jaehyunetz


Ditengah-tengah tidur nyenyaknya, Kaluna tiba-tiba merasa kehausan. Gadis itu akhirnya—dengan sangat terpaksa—terbangun tepat di jam 4 pagi. Ia bangkit dari ranjangnya, pergi berjalan keluar kamar, dan turun menuju dapur untuk mengambil segelas air putih dingin di dalam kulkas.

Disaat gadis itu tengah asik menghilangkan rasa hausnya. Tiba-tiba saja, ia merasakan pundaknya yang di tepuk oleh seseorang. Mata Kaluna langsung melotot, bulu kuduknya merinding seketika. Dia bukan tipe perempuan yang percaya dengan hal-hal mistis, tapi ketika sedang dalam keadaan seperti ini, pikiran buruk tentang hantu menggerayangi pikiran Kaluna.

Tepukan tangan itu semakin keras di bahunya, membuat Kaluna semakin takut—saking takutnya air minum yang tadi diminumnya masih berada di rongga mulutnya, belum ia telan sama sekali—namun, bukan Kaluna namanya jika tidak mencari penyakit. Karena penasaran, Kaluna pun memberanikan diri untuk berbalik badan ke belakang.

Untuk beberapa saat, Kaluna terdiam karena melihat sosok seorang lelaki yang tengah berdiri dihadapannya. Lelaki itu juga menatap Kaluna dengan alis yang menukik—bingung, kenapa bisa ada perempuan lain di rumahnya selain bundanya. Dan kalaupun para maid, mereka sudah memiliki rumah dan juga dapur masing-masing,

“Lo siapa?”

Selaras dengan keluarnya pertanyaan itu, Kaluna dengan secara tiba-tiba, menyemburkan air yang berada di dalam mulutnya, tepat ke wajah tampan laki-laki asing yang kini wajahnya sudah basah dan merah padam—menahan emosi atas serangan tiba-tiba dari Kaluna,

“ANJING!” pekik lelaki itu dengan suara baritonnya yang membuat seluruh tubuh Kaluna bergetar hebat. Gadis itu sangat amat ketakutan sekarang.

“M..m..maaf… g..a ga sengaja..” cicit Kaluna, sambil gadis itu terus menundukkan kepalanya, tidak berani sama sekali untuk melihat ekspresi marah pria bertubuh kekar dan lebih tinggi darinya itu.

“LO SIAPA!? LO SIAPA BERANI BERANINYA ADA DI RUMAH GUA DAN NYEMBUR GUE KAYAK BARUSAN HAH?”

Kaluna hanya diam. Dia ingin menjawab, tapi entah kenapa suaranua terlalu takut untuk keluar,

“JAWAB GUE SIALAN.” desak lelaki itu sambil memegang lengan atas sebelah kanan Kaluna dengan kuat. Kaluna meringis kesakitan, namun lelaki itu sepertinya tidak perduli.

“S..s..saya Ka..lun..a aaaa sa...sakit..”

“KALUNA SIA—”

“JORDAN!”

Suara Darmawan berhasil menghentikan, lelaki yang bernama Jordan itu dari aksinya yang hampir menyiksa tubuh Kaluna yang lebih kecil dari tubuhnya. Jordan melepaskan cengkramannya dari lengan atas Kaluna, ia berbalik, dan melihat kedua orang tuanya yang sudah berjalan dengan cepat ke arah dua anak muda ini,

“Kamu ini apa-apaan sih? Baru pulang udah buat masalah.” kesal Darmawan.

Kaluna hanya mampu diam sambil menundukkan kepalanya. Ia memainkan jari-jarinya sendiri, menyalurkan perasaan gugup, takut, dan terkejutnya,

“Ini cewek siapa coba? Tiba-tiba ada di rumah kayak gini?” Jordan bertanya dengan nada suara yang tinggi.

“Jordan, dia ini Kaluna, dia orang yang udah nolongin bunda yang hampir kecelakaan waktu itu. Bunda sama Ayah mutusin untuk ngasih dia tempat tinggal disini.” jelas Tiffany.

Jordan mendengus kesal, “buat apa? Emang dia gak punya orang tua? Ngapain sih ayah sama bunda tampung dia? Gak diurus ini anak sama orang tuanya, kenapa jadi ayah sama bunda yang repot ngurusin ini anak? Suruh pulang aja lah bun, jangan bawa-bawa orang asing ke rumah, nanti kalau ada barang yang hilang gim—”

PLAK

Ucapan Jordan terhenti ketika sang ayah, Darmawan, melayangkan tamparan keras ke rahang kokoh anak lelakinya itu.

Tiffany dan Kaluna terkejut melihat kejadian tersebut. Begitu pula dengan Jordan, sang korban dari kekerasan ayah kandungnya sendiri. Lelaki itu memegang rahangnya yang terasa perih akibat tamparan keras dari sang ayah.

Jordan tersenyum remeh. Wajahnya terlihat begitu kesal dengan aksi ayahnya barusan. Ya, anak mana yang tidak marah saat di tampar oleh orang tuanya sendiri?

“Jaga omongan kamu ya? Kalau gak ada Kaluna, kamu udah jadi anak piatu!”

Jordan terdiam, nafasnya naik turun menahan emosi. Matanya menatap tajam setajam silet ke arah sang ayah,

“Saya gak pernah ajarkan kamu untuk bicara sekasar tadi sama seseorang, apalagi orang itu perempuan. Kalau kamu gak terima ada Kaluna disini, keluar dari rumah ini.”

Tiffany langsung terkejut, ia menatap anak laki-lakinya itu dengan tatapan sedih. Disatu sisi, ia kesal karena suaminya harus sampai berlebihan seperti ini, tapi disatu sisi juga Tiffany marah karena Jordan berbicara dengan amat sangat tidak sopan tentang Kaluna barusan.

Sementara Kaluna, ia menatap Darmawan dengan tatapan kalutnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan ucapan Darmawan barusan,

“Om, biar Kaluna aja yang pergi dari sini. Gak apa-apa.”

“No, you stay here. Saya dan istri saya sudah janji untuk jaga kamu sampai kamu sukses, sama seperti saya berjanji ke Tuhan untuk merawat Jordan sampai Jordan sudah bisa bersikap dewasa dan tidak kekanak-kanakan lagi. Jadi, kamu tetap disini, dan Jordan, kalau kamu masih tidak terima dengan kehadiran Kaluna, pilihannya cuma ada dua, mencoba untuk terima, atau keluar dari rumah ini. Itu terserah kamu.”

Jordan sama sekali tidak menjawab ultimatum dari sang ayah. Lelaki itu dengan beribut gejolak emosi yang bergemuruh di dalam dadanya langsung pergi meninggalkan dapur untuk menuju ke kamarnya.

Sementara, Kaluna, Tiffany, dan Darmawan masih berdiri ditempatnya,

“Kamu gak apa-apa?” tanya Tiffany kepada Kaluna.

Kaluna mengangguk, “gak apa-apa tante, Kaluna tadi cuman kaget aja liat Mas Jordan.” jawab Kaluna.

“Maafin Jordan ya? Nanti, biar om dan tante yang kasih dia pemahaman. Kamu tenang aja ya, nak?”

Kaluna lagi-lagi hanya bisa mengangguk.

Lalu setelah itu, Darmawan dan Tiffany kembali masuk ke kamar mereka untuk melanjutkan tidur mereka yang sempat terusik akibat kegaduhan yang dibuat oleh Jordan dan juga Kaluna.

Dan, Kaluna, dengan gontai, gadis itu kembali berjalan ke kamarnya. Begitu sampai di depan pintu kamarnya, Kaluna tidak langsung membuka pintu kamar tersebut. Gadis itu malah melirik dengan nanar pintu kamar milik Jordan yang ada tepat disebelah kamarnya.

Kaluna berguman lirih,

“Maaf.”

Seusai itu, Kaluna langsung masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintunya rapat-rapat, dan kembali memejamkan matanya untuk mengistirahatkan tubuhnya.


Bekerja memang sudah hal yang rutin Kaluna lakukan. Ketika tubuhnya dipaksa untuk diam dan tidak bekerja, gadis itu akan merasa lelah, dan badannya terasa sakit. Maka dari itu, meskipun dia sudah pindah ke rumah yang besar, dan sudah memiliki banyak asisten rumah tangga di dalamnya. Kaluna tetap ingin bekerja.

Keinginan Kaluna itu jelas di tolak, karena tadi pagi, sebelum Tiffany dan Darmawan berangkat ke tempat kerja mereka. Tiffany sempat mewanti-wanti para asisten rumah tangga untuk tidak membiarkan Kaluna bekerja, dan beliau juga meminta mereka untuk menganggap Kaluna seperti tuan rumah di rumah ini juga.

Kaluna tetap memaksa, dan para pekerja pun juga tetap menolak keinginan Kaluna itu.

Kaluna mungkin merasa lelah, akhirnya gadis itu berjalan menuju taman belakang. Duduk di kursi panjang yang ada di pelataran kolam renang, kepalanya menengadah melihat langit Kota Bandung yang hari ini terlihat begitu cerah. Senyuman manis mengembang di wajah Kaluna. Gadis itu tidak dapat menyembunyikan perasaan senangnya,

“Non Luna.” panggil seseorang.

Kaluna menoleh ke orang tersebut. Gadis itu langsung berdiri dari duduknya tat kala melihat salah satu pekerja wanita yang datang sambil berisi nampan yang diatasnya terdapat segelas susu hangat,

“Ibu, jangan panggil Kaluna pake sebutan non, panggil aja Luna.” pinta Kaluna.

Pekerja tersebut tersenyum, “saya udah diamanahkan sama Tuan Besar dan Nyonya Besar untuk manggil Non Luna pakai sebutan Non, kalau enggak begitu, kemungkinan besar saya bakalan dipecat.”

“Kalau ada Om sama Tante gak apa-apa, tapi kalau lagi enggak ada, tolong panggilnya pakai nama aja ya bu?”

“Iya Non—eh maksud saya Luna.”

Kaluna menunjukkan gummy smilenya yang begitu menggemaskan,

“Oh iya Luna, ini saya buatkan susu hangat. Mau disimpan dimana susu hangatnya?”

“Kaluna ambil aja bu.” jawab Kaluna sambil mengambil langsung segelas susu hangat tersebut dari atas nampan, “oh iya ibu, ibu mau gak ceritain ke Kaluna tentang Om Darmawan, Tante Tiffany, atau anaknya yang namanya siapa ya? Jodran apa Jordan gitu, Kaluna lupa hehehe.”

“Oh Tuan Jordan?” pegawai tersebut mengoreksi, Kaluna menganggukkan kepalanya sambil dirinya meminum susu hangat tersebut, “boleh, kebetulan saya juga sudah selesai tugas masaknya, tinggal yang lain saja.”

Kaluna langsung berseru kecil—merasa senang, karena rasa penasarannya tentang Jordan yang menghantuinya dari semalam, hari ini akan terpecahkan juga.

Gadis cantik itu langsung mempersilahkan sang pegawai untuk duduk di satu kursi yang kosong yang ada di sampingnya. Kini, mereka berdua sudah duduk dengan posisi saling berhadap-hadapan. Kaluna siap untuk mendengar cerita apapun dari Bu Ina—nama pegawai baik tersebut,

“Tuan Besar sama Nyonya Besar itu menikah karena perjodohan, tapi, karena emang pada dasarnya mereka udah sama-sama tertarik, jadi ya, mereka lanjutin perjodohan tersebut, sampai akhirnya menikah, dan lahirlah Tuan Jordan, anak laki-laki dari Tuan Besar dan Nyonya Besar.”

Kaluna menyimak dengan begitu serius,

“Tuan Jordan ini waktu kecil lucu sekali, terbilang anak yang baik dan penurut. Sekeluarga besar, bener-bener suka sekali sama Tuan Jordan, karena untuk seukuran anak kecil, dia termasuk anak kecil yang bisa mengontrol emosinya. Dia tahu kapan dia harus nangis, dia tahu kapan dia harus merengek minta susu ke Nyonya Besar. Betul betul dia itu waktu kecil pintar sekali, sampai sering disebut bayi ajaib.” Bu Ina tertawa setelah mengucapkan kalimat terakhir, Kaluna pun ikut tertawa kecil.

“Cuman seiring berjalannya waktu, Tuan Jordan berubah—ya ini fenomena yang wajar, mengingat kan manusia memang fitrahnya itu berkembang ya? Jadi, wajar dengan seiring berkembangnya manusia, yang tadinya bayi menjadi balita, yang tadinya balita menjadi batita, yang tadinya batita menjadi anak, yang tadinya anak menjadi remaja, dan begitu seterusnya, perubahan sifat dan karakter pun pasti kentara, kan?”

Kaluna mengangguk setuju,

“Iya, Tuan Jordan yang asalnya jadi anak yang pintar, baik, dan penurut, sekarang jadi sering membangkang sama orang tuanya, terutama Tuan Besar. Mereka berdua yang paling sering adu argumen di rumah ini, jujur, saya benar-benar kasian sama Nyonya Besar. Beberapa kali kami para pegawa, sering ngeliat beliau nangis di ruang kerjanya, tapi setelah itu, dia tutupi rasa sedihnya, dengan berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja.”

Ada rasa prihatin yang muncul di hati Kaluna saat dia mendengarkan penuturan tersebut. Manusia memang makhluk yang paling pandai dalam menyembunyikan rasa sedih yang teramat sangat. Kaluna juga sudah terlalu sering melakukan hal tersebut, dan karena sudah terlalu sering, dia jadi mulai terbiasa untuk menyembunyikan semua rasa sedih, marah, kecewa, dan tangisnya.

Tapi untuk Tiffany, Kaluna berharap, kalau tante angkatnya itu mau untuk berbagi kesedihan dengannya. Kaluna berharap besar akan hal itu,

“Tuan Jordan juga sering dipaksa sama Tuan Besar untuk jadi CEO di perusahaan besar milik Tuan Besar. Dan Tuan Jordan selalu nolak, dia bilang, kalau dia engga mau jadi CEO, dia lebih milih untuk jadi pembalap. Padahal, dua tahun yang lalu, dia pernah hampir mati karena ikut balapan di circuit sama teman-temannya. Disitu, saya baru pertama kalinya ngeliat Tuan Besar nangis sejadi-jadinya. Saya waktu ngeliat itu, langsung mikir kalau Tuan Besar itu sangat sayang sama Tuan Jordan, dan dia selalu ingin yang terbaik untuk Tuan Jordan, cuman, cara yang dia tempuh itu salah.”

Kaluna selalu berpikir kalau kehidupan orang kaya itu mudah, dan keluarga di dalamnya pun tidak memiliki masalah sama sekali, karena ya kalian tahu, dari segi ekonomi mereka jelas yang paling maju, jadi kemungkinan tidak akan pernah ada satu masalah pun yang menimpa mereka. Berbeda dengan Kaluna, hidup sebagai yatim piatu dari kecil, mendapatkan begitu banyak cacian, makian, dan siksaan saat hidup di panti, sempat senang karena memiliki nenek angkat, dan hidup kembali tersiksa setelah nenek tidak ada, dengan segala keterbatasan biaya yang dimilikinya, membuat masalah seperti silih berganti datang menghampiri Kaluna.

Namun, ternyata pemikiran Kaluna dibuat salah setelah dia mendengarkan cerita dari Bu Ina. Masalah, tidak akan pernah mengenal stratifikasi sosial setiap individu. Kaya ataupun miskin, mereka memiliki porsi masalah yang berbeda-beda.

Kaluna juga menjadi belajar satu hal, untuk tidak terlalu cepat menilai kebahagiaan seseorang dari hanya melihat mewah atau tidaknya rumah seseorang,

“Bu Ina, makasih ya? Kaluna jadi lumayan tahu banyak hal sekarang.”

Bu Ina tersenyum dengan begitu lembutnya, “sama-sama. Semoga, nanti Tuan Jordan bisa menerima Luna ya? Anak itu agak galak soalnya.”

“Haha, Kaluna bisa galakin dia balik kalau udah gak tahan-tahan banget.” canda Kaluna disertai dengan tawa manisnya.

Bu Ina ikut tertawa,

“Ya sudah, kalau begitu, saya pamit dulu ya? Saya mau beres-beresin beberapa ruangan dulu.”

Kaluna mengangguk mempersilahkan Bu Ina untuk pergi dan melanjutkan tugasnya.

Sementara Kaluna, gadis itu masih berdiam di tempatnya, sambil membayangkan seseram apa Jordan. Dan apa yang akan Kaluna lakukan apabila keduanya bertemu di kemudian hari, ketika Jordan sudah pulang dari liburannya di Paris.

Huft.

Semoga semuanya akan baik-baik saja. Kaluna bisa berteman baik dengan Jordan, dan begitu pun Jordan, semoga dia bisa cepat menerima kehadiran Kaluna, dan membuat keduanya menjadi akrab layaknya sepasang sepupu.


“Ya Tuhan.”

Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Kaluna, tat kala mobil yang ditumpanginya bersama Tiffany dan Darmawan tiba di pekarangan rumah—ah, ini sih lebih baik disebut mansion daripada rumah karena sangking besar dan luasnya rumah ini. Seumur hidupnya, Kaluna hanya sering melihat rumah sebesar ini di film-film luar negeri, tapi sekarang, Kaluna melihatnya langsung. Dan dia masih benar-benar tidak percaya akan ini semua,

Tiffany dan Darmawan yang duduk di depan hanya bisa tertawa melihat bagaimana reaksi menggemaskan Kaluna melalui kaca depan mobilnya. Gadis itu terlihat begitu polos, suci, dan menggemaskan. Selain itu, hatinya yang baik juga membuat Tiffany dan Darmawan tergerak untuk membantu Kaluna, dengan membiayai segala fasilitas yang Kaluna butuhkan di masa remajanya sekarang ini.

Mobil yang digunakan oleh Darmawan, Tiffany, dan Kaluna sudah terparkir rapih di garasi mansion mewah ini yang dihiasi oleh berbagai macam jenis mobil mewah, dan juga motor-motor besar yang sering Kaluna lihat di jalan apabila sedang ada pawai atau arak-arakan. Kaluna mendecak kagum, kepalanya menggeleng-geleng melihat pemandangan automotif yang sudah gadis itu yakini harganya begitu mahal.

Tiba-tiba, pintu mobil di buka oleh beberapa ART laki-laki di rumah ini. Kaluna jelas terkejut, namun sedetik kemudian ia menampakkan senyuman kikuknya. Lalu berjalan turun dari dalam mobil mewah tersebut, Tiffany dan Darmawan pun ikut turun. Ketiganya berjalan masuk ke dalam berdampingan. Sementara barang-barang Kaluna—yang dia bawa dari kostan atau barang belanjaan yang tadi Tiffany dan Darmawa belikan untuknya—dibawa oleh beberapa ART laki-laki yang tadi membukakan pintu untuk Kaluna, Darmawan, dan juga Tiffany.

Sesampainya di dalam, Kaluna semakin dibuat kagum karena ternyata, tidak hanya bagian luarnya saja yang mewah dan luas, tapi, bagian dalam mansion ini juga tidak kalah mewah dan luasnya. Mulut Kaluna sampai membuka lebar saking gadis itu terkesimanya dengan kemewahan dari rumah milik Darmawan dan juga Tiffany,

“Kaluna.” panggil Tiffany dengan lembut.

Kaluna langsung sadar, dan melirik Tiffany sambil memasang wajah polosnya. Tiffany tertawa gemas, tangannya ia gunakan untuk mengacak-acak rambut Kaluna,

“Rumah ini, bakalan jadi rumah kamu juga, jadi tante harap, kamu bisa betah ya tinggal di rumah ini?” pinta Tiffany dengan lembut.

Kaluna mengangguk seadanya,

“Nah, sekarang, biar om sama tante antarkan kamu ke kamar ya?” ujar Darmawan.

“Ini beneran om?”

Darmawan terkekeh, “beneran sayang, ayo, kita ke atas sama tante.”

Kaluna menganggukkan kepalanya. Ia lagi-lagi hanya bisa patuh.

Sampai di lantai dua, Darmawan langsung membukakan pintu sebuah kamar. Begitu pintu kamar itu terbuka dengan lebar, Kaluna terkejut sampai-sampai ia menarik nafasnya untuk beberapa saat. Lalu dihembuskannya nafas tersebut,

“Gimana? Suka enggak sama kamarnya?” tanya Tiffany retoris.

Kaluna mengangguk dengan penuh antusias, “tante.” panggil Kaluna menatap Tiffany sebentar, lalu menatap Darmawan sambil berkata, “om.” kemudian, ia menatap lurus ke arah kamarnya dengan tatapan nanar, “makasih banyak, Kaluna bener-bener kaget.”

Darmawan tersenyum penuh arti, kedua tangan kekarnya itu ia arahkan untuk menepuk kedua bahu Kaluna sebentar, lalu berkata,

“Semua ini karena kebaikan kamu.” kata Darmawan.

Kaluna menatap Darmawan bingung, “kebaikan apa yang udah Kaluna lakuin, om?”

Darmawan tersenyum,

“Tante Tiffany, istri om, itu adalah dunia om, kamu sudah menyelamatkan dia dari maut. Terima kasih banyak. Om bener-bener berterima kasih.”

“Tapi Kaluna cuma bantuin aja, dan bukannya manusia emang sudah seharusnya membantu tanpa ngeharepin pamrih ya?”

Tiffany tersenyum lalu merangkul pundak Kaluna. Baik sekali anak ini, pikir wanita itu,

“Memang begitu, tapi, kalau ada yang mau membalas budi, itu gak apa-apa. Lagipula, om dan tante lakuin semua ini dengan ikhlas. Sangat amat ikhlas. Kamu sudah selamatin tante Tiffany, om bisa hancur kalau sore itu kamu gak ada. Gak cuman om, anak laki-laki om yang deket banget sama ibunya, bisa gila kalau sampai Tante Tiffany gak selamat dari kecelakaan itu.”

Kaluna diam menyimak Darmawan,

“Jadi, Kaluna, terima kasih karena sudah jadi pahlawan untuk Om, dan juga Jordan, anak om. Kamu menyelamatkan kami dari pedihnya rasa kehilangan seseorang yang sangat amat berarti. Jadi, biar sekarang om sama tante ngebalas budi ke kamu. Om bener-bener ikhlas, semua ini om lakuin dengan ikhlas.”

“Luna, jangan ditolak lagi ya? Tante sedih kalau kamu nolak loh.”

Kaluna terkekeh,

“Enggak om, tan. Kaluna enggak akan nolak lagi. Sudah lama, Kaluna rindu kehangatan sebuah rumah. Makasih ya om tante, makasih udah mau bantu Kaluna. Kaluna bakalan jadi orang yang berbakti sama om sama tante.”

Setelah berucap seperti barusan. Darmawan dan Tiffany langsung meregkuh tubuh Kaluna dari samping secara bersamaan. Ini terasa begitu menyenangkan bagi Kaluna. Terakhir dia berbahagia seperti ini, ketika dua bulan terakhir sebelum sang nenek meninggal dunia, dan sekarang, ia mungkin kembali menemukan kebahagiaannya di rumah ini. Rumah milik Tiffany dan juga Darmawan.

Semoga memang, ini padalah hadiah yang Tuhan berikan untuk Kaluna setelah lebih dari 10 tahun, Kaluna mengalami beratnya kehidupan.

Semoga.


“Jadi, nama kamu siapa?” tanya wanita berumur sekitar empat puluh tahunan yang duduk dihadapan Kaluna bersama suaminya disamping. Wanita itu bertanya sambil menatap Kaluna dengan tatapan lembutnya.

Kaluna sempat ketakutan ketika dalam perjalanan menuju rumah makan tempatnya bekerja. Gadis itu takut kalau diam-diam, neneknya meminjam uang ke seseorang namun belum sempat melunasi hutang tersebut.

Namun ternyata ketakutan itu menghilang ketika gadis itu mengetahui bahwa yang datang menemuinya adalah Ibu Tiffany, wanita yang kemarin ia tolong dari insiden kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawa beliau. Ibu Tiffany tidak datang sendirian. Dia datang bersama suaminya, Pak Darmawan.

Pakaian mereka berdua benar-benar sangat mewah. Cukup sukses menyita perhatian beberapa pengunjung rumah makan ini,

“Nama saya Kaluna, bu, pak.” jawab Kaluna dengan sangat sopan.

Ibu Tiffany tersenyum mendengar suara lembut Kaluna. Ibu Tiffany melirik sang suami yang duduk disampingnya, Pak Darmawan juga melirik sang istri dengan senyuman hangatnya. Keduanya merasa senang ketika melihat sosok Kaluna,

“Nama yang cantik.” puji Pak Darmawan, Kaluna tersipu malu ketika dirinya dipuji seperti barusan, “Kaluna, kedatangan saya dan istri saya kesini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk berterima kasih sama kamu. Terima kasih karena kamu sudah menyelematkan istri saya. Saya gak bisa bayangkan kalau sore itu kamu enggak ada, mungkin saya sudah kehilangan dunia saya.”

“Makasih, ya, Kaluna?” tambah Ibu Tiffany dengang sangat bersungguh-sungguh.

Kaluna menganggukkan kepalanya. Baginya, menolong seseorang itu sudah menjadi hal yang wajib dilakukan oleh seorang manusia. Jadi, tidak perlu berterima kasih pun, Kaluna tidak masalah,

“Sama-sama, bu, pak. Tapi lain kali, kalau ibu jalan atau mau nyebrang, ibu harus hati-hati, ya? Pengguna motor sama mobil jaman sekarang pada enggak tahu aturan semua.”

Ibu Tiffany dan Pak Darmawan tertawa bersama,

“Iya, saya akan ingat nasihat kamu ya anak manis.” ucap Ibu Tiffany.

Pipi Kaluna bersemu merah ketika dirinya disebut anak manis oleh Ibu Tiffany,

“Oh iya, kamu tinggal dimana? Kami ingin ketemu sama ayah dan ibu kamu.” tanya Pak Darmawan.

Senyum manis Kaluna seketika pudar ketika Pak Darmawan menyinggung soal orang tua,

“Saya gak tau orang tua saya dimana pak.” ucap Kaluna.

“Astaga.” Ibu Tiffany terkejut, wajahnya terlihat seperti dia merasa bersalah kepada Kaluna, begitu pula dengan Pak Darmawan, “sudah meninggal kedua orang tua kamu, nak?”

Kaluna menggelengkan kepalanya, “saya gak tahu pasti, tapi saya rasa, mereka masih hidup. Saya di buang ke panti asuhan, karena waktu itu, ibu panti bilang, kalau ayah dan ibu saya gak punya biaya untuk urus saya, jadi saya di titip di panti.” jawab Kaluna.

Ibu Tiffany dan Pak Darmawan langsung merasa prihatin dengan keadaan Kaluna, yang bisa dibilang menyedihkan dan tidak seberuntung anak-anak diluaran sana,

“Lalu sekarang kamu tinggal sama siapa? Wali kamu siapa?” tanya Ibu Tiffany.

“Saya tinggal sendirian bu, pak. Nenek angkat saya sudah meninggal.” jawab Kaluna.

“Ya Tuhan.” Ibu Tiffany melirih. Tangannya yang putih dan cantik itu meraih tangan Kaluna, menggenggamnya dengan begitu kuat. Matanya yang berkaca-kaca, menatap wajah Kaluna yang kusam karena terlalu sibuk mencari uang sampai lupa untuk merawat dirinya sendiri, “kamu kuat sekali nak, kamu masih muda tapi dunia sudah sekejam ini sama kamu.”

Kaluna tersenyum tipis. Hatinya ingin menangis, namun, Kaluna menahannya. Dia rasa, kalau dia menangis, dia mungkin akan dianggap sedang menjual rasa sedihnya kepada dua konglomerat dihadapannya ini,

“Enggak apa-apa bu, dijalanin aja, entah sampai kapan, yang terpenting, saya masih bisa makan, minum, mandi, sama tidur itu udah cukup buat saya, walaupun saya harus sendirian.”

Ibu Tiffany semakin dibuat tidak tega dengan Kaluna. Wanita itu melepaskan tautan tangannya dengan tangan Kaluna. Bangkit dari duduknya, lalu berjalan duduk disamping Kaluna, dan mendekap tubuh gadis cantik itu dari samping. Kaluna terkejut, dia tidak bisa apa-apa selain diam. Sementara Pak Darmawan yang melihat itu hanya bisa menyunggingkan senyumannya.

Tidak lama, Ibu Tiffany melepaskan dekapannya. Wanita itu menatap Pak Darmawan dengan sungguh-sungguh,

“Yah, ayo kita rawat Kaluna ya? Biarin dia tinggal di rumah kita. Bunda gak sanggup kalau harus biarin Kaluna hidup sendirian. Ya, ayah?” pinta Ibu Tiffany.

Kaluna yang terkejut, seketika menggeserkan badannya sedikit. Ia menatap Ibu Tiffany dan Pak Darmawan secara bergantian dengan penuh keterkejutan,

“Kaluna, kamu mau kan? Kamu mau hidup sama kami dan anak laki-laki kami kan?” pinta Pak Darmawan.

Ibu Tiffany mengangguk, “iya nak, ayo tinggal sama kami ya? Ibu gak bisa biarin kamu hidup sendirian. Mau ya, nak?”

Kaluna tidak tahu harus menjawab apa. Kebingungan melanda gadis itu sekarang.


Setelah membalas pesan dari sang ibunda. Jordan langsung melempar ponselnya begitu saja ke meja kecil yang berada di hadapan kursi yang kini sedang ia duduki. Wajah pria itu terlihat seperti kelelahan, dan ada rasa menyesal di wajah Jordan. Jordan lantas menghembuskan nafasnya kasar, sambil menyenderkan beban tubuhnya ke senderan kursi tersebut.

Dilan—teman baik Jordan yang melihat itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menenggak cola yang kini ada di dalam genggamannya. Dilan mendekat ke arah Jordan, lalu duduk disamping ranjang hotel milik Jordan,

“Kenapa lagi lu?” tanya Dilan menatap sang sahabat dengan tatapan serius, meskipun nada suara pertanyaannya terkesan bercanda.

Lagi, Jordan menghembuskan nafasnya, sebelum mulutnya terbuka dan menceritakan apa yang membuat dirinya gundah,

“Nyokap gue hampir ke tabrak.” jawab Jordan satu menit kemudian.

Dilan terkejut. Matanya sukses terbuka dan membola,

“Kok bisa!?” kagetnya.

Jordan meraih kaleng beer yang ada di meja kecil tersebut. Meminumnya dengan sekali tenggukan. Lalu menjawab pertanyaan retoris Dilan,

“Kurang hati-hati.” jawab Jordan.

Dilan menaruh kaleng colanya di meja kecil berbahan kayu tersebut. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar mandir bak setrikaan. Wajahnya terlihat begitu gusar. Jordan yang sedang tipsy hanya bisa melihat tingkah laku sahabatnya itu dengan penuh perasaan bingung,

“Ini gak bisa dibiarin, kita harus balik ke Indo besok. Lo kalau kelamaan diem di Paris, nyampe Indo lo udah jadi anak yatim piatu anjir.”

“Anjing lo!” kutuk Jordan, “lo gak tau aja seberapa muak gue liat bokap gue.”

Dilan berhenti berjalan mondar-mandir. Pria itu menarik kursi yang ada di dekat pintu kamar mandi kamar hotel milik Jordan. Dia mendudukkan dirinya disana dengan perasaan kesal kepada teman didepannya ini,

“Lo gak pernah sadar bokap lo bersikap kayak gitu gara gara siapa? Ya gara-gara lo! Diem! Lu jangan nyela gue dulu anjing. Gini, orang tua gak mungkin ngarahin anaknya ke hal yang buruk-buruk—”

“Dia minta gue buat jadi penerus perusahaan dia. Apa lo gak kesel jadi gue? Sementara passion gue aja di balapan.”

Dilan mendecak sebal,

“Coba lo ambil sisi positifnya deh. Dari keputusan bokap lo untuk menunjuk lo menjadi penerus perusahaan dia, itu tuh udah ngasih tanda, kalau bokap lo tuh percaya Jod seratus persen sama lo.”

“Tapi gue tetep gak mau!” keukeuh Jordan.

Dilan memang harus banyak-banyak sabar, mengingat sang sahabat memiliki sifat buruk, yaitu, keras kepala. Yang mana sifatnya itu cukup sukses membuat darah Dilan, atau siapapun orang yang berhadapan dengan Jordan mendidih,

“Lo gak cape ribut sama bokap lo mulu?” tanya Dilan kesal.

“Dia yang duluan.”

Dilan memutar bola matanya malas,

“Okay, lets say bokap lo yang memulai semua messed up ini. Tapi, pernah gak sih lo mikir kalau deep down bokap lo itu bener-bener capek ribut sama lo dan pingin akur lagi sama lo?”

Jordan terdiam.

Dilan menghembuskan nafasnya. Mungkin, sudah cukup sampai disini dia memberika live advice kepada Jordan. Ia bangkit dari duduknya, tapi sebelum itu, dia menepuk terlebih dahulu bahu kanan Jordan lalu berkata,

“Jangan nunggu kehilangan dulu bro baru lo mau berubah.”

Setelah mengucapkan itu, Dilan bangkit dari duduknya dan pergi menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar milik Jordan.


“Ini bayaran untuk kamu hari ini, Luna.”

Senyuman Kaluna merekah tat kala tangannya menggenggam 3 pecahan uang sebesar seratus ribu rupiah. Itu adalah upah hasil kerjanya hari ini—hari pertama Kaluna bekerja untuk menghidup kehidupannya seorang diri,

“Makasih Bu Indah.” ucap Kaluna dengan sungguh-sungguh.

Bu Indah tersenyum menyambut ucapan terima kasih Kaluna. Hatinya merasa menghangat melihat bagaimana Kaluna tersenyum dengan begitu bahagianya ketika mendapatkan uang dari hasil jerih payah gadis itu sendiri,

“Dipegang uangnya ya? Jangan dihambur-hambur, jajanin yang menurut kamu perlu aja, oke?”

Kaluna menganggukkan kepalanya dengan semangat, serta gummy smile yang tidak luput hilang dari wajahnya yang cantik namun terkesan kusam,

“Kalau gitu, Luna pulang dulu ya Bu?” pamit Kaluna, Bu Indah mengangguk memberikan izin Kaluan untuk pulang ke kost-kostannya, “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Kaluna berlalu meninggalkan rumah makan sederhana yang menjadi tempatnya bekerja itu. Ia pulang ke kostannya dengan berjalan kaki, karena kebetulan, kost-kostannya dan juga rumah makan sederhana ini tidak terlalu jauh, jadi, kalau jalan pun tidak terlalu membuat kaki Kaluna sakit atau pegal-pegal.

Kaluna mengeluarkan senandung-senandung indah dari dalam mulutnya yang menandakan bahwa dirinya benar-benar sedang ada dalam perasaan bahagia yang amat teramat sangat. Kebahagiaan memang tidak pernah terjadi kepada Kaluna. Gadis itu selalu hidup dengan penuh siksaan.

Kaluna ditinggalkan oleh orang tuanya dari sejak kecil, awalnya Kaluna menyangka kalau orang tuanya memang sudah meninggal dunia, tapi, ternyata, kedua orang tua Kaluna membuang Kaluna ke panti asuhan karena alasan biaya. Pada saat itu, kedua orang tua Kaluna menikah dalam keadaan ekonomi yang benar-benar tidak baik.

Kaluna hidup di panti asuhan, disana, tidak ada satupun orang yang mau berteman dengan Kaluna, entah apa alasannya, mereka selalu mengejek Kaluna, menyiksa Kaluna dengan menyubit, menjambak rambut panjang berwarna hitam dan legam milik Kaluna. Gadis itu sampai-sampai mengalami trauma yang berkepanjangan karena ulah orang-orang di panti asuhan sana yang entah bagaimana kabarnya sekarang.

Kaluna sempat di adopsi oleh seorang nenek tua yang berstatus sebagai janda dan tidak memiliki anak. Nenek tua itu begitu baik kepada Kaluna, dia memperlakukan Kaluna selayaknya cucu sendiri. Namun, dua bulan yang lalu, nenek tua itu meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Rumah yang ditempati oleh Kaluna dan nenek tua itu disita oleh adik dari nenek tua tersebut, dan karena itulah, Kaluna harus keluar dari rumah tersebut dan mencari kost-kostan murah yang mau menampungnya untuk hidup.

Beruntung, masih ada orang baik yang mau menolong Kaluna. Pemilik kost-kostan yang Kaluna tempati sekarang adalah seorang perempuan yang memiliki nasib yang sama percis dengan Kaluna. Maka dari itu, dia memberikan tumpangan kepada Kaluna di kost-kostannya secara percuma.

Sebentar lagi, Kaluna seharusnya sampai ke kost-kostannya. Namun, di tengah-tengah, Kaluna malah berhenti. Perhatian gadis itu tertuju kepada seorang wanita dihadapannya yang hendak menyebrang, namun terlalu sibuk dengan ponselnya. Sementara dari arah kiri, ada mobil yang melaju amat sangat kencang ke arah wanita tersebut. Tidak mau melihat seseorang mengalami kecelakaan, Kaluna langsung dengan gesit menarik tubuh wanita itu ke belakang, ketika wanita tersebut hendak melangkahkan satu kakinya ke depan.

Kaluna dan wanita yang umurnya kurang lebih empat puluh tahunan itu langsung terjatuh, dengan posisi wanita itu menimpa Kaluna dan membelakanginya. Kaluna mengaduh kesakitan, dikarenakan tulang ekornya yang langsung bersentuhan dengan aspal. Dia berharap kalau setelah ini, dia tidak kehilangan penglihatannya karena bentukan antara aspal dan tulang ekornya.

Beberapa orang yang ada disana berkerumun, melingkari Kaluna dan wanita tersebut. Salah satu dari mereka membantu wanita itu untuk berdiri dari jatuhnya, dan salah satu dari mereka juga membantu Kaluna. Gadis itu bisa melihat wanita dihadapannya tubuhnya begitu bergetar, rasa takut tergurat di wajah cantiknya yang sudah menunjukkan keriput-keriput kecil,

“Ibu gak apa-apa?” tanya Kaluna kepada wanita tersebut dengan nada suaranya yang menyiratkan betapa khawatirnya Kaluna terhadap perempuan itu.

Wanita itu menganggukkan kepalanya, “kamu enggak apa-apa? Tadi kayanya bagian bokong kamu kebentur aspal, keras sekali loh itu. Mau ke dokter ya sama saya?”

Kaluna menggelengkan kepalanya. Dokter, rumah sakit, adalah tempat yang paling Kaluna hindari untuk beberapa waktu ini. Dia kehilangan nenek angkatnya disana. Rasanya akan sangat menyakitkan jika Kaluna harus kembali kesana. Lagipula ini bukan perkara yang serius, toh, Kaluna sekarang masih bisa melihat dengan jelas, jadi tidak ada yang perlu diperiksa,

“Terima kasih sudah bantu saya, kalau gak ada kamu, mungkin saya udah….. yeah, you know. Saya gak mau nyebutin kata-katanya karena takut.” ucap wanita itu dengan begitu sungguh-sungguh.

Kaluna mengangguk sambil tersenyum,

“Lain kali tolong lebih hati-hati ya bu, disini, pengguna mobil sama motor emang suka seenak jidatnya ngebut-ngebut, jadi ibunya juga harus hati-hati.”

“Iya pasti saya bakalan lebih berhati-hati lagi. Terima kasih sekali lagi.”

Kaluna lagi-lagi mengangguk sebagai jawaban atas rasa terima kasih yang wanita itu berikan kepada Kaluna,

“Saya pamit dulu ya bu. Saya harus buru-buru pulang.”

Wanita itu baru saja mau menawari Kaluna untuk pulang bersama, namun ponselnya yang tiba-tiba berbunyi mengahalangi niatnya. Wanita itu mengangkat telfonnya, dan ketika berbicara di telfon, ia sedikit membalikkan tubuhnya ke belakang sebentar saja, seperti memastikan sesuatu. Kaluna hanya terdiam melihatnya.

Sambungan telfon wanita dengan entah siapa itu pun terputus. Wanita itu kembali menatap Kaluna, dengan tatapan lembutnya, dan tidak lupa senyum manis yang menghiasi wajahnya. Ia kembali berkata dengan sungguh-sunggu,

“Terima kasih, terima kasih sudah bantu saya. Saya harap, saya bisa ketemu kamu kembali, dan membalaskan budi saya kepada kamu. Kalau begitu, saya permisi. Supir saya sudah nunggu disebrang sana. Terima kasih sekali lagi ya.”

Kaluna hanya mengangguk sambil tersenyum dengan begitu hangat. Wanita itu pun berlalu, ditemani dengan beberapa warga yang membantunya untuk menyebrang. Bersamaan dengan itu, Kaluna kembali melanjutkan perjalanannya yang terhenti beberapa menit untuk menolong wanita tersebut.


In the midst of my routine which is often very busy. Me time is a luxury for me. i deliberately always choose me time every time i finish doing some of my college assignments that will never end until i graduate. The biggest reason i do me time is because i want to give myself some time for my mental health and well-being.

The thing called me time, we must spend time alone, right? Therefore, i chose to go to one of the biggest malls in my town which is only 850 meters from my house. Actually i could have gone on foot there because it was close to my house, even though it took about 11 minutes. But, because today i'm so lazy and don't want to expend too much energy from my body, so, i choose to go there by riding my own motorbike.

After parking my motorbike properly. I immediately went to the entrance that is next to this big mall building (i chose the entrance that was close to the basement). It's feel so strange that i come here alone. Honestly, i feel scared, especially seeing the crowds passing by, that i don't know at all really makes me feel more anxious. However, i don't want to spoil my me time which i can only get once in a month. So, i chose to be chill, and didn't really care about my anxious feelings. However, i also remain to be aware, afraid that there will be a bad people who intend to hurt me.

Remember, crime never knows time and place. We can be victims of crime wherever and whenever we are. So, please be on your guard.

I used the escalator to get to the second floor. I don't intend to visit other places in this big mall, i only intend to visit one of the big and well-known bookstores—which is on the second floor. I didn't have an important purpose in coming there, it's just that i miss wanting to smell the new book that always calms my brain and mind, and also the beautiful swinging sounds of jazz that allow me to momentarily let go of the burden and anxiety that plagued myself. Oh, if there's a novel that i find interesting, I'll definitely buy it.

Once inside, i immediately walked to the novel section. I stood in front of a tall brown wooden shelf, gazing at the many novels by famous writers—and i always hoped that one day, i could write a novel and my novels would be displayed there together with novels by Tere Liye, Pidi Baiq, Ilana Tan, and all the other famous and great novelists.

I'm too busy looking at so many novels, and also busy choosing which novel that i want to buy. Until, i did not realize, there is someone who is now standing beside me. Then, after i came to my senses, the corner of my eye glanced at his feet first, then to his waist, and now, i saw his face. I was surprised, my body automatically turned and stiffened. Without warning, my eyes immediately heated up—im sure the tears had already accumulated in my eyes, urging them to come out.

He smiled at me. The smile that i always miss for the last 5 years or so. i still didn't move, my blood swished, my heart sank with pain, longing, and happiness. I can't believe that i will finally meet him again, after 5 years. The tears that had been gathering in my eyes, were ready to come out whenever they wanted.

And when he says, “hai” my tears are coming out. My defenses suddenly crumble. I dropped my pride by crying in front of him. Even though this is our meeting after 5 years we haven't seen each other.

I didn't answer his greeting. I was still crying, pulling my snot that came out along with the tears. I desperately shifted my gaze the other way, so i wouldn't see him too much. Unfortunately, i'm like a robot controlled by a remote. I kept looking at him, which made me cry again.

I couldn't help, but cry when he suddenly took my hand, and said a few words while still smiling at me. He said,

“I've always hoped to meet you someday, and it turns out that God is so nice, because we finally met here, even though it took a long time. I am so glad. And im so happy to see you are living well. Thank you, ya?”

Just so you know, i've never lived well.

Just so you know, i always compare myself to other people, i always cry everynight because i feel the world is too cruel to me, i tormented because i keep living under your shadow.

Just so you know, i went to psychiatrist, i tried to kill myself. I feel a lot of pain. I've never lived well, just so you know.

He looked me straight in the eye with a smile on his face that hadn't disappeared. I saw him spread his arms, signaling for me to take one step closer to him, and hugged him.

I can't stand with this feelings of longing anymore, and with still wailing tears, i walked one step closer to him, and hugged him tightly. Like there is no tomorrow for me to hug him like this.

He hugged me back no less tightly. I felt his hand stroking my hair. His mouth which is almost close to my ear is whispering something,

“Thank you for surviving. So i can make my wish come true.

And im sorry that i wasn't there during your hard times.

Im too cowardly because i can only see you through my phone screen, without bravingly to asked how you're doing. Are you good or not. Im so sorry.”

Still in his arms. I nodded, answering all of his whispers which felt more soothing than the jazz playing in the back.

For a moment, this place seemed to turn into the most romantic place, without books, without employees and people whos walking around looking for a books. Its just me and him. Im so happy, but i can't stop crying while im hugged him.

Go with me, everywhere in the world, bare skin in sunshine, lost under moonshine. Let's go.


In the midst of my routine which is often very busy. Me time is a luxury for me. i deliberately always choose me time every time i finish doing some of my college assignments that will never end until i graduate. The biggest reason i do me time is because i want to give myself some time for my mental health and well-being.

The thing called me time, we must spend time alone, right? Therefore, i chose to go to one of the biggest malls in Bandung which is only 850 meters from my house. Actually i could have gone on foot there because it was close to my house, even though it took about 11 minutes. But, because today i'm so lazy and don't want to expend too much energy from my body, so, i choose to go there by riding my own motorbike.

After parking my motorbike properly. I immediately went to the entrance that is next to this big mall building (i chose the entrance that was close to the basement). It's feel so strange that i come here alone. Honestly, i feel scared, especially seeing the crowds passing by, that i don't know at all really makes me feel more anxious. However, i don't want to spoil my me time which i can only get once in a month. So, i chose to be chill, and didn't really care about my anxious feelings. However, i also remain to be aware, afraid that there will be a bad people who intend to hurt me.

Remember, crime never knows time and place. We can be victims of crime wherever and whenever we are. So, please be on your guard.

I used the escalator to get to the second floor. I don't intend to visit other places in this big mall, i only intend to visit one of the big and well-known bookstores, Gramedia—which is on the second floor. I didn't have an important purpose in coming there, it's just that i miss wanting to smell the new book that always calms my brain and mind, and also the beautiful swinging sounds of jazz that allow me to momentarily let go of the burden and anxiety that plagued myself. Oh, if there's a novel that i find interesting, I'll definitely buy it.

Once inside, i immediately walked to the novel section. I stood in front of a tall brown wooden shelf, gazing at the many novels by famous writers—and i always hoped that one day, i could write a novel and my novels would be displayed there together with novels by Tere Liye, Pidi Baiq, Ilana Tan, and all the other famous and great novelists.

I'm too busy looking at so many novels, and also busy choosing which novel that i want to buy. Until, i did not realize, there is someone who is now standing beside me. Then, after i came to my senses, the corner of my eye glanced at his feet first, then to his waist, and now, i saw his face. I was surprised, my body automatically turned and stiffened. Without warning, my eyes immediately heated up—im sure the tears had already accumulated in my eyes, urging them to come out.

He smiled at me. The smile that i always miss for the last 5 years or so. i still didn't move, my blood swished, my heart sank with pain, longing, and happiness. I can't believe that i will finally meet him again, after 5 years. The tears that had been gathering in my eyes, were ready to come out whenever they wanted.

And when he says, “hai” my tears are coming out. My defenses suddenly crumble. I dropped my pride by crying in front of him. Even though this is our meeting after 5 years we haven't seen each other.

I didn't answer his greeting. I was still crying, pulling my snot that came out along with the tears. I desperately shifted my gaze the other way, so i wouldn't see him too much. Unfortunately, i'm like a robot controlled by a remote. I kept looking at him, which made me cry again.

I couldn't help, but cry when he suddenly took my hand, and said a few words while still smiling at me. He said,

“I've always hoped to meet you someday, and it turns out that God is so nice, because we finally met here, even though it took a long time. I am so glad. And im so happy to see you are living well. Thank you, ya?”

Just so you know, i've never lived well.

Just so you know, i always compare myself to other people, i always cry everynight because i feel the world is too cruel to me, i tormented because i keep living under your shadow.

Just so you know, i went to psychiatrist, i tried to kill myself. I feel a lot of pain. I've never lived well, just so you know.

He looked me straight in the eye with a smile on his face that hadn't disappeared. I saw him spread his arms, signaling for me to take one step closer to him, and hugged him.

I can't stand with this feelings of longing anymore, and with still wailing tears, i walked one step closer to him, and hugged him tightly. Like there is no tomorrow for me to hug him like this.

He hugged me back no less tightly. I felt his hand stroking my hair. His mouth which is almost close to my ear is whispering something,

“Thank you for surviving. So i can make my wish come true.

And im sorry that i wasn't there during your hard times.

Im too cowardly because i can only see you through my phone screen, without bravingly to asked how you're doing. Are you good or not. Im so sorry.”

Still in his arms. I nodded, answering all of his whispers which felt more soothing than the jazz playing in the back.

For a moment, this place seemed to turn into the most romantic place, without books, without employees and people whos walking around looking for a books. Its just me and him. Im so happy, but i can't stop crying while im hugged him.

Go with me, everywhere in the world, bare skin in sunshine, lost under moonshine. Let's go.


Belajar di jam-jam krisis seperti jam 12 siang ke atas, memang benar-benar bencana bagiku.

Aku benar-benar tidak bisa menahan rasa kantukku di hari itu. Suara Pak Jamal, guru PKN-ku, terdengar seperti sebuah nyanyian lagu tidur atau lullaby yang berhasil membuat mataku terasa begitu berat. Aku terus memaksakan diriku untuk menahan rasa kantukku, dengan mencoba fokus ke depan papan tulis yang dibagian tengahnya sudah ditutupi oleh layar proyector yang menampilkan materi-materi pembelajaran PKN.

Semakin kuat aku menahan, semakin lemah juga pertahananku. Dengan pasrah, akhirnya aku melipat kedua tanganku, meletakannya di meja, lalu aku meletakkan kepala ku diatas kedua tanganku yang sudah aku lipat dan ku taruh di meja. Aura, dia sudah berada di depan untuk mencatat beberapa materi yang sekiranya dia butuhkan. Aku mulai memejamkan mataku, dan perlahan-lahan memasuki alam mimpiku yang terasa damai.

Harus kalian tahu, ketika SMA kelas 11, aku bukanlah murid yang rajin, aku sering tidur di kelas, jarang mengerjakan tugas, hanya di beberapa mata pelajaran saja aku selalu begitu semangat dan antusias, yaitu di pelajaran Bahasa Inggris dan IPS, sisanya, aku benar-benar malas. Sejujurnya, itu juga dipengaruhi karena aku tidak satu kelas dengan Selena, Iris, dan Gita.

Setelah dipikir-pikir, tindakanku pada saat itu benar-benar memalukan. Kalau orang tuaku tau akan hal itu mereka pasti sangat amat kecewa denganku. Dan untungnya, mereka tidak tahu dan sepertinya sudah mempercayaiku 100%.

Oke, kembali ke cerita.

Aku ingat saat itu, aku sudah setengah tertidur, hampir mendengkur, tiba-tiba saja, ada seseorang yang menggelitiki pinggang kiri dan kananku. Sebagai seseorang yang sensitif dan gampang merasa geli di areal areal tertentu, jelas aku langsung bangun saat itu. Dengan muka ku yang sudah khas seperti orang yang bangun tidur, aku menoleh ke belakang, dan melihat kalau Kiki lah si pelaku.

Rasa ingin marahku seketika meredam ketika melihat senyum manis yang bertengger di wajah Kiki pada hari itu. Aku hanya bisa menghembuskan nafasku untuk menahan amarahku. Aku tidak paham kenapa aku bisa begitu susah untuk marah kepada Kiki. Sampai sekarang, pertanyaan itu terus menghiasi kepalaku,

“Apa sih Ki?” aku merengek.

“Jangan tidur.” pintanya, “ayo pindah ke depan yuk? Catet bareng-bareng.”

Aku menggeleng, menolak ajakan Kiki. Kalian tahu, rasanya mengantuk namun dipaksa untuk belajar, pasti malas, kan? Itu lah yang aku rasakan pada saat itu, aku benar-benar malas, dan kalau aku sudah malas, hasilnya benar-benar akan percuma,

“Nanti aku liat Aura aja.” kataku.

Tapi, Kiki tidak menyerah, dia malah tiba-tiba mencubiti kedua pipiku dengan menggunakan kedua tangannya, lalu menggerakannya ke atas dan ke bawah dengan ritme yang bersamaan. Hari itu, aku tidak tahu berapa banyak orang di kelas yang melihat interaksiku dengan Kiki yang terkesan tidak wajar itu,

“IHWHHHWW KWIKWI SWAKWTIHH.” aku merengek dengan pelafalan yang tidak jelas. Kalian harus tahu, cubitan Kiki benar-benar terasa sakit bagiku, meskipun pipiku chubby pada saat itu.

Kiki hanya tertawa seraya melepaskan cubitannya dari kedua pipiku.

Lalu, setelah itu, tanpa meminta izin kepada Kiki, aku kembali melipat kedua tanganku diatas meja, dan meletakkan kepalaku disana sebagai bantal untuk kepalaku. Aku pikir, setelah itu, Kiki benar-benar akan membiarkan aku tidur dengan tenang.

Namun, perkiraan ku salah.

Laki-laki itu, melakukan hal yang benar-benar diluar kuasaku. Aku terkejut ketika dia melakukan hal itu. Tubuhku menegang. Rasa kantukku juga seketika hilang dengan sendirinya. Mataku benar-benar membulat sempurna, dan aku pikir Kiki tidak memperhatikan hal tersebut, karena setelah dia mencium pelipisku, dia pergi ke mejanya, seperti orang yang tidak ada rasa bersalah.

Iya. Benar, Kiki menciumku—memang bukan mencium di areal-areal yang intim seperti bibir, pipi, atau kening. Tapi, tetap saja, saat itu, aku masih berumur 17 tahun, walaupun aku belum terlalu paham arti cinta secara keseluruhan, namun, dicium oleh lawan jenis benar-benar salah satu tindakan yang tidak awam yang dilakukan oleh seseorang kan? Apalagi ketika keduanya itu sama sekali tidak memiliki hubungan yang spesial, hanya sebatas teman.

Aku masih mematung, memegangi pelipisku, sambil mataku menatap ke arah Kiki yang duduk di depan—menghadap ke papan tulis dan menulis beberapa materi yang ada di PPT. Jantungku tidak berhenti berdegup, bagaimana lembutnya bibir Kiki yang menyentuh pelipisku benar-benar membuat perutku terasa diserang oleh berbagai macam jenis kupu-kupu. Mereka seperti berterbangan secara bersamaan di dalam sana.

Aura datang. Mungkin, dia melihat aku yang hanya terdiam, mematung saat itu, makanya, dia langsung menggebrak meja dengan pelan namun cukup berhasil membuat aku sadar. Aku menatapnya dengan kelabakan, dan menunjukkan senyuman kikuk. Sedang, Aura menatapku dengan matanya yang menukik bingung,

“Apa?” tanyaku.

“Lo kenapa diem kayak barusan? Gue ngeri lo kemasukan setan tau gak.” katanya sambil berjalan ke belakangku untuk duduk di kursinya yang memang ada di dekat jendela.

Aku hanya terkekeh bodoh,

“Udah gila kali, mana ada setan di siang bolong.”

“Ya ada aja sih, setan mah ga liat waktu.” ucap Aura, “eh ini catetannya.”

“Makasih ya Ra.”

Aura menganggukkan kepalanya.

Ia menyenderkan beban tubuhnya ke senderan kursi, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku bajunya. Aku mulai menyalin tulisan yang Aura tulis dengan perasaan yang masih sama seperti barusan. Deg-degan tidak karuan. Tanganku juga sedikit bergetar saking deg-degannya,

“Gue kira Kiki tadi ke belakang mau liatin catetan dia ke elu.”

Bersamaan dengan Aura yang berkata seperti itu, kejadian yang baru saja terjadi 3 menit yang lalu kembali terbayang-bayang oleh otakku. Aku kembali menjadi salah tingkah. Pipiku memanas, dan sudah aku pastikan kalau pipiku memerah saking panas dan malunya aku.

Aku ingat dengan jelas, waktu itu, aku mencoba setengah mati untuk menulis dengan posisi sangat amat menunduk, mencoba untuk menyembunyikan semburat merah yang menghiasi pipiku, bak blush on yang selalu dipakai ibuku ke tempat kerja. Untungnya, Aura tidak mengetahui hal tersebut, Aura juga tidak tahu kalau Kiki menciumku sampai saat ini. Aku benar-benar menyembunyikan ini semua, terkecuali untuk Iris, Selena, dan Gita.

Aku ingat, aku begitu menggebu-gebu menceritakan semua ini kepada mereka bertiga.

Dan, setelah aku menceritakan itu semua kepada ketiga sahabatku. Aku langsung menyadari, kalau pada hari itu, aku telah secara resmi menjatuhkan perasaanku kepada Kiki. Sampai sekarang, setelah 5 tahun berlalu, aku masih begitu mencintainya.


Saat itu, selepas dari bintalis, aku bersama Aura, Sara, dan Aisha kembali ke kelas.

Kedatangan kami disambut dengan senyuman sumringah dari Kiki. Yang entah mengapa membuatku menjadi agak sedikit salah tingkah ketika itu.

Kami berempat, duduk bersama. Aku duduk disamping Kiki, sementara Sara, Aura, dan Aisha duduk bertiga di bangku mereka yang hanya ada dua. Mereka bertiga harus menyatukan terlebih dahulu 2 bangku itu agar bisa duduk bertiga.

Kami mengobrol banyak hal, dari mulai soal guru-guru muda di sekolah kami, tempat-tempat rekreasi seru yang ada di Bandung, dan sekarang kami membahas tentang masa lalu kami, yaitu masa-masa SMP.

Aisha bercerita kalau masa SMPnya tidak begitu indah, karena dia menerima banyak perundungan dari beberapa teman di kelasnya, bahkan beberapa guru pun ada yang ikut membullynya, entah untuk alasan apa. Aku turut prihatin akan hal tersebut, orang-orang pembully itu sangatlah hina mereka lebih hina daripada binatang. Aku benci sekali mereka. Aku harap mereka tidak akan pernah tenang hidup di dunia.

Lalu, Sara, dia bilang, dia menghambiskan masa SMP-nya di Lampung, kota kelahiran ayahnya. Tidak terlalu spesial (katanya). Sara bilang juga kalau dia tidak terlalu merasa nyaman dengan orang-orang yang ada disana. Tidak, Sara tidak mengalami apa yang Aisha alami, hanya saja, ia benar-benar merasa tidak nyaman. Hal itu membuatnya menjadi murid yang pendiam untuk 3 tahun lamanya.

Aura, Aura bilang masa SMPnya seru, tapi tidak seseru saat dirinya berada di bangku SMA. Aura menjadi anggota osis, ia sering didekati oleh kakak kelasnya, yang mana semua itu tidak pernah Aura perdulikan. Sungguh, Aura adalah perempuan yang paling anti dengan laki-laki yang menyukainya. Aura lebih menyukai laki-laki yang tidak pernah menyukainya sama sekali.

Dan kini, giliran aku yang bercerita tentang masa-masa SMP-ku,

“Kalau aku sih biasa aja.” kataku dengan jujur, “maksudnya ya seru sih seru, tapi gak seseru SMA sih. Sama kayak Aura.”

“Gak ada yang spesial gitu? Kaya misalkan punya pacar atau gimana? Atau gebetan?” Sara bertanya dengan menggebu-gebu.

Aku menggeleng, “gak punya.” jawabku, sejujurnya, aku punya beberapa mantan kekasih ketika dulu aku masih SMP, namun, aku tidak mau menceritakannya, entahlah, rasanya tidak perlu saja, toh, aku dan mereka juga sudah tidak memiliki sama sekali akses untuk saling berhubungan, dan juga, Aura, Sara, Aisha, dan Kiki tidak memiliki hak untuk mengetahui masa lalu ku.

“Bohong banget.” sindir Kiki, yang kini duduk sambil menghadap ke arahku.

Aku tertawa, “dih ya udah kalau gak percaya juga gak apa-apa kok, wle!” aku menjulurkan lidahku di akhir kalimat, Kiki hanya mendelik sebal, lalu tangannya mencubi pipiku gemas.

Aku masih ingat percis bagaimana reaksiku pada saat itu. Telingaku memerah, tubuhku membeku seperti batu. Aku tidak tahu apakah Sara, Aisha, Kiki, atau Aura sadar akan hal itu, yang pasti saat itu, aku benar-benar merasa salah tingkah dengan tindakan Kiki yang aku pikir itu adalah tindakan yang spontan yang dilakukannya.

Jujur, pada saat itