jaehyunetz


Rasa gugup tidak bisa Karenina bendung lagi. Ini adalah hari pertamanya dia akan bertemu secara empat mata dengan Javiero, kakak tingkat yang sudah hampir dua tahun ini mengisi hatinya. Tidak hanya bertemu, mengobrol untuk membahas soal perjodohan pun jelas membuat seorang Karenina semakin gugup, dan juga tidak menyangka.

Iya, Karenina tidak menyangka kalau hari ini akan datang. Padahal dulu, dia hanya mengagumi Javiero dalam diam, dan selalu membayangkan bagaimana kalau nantinya mereka berdua bisa dekat, berteman, lalu tiba-tiba memiliki hubungan yang lebih dari seorang teman.

Rencana Tuhan memang tidak pernah bisa kita duga,

“Mba?” seseorang memanggil nama Karenina dari belakang. Gadis itu langsung tersadar dari lamunannya dan berbalik ke belakang.

Dilihatnya seorang pria dengan menggunakan jaket hijau, yang tidak lain dan tidak bukan adalah pengemudi ojek online yang tadi mengantarnya. Karenia mengernyit bingung, kenapa dia datang lagi?

“Ada apa mas?” tanya Karenina heran.

“Helm saya kebawa sama mba.” jawaban dari pengemudi ojek online tersebut langsung membuat Karenina melirik tangan sebelah kanannya. Astaga! Saking gugupnya Karenina, dia sampai tidak sadar kalau dia membawa helm milik pengemudi tersebut dengan jarinya.

Karenina langsung meringis kepada sang pengemudi, si pengemudi hanya tersenyum kikuk menanggapi Karenina. Helm pun sudah berpindah tangan dari tangan Karenina ke tangan pemilik awalnya. Setelah itu, Karenina berpamitan terlebih dahulu kepada pengemudi ojek online tersebut untuk masuk ke dalam. Sementara pengemudi itu juga kembali ke motornya dan mulai mencari rezeki lagi.

Di dalam, cafe ini lumayan ramai oleh pengunjung, rata-rata yang datang kesini sih mahasiswa atau siswa siswa SMA yang hanya sekedar ngobrol-ngobrol atau ada beberapa dari mereka yang mengerjakan tugas. Tapi sayangnya, gadis itu tidak melihat sosok Javier sama sekali, padahal tadi Javier bilang kalau dia sudah tiba lebih dulu di sini.

Karenina tidak menyerah. Dia mengedarkan pandangannya, dan sampai akhirnya dia menemukan batang hidung Javier. Lelaki itu sedang duduk di pojok, sambil menunduk dan memainkan ponselnya. Hanya dilihat dari jauh seperti ini saja, Karenina sudah bisa merasakan ritme debaran jantungnya yang abnormal.

Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Dia mendoktrin dirinya sendiri untuk bersikap seperti biasa. Setelah ritual itu dilakukan, barulah, dengan langkah yang begitu gugup, Karenuna memberanikan untuk berjalan mendekati meja yang di duduki Javier,

“Kak.” panggil Karenina begitu dirinya berdiri di depan Javier yang sedang duduk di sebrang Karenina.

Bisa Karenina lihat Javier yang langsung berhenti memainkan ponselnya setelah melihat sosok Karenina datang. Karenina memaksakan senyum awkwardnya, karena dia bingung dengan Javier yang melihat Karenina tanpa berkedip sama sekali.

Sekali lagi, Karenina mencoba untuk memanggil Javier,

“Kak. Hallo. Permisi.”

Javier tersadar dari lamunannya langsung. Ia tertawa kikuk, sambil tangannya menggaruk leher belakangnya yang tidak terasa gatal,

“Sorry.” cicit Javier.

Karenina mengangguk memaklumi lelaki itu.

Setelah itu Javier menyuruh Karenina untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. Karenina duduk disana, dan Javier duduk di bangkunya yang semula. Sebelum memulai obrolan, Javier memanggil pelayan untuk Karenina memesan makanannya. Dan, Karenina pun memilih untuk hanya memesan minuman, karena di apartement tadi dia sudah sempat memasak croissant home made miliknya.

Suasana di ruang duduk cafe begitu ramai dengan celotehan celotehan dari pengunjung dan tawa mereka. Namun, di meja yang di duduki oleh Javier dan Karenina sangat hening, tidak ada pembicaraan apapun. Keduanya hanya terdiam, dengan perasaan gugup yang melanda keduanya.

Tidak lama kemudian, pesanan Karenina pun datang. Gadis itu menyambut pesanannya dengan senyum merekah, ia tersenyum kepada sang pelayan, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Pelayan tersebut kembali ke tempat kerjanya, meninggalkan Karenina dan Javier yang masih saling diam.

Mata Javier sebenarnya diam-diam memperhatikan Karenina yang sedang menyeruput minumannya. Darahnya berdesir melihat bagaimana manis dan cantiknya Karenina. Seumur hidup Javier, belum pernah dia bertemu dengan perempuan yang cantiknya seperti Karenina. Dia merasa, Karenina memiliki kecantikan yang unik, dan itu sukses sekali memikat hatinya dari semenjak ia menjadi panitia ospek, dan bertemu dengan Karenina di aula kampus untuk pertama kalinya,

“Nin.” panggil Javier, membuat Karenina memfokuskan matanya kepada Javier, “gue mau jelasin semuanya, biar enggak ada kesalahpahaman.”

Karenina mengangguk dan tersenyum tipis, memberikan kesempatan kepada Javier untuk menjelaskan kehidupannya yang rumit dan pelik apalagi setelah Cassie hari di dalam hidupnya dan menjadi kekasihnya,

“Oke, Cassie. Dia adalah temen satu angkatan gue. Dulu gue sempet mikir dia anaknya baik, maka dari itu gue berteman sama dia. Tapi jujur, Demi Tuhan, selama temenan pun, gue gak pernah flirting yang parah ke dia, gue bersikap seperti layaknya seorang teman. Tapi, sepertinya hal itu malah disalah tanggapi sama Cassie, dia mikir kalau gue suka sama dia, dan dia nyatain perasaannya duluan ke gue. Pada saat itu, gue udah jatuh cinta sama orang lain.”

Ketika mengucapkan kalimat terakhir, Javier menatap begitu dalam bola mata Karenina, membuat Karenina yang ditatapnya menjadi salting, namun tetap mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja. Entah siapa yang Javier maksud dengan orang lain itu, yang terpenting, Karenina tahu kalau sampai kapanpun orang beruntung itu bukanlah dirinya,

“Cassie maksa, padahal gue udah nolak, dan akhirnya dia ngancem gue untuk bunuh diri, awalnya gue pikir itu cuma anceman gila dan gak bakalan juga dia lakuin. Tapi ternyata pemikiran gue salah, keesokan harinya, Cassie ditemukan gak sadarkan diri di kamarnya, dengan busa yang keluar dari mulutnya, dan kaleng obat yang ada di lantai. Ketika ditemuin itu, Cassie nulis surat yang intinya bilang kalau dia cinta sama gue, tapi gue malah nyia-nyiain cintanya.”

Karenina tidak habis fikir, seberapa beratnya hidup Cassie sampai dia sebegitunya kepada Javier,

“Gue terima cinta dia, dan gue ngejalanin hubungan ini dengan banyak keterpaksaan. Cassie yang selalu mulai hal-hal romantis sama gue, tapi gue enggak, gue terlalu kesel untuk ngelakuin hal romantis sama dia. Beberapa kali gue mencoba untuk ajak dia bicara baik-baik untuk akhirkin hubungan ini, tapi respon dia selalu sama seperti dulu gue nolak dia. Bunuh diri. Im so sick of that, bisa gak dia jangan bawa-bawa itu? Dia bodoh ngabisin dirinya sendiri cuma untuk cowok kayak aku.”

“Tapi, gue gak bakalan kemakan lagi sama anceman-ancemannya dia. Gue tetap bakal putus dan lanjutin perjodohan ini, gue gak perduli dia mau terima gue putusin atau nggak, yang jelas dan yang penting gue sudah lepas dari perempuan toxic kayak dia, dan gue akan memulai semua hal yang baru sama lo.”

Ada perasaan hangat yang menjerat hati Karenina sesaat Javier mengucapkan kalimat terakhirnya, dimana lelaki itu ingin memulai semua hal baru dengannya. Benar-benar rasanya seperti masih mimpi. Kemarin, Karenina masih menangisi Javier, karena ketampanan lelaki itu yang membuatnya minder dan merasa kalau Javier tidak akan pernah menjadi miliknya. Namun, sekarang, keadaan berubah dengan begitu cepatnya. Sepertinya, semua mimpi-mimpi Karenina yang ia gantungkan di langit tentang Javier sebentar lagi akan menjadi sebuah kenyataan,

“Jadi…” Javier menatap mata Karenina begitu dalam. Tangan kekarnya meraih tangan Karenina, dan menggenggam tangan itu dengan begitu erat. Karenina terkejut bukan main, pipinya seketika merah ketika tangan yang lebih besar dari tangannya itu menyentuh permukaan kulitnya. Semuanya benar-benar terasa begitu hangat, “im begging you, tolong terima perjodohan ini, dan jangan tolak perjodohan ini.”

“Tapi kak—”

“Kenapa, Nin? Lo punya pacar? Gak apa-apa, biar nanti gue yang bilang sama pacar lo.”.

Karenina buru-buru menggelengkan kepalanya. Matanya melotot, raut wajahnya terlihat seperti dia tidak membenarkan apa yang Javier ucapkan barusan kepada dirinya.

Javier melepaskan genggaman tangannya dari tangan Karenina.

Perasaan kecewa menimpa Karenina, padahal dia ingin Javier menggenggam tangannya terus, kalau bisa sampai pulang pun ia ingin digenggam tangannya oleh Javier,

“Terus kenapa? Kalau soal perasaan lo yang gak cinta sama gua, ya itu gak masalah, biarin aja, yang terpenting kita di jodohin, entah itu nantinya kita tunangan dulu atau langsung menikah, yang terpenting gue sama lu. Please, Nin, gue mohon.”

Karenina menatap mata Javier, dia melihat sorot tulus dan kejujuran dari matanya. Javier sepertinya benar-benar menginginkan perjodohan ini. Yang mana hal ini justru menjadi sangat langka, karena pada kebiasaannya laki-laki yang selalu tidak menginginkan perjodohan ini, tetapi, Javier, dia begitu sangat ingin perjodohan ini terjadi.

Jelas hal itu membuat Karenina terketuk pintu hatinya. Sejujurnya, Karenina sudah ingin menerima perjodohan ini, namun, mengetahui bahwa Javier yang sudah memiliki kekasih membuat memilih untuk mundur, dan membiarkan hidupnya dalam rasa penyesalan. Namun, hari ini, keadaan berubah, sebagai seseorang yang mencintai Javier, Karenina ingin menyelamatkan lelaki itu. Ia bisa merasakan lelah fisik, mental, dan batin yang Javier rasakan karena hubungan tidak sehatnya dengan Cassie.

Ia takut sebenarnya, karena perempuan seperti Cassie tidak pernah memiliki perasaan ampun ketika menyiksa seseorang. Tapi, Karenina tetap akan melakukannya karena ada Javier yang harus diselamatkan dari perempuan toxic itu,

“Iya.”

Mata Javier langsung berbinar penuh kebahagiaan dan rasa keterkejutan,

“Iya… ini maksudnya…. lu nerima gue? Lu gak bakal nolak perjodohan ini?”

Karenina mengangguk,

“Nanti aku bilang ke ayah sama ibu aku kalau perjodohannya gak usah dibatalin, karena akunya juga mau.”

Javier benar-benar bahagia hari ini, tidak ada satu pun kata yang bagus untuk menjabarkan bagaimana bahagianya dia hari ini. Dia tidak bisa berhenti tersenyum, lelaki itu meraih tangan Karenina dan mengecup punggung tangan sang puan.

Jangan tanya bagaimana perasaan Karenina sekarang. Kalau dia bisa pingsan sekarang, dia benar-benar akan pingsan. Tapi dia harus tetap tenang, agar tidak terlalu kentara kalau dia sebenarnya sudah diambang kewarasan akibat perlakuan Javier,

“Sekali terima kasih. Bener-bener terima kasih.”

Setelah ini, Javier benar-benar akan bisa lepas dari Cassie. Dan yang lebih penting, Javier akan menghabiskan seluruh sisa hidupnya di dunia bersama perempuan impiannya,

Karenina Kelana.


“Aduh subhanallah anak Rendra sama Sarah ini cantik sekali ya? Kalau kita Javier sih produk anti gagal.” puji Oma, yang duduk disamping Javier kepada Irene, si gadis cantik nan pemalu yang duduk disamping kekasihnya, Chandra.

Gelak tawa terdengar dari meja panjang itu setelah Oma selesai berbicara.

Malam ini, agenda makan malam keluarga Yudhistira dan Narendra berjalan dengan begitu lancar dan hangat. Makan malam ini, daripada disebut makan malam dengan rekan kerja, lebih cocok disebut makan malam keluarga, karena diantara mereka seperti sudah tidak ada sama sekali batasan, mereka benar-benar sudah seperti keluarga dekat,

“Terima kasih, Oma.” Tante Sarah mewakili Irene, mengucapkan terima kasih kepada wanita paru baya yang meskipun umurnya sudah delapan puluh tahun namun masih terlihat begitu sangat cantik.

“Sayang sekali ya, anak bungsunya enggak bisa dateng.” ucap Tante Jessica, yang sontak membuat Oma terkejut.

“Loh, heh? Anak kalian dua, toh?

Om Rendra mengangguk sambil tertawa kecil, begitu pun dengan Tante Sarah,

“Iya oma, ini anak pertama saya namanya Irene, nah kalau yang kedua, ada di rumah, si bungsu, lagi biasa semangat-semangatnya kuliah, jadi agak susah kalau diajak pergi jalan-jalan itu.” jelas Om Rendra.

Oma mengangguk paham, sambil mulutnya membentuk huruf “O”,

“Perempuan juga anaknya?” tanya Oma.

“Alhamdulillah, perempuan juga oma. Satu kampus kok sama Javier, satu fakultas juga, tapi, ya anak saya dua tahun dibawah Javier angkatannya.” kini giliran Sarah yang menjawab.

Javier yang pada awalnya tengah asyik menyantap makanannya, langsung berhenti begitu saja ketika Tante Sarah berbicara seperti barusan,

“Kamu kenal?” tanya Oma sambil melirik Javier yang kini duduk disampingnya, Javier pun balas melirik oma tersayangnya itu.

Javier menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, “tapi mungkin nanti Javier bakal cari tahu siapa orangnya, kalau namanya boleh tau siapa tante?” Javier bertanya sambil mengalihkan pandangannya kepada Tante Sarah dan Om Rendra.

“Namanya Karenina. Karenina Kelana.” jawab Irene.

Javier termangu begitu mendengar jawaban Irene. Raut wajahnya berubah. Tidak ada yang dapat menjelaskan secara jelas arti dari perubahan air muka Javier tersebut. Yang pasti, Irene menaruh rasa curiga kepada Javier saat Javier terdiam dan merubah ekspresi wajahnya.

Buru-buru, Javier tersadar dari diamnya,

“Oh iya, nanti Javier cari tahu di kampus. Soalnya Javier punya banyak kenalan adik tingkat.” jawab Javier, lalu lelaki itu melanjutkan makan malamnya, dengan pikiran yang melayang entah kemana.

“Gimana kalau kita jodohin aja Javier sama Karenina, biar semakin mempererat tali silaturahmi diantara keluarga kita.” celetuk Om Yudhis.

Jarvis langsung batuk-batuk saking terkejutnya mendengar celetukan sang ayah—yang entah itu serius atau hanya guyonan untuk menghangatkan suasana makan malam malam ini.

Irene dan Chandra mereka saling bertukar pandang karena saking kagetnya. Begitu pula dengan Om Rendra dan Tante Sarah, orang tua dari Irene dan Karenina itu terlihat seperti terkejut tapi tidak tahu harus bereaksi apa-apa.

Berbeda dengan reaksi dari Tante Jessica dan Oma—dua wanita cantik nan classy itu terlihat begitu setuju dan sangat antusias, tidak ada ekspresi kerekejutan atas apa yang sudah diucapkan oleh Yudhis,

“Setuju!” seru Tante Jessica, mata hazelnya menatap mata Tante Sarah, “Sar, kamu juga harus mau ya? Aku tahu, Karenina pasti anak yang baik dan cantik seperti Irene. Dia cocok untuk Javier.”

Tante Sarah tersenyum kikuk,

“Aduh, Jess, aku gak bisa nentuin, itu semua gimana sama anak kita.Tapi, ya aku setuju-setuju aja kalau semisal niatnya baik, cuman untuk jawabannya, aku serahin ke Karenina aja.” jelas Tante Sarah.

Oma menatap Tante Sarah, Om Rendra, dan juga Irene dengan tatapan seolah-olah berharap akan persetujuan dari ketiga orang tersebut,

“Gak apa-apa, nanti kita pertemukan dulu Javier sama Karenina, setelah itu, baru kita bakal dapet kesepakatannya. Oma, sebagai manusia paling tua disini, yakin sekali kalah Karenina akan mau untuk dijodohkan dengan Javier, begitu pula dengan Javier.” ucap Oma dengan begitu percaya dirinya. Wanita paruh baya itu menyenggol tangan Javier menggunakan tangannya, Javier langsung sadar dan melihat sang oma, “iya kan, Javier?”

Javier terlihat begitu linglung,

“Eh iya, apa oma?” tanya Javier, Oma hanya tertawa lalu mengacak-acak puncak kepala cucunya itu.

“Kalau kamu mau dijodohkan sama Karenina. Mau kan?”

Javier diam untuk beberapa saat, sampai pada akhirnya dia berbicara,

“Javier mau lihat dulu yang mana anaknya, baru setelah itu Javier akan menimbang-nimbang.” jawab Javier, yang membuat Oma, Om Yudhis, dan Tante Jessica tersenyum lega, “Om, Tante, Kak Irene, sebelumnya maaf kalau Javier lancang, tapi apa Javier boleh lihat foto Karenina?” tanya Javier dengan begitu sopan sambil duduk dengan posisi tegap dan menatap kedua orang tua Irene dan juga Irene secara bergantian.

“Oh iya boleh. Sebentar ya.” ucap Om Rendra, beliau mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya, lalu membuka galeri untuk mencari foto anak bungsu kesayangannya.

Setelah foto itu ditemukan, Om Rendra langsung memberikan ponselnya kepada Javier. Javier menerimanya dengan senang hati. Lelaki itu, kembali terdiam ketika melihat sosok Karenina Kelana yang sedari tadi dibahas. Melihat hal tersebut, Irene menatap Javier dengan tatapan penuh kecurigaan. Sepertinya, ada yang aneh dari Javier, tatapan matanya seperti memancarkan perasaan cinta yang telah lama di pendam (ini menurut Irene).

Oma yang duduk disamping Javier, mengintip foto Karenina, yang tengah duduk di sepeda perahu, menggunakan pelampung berwarna merah, sambil menggegam ponselnya, dengan wajahnya yang terlihat agak serius namun tetap terlihat cantik, lucu, dan menggemaskan. Oma menyunggingkan senyumannya, merasa begitu senang hanya karena dirinya melihat foto Karenina,

“Cantik sekali.” puji Oma, “Oma pingin dia jadi cucu menantu oma.”

Javier tersadar dari lamunannya, lalu melirik oma sambil tersenyum tipis. Lelaki itu lantas kembali mengembalikan ponselnya kepada Om Rendra,

“Jadi gimana Javier? Kamu mau?” Om Yudhis bertanya sambil menatap Javier.

Tanpa ragu, Javier menjawab,

“Iya. Javier mau.”


“Good morning.”

Raina agaknya sedikit terkejut ketika Rangga masuk ke dalam kamar, sambil membawa nampan yang diatasnya berisikan satu piring english breakfast dengan orange juice sebagai minumannya.

Pria tampan yang memakai pakaian santainya itu, berjalan ke arah Raina yang masih duduk di ranjang, dengan tubuh telanjangnya yang ditutupi selimut tebal. Rangga mendudukkan pantatnya di pinggiran ranjang,

“I made you breakfast.”

Bibir pucat Raina tersenyum begitu lebar. Ia menatap piring berisi makanan itu dengan tatapan lapar, lalu secepat kilat dia menatap Rangga. Senyumannya semakin mengembang tat kala ia menatap Rangga,

“Thank you. You're so kind.”

Rangga tertawa pelan, Raina juga ikut tertawa mendengar tawa pelan milik Rangga yang terdengar begitu merdu di telinga Raina,

“Sorry if the food is not good, I'm not good at cooking.” ucap Rangga merendah.

“Kamu tuh merendah untuk meroket banget ya? Ini jelas-jelas makanannya keliatan enak loh looknya, gila aja masa gak enak.” lontar Raina.

Rangga hanya diam, namun wajahnya tidak bisa berbohong kalau dia begitu senang ketika mendengar pujian dari Raina tentang masakannya. Dan, for your information, Raina adalah perempuan kedua yang ia buatkan sarapan, setelah ibunya,

“Aku coba ya.” izin Raina, Rangga mengangguk memberi izin untuk Raina menyantap sarapannya.

Lalu, Raina pun mulai menyantap sarapan tersebut. Rangga fokus menyaksikan ekspresi muka Raina. Ekspresi gadis itu menunjukkan sebuah kenikmatan yang tiada tara dari makanan yang kini sedang ia kunyah di dalam mulutnya. Rangga bersyukur dalam hatinya,

“Demi Tuhan ini enak banget, kamu jago banget sumpah!” puji Raina.

“Makasih.” jawab Rangga salah tingkah, “saya bisa terus masakin kamu kalau kamu mau.”

Raina tertawa sambil menutup mulutnya, mengantisipasi agar makanan yang ada di dalam mulutnya tidak jatuh ke kasur begitu saja. Setelah ia menelan makanannya, barulah Raina berbicara,

“Ya gak boleh gitu lah, jabatan kamu di kantor tuh CEO loh, kalau kamu masakin aku terus nanti jatuhnya jadi chef dong?”

“Saya jadi eksekutif chef buat kamu. Saya cuman masak buat kamu doang.”

“Mmmm gitu ya?” Rangga mengangguk, “aku harus bayar berapa kira-kira biar kamu mau jadi chef pribadi aku?”

“Gak usah dibayar pake uang.” jawab Rangga.

“Then? Pake apa dong bayarnya?”

“Cukup pake nomor telfon kamu aja.”

Raina tertawa terbahak-bahak, Rangga juga menjadi ikut tertawa,

“Ih sumpah, kamu beneran kayak ayah aku banget tau gak sih gombalnya? Ayahku dulu gombalin ibuku juga gini, dia minta nomor telfon rumah ibu aku.” ucap Raina di sela-sela tawanya.

Rangga memperlihatkan deretan gigi putih nan rapihnya,

“Jadi boleh gak nih? Saya minta nomor telfon kamu, kayak ayah kamu minta nelfon ibu kamu?”

Seketika ide jahil muncul di otak Raina,

“Mmmmm, boleh enggak ya?” Raina pura-pura menimang-nimang untuk memberikan nomor telfonnya kepada Rangga.

Memang pada dasarnya Rangga itu sedikit agak kaku. Dia jadi menganggap kalau Raina benar-benar sedang mempertimbangkan untuk memberikan nomor ponselnya kepadanya. Padahal, Raina hanya bercanda,

“Kalau aku gak mau ngasih, kamu mau ngapain?”

“Mau maksa kamu sampai mau ngasih nomor telfon kamu ke saya.”

“Tapi aku gak suka dipaksa anaknya. Gimana dong?”

“Raina, come on.” jengah Rangga.

Raina hanya tertawa. Lalu, dia mengambil ponselnya di nakas, dan menyuruh Rangga untuk menekan nomor telfonnya di ponsel pintar Raina. Dan, setelah itu, Raina menelfon nomor tersebut, setelah handphone Rangga berbunyi, belum ada semenit, Raina langsung memutuskan sambungan telfon tersebut.

Wajah Rangga terlihat begitu berseri-seri. Raina yang melihat itu hanya mampu terdiam sambil tersenyum gemas. Demi Tuhan, benar-benar menggemaskan.

Lalu, sesi makan pagi pun kembali dilanjutnya, dengan obrolan-obrolan tidak penting diantara Rangga dan Raina, selain itu juga candaan-candaan yang menjurus ke hal-hal yang berbau nsfw. Pokoknya, pagi ini, mereka habiskan dengan saling mengobrol, bertukar pikiran, atau pun bercanda-bercanda kecil.

Sampai akhirnya, ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Raina mendapatkan telfon dari teman divisinya di kantor, yang mana teman tersebut meminta Raina untuk datang ke kantor, karena ada beberapa dokumen yang harus di benarkan.

Rangga, sebagai seorang laki-laki pun langsung sigap menawarkan jasa antar kepada Raina,

“Saya anterin kamu ke kantor ya?”

Raina terlihat tidak enak, “eh emang gak apa-apa ya? Aku takut ngerepotin kamu soalnya.”

Rangga tersenyum,

“Saya justru senang direpotin sama kamu. Mau ya saya antar?”

Sekarang, giliran Raina yang tersenyum.

Gadis itu lalu menganggukan kepalanya. Menerima tawaran Rangga,

“Oh iya, ini kita mau langsung ke kantor kamu apa ke mana dulu?” tanya Rangga begitu dirinya sudah duduk di kursi kemudi, dan Raina yang sudah duduk di kursi depan samping Rangga.

“Ke apartement dulu aja. Aku belum ganti baju nih, masa ke kantor pake kaos oblong mana besar banget lagi punya kamu.” jawab Raina sambil merajuk menatap Rangga.

Rangga hanya tertawa, sambil tangannya sibuk membelokkan stang mobilnya ke arah kanan, tempat keluar dari basement apartement yang Rangga sewa hanya untuk menghabiskan waktu indahnya bersama Raina,

“Tapi, kamu kelihatan cantik kok pakai baju saya.” puji Rangga.

Raina baru saja mau bilang terima kasih, sebelum selanjutnya Rangga melanjutkan kalimatnya,

“But you're prettier when you're naked.”

DASAR RANGGA GILA!


Malam semakin larut, keadaan kelab musik bukannya semakin sepi malah semakin ramai. Dentuman musik juga terdengar semakin keras, banyak dari beberapa orang yang turun ke lantai dansa, entah itu untuk berjoget ria atau bercumbu bersama pasangan atau partner senang-senang mereka.

Lalu bagaimana dengan Rangga dan Rania?

Mereka berdua pergi melipir ke tempat yang lebih mewah dan nyaman, yaitu apartement yang berada di sekitaran kelab malam ini. Mereka ingin mendapatkan ketenangan dan kenyamanan untuk mengobrol bersama, karena kalau tetap stay di kelab malam, mungkin tenggorokan mereka akan sakit keesokan harinya, karena harus berbicara sambil teriak.

Ah, untuk Johnny dan Shaqilla. Dua pasangan itu sudah pergi dari beberapa menit yang lalu, menuju apartement Shaqilla. Sepertinya mereka berdua lebih memilih untuk menghabiskan waktu berdua di apartement mereka, agar lebih intim dibandingkan di kelab malam seperti ini.

Malam ini, Raina duduk di pinggiran ranjang bersama dengan seorang lelaki asing yang baru berkenalan dengannya 4 jam yang lalu, dengan keadaan kepala keduanya yang sedikit pusing akibat mengkonsumsi alkohol dengan tingkat toleransi alkohol di dalam minumannya yang rendah, jadi cukup bisa membuat mereka tetap sadar meskipun sedikit tipsy,

“Kamu dateng ke kelab tadi, karena stress lagi banyak masalah atau sengaja iseng dateng aja? Its not your first time, right?

Raina mengangguk, “aku udah sering kesini sih, om, sama Qilla.” jawab Raina.

Rangga mendecakkan lidahnya sebal. Apakah mukanya terlihat setua itu sehingga Raina memanggilnya dengan sebutan om? Padahal umur Rangga kan baru menginjak angka 27 tahun, belum 30 seperti Johnny,

“Rein, panggil nama aja jangan pakai embel embel om segala. Saya baru dua puluh tujuh tahun loh.” pinta Rangga memelas.

“Eh????? Kirain seumuran sama Om Johnny.”

Nooooo, dia tuh yang udah tua dan cocok di panggil om, kalau saya jangan, saya masih muda dan gak ikhlas kalau dipanggil om.”

Tawa renyah nan manis keluar dari dalam mulut Raina tat kala ia mendengar pernyataan Rangga barusan. Tawa itu benar-benar menghipnotis Rangga, bagaimana bisa seseorang membuat Rangga semakin jatuh cinta hanya karena tawanya? Raina benar-benar perempuan spesial,

“Ok, so, kamu kesini itu karena apa? Itu pertanyaan belum kamu jawab loh.”

“Oh sorry, my bad.” Raina melanjutkan ucapannya, “aku dateng kesini karena emang mau cari hiburan aja sih, plus aku juga baru putus dari pacar aku.”

Wajah tampan Rangga seketika berubah menjadi berseri-seri saat mendengar akhir kalimat Raina barusan,

“Wah, bagus dong kalau gitu.”

“Bagus apanya?” heran Raina.

“Ya bagus, aku jadi ada kesempatan buat deketin kamu.”

Raina tertawa pelan, sambil menyelipkan sisi rambutnya ke telinga, “apaan sih.” ucap gadis itu yang kini tengah dilanda perasaan salah tingkah.

“Loh serius? Kalau ada cewe secantik kamu, apalagi jomblo, daripada dianggurin mending dideketin kan?”

Lagi lagi, Raina tertawa. Ia menunduk malu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu sepersekian detik, ia kembali mengangkat kepalanya dan menatap Rangga,

“Kamu ini ya, gombal banget deh seriusan. Udah tua juga.” ejek Raina. Ia sedang mencoba untuk menyembunyikan perasaan salah tingkahnya dihadapan Rangga.

“First of all, gombal tidak mengenal usia, kakek kakek yang nafasnya tinggal dua garis juga bisa gombal mah. Second of all, im not that old.” ucap Rangga sambil nadanya membentuk sebuah penegasan di kalimat terakhirnya.

“Tapi gak apa-apa, aku juga suka kok yang lebih tua dari aku. Soalnya lebih berpengalaman, dalam segala hal.” ucap Raina sambil menatap lurus mata Rangga, dengan memasang ekspresi yang serius namun terlihat begitu seduktif bagi Rangga.

Rangga pun begitu, ia mulai menunjukan wajah serius dan seduktifnya. Matanya menatap balik mata Raina seperti seorang raja hutan yang siap kapan saja menerkam mangsanya.

Suasana diantara keduanya malam ini semakin panas. Apalagi ketika Rangga mulai mendekatkan dirinya ke Raina. Sebetulnya, nafas Raina hampir tercekat ketika Rangga perlahan-lahan mulai mendekatkan diri kepada dirinya, namun, karena nafsu sudah begitu menyelimuti Raina, gadis itu membiarkan Rangga mendekat tubuhnya bahkan mencium bibirnya.

Benda tidak bertulang yang sekarang sedang mencumbu bibir Raina itu benar-benar memabukkan. Raina menggila hanya karena ciuman yang Rangga berikan kepadanya. He such a good kisser. Dengan percaga diri, Raina kemudian membalas cumbuan Rangga. Awalnya ciuman itu hanya berupa kecupan dan sedikit lumatan, namun masih terasa lembut. Tapi lama kelamaan, ciuman itu berubah menjadi sebuah lumatan yang panas, dan terkesan sedikit kasar. Nafsu dan cinta seperti menjadi kombinasi yang pas di dalam permainan bibir Rangga dan Raina malam ini.

Melumat.

Menggigit.

Bermain lidah.

Semuanya Rangga lakukan kepada Raina, begitu pun sebaliknya.

Sepersekian detik, Raina sudah duduk di paha Rangga. Dengan mulutnya yang masih bermain dengan milik Rangga. Tangan Rangga tidak hanya berada di pinggang ramping Raina sekarang, namun sudah menjalar kemana-mana. Bahkan sampai menyentuh bokong Raina, namun Raina tidak mempermasalahkan hal tersebut. Toh, gadis itu juga menyukainya.

Raina juga melakukan hal yang sama kepada Rangga. Tangannya tidak tinggal diam, ia berani untuk mengelus-elus paha bagian dalam Rangga, membuat libido lelaki itu semakin membuncah. Raina juga bisa merasakan milik Rangga yang begitu besar disana sudah membengkak meminta untuk segera dimanjakan oleh tangan, mulut, ataupun lubang kenikmatan milik Raina.

Rangga sudah tidak tahan lagi. Ia lepas pagutannya dengan Raina. Dengan nafas yang memburu, dan tatapan mata yang penuh akan nafsu, Rangga menatap Raina dengan begitu intens. Raina balas menatap Rangga dengan wajah terangsang dan mata sayunya yang semakin membuat Rangga hilang akal dan berani melakukan hal yang lebih gila dari ini tanpa menunggu persetujuan Raina (kalau saja teknik mengontrol nafsu di dalam dirinya sangat buruk),

“Rein, kalau kamu gak mau bilang, saya gak bakalan maksa kamu.” suara Rangga terdengar begitu rendah, membuat Raina semakin ingin berbuat lebih dengan Rangga.

“Gitu ya?” Raina melirik ke pemilikan Rangga, lalu tangannya ia arahkan kesana dan membuatkan gerakkan mengelus dengan begitu halus milik Rangga yang sudah menegang, sambil matanya menatap wajah Rangga yang sudah memerah menahan libidonya, “udah gini loh, nyelesainnya gimana? Mau sendiri di toilet, hm?”

*“Sialan, gue kalau diginiin bisa out of control. Please, jangan tease gue kayak gini, Raina, im begging you.“*

Rangga berteriak frustasi di dalam hatinya.

Pikiran Rangga masih bimbang, antara ia mau melakukan ini dengan Raina, atau malah dia memilih untuk menyelesaikannya sendiri, karena kalau dia melakukannya dengan Raina, dia takut malah akan membuat Raina kesakitan keesokan harinya. Tapi, Raina juga berbahaya, gadis itu terus menggodanya, seperti seolah-olah gadis itu tidak memiliki perasaan takut sama sekali.

Dan, pada akhirnya, Rangga memilih untuk melakukannya bersama Raina. Ia benar-benar tidak tahan, dan rasanya untuk menyelesaikan sendiri pun, ia tidak akan pernah merasa puas, ia butuh Raina. Sangat membutuhkan Raina.

Maka, malam ini menjadi malam yang begitu panjang bagi Raina dan juga Rangga.

Cinta mereka langsung tumbuh meskipun pertemuan mereka bisa dibilang singkat. Malah amat singkat,

“Is it too early to say, i love you, Raina?”

Raina tertawa. Ia menggelengkan kepalanya. Sambil jari-jarinya mengelus pelipis Rangga,

“No, because i feel the same too. I love you so much, Rangga.”


Rasa kesal masih menyelimuti Karina. Gadis itu juga tidak paham kenapa dirinya bisa sekesal ini hanya karena Jeffrey terus menyebut dirinya Sekar, Sekar, dan Sekar. Ya, Karina akui dirinya dan Sekar memang 100% bisa dikatakan sangat mirip, dari mulai mata, hidung, bentuk pipi, bentuk rahang, dan lain sebagainya. Tapi, bisakah Jeffrey sekali saja melihat Karina itu sebagai Karina bukan sebagai Sekar?

Bahkan ketika Karina menunjukkan sifat aslinya yang kelewat bar-bar itu, Jeffrey masih saja menganggap Karina adalah Sekar, padahal Karina tahu percis kalau Sekar itu sepertinya gadis yang pemalu dan lemah lembut, berbanding terbalik dengan Karina. Meskipun parasnya sangat cantik, bentuk tubuh yang ideal, dan selalu disebut sebagai primadona dari sejak sekolah sampai gadis itu memasuki dunia kerja, sifat Karina jauh dari kata sempurna, gadis itu petakilan, ceroboh, mulutnya selalu berbicara banyak sekali umpatan yang membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa kesal dan ingin menyumpal mulut Karina. Dia tidak pernah bisa berdandan anggun, pakai rok saja hanya ketika dia pergi kerja, sisanya, dia selalu memakai kaus polos yang berbahan dasar tipis dan ada sedikit robek-robek, belum lagi hotpants berbahan dasar kain yang warna aslinya sudah pudar.

Sangat jauh berbeda bukan sifat Sekar dan Karina? Tapi kenapa Jeffrey masih saja menganggap kalau Karina adalah Sekar?

Entahlah, hanya Jeffrey dan Tuhan-Nya yang bisa menjawab semua itu.

Karina sekarang sedang tidak mau terlalu memikirkan hal tersebut. Hari ini pekerjaannya begitu banyak, membuat surat MOU, membuat laporan hasil dari kerja sama, membuat laporan hasil sidang empat hari yang lalu tentang sengketa tanah yang resmi di menangkan oleh perusahaan tempat Karina bekerja, dan masih banyak lagi tugas-tugas lainnya. Dan semua pekerjaan itu baru ia rampungkan setengahnya. Padahal daritadi Karina terus duduk di kursi kerjanya, dengan mata yang menatap layar komputer, juga tangan yang terus memgetik kata-kata yang akan ia tuangkan ke setiap pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Namun tetap saja, pekerjaannya terasa amat sangat lama untuk selesai.

Apa karena ini pengaruh dari rasa kesalnya kepada Jeffrey? Entah, Karina sendiri tidak bisa menjawab hal tersebut.

Tapi yang pasti, sekarang pintu kerjanya yang terbuka itu dimasukin oleh Jovan, Chief Operating Officer di perusahaan ini. Karina tidak menyadari akan kedatangan Jovan, karena dirinya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk. Dan, karena itu pula, Karina tidak menyadari kalau Jovan sudah berdiri di samping kubikel meja kerjanya, dengan jas rapih dan badan tegapnya, serta rambut klimisnya, juga kedua tangannya yang dia masukkan ke dalam saku.

Semua yang ada di dalam ruangan divisi legal ini sudah menyadari kehadiran Jovan, hanya Karina yang belum. Maka dari itu, semua pegawainya menahan tawa melihat Karina yang tidak menyadari eksistensi bosnya tersebut. Sampai pada akhirnya, Jovan lah yang harus berdehem dengan begitu kerasnya, barulah Karina sadar akan kehadiran Jovan. Gadis itu langsung meminta maaf karena telat menyadari kedatangan Jovan.

Dan, reaksi Jovan hanya tersenyum,

“Eh, ada Pak Jovan.” sapa Karina dengan lembut, “maaf pak keasyikan kerja jadi sampai gak sadar kalau bapa ada disini.”

Jovan mengangguk paham, senyumannya terukir dengan begitu manis,

“Gak apa-apa dilanjut aja—”

“JOVAN!”

Suara teriakan seorang perempuan dari pintu ruangan berhasil membuat Jovan dan beberapa karyawan di ruangan divisi legal ini menoleh ke arah pintu. Sudah ada Irene, si senior divisi manajemen yang membawa dua map yang sepertinya harus ditanda tangani oleh Jovan, selaku kaki tangan CEO di perusahaan, yang kebetulan sedang menghabiskan masa studinya di Cambridge University di Inggris sana.

Irene masuk ke dalam ruangan tanpa rasa sungkan, lagi pula tahta tertinggi di perusahaan ini sebenarnya adalah Irene, meskipun Jovan adalah Chief Operating Officer di kantor ini,

“Emang ganjen banget ya lu bukannya diem di ruangan malah main melipir kesini. Mau nyamperin adek gua kan lu hah? Mau modusin dia kan?” cecar Irene kepada Jovan yang mengundang gelak tawa seisi ruangan, kecuali Karina yang hanya diam sambil tersenyum kikuk.

“Apaan sih Mba Irene, orang lagi pengen jalan-jalan aja.” sanggah Jovan.

“Ceileh gegayaan jalan-jalan, ngapain jalan-jalan kesini? Kalau lo sumpek jalan-jalan ya ke taman, noh itu taman bisa bikin otak lo seger. Udah sini ikut gue, tanda tangan ini file, dibaca baik-baik jangan asal main tanda tangan.” tingkah Irene benar-benar terlihat seperti seorang ibu yang memergoki anak laki-lakinya membolos sekolah karena asyik bermain di tempat penyewaan play station.

Dan, Jovan yang memang pada dasarnya merasa segan dengan Irene, mau tidak mau harus menuruti permintaan perempuan yang empat tahun lebih tua darinya itu. Sebelum pergi, Jovan berpamitan kepada Karina, lalu Karina membalasnya dengan sebuah anggukan.

Begitu Jovan dan Irene pergi dari ruangan kerja Karina. Seseorang yang duduk di kubikel kerja sebelah Karina, langsung melemparkan pandangan menyebalkannya kepada Karina,

“Apaan sih?” sinis Karina.

“Pak Jovan.” godanya, “ganteng, mapan, gede pula badannya, bukannya lo suka yang gede-gede.”

Karina mendengus, ia menatap temannya itu dengan tatapan tidak suka,

“Eh gue kerik yang laptop lu.” ancam Karina yang mana itu malah membuat temannya merasa senang, “balik kerja sana. Gue tau kerjaan lo masih banyak.”

“Ceileh salting mba?”

“BISA DIEM GAK LO? ATAU MAU GUE TONJOK HAH?”

Chandra menahan senyumannya dan menganggukan kepalanya. Wajahnya terlihat seperti sedang meledek Karina,

“Oke gue diem.”

“Awas ya lu!”

“IYE KARIN INI GUA DIEM.”


“Selamat pagi.”

Karina terlonjak kaget ketika merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya, juga bisikan kata selamat pagi di telinganya. Gadis itu dengan reflek menendang kepemilikan Jeffrey, membuat Jeffrey langsung melepaskan dekapannya dan menahan jeritannya—saking sakitnya tendangan Karina.

Gadis itu buru-buru berbalik ke belakang, ia mengangkat pisaunya ke udara dan menatap Jeffrey dengan tatapan galak sekaligus takut. Jeffrey mengernyitkan keningnya, merasakan rasa ngilu di bagian kejantanannya,

“GILA YA LO!?” sentak Karina.

“Apa? Verdorie!” Jeffrey mengeluarkan sumpah serapahnya dalam Bahasa Belanda.

Wajahnya yang putih pucat bak vampire, seketika memerah merasakan rasa sakit yang menjalar hingga ke sistem saraf otaknya. Kedua tangannya ia taruh di bagian tengah selangkangannya dan diapit dengan kedua kakinya, badannya sedikit membungkuk. Ia masih merintih kesakitan.

Melihat itu seketika membuat Karina merasa bersalah karena sudah menyebabkan Jeffrey tersiksa akibat tendangannya barusan. Tapi, ia juga melakukan itu sebagai bentuk perlindungan diri. Bagaimana bisa Karina bersikap tenang ketika ada orang asing yang memeluknya begitu saja dari belakang?

Rasa bersalah itu semakin besar ketika Karina ingat cerita dari seniornya di kantor, Mas Yudha. Lelaki keturunan Jepang itu pernah berkata, kalau temannya yang tinggal di Jepang meregang nyawa setelah alat kelaminnya ditendang dengan begitu keras oleh mantan pacarnya. Dan, tadi, Karina mengakui kalau tendangannya lumayan cukup keras.

Karena takut, Karina akhirnya menaruh pisaunya di atas meja dapur, lalu ia berjalan dan mendekati Jeffrey, lalu membantu lelaki itu untuk berdiri tegak, dan membawanya duduk di sofa. Jeffrey melebarkan kedua kakinya, kepalanya ia dongakan ke atas, lelaki itu juga mengeluarkan suara-suara rintihan. Karina duduk menyamping disamping Jeffrey, wajahnya mengerut bingung sekaligus ketakutan, ia takut sesuatu hal yang buruk terjadi kepada Jeffrey, tapi dia juga bingung harus melakukan apa,

“Aduhh, lagian kamu tuh ngapain sih pake peluk-peluk kayak barusan segala? Jadi kaget kan aku, ketendang deh ini kamu.” sudah Karina yang salah, tapi gadis itu juga yang mengomel.

“Kenapa kamu jadi menyalahkan saya? Kamu yang salah. Lagipula, itu hal yang biasa kita lakukan setiap pagi, kamu lupa? Kamu yang minta saya untuk peluk kamu setiap bangun tidur, ataupun setiap kali mau tidur. Kamu lupa semuanya, Sekar?”

Ah, gue lupa, ini cowo gak jelas kan masih nganggep gue itu si Sekar, istrinya.

Karina berdehem,

“Ya intinya, lain kali jangan kayak gitu lagi. Aku gak suka, oke?” pinta Karina, Jeffrey hanya diam, tidak mampu mengeluarkan bantahan apapun karena rasa sakit yang mendera penisnya, “ya udah sebentar, aku ambilin dulu air es, kamu kompres sendiri itu kamu, aku mau kerja.”

“Kamu kerja?” tanya Jeffrey.

Karina mengangguk, “iya aku kerja, emang kenapa? Ada masalah.”

Jeffrey langsung mengangguk dengan penuh nafsu,

“Ya, masalah. Kamu itu adalah perempuan, seorang perempuan hanya perlu diam di rumah, dan menyambut pasangannya kalau sudah pulang dari pabrik atau dari perkebunan teh.”

“Jaman udah maju, kami udah gak dijajah lagi, jadi kami, perempuan, bebas untuk bekerja atau memilih jadi ibu rumah tangga! Kalian, laki-laki, gak punya hak untuk ngatur kita!”

Jeffrey sepertinya tidak terima dengan pernyataan Karina,

“Sekar, bukannya abah kamu itu pernah bilang dahulu sama kamu, kalau izin Tuhan itu adalah izin aku sebagai suami kamu. Kalau aku tidak izinkan kamu untuk kerja, ya sudah jangan kerja, diam di rumah bersama babu.”

Karina tidak mau terlalu memperdulikan ucapan makhluk yang ada di sampingnya itu. Daripada terus berdebat, lebih baik Karina menutup mulutnya, dan berdiri dari duduknya, meninggalkan Jeffrey dan mengambilkan air es juga sarapan untuk lelaki itu.

Lihat, kurang baik apalagi Karina?

“Daripada kamu ngomong terus, mending aku ambilin kamu sarapan, nanti kalau misalkan sakit kamu itu makin menjadi, dan malah kamu kerasa pingin muntah, kamu tinggal bilang ke aku, nanti kita ke dokter.”

“Cara bilangnya bagaimana? Lewat surat? Disini ada kantor Posts?”

Karina memutar bola matanya malas. Lagi lagi, ia lupa, kalau lelaki asing ini adalah lelaki yang keluar dari sebuah lukisan Belanda, sudah jelas, Karina yakin kalau Jeffrey hidup di jaman kolonialisme. Meskipun belum tentu, tapi dugaan Karina seperti itu,

“Kalau lewat surat itu capek, kamu harus nulis banyak. Bukan lewat surat, tapi lewat handphone.”

“Handphone? Apa itu?” tanya Jeffrey sembari keningnya membentuk lipatan. Lelaki itu bingung.

“Handphone itu alat elektronik yang digunakan sama kita untuk nelfon atau mengirim pesan. Di zaman dulu itu telepon kabel, tapi, telepon kabel itu cuman bisa untuk nelfon, nah kalau handphone, bisa nelfon dan bisa kirim pesan, jadi, kamu gak perlu capek-capek nulis di kertas, lalu kamu kirim ke kantor pos. Kamu paham?”

Karena memang pada dasarnya Jeffrey itu pintar. Tanpa ragu, dia menganggukkan kepalanya. Seolah pria itu sudah paham betul apa yang dijelaskan oleh Karina,

“Lalu? Ponselnya mana?” tanya Jeffrey dengan polosnya.

Aduh, Karina lupa! Kalau Jeffrey pasti tidak memiliki handphone sama sekali. Ah! Karina merutuki kebodohannya, namun sedetik kemudian, dia teringat akan ponsel lamanya yang masih berfungsi dengan baik yang ada di dalam kamarnya. Mungkin, ponsel itu bisa menjadi sarana komunikasi antara Karina dan juga Jeffrey selama Karina bekerja nanti,

“Ada kok!” jawab Karina sambil tersenyum, “sebentar, oke?”

Jeffrey mengangguk.

Karina lantas bangkit dari duduknya. Lalu berjalan menuju kamarnya, tidak berselang lama, Karina kembali dengan ponsel pintar bermerk dengan harga yang bisa dibilang lumayan mahal tersebut. Gadis itu kembali mendudukan dirinya di sofa, dan memberikan ponsel tersebut kepada Jeffrey.

Jeffrey menerimanya dengan wajah bingung. Dia membolak-balikan ponsel tersebut, melihatnya dibagian depan belakang, atas bawah, kiri dan kanan. Seperti sedang mengobservasi sesuatu yang benar-benar asing bagi dirinya,

“Hoe te gebruiken?” tanya Jeffrey spontan dengan menggunakan Bahasa Belanda, membuat Karina mendecakkan lidahnya sebal. Bagaimana cara menggunakannya?

“Aku tau kamu asli orang Belanda, tapi aku gak paham sama bahasa kamu. Maaf banget, bisa gak tolong pakai bahasa Indonesia aja?” kesal Karina.

Jeffrey tersenyum kecil, “maaf maaf, aku selalu seperti itu, ketika bingung, otomatis aku akan bicara pakai bahasa Netherland” katanya, “lalu, bagaimana cara aku pakai ini?”

“Sini aku ajarin kamu.”

Dengan sabar, Karina mengajarkan Jeffrey bagaimana ketika lelaki itu ingin melakukan panggilan, mengirim pesan whatsapp kepada Karina, bahkan Karina pun mengajarkan bagaimana cara Jeffrey untuk mengambil gambar. Jeffrey si laki-laki pintar, baru diajarkan beberapa menit oleh Karina saja dia sudah paham, dan bisa menggunakan ponselnya itu dengan baik dan benar,

“Kamu pinter juga ya?” puji Karina sambil tersenyum simpul.

Mata Jeffrey menatap lurus manik mata Karina. Tatapan teduh nan lembut itu berhasil membuat Karina salah tingkah, ia ingin mengalihkan pandangannya, namun, keindahan mata Jeffrey seolah-olah menghipnotisnya. Membuat Karina tidak memiliki daya upaya untuk hanya sekedar berpaling sepersekon detik darinya,

“Aku pintar karena kamu, Sekar. Kalau bukan karena kamu, aku cuman Jeffrey, si bodoh, yang selalu manja, dan selalu pergi berpesta setiap malam minggu di Societeit Concordia

Karina tersenyum tipis,

“Sekar, gue akuin, lo adalah perempuan hebat yang bisa merubah sosok Jeffrey, yang gue gak tahu bagaimana masa lalunya, tapi, ngelihat bagaimana dia begitu masih mengingat elu, bahkan sampai sekarang Tahun 2022. Gue yakin, lo sudah menjadi bagian terpenting di dalam hidup Jeffrey. Dimanapun lo sekarang, entah lo di surga atau dimana, gue harap, lo bisa lihat dan merasakan besarnya cinta dan kasih sayang Jeffrey buat lo.”

Karina menarik nafasnya, lalu tangannya ia gunakan untuk menepuk pundak Jeffrey. Memberikan sedikit kekuatan kepadanya, meskipun Karina yakin, Jeffrey tidak paham akan tindakannya barusan,

“Apa?” lihat, kan?

Karina menggeleng, “enggak, oh iya, gue sampai lupa mau ngasih lo sarapan. Sebentar ya.” ucap Karina sambil berdiri dari duduknya.

“Hei.”

Karina baru saja mau melangkah, namun suara lembut Jeffrey menghentikan langkah kakinya,

“Seperti biasa.” kata Jeffrey sambil mengangkat kedua alisnya jahil.

Karina hanya diam menatap bingung Jeffrey. Seolah paham dengan kebingungan Karina, Jeffrey menghembuskan nafasnya sebal,

“Ontbijtkoek.”

“Hah?”

Jeffrey mendecak, “kue sarapan pagi. Kamu selalu masak itu buat aku dulu, Sekar.”

Kali ini, gantian Karina yang menghembuskan nafasnya sebal,

“Aku buatin kamu kentang tumbuk, sosis, dan juga telur orak-arik, aku gak punya waktu banyak untuk bikin kue. Kalau kamu mau makan sarapan yang aku buat silahkan, kalau enggak juga gak masalah buat aku.”

Tanpa menunggu jawaban dari Jeffrey, Karina langsung melenggang pergi ke dapur, untuk menyiapkan sarapan yang ia masak untuk Jeffrey. Oh iya! Dan tidak lupa juga dengan air es untuk mengompres penis Jeffrey yang tadi Karina tendang.


Pintu kamar Karina dibuka begitu saja oleh Jeffrey. Membuat sang puan membelalakan matanya, terkejut, melihat Jeffrey yang memasuki kamarnya tanpa permisi dan tidak memperlihatkan rasa bersalahnya.

Karina langsung berdiri tegap dari ranjangnya, tubuhnya yang ideal itu mencoba untuk menghalangi Jeffrey agar tidak menyerbu ranjangnya yang diatasnya ditutupi oleh kain berbahan dasar katun dengan ukuran yang lumayan besar berwarna pink pastel,

“Lo mau ngapain kesini?” Karina bertanya dengan nada suara bergetar, ketakutan.

Jeffrey mengangkat alis sebelah kirinya ke atas, “mau apa lagi saya datang ke kamar selain tidur? Ini sudah malam.”

“Ya gue tau, ini udah malem.”

“Ya kalau kamu tahu, kenapa kamu masih nanya? Malam itu waktu semua manusia istirahat. Dan saya mau istirahat.”

“Tapi lo bukan manusia!” telak Karina.

Jeffrey terdiam, wajahnya termangu seperti orang yang kebingungan dan terkejut.

Dan, Karina, dari dalam lubuk hatinya, dia menyesal karena sudah melontarkan kata-kata yang dirasanya lumayan jahat tersebut kepada Jeffrey. Kata-kata itu muncul begitu saja dari dalam mulutnya, entah apa yang membuat Karina berani untuk berucap sekasar itu kepada Jeffrey,

“Sepertinya kamu gila.” ucap Jeffrey tiba-tiba.

“WHAT!?” Karina berapi-api, “GUE? GILA? WAH SINTING!” sungut gadis itu.

Jeffrey masih terlihat begitu santai dan tenang menghadapi kemarahan Karina,

“Eh lebih gila mana ya sama orang gak jelas yang tiba-tiba dateng ke apartement orang lain dan ngaku-ngaku kalau dia suami si pemilik apartement itu. Coba, gue tanya siapa yang lebih gila?” sindir Karina, mata gadis itu terlihat begitu berapi-api.

“Saya tidak ngaku-ngaku. Kamu itu benar istri saya. Saya punya buktinya.” Jeffrey terlihat begitu meyakinkan Karina, “sebentar.” katanya sambil membuat gesture tangan yang seolah-olah meminta Karina untuk menunggu.

Karina terdiam, hatinya menggebu-gebu, merasa tidak sabar untuk melihat barang bukti yang membuat Jeffrey begitu ngotot mengatakan bahwa Karina adalah istrinya.

Jeffrey merogoh saku jasnya, lalu dari dalam sana ia keluarkan sebuah kalung yang memiliki liontin yang ukurannya lumayan besar. Jeffrey memberikan kalung liontin tersebut kepada Karina, gadis itu awalnya termenung, merasa ragu-ragu, namun, ketika Jeffrey berbicara dengan suara yang lembut,

“Ambil. Kamu bisa lihat bukti itu disitu.”

Karina langsung menerimanya, tangan mungilnya perlahan-lahan, membuka liontin tersebut. Dan dia melihat foto Jeffrey disebelah kanan, dan foto seorang wanita di sebelah kiri. Karina membuka mulutnya, terkejut ia ketika melihat foto wanita di sebelah kiri itu sangat mirip dengan dirinya. Dari mulai mata, hidung, bibir, hingga panjang rambut pun percis seperti Karina. Hanya saja, style wanita itu begitu sederhana dibandingkan dengan Karina,

“Jeff…” suara Karina bergetar, ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Matanya melesat menatap lurus mata Jeffrey, “ini bukan gue.”

“Ya itu memang bukan gue, tapi itu kamu, Sekar.” Jeffrey menegaskan.

“Iya maksudnya, ini bukan g—ini bukan aku.”

“Saya yakin mata kamu masih bisa untuk melihat fotomu sendiri. Tidak mungkin kamu tidak kenal dengan wajah kamu sendiri, Sekar. Ini kamu, ik zweer.” Jeffrey masih terus berusaha untuk meyakinkan Karina, bahwa foto perempuan yang ada di dalam liontin itu adalah dirinya. “Aku bersumpah.”

Karina masih termenung di tempatnya, sambil dia terus melihat foto wanita yang ada di dalam liontin itu. Gadis itu merasa heran, bagaimana ada seseorang yang begitu mirip dengannya, dari mulai mata, hidung, bibir, dan panjang rambut pun hampir sama. Ia tidak pernah percaya akan ucapan orang-orang yang menyebutkan bahwa setiap manusia itu memiliki 7 kembaran di dunia, lalu, setelah melihat fenomena diluar nalar Karina ini, apakah dia harus mulai percaya dengan hal-hal tidak masuk akal seperti ini?

Entahlah, yang jelas, Karina terlalu asik tenggelam dalam lamunannya, sampai gadis itu tidak sadar, kalau Jeffrey sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang milik Karina. Di atas ranjang itu, mata Jeffrey tidak ada henti-hentinya untuk memperhatikan bagian tubuh Karina yang begitu indah, terutama pinggul ramping dan juga leher jenjangnya. Selain karena kebaikan, alasan Jeffrey jatuh cinta kepada Sekar, istrinya, adalah karena tubuh gadis itu yang ideal dan wajahnya yang begitu anggun dan cantik.

Jeffrey ingat, bagaimana dirinya berjuang dulu untuk mendapatkan hati seorang anak perempuan dari pembantunya tersebut. Dan ternyata, Tuhan mengabulkan doa Jeffrey yang setiap hari pria itu panjatkan, tidak hanya pada saat hari Minggu saja, ketika dirinya beribadah ke gereja. Jeffrey dan Sekar, akhirnya menikah, pernikahan mereka berjalan begitu indah dan romantis meskipun Tuhan belum menitipkan ruh di dalam rahim Sekar.

Namun, Sekar hilang sehari setelah ekspansi Jepang ke Indonesia, dan sampai saat ini, Jeffrey tidak pernah lagi mendengar kabar apapun dari Sekar. Lalu, ia merasa begitu beruntung karena Tuhan membawanya kesini, ke gedung yang memiliki begitu banyak deret kamar, dan mempertemukannya dengan Karina, gadis yang dianggap oleh laki-laki itu Sekar karena kemiripan keduanya yang begitu amat lekat,

“JEFFREY!” pekik Karina, membuat Jeffrey mengerjap kaget dan langsung tersadar dari lamunannya. Lelaki itu menatap Karina yang kini sudah merubah posisinya menjadi menghadap Jeffrey, setelah sedari tadi ia hanya berdiri sambil membelakangi Jeffrey.

“Ya?” sahut Jeffrey tenang.

“L—kamu ngapain sih tidur disitu? Tidur di kursi yang ada di depan, jangan tidur disini! Ini kamarku.”

Jeffrey hanya mengangkat kedua bahunya, sambil memasang ekspresi wajah yang—Demi Tuhan, rasanya Karina ingin menampar lelaki itu. Menyebalkan,

“Saya suami kamu, saya tidur disini. Dan kamu, tidur di sebelah saya.”

“WHAT!?”

“Kamu harus ingat, kalau dalam muslim, seperti yang kamu ajarkan ke aku dulu, sudah sewajibnya istri untuk melaksanakan perintah suami selama perintah itu baik dan bermanfaat.”

“Ya tap—”

Jeffrey langsung memotong ucapan Karina,

“Sini.”

Bukannya menghampiri Jeffrey, Karina malah pergi meninggalkan kamarnya sendiri, dan memilih untuk pergi ke ruang tengah apartementnya, mendudukan dirinya di sofa, dan merenung memikirkan sosok “Sekar” yang ada di dalam liontin tersebut, yang kebetulan wajahnya amat sangat mirip dengan Karina.


“Lo… Lo… Lo siapa?” Karina bertanya dengan nada suara yang gemetar, dan wajah yang menegang ketakutan.

Lelaki yang entah siapa namanya itu, hanya menatap Karina dengan dahinya yang berkerut, seperti bingung dengan pertanyaan yang Karina tanyakan kepada dirinya barusan,

“Waarom vraag je dat zo?” Lelaki itu bertanya dengan Bahasa Belanda yang kalau diterjemahkan menjadi “kenapa kamu bertanya seperti itu?”

Karina melongo. Pertama, laki-laki asing datang ke apartementnya, entah lewat mana. Kedua, laki-laki ini tadi berbicara dengan bahasa Indonesia dan langsung mendekati Karina sambil berkata “istriku”. Dan sekarang, tiba-tiba dia berbicara menggunakan Bahasa Belanda, yang mana Karina tidak paham sama sekali,

“Please, gue gak ngerti sama apa yang lo omongin.”

Lelaki itu tertawa pelan, “ah iya, saya lupa kalau kamu tidak bisa berbahasa Netherland. Het spijt me. Astaga, saya bicara pakai bahasa Netherland lagi. Maafkan saya. Tapi saya senang, akhirnya saya bertemu kamu lagi. Saya rindu kamu, Sekar.”

Karina buru-buru memundurkan tubuhnya dan menolak ketika lelaki itu hendak mendekap tubuhnya. Hal tersebut meninggalkan ribuan pertanyaan di benak sang pria, terlihat sekali dari air mukanya yang terlihat kebingungan,

“Lo gak bisa meluk gue.” Karina memperingati lelaki itu dengan nada suara yang begitu tegas.

“Kenapa? Kamu istri saya. Kita sudah menikah. Bukankah kamu pernah bilang ke saya, kalau kamu selalu suka pelukan saya di pagi hari?”

“Wah sakit ni orang.” gumam Karina dengan suara pelannya, “im not your fucking wife, okay? Gue gak tau lo siapa, lo tiba-tiba dateng kesini out of nowhere, sumpah aneh tau gak.”

Lelaki itu terdiam. Matanya yang tajam nan tegas itu sibuk melihat Karina, mengobservasi gadis itu dengan begitu teliti. Seolah-olah, Karina adalah sebuah objek terbaik dan sempurna yang harus lelaki itu abadikan di dalam memorinyai dengan penuh khidmat,

“Lebih baik, sekarang lo pulang, dan lo cari istri lo itu, karena gue bukan istri lo.”

Terdengar helaan nafas panjang dari lelaki itu,

“Pertama, saya tidak mengerti apa itu lo gue lo gue, setau saya, kamu selalu memanggil diri kamu sendiri itu aku, dan kamu panggil saya Jeffrey. Yang kedua, kamu itu istri saya.”

Raut wajah Karina berubah menjadi tegang tat kala telinganya yang bersih dan masih berfungsi dengan normal itu mendengar lelaki dihadapannyai menyebutkan nama Jeffrey. Otak pintar Karina langsung bekerja dengan cepat, ia mencoba mengingat-ingat dimana dia pernah mendengar nama itu. Dan tidak lama kemudian, dia mengingat, bahwa laki-laki yang ada di dalam lukisan yang diberikan oleh Irene, senior di kantornya itu ialah, Jeffrey Maxwell William.

Tapi……. apakah mungkin kalau seseorang keluar dari sebuah lukisan? Apalagi ini zaman modern, hal hal seperti itu rasanya kurang masuk akal untuk terjadi di zaman canggih seperti ini,

“Nama lo siapa tadi?” Karina mencoba untuk memastikan, berharap ia salah dengar.

“Sekar, padahal umur itu lebih tua saya, tapi kenapa kamu yang sudah lupa? Nama saya Jeffrey. Jeffrey Maxwell William.”

Jantung Karina saat itu juga terasa seperti berhenti berdetak. Rasa takut menggerayangi dirinya. Peluh-peluh bahkan sudah membasahi pelipis Karina saking dirinya merasa takut oleh Jeffrey. Memang, belum tentu yang ditakutkannya itu terjadi, tetapi, dengan hilangnya lukisan milik Karina secara tiba-tiba, dan kemunculan Jeffrey yang bersamaan dengan hilangnya lukisan itu, semakin membuat Karina merasa yakin bahwa orang yang ada di dalam lukisan itu adalah Jeffrey yang sekarang berdiri di hadapannya.


Julio berlarian di lorong rumah sakit dengan begitu kencang. Peluh membasahi wajahnya yang terlihat begitu gelisah dan khawatir. Julio bahkan tidak perduli dengan begitu banyaknya orang yang dia tabrak, yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Sekar. Istri tercintanya yang sedang berjuang diantara hidup dan mati untuk melahirkan buah cinta mereka.

Lelaki yang pakaiannya sudah tidak serapih saat tadi pagi ia pergi ke kantor itu akhirnya tiba di ruang bersalin. Julio sudah tidak perduli lagi dengan keberadaan kedua orang tua Sekar maupun kedua orang tuanya yang sudah berdiri dari duduknya dan siap untuk menyambut kedatangan Julio. Seperti di awal, yang ada di dalam pikirannya hanyalah Sekar.

Dia dengan kekuatan hulknya, membuka ruangan bersalin tersebut, dan matanya seketika menitikan air mata ketika ia melihat Sekar yang sudah berbaring di ranjang khusus melahirkan, dengan kedua betis kakinya yang Sekar taruh di penyangga, sehingga membuat Sekar tidur terlentang dengan posisi mengangkang.

Julio mendekati Sekar yang wajahnya sudah sangat berkeringat, belum lagi bibir merahnya itu sekarang berwarna pucat pasi, matanya sendu karena menangis sangking sakitnya proses melahirkan yang akan dilalui oleh Sekar. Julio tidak sanggup melihat perempuan yang paling dicintai olehnya itu kesakitan seperti ini, dia ikut menangis, merasakan bagaimana sakitnya Sekar sekarang.

Tangan kekar itu menggenggam tangan Sekar dengan sangat erat. Sekar tersenyum memandang lurus mata Julio,

“Selamatin anak kita ya, jangan aku.” lirih Sekar.

Julio menggeleng. Dia sedikit mengangkat tubuhnya untuk mengecup kening Sekar yang basah akibat peluh,

“Kamu akan sehat, bayi kita juga akan sehat. Aku sayang kamu.”

“Aku juga.” Sekar tersenyum dengan begitu tulusnya, membuat Julio semakin tidak bisa menahan air matanya.

“Ibu Sekar, serviks ibu sudah kebuka lebar ya bu, ayo ibu coba untuk ngejan ya.”

Sesuai dengan perintah dokter, Sekar mengejan dengan begitu kuat, pegangan tangannya kepada Julio pun semakin erat. Julio tidak memperdulikan rasa sakit akibat kuku Sekar, dia tahu, rasa sakit itu tidak sebanding dengan penderitaan Sekar saat ini.

Suara rintihan dan erangan kesakitan Sekar terus menggema ke seluruh ruangan, bahkan mungkin, sampai terdengar keluar, karena kedua orang tua Julio dan Sekar tampak terlihat begitu khawatir. Suara-suara dokter yang memberikan kata-kata semangat juga terus terdengar di ruangan itu, membuat Sekar semakin kuat mengejan. Dan, jangan lupakan bisikan Julio yang merapalkan kata-kata i love you terus menerus.

Satu setengah jam sudah Sekar menghabiskan waktunya untuk mengejan, dan apakah membuahkan hasil? Ya, jelas, kepala anak Sekar dan Julio sudah terlihat. Namun, sekuat apapun Sekar berteriak, merintih, bahkan sampai menangis, gadis itu benar-benar ingin menyerah. Dia tidak tahu bagaimana rasa sakitnya dicabut nyawa, tapi dengan melalui ini saja, Sekar memilih untuk pergi dari dunia daripada harus terus mengejan,

“DOKTERRRRRR SAYA GA KUATTTTTTT SAYA GA BISAAAA. SAYA NYERAHHHHH AHHHHH.”

“Hei sayang, enggak ya? Sebentar lagi. Ayo yang kuat untuk bayi kita sayang, ya?” mohon Julio sambil bergetar suaranya.

“Aku udah gak kuat sayang.” lirih Sekar.

“Ibu, ayo bisa, ini sebentar lagi kita udah bisa liat kaki sama tangannya ayo ibu, semangat.”

Sekar kembali mencoba untuk berusaha sekuat tenaga mengeluarkan bayi mungilnya dari dalam perutnya. Dan, usaha pun tidak pernah mengkhianati hasil. Pada akhirnya suara tangis bayi menjadi lantunan yang paling indah yang Sekar, Julio, dan kedua orang tua mereka di luar dengarkan.

Tepat pada hari ini, Jumat 4 Februari 2022, Julio Bagaskara dan Senandung Sekar, resmi menjadi orang tua, dari bayi mungil laki-laki yang tampan, bernama Adyatma Mahavir Bagaskara, sosok anak laki-laki cerdas yang kelak akan mengutamakan dan melindungi keluarganya.

Selamat resmi menjadi manusia di bumi dan menjadi anak dari Ayah Julio dan Ibu Sekar, Maha.


Rasa mulas itu benar-benar menyiksa Sekar. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Air ketuban juga sudah pecah, membasahi karpet ruang keluarga,

Tangannya yang gemetar, meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Julio, namun tidak ada juga respon. Lalu, mencoba menelfon kantor dan juga Johnny, hasilnya sama. Tidak ada respon.

Sekar benar-benar pasrah. Dalam rintihnya, gadis itu menyelipkan doa, agar bayinya diberi keselamatan, dan berdoa semoga ada kerabatnya yang tiba-tiba datang detik itu juga.

Dan, seolah-olah Tuhan mendengar doanya. Kedua orang tua tiba-tiba datang. Mereka berdua terlihat terkejut dan panik begitu melihat Sekar yang duduk di kursinya, sambil merintih kesakitan, dan memegangi perutnya.

Sekar menangis begitu melihat sang ibu,

“Ibuuuuu….. sakittttt…..” isak Sekar, “ibuu maafin Sekarrr, ibu Sekarr ga kuattt.”

“Kuat sayang, kuat. Ibu selalu memaafkan Sekar, lagipula Sekar anak baik, Sekar selalu bikin ayah sama ibu bangga.” lirih sang ibu, “sekarang kita ke rumah sakit ya?”

Sekar mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya,

“Suami kamu mana?” tanya ayah.

“Kerja ayah.” jawab Sekar lirih.

“Aduh, Julio, udah tau istrinya hamil besar gini malah pergi kerja.” omel sang ayah, “ya udah ayo sini ayah bantu.”

Seperti flashback ke masa lalu, ayah Sekar kembali menggendong Sekar, percis seperti dulu, ketika Sekar kecil, dia selalu tidur di lantai, dan setiap ayahnya pulang kerja, ayah selalu menggendong Sekar. Dan sekarang, kejadian itu kembali terulang.

Tapi, bukan karena Sekar yang tidur sembarangan, melainkan karena Sekar yang sedang kesakitan karena ada nyawa lain di dalam perutnya yang memberontak untuk keluar dan ingin segera melihat ayah dan ibunya di dunia yang sebenarnya.