di samping sang ayah,

“Ayah lagi baca apa?” Kaynara bertanya. Tanpa dijawab pun, dia sudah tahu jawabannya apa. Gadis itu hanya basa-basi saja.

“Koran.” jawab ayah, “kamu mau baca?” lelaki dengan tubuh kekar itu menawarkan. Kaynara langsung menggelengkan kepalanya tanda sebuah penolakan. Hal tersebut membuat hidung sang ayah berkerut bingung, “kok gak mau?” tanyanya lagi.

“Modern gini cape cape baca di koran, mending baca di handphone.”

Ayah terkekeh pelan, tangannya ia gunakan untuk mengacak-acak rambut Kaynara—membuat gadis itu mendecak sebal dan langsung membenarkan kembali rambutnya yang dibuat berantakan oleh sang ayah,

“Dasar anak muda ya, mentang-mentang semuanya udah modern ninggalin deh tuh yang konvensional.” sindir sang ayah langsung kepada Kaynara.

“Gak apa-apa, perkembangan informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.”

“Iya iya.” ayah melanjutkan ucapannya, “gimana? Udah merasa baikan sekarang?”

Kaynara terdiam. Tadi malam, dia merasa positif kalau dia sudah lebih baik perasaannya, namun, ketika ayahnya bertanya seperti ini, membuat Kaynara berpikir, apakah dia benar-benar sudah merasa lebih baik, atau dia hanya pura-pura merasa lebih baik?

“Hei.” ayah menyadarkan Kaynara dari diamnya. Gadis itu menatap sang ayah dengan tatapan polos, “kamu ditanyain kok malah ngelamun.”

“Enggak ngelamun itu, aku kan baru bangun tidur, wajar lah agak daydreaming sebentar.” kilah Kaynara. Semakin hari kemampuan berbohong Kaynara semakin terasah, “ayah, Kay mau nanya deh sama ayah. Boleh kan?”

“Boleh dong nak. Masa anaknya mau nanya dilarang-larang sama ayah. Ayo mau nanya apa?”

“Dulu, waktu ayah sama ibu pacaran, ayah pernah bikin ibu sakit hati gak?”

Tanpa perlu berpikir panjang, ayah langsung menjawab pertanyaan Kaynaran dengan anggukan kepala,

“Dulu, waktu ayah masih jadi pacar ibu, ayah brengsek banget nak.” Kaynara terdiam, membiarkan sang ayah melanjutkan kisahnya, “ayah sering main perempuan, sering beberapa kali tidur sama perempuan juga, tapi ya gitu cinta ayah cuma buat ibu.”

Kaynara tertegun, bagaimana bisa kisahnya mirip seperti kisah ibunya? Apa ini karma yang harus dia tanggung dari sikap bejat sang ayah di masa lalu?

“Ibu diem aja?”

Ayah menggeleng, “enggak ada perempuan yang diem aja waktu laki-lakinya nyeleweng nak. Ibu beberapa kali berontak, dan ngancem untuk putus, tapi ayah tahan, karena ayah gak mau kehilangan ibu. Ayah sayang sekali sama ibu kamu. Bahkan kalau ayah harus tukar nyawa ayah demi kebahagiaan ibu kamu, ayah rela nak. Demi Tuhan ayah rela.”

“Apa ibu sama ayah sempet putus?”

“Iya, sempet. Waktu itu kesalahan ayah udah gak bisa ditolerir lagi, ya sebenernya semua kesalahan ayah nggak bisa ditolerir juga, tapi untuk yang kali ini, bener-bener gak bisa. Ayah gak bisa ceritain ke kamu, intinya parah sekali nak. Ibu kamu kabur hampir satu bulan ninggalin ayah sendirian, ayah kelimpungan nyariin ibu kamu sampai beberapa kali ayah masuk rumah sakit karena jatuh sakit.”

“Lalu, pada akhirnya 2 bulan kemudian, ayah sama ibu dipertemukan lagi. Ayah udah berubah, bener-bener berubah, ayah jauhin kebiasaan buruk ayah di masa lalu. Dan saat ketemu ibu, ayah langsung sujud di depan ibu kamu, ayah minta ampun, meskipun ayah beberapa kali ditolak sama ibu kamu, tapi ayah gak menyerah, sampai pada akhirnya ibu kamu nerima ayah jadi suaminya. Dan, kami punya kamu, lalu punya Jibran.”

Mendengar cerita kedua orang tuanya yang mirip sekali dengan kisah Kaynara dan juga Abimanyu. Membuat gadis itu termangu sembari berpikir, apakah mungkin dirinya dan Abim bisa memiliki akhir yang indah seperti kedua orang tuanya?

“Kamu kok tiba-tiba nanya begitu?” ayah bertanya penasaran.

Kaynara terkekeh, “enggak apa-apa ayah, Kay cuman pingin tahu aja. Tapi ayah udah enggak kayak dulu lagi kan?” Kaynara bertanya dengan curiga.

“Kesamber gledek sampe mampus ayah kalau masih kayak dulu nak.”

Kaynara percaya kalau ayahnya sudah betul-betul berubah. Karena ayah Kaynara adalah ayah yang paling baik yang pernah ia miliki. Tidak pernah Kaynara merasa kekurangan kasih sayang seorang ayah,

“Ayah, kalau Kaynara dijahatin sama laki-laki, gimana?”

“Ayah pukul laki-laki itu.”

“Jangan ayah..” Kaynara berujar dengan lirih, lagi dan lagi bayangan wajah Abimanyu memenuhi ruang otaknya.

“Kok jangan?”

“Kay sayang sama dia. Jangan dipukul. Nanti Kay sedih.”


Kaynara's POV


“Nak.”

Suara lembut ibu menyadarkanku dari lamunanku tentang Abimanyu. Aku meliriknya, dan menatap matanya yang sama tengah menatapku dengan tatapan risau,

“Iya ibu, kenapa?” aku menyahuti panggilannya dengan halus dan lembut.

“Kenapa melamun terus? Apa kamu enggak suka sama pecel lelenya? Ini pecel lelenya beli di tempat langganan kamu sama ayah loh.” ibuku bertanya dengan nada heran. Iya, wajar dia heran, karena anaknya si pecinta pecel lele ini tiba-tiba tidak sesemangat biasanya saat dihadapkan oleh ikan yang katanya jorok ini.

Aku jelas langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat. Aku tetap menyukai pecel lele ini, pecel lele langgananku dan ayah sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Hanya saja, sekarang, aku tengah memikirkan seorang lelaki yang seharusnya sudah aku lupakan dari kemarin-kemarin. Ya siapa lagi kalau bukan, Abimanyu.

Mendengar berita bahwa Abim dan kedua sahabatnya tidak berada di lingkungan kampus membuatku khawatir. Postingan twitternya pun terakhir yang hari kemarin, dimana dia memposting fotoku dengan begitu banyaknya hujatan di kolom reply. Kak Gilang dan Kak Langit pun sama, mereka tidak memposting apapun, padahal biasanya mereka cukup berisik di twitter,

“Galau kan pasti putus sama pacarnya tuh.” aku belum menjawab, tapi ayah tiba-tiba datang ke meja makan dan berbicara seperti itu.

Aku langsung mendengus kesal. Apakah aku benar-benar terlihat seperti baru selesai putus cinta? Apa mereka bisa melihat betapa sedihnya aku? Padahal sudah jelas aku mati-matian mencoba untuk tidak sedih, dan tetap bahagia di depan keluargaku, tapi kenapa tebakan mereka selalu tepat. Menyebalkan,

“Ayah, jangan digangguin ah anaknya.” bunda memperingati ayah dengan tegas namun tetap lembut. Aku tersenyum sedikit, karena ibu membelaku dan tidak ikut membuat pernyataan kalau aku putus dengan pacarku. Si kepala keluarga yang menyebalkan namun tetap aku cinta itu hanya tertawa sebagai reaksi atas teguran ibu, “ayo cerita aja gak apa-apa. Ibu gak enak hati liat kamu kayak gak semangat makan pecel lelenya, padahal kamu bilang kalau pecel lele itu cinta mati kamu, jadi kamu selalu bahagia kalau makan pecel lele.”

Ibu memang memiliki ikatan batin yang khusus denganku. Dia tahu kalau aku sedang sedih, meskipun aku menunjukan senyuman lebar kepadanya, dan tetap bersikap seolah-olah tidak ada masalah besar yang menimpaku. Melihat ibu, aku selalu berpikir, apakah aku bisa menjadi seorang ibu yang sempurna seperti ibuku di masa depan kelak? Aku harap, aku bisa,

“Kay cuman lagi gak enak hati aja.” aku akhirnya bercerita di depan ayah dan ibuku. Dan mungkin setelah ini ayah akan berbahagia karena tebakannya tentangku yang putus cinta memang benar adanya, “Kay kepikiran seseorang.”

“Siapa, nak?” ayah tetap bertanya meskipun dirinya tengah sibuk menyantap dengan lahap pecel lele tersebut.

“Mantan pacar, Kay. Abim.” jawabku.

“Kan putus kan kamu sama pacar kamu. Ayah tahu, dari semalem kamu sampai ayah udah bisa ngerasain aura-aura orang yang baru berpisah, dan dugaan ayah emang betul.” aku tidak tahu ayah bicara seperti barusan itu hanya sekedar asal bicara atau memang ada unsur mengejek di dalamnya. Tapi yang jelas aku sedikit tersinggung, apalagi di bagian kalimat aura-aura orang baru berpisah, apakah semenyedihkan itu aku?

Mataku bergerak melihat tangan ibu yang memukul pelan paha ayah. Lagi, ayah tidak mengaduh atau bagaimana, dia hanya tertawa pelan, sambil asyik menyantap kembali pecel lele. Aku iri, aku ingin menikmati pecel lele kesukaanku dengan khidmat seperti ayah, tapi otakku tidak bisa. Demi Tuhan, aku terus memikirkan Abim,

“Emang kenapa sama Abim?” ibu bertanya.

“Dia gak ada sama sekali ngespam Kay, twitter dia juga gak update apa-apa, temen-temennya dia pun sama. Terus, tadi Grace bilang kalau baik Abim maupun temen-temennya sama sekali gak ada di kampus, padahal hari ini harusnya Abim ada kelas.” jelasku dengan suara bergetar dan wajah yang syarat akan kesedihan. Ibu terlihat begitu paham akan perasaanku, dia meraih tanganku dan mengelusnya.

Ayah juga. Ayah tahu aku sedang sedih, maka dari itu dia memilih untuk berhenti menyantap makanannya, dan memilih untuk menjatuhkan fokusnya kepadaku,

“Mungkin dia lagi ada urusan sama temen-temennya, dia jadi gak sempet untuk megang handphone.” ibu mencoba memberikan kemungkinan-kemungkinan yang baik kepadaku agar aku bisa berpikir positif dan tetap tenang.

“Atau dia sedih putus sama kamu, nak, makanya dia coba nyari kesibukan lain, sampai dia gak buka handphonenya, karena kalau dia buka handphone, dia pasti terus keinget sama kamu.” ayah ikut bersuara juga.

Perasaan gundah dan gelisahku sedikit menghilang, setelah menceritakan apa yang membebaniku kepada kedua orang tuaku. Mungkin benar, kalau Abimanyu tidak terlalu ingin memikirkanku, jadi dia memilih untuk melakukan hal lain, sampai dia tidak sempat membuka ponselnya.

Dan aku harap, kegiatan yang dia lakukan itu bukanlah kegiatan “biasa” yang sering dia lakukan. Aku harap dia melakukan hal-hal yang baik,

“Sekarang udah tenang kan? Dimakan pecel lelenya ya?” bujuk ayah.

Aku langsung mengangguk, dan mulai memakan pecel leleku, meskipun sekhidmat biasanya, tapi setidaknya aku masih bisa merasakan kenikmatan dari ikan pemakan kotoran manusia ini.


Tanda-tanda kesadaran Abimanyu belum terlihat sama sekali. Laki-laki itu masih terlelap dalam komanya, dengan berbagai macam selang yang menempel di tubuhnya untuk membantu laki-laki itu agar tetap hidup.

Kedua orang tua Abimanyu belum meninggalkan rumah sakit dari sejak semalam, begitu juga dengan Gilang dan Langit. Padahal hari ini mereka dan Abimanyu seharusnya presentasi untuk tugas, tapi Abimanyu malah koma dan Gilang juga Langit memilih untuk tidak masuk, karena mereka ingin ikut menjaga Abimanyu.

Tadi malam, banyak kejadian-kejadian haru yang menguras air mata Gilang juga Langit. Tadi malam menjadi saksi bisu dimana semua keinginan Abimanyu untuk kembali disayang oleh kedua orang tuanya terwujud. Bagaimana tadi malam ayah Abimanyu dan juga ibundanya memberikan kecupan manis dan kata-kata indah kepada sang anak yang tengah berjuang diantara hidup dan mati.

Tapi sayang, Abimanyu tidak bisa melihat itu semua. Jiwanya sedang berkelana entah kemana.

Juga, perihal penyebab kenapa Abimanyu bisa berakhir seperti ini, sudah Gilang dan Langit ceritakan kepada kedua orang tua Abimanyu. Bahwa ini semua berakibat dari trauma psikis yang dialami oleh Abimanyu akibat pengkhianatan yang ia terima di masa lalu dan juga perceraian kedua orang tua, lalu yang paling dominan adalah kandasanya hubungan Abimanyu dengan Kaynara,

“Lo belum ngehubungin, Kay?” Langit bertanya dengan nada agak berbisik.

Langit menggelengkan kepalanya sambil menguap lebar, “anjing ngantuk banget gua.” keluh Langit yang langsung mendapatkan geplakan keras dari Gilang, “apaan sih monyet, orang ngantuk malah lu geplak.” sewot Langit.

“Ya lu gue tanya apa malah jawab apa.” Gilang balik sewot.

“Ya kan tadi udah gue jawab. Gue nggeleng tadi, gak liat lu tadi kepala gue geleng-geleng.”

“Telfon lah anjir itu si Kaynara. Udah gila kali lu gak ngabarin Kay.” titah Gilang kesal.

“Dia baru balik ke Jakarta, lagi ngumpul sama orang tuanya, udah biarin aja dulu gak usah diganggu dulu, nanti kalau Abim udah sadar kita kabarin.” jelas Langit.

Gilang mengangguk-anggukan kepalanya paham,

“Kata gua, si Abim bakal sadarnya cepet.” tiba-tiba Gilang berujar demikian.

“Aamiin.”

“Dengerin dulu!” Gilang melanjutkan ucapannya, “soalnya itu anak dosanya banyak banget, kan biasanya Tuhan ngambil nyawa manusia-manusia yang baik, nah itu si anjing kaga ada baik-baiknya, Tuhan juga males ngukut kayaknya.”

Langit tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,

“Emang binatang lu ya anjing, temen lu lagi berjuang hidup dan mati malah lu kata-katain. Biadab lu emang.” kekeh Langit.

“Cuman ini yang bisa gua lakuin biar gua gak sedih terus, Lang. Gue juga panik ini mah sebenernya, takut dia kaga bangun. Tapi pasti dia bakal bangun. Gue yakin.”


Setelah melakukan pemeriksaan, kurang lebih satu jam. Dokter pun keluar dari dalam ruangan, Gilang dan Langit langsung beranjak dari duduk mereka, dengan penuh ketidak sabaran dan perasaan khawatir, Gilang juga Langit menghampiri dokter tersebut,

“Dok, keadaan temen saya di dalem gimana?” tanya Gilang seraya menatap sang dokter dengan tatapan penuh harap. Ya, dia berharap kalau sahabatnya itu akan selamat.

“Maaf, saya harus beritakan, kalau Abimanyu mengalami koma.” sang dokter menjawab dengan penuh nada penyesalan.

Terpukul bukan main Gilang dan Langit ketika dokter menyampaikan berita tersebut. Langit langsung menundukan kepalanya, sementara Gilang terdiam sembari matanya berkaca-kaca,

“Kita doakan semoga Tuhan memberikan mukjizat untuk Abimanyu.” dokter kembali melanjutkan ucapannya, “saya permisi.”

Setelah dokter tersebut pergi. Suasana di depan ruang rawat Abimanyu mendadak sunyi senyap. Baik Gilang maupun Langit sama-sama sibuk dengan pikiran mereka yang sama-sama memikirkan keadaan Abimanyu di dalam sana yang koma,

“Lang, Abim bakal selamat kan?” Gilang bertanya sembari melirik Langit dengan suara yang bergetar.

Langit terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena sejujurnya, dia juga takut kalau Abimanyu tidak akan pernah bangun dari komanya. Namun, sebagai yang paling dewasa diantara Gilang dan Abimanyu, Langit harus berpikir sepositif mungkin untuk menenangkan Gilang,

“Pasti.” jawab Langit beberapa saat setelah dia terdiam, “kita biarin dokter ikhtiar bantu Abim, dan kita berdoa ke Allah untuk supaya Abim bisa sadar dari komanya dan ngelewatin masa kritisnya.”

Gilang tidak menjawab, lelaki itu hanya menghela nafasnya berat,

“Kita harus telfon nyokap sama bokapnya Abim, gimana pun juga mereka harus tahu.” ucap Gilang mengingatkan Langit dengan begitu lesu.

“Hubungin sekarang?”

Gilang mengangguk, “lebih cepat lebih baik. Mereka harus liat keadaan Abim yang jadi korban dari keegoisan mereka.” terdengar sekali emosi dari nada bicata Gilang.

Langit langsung patuh. Dia buru-buru mencari nomor telfon ayah Abimanyu, lalu menelfonnya, untungnya laki-laki itu langsung mengangkat telfon Langit. Tanpa banyak basa-basi, Langit langsung memberitahukan keadaan Abimanyu kepada ayah dari sahabatnya itu. Sambungan telfon terputus, Langit langsung menghubungi ibunda Abimanyu, telfon pun langsung diangkat. Langit menghela nafasnya panjang, ia tahu pasti kalau ia beritahu ini, ibunda Abimanyu akan amat sangat terpukul,

“Assalamualaikum, tante.” Langit menyapa wanita tua disebrang sana itu dengan begitu sopan dan ramah.

“Waalaikumsalam, Langit. Ada apa malem-malem begini telfonin tante?”

“Langit mau ngasih tau sesuatu tan. Ini soal Abim.”

“Oh, Abim, kenapa? Eh iya, Langit, tante mau nanya, kok handphone Abim susah di hubungi ya? Malem ini tante ngerasa gak enak hati, dan tante coba hubungi Abim tapi ga aktif terus. Dia lagi sama kamu?”

“Tante, Abim masuk rumah sakit.”

“Astagfirullah. Kenapa? Kok bisa? Ya Allah.” Langit dapat mendengar isak tangis dari ibunda Abim disebrang sana.

“Abim coba untuk bunuh diri tante, dengan ngonsumsi obat tidur yang dosisnya tinggi. Dia overdosis, dan keadaannya sekarang dia koma.”

“Ya Allah, Abim. Anakku..”

Suara tangis pilu ibunda Abim, membuat Langit tidak mampu menahan air matanya,

“Anakku sekarang dimana, Langit? Dia dirawat dimana, Abim dimana?”

“Abim dirawat di Rumah Sakit Borromeus, tante.”

“Tante kesana sekarang.”

Sambungan telfon diputus begitu saja oleh ibunda Abim. Gilang menatap Langit yang tengah menghapus air matanya,

“Gimana?” Gilang bertanya dengan lirih.

“Kesini mereka.” jawab Langit, “kita tungguin Abim sampai besok.”

“Iya.” Gilang kembali berujar, “Lang.”

“Apa?”

“Kaynara. Kita harus kabarin dia juga.”


Abimanyu's POV


Gue pulang ke apartemen gue dalam keadaan hampa. Gue yakin, orang-orang yang tadi gue temuin di lobby apartemen dan di lift, bakal pada nyangka kalau gue kemasukan setan, saking kosongnya tatapan mata gue.

Nggak pernah gue bayangkan sebelumnya kalau hari ini benar-benar akan terjadi. Hari dimana gue kembali kehilangan seseorang yang gue sayang dan gue cinta. Dan penyebabnya adalah gue sendiri.

Gue yang berantakan.

Gue yang hidup dalam rasa sakit.

Gue yang memiliki dendam.

Gue yang hancur luar dalam.

Gue yang memiliki trauma.

Gue yang belum berdamai dengan masa lalu gue.

Apa yang gua lakukan ke Kaynara, menciptakan trauma baru untuk dia. Dan gue sadar, kata aku minta maaf aja enggak cukup. Semua rasa sakit Kaynara enggak bisa hilang dengan hanya kata maaf saja, minimal, gue harus pergi yang jauh dari kehidupan dia, atau kalau perlu, gue mati biar luka batin Kaynara bisa hilang.

Kaynara, dia adalah perempuan paling kuat yang pernah gue temui.

Dia adalah perempuan yang selalu menemani gue, mau gue lagi seneng, sedih, bahkan ketika gue nyakitin dia, dia tetap bertahan sama gue. Dia bela gue disaat semua orang menyumpah serapahi gue. Segitu baiknya dia, dan gue masih dengan santainya norehin luka di hatinya yang suci.

Kaynara, gue gak pernah bosen untuk bilang kalau dia adalah rumah gue. Dia adalah jantung gue. Dia adalah belahan jiwa gue. Dia adalah separuh nafas gue. Gue gak masalah kehilangan harta, asal jangan kehilangan Kaynara. Karena gue gak akan pernah sanggup, gue gak sanggup kehilangan dia.

Tapi hari ini, karena kebrengsekan gue dan keanjingan gue. Gue kehilangan dia. Gue kehilangan rumah gue, gue kehilangan jantung gue, gue kehilangan belahan jiwa gue, gue kehilangan separuh nafas gue. Gue kehilangan seseorang yang gue jadikan alasan untuk tetap hidup meskipun setiap harinya trauma menyakitkan di masa lalu itu terus menghampiri gue.

Apa ada alasan gue untuk tetap bertahan hidup sekarang, setelah gue kehilangan Kaynara? Gue rasa gak ada. Hidup gue harus berhenti sampai disini. Dengan begitu, gue bisa membusuk di neraka, sambil meminta ke Tuhan untuk terus bahagiain Kaynara, karena kebahagiaan Kaynara adalah kebahagiaan gue juga.

Otak gue udah gak bisa mikir apa-apa, selain Kaynara, Kaynara, Kaynara, dan mati.

Gue duduk di pinggir ranjang gue. Tangan gue dengan gemetar membuka laci nakas, dan mengambil botol kecil yang berisikan obat tidur yang dosisnya tinggi. Ini adalah salah satu penyelamat kedua gue, setelah suara lembut Kaynara, disaat gue gak bisa tidur atau habis mengalami mimpi buruk.

Gue membuka botol tersebut. Gue mengangkat botol tersebut ke udara dan meletakannya di depan mulut gue. Semua obat itu gue masukan ke dalam mulut gue, dan gue telan sekaligus. Dosis obat tidur yang gue konsumsi ini cukup keras, dan efeknya langsung terjadi kepada tubuh gue saat itu juga.

Gue merasakan diri gue yang mulai kehilangan keseimbangan, dan dada gue yang terasa sesak. Gue mencoba untuk berdiri, namun tubuh gue limbung ke atas ranjang. Penglihatan gue perlahan-lahan mengabur, semuanya pelan-pelan menghitam. Namun, gue bisa melihat bayangan nyokap dan bokap gue yang tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah gue, ada Gilang dan Langit juga yang melakukan hal serupa, dan terakhir, gue melihat Kaynara, bersama dua anak kecil yang melihat ke arah gue sambil melambaikan tangan mereka. Samar-samar gue mendengar suara anak kecil yang memanggil gue dengan sebutan papa. Suara itu hanya dapat gue dengar beberapa saat. Sebelum pada akhirnya, gue benar-benar tertidur dan kehilangan kesadaran gue.

Gue harap, ini adalah tidur gue yang selamanya. Gue harap, setelah ini, gue tidak akan pernah terbangun lagi.

Selamat tinggal, Kaynara. Aku mencintai kamu, selalu. Kamu harus tahu itu.


Author's POV*

“Anjing, Abim!”

Gilang langsung berseru ketika ia melihat sahabatnya, Abimanyu yang sudah tidak sadarkan diatas ranjangnya dengan mulut pria itu yang dipenuhi oleh busa. Tubuh Gilang bergetar, air mata membasahi matanya. Gilang yang terlihat sangar, kini menangis melihat sahabatnya yang terkapar tidak berdaya diatas ranjang dengan mulut yang mengeluarkan busa,

“Lang, gak ada waktu nangis, Lang. Kita bawa Abim ke rumah sakit!” perintah Langit.

Langit merasakan hal yang sama seperti yang Gilang rasakan. Tubuhnya gemetar, matanya berkaca-kaca, tapi dia mencoba kuat. Dia harus menyelamatkan Abimanyu. Dia harus segera membawa Abimanyu ke rumah sakit, agar supaya nyawa sahabatnya itu masih bisa tertolong. Karena kalau sampai tidak, demi Tuhan, Langit akan terus menyalahkan dirinya sampai dirinya mati.

Kedua laki-laki itu, akhirnya membawa Abimanyu pergi ke rumah sakit menggunakan mobil milik Langit.

Sesampainya di rumah sakit, tubuh Abimanyu langsung diletakan diatas ranjang rumah sakit yang beroda, dan membawanya ke ruang intensif untuk diberikan penanganan yang lebih lanjut, mengingat lelaki itu tidak sadarkan diri karena meminum obat-obatan dengan dosis tinggi dan akhirnya mengalami overdosis.

Gilang dan Langit tidak bisa berbuat apa-apa, selain berdoa kepada Tuhan, agar Dia sudi untuk memberikan satu kesempatan hidup kepada Abimanyu.


Sementara di tempat lain, ada Kaynara yang tengah duduk di kursi kereta, sambil terus melihat ke arah jendela dengan air mata yang tidak berhenti menetes dari matanya. Begitu banyak kejadian yang terjadi hari ini, dan yang paling membuatnya terpukul adalah, berakhirnya hubungan percintaan dia dan Abimanyu.

Ah berbicara tentang Abimanyu, entah kenapa Kaynara merasa tidak enak hati, dan kepalanya terus memikirkan sosok lelaki itu. Dia gelisah, dia ingin menghubungi Abimanyu, dan bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi Kaynara mengurungkan niat itu. Dia tidak mau jatuh ke dalam bujuk rayu Abimanyu lagi.

Biarlah, mungkin ini hanya side effect dari berakhirnya hubungan mereka. Tidak perlu terlalu dianggap serius.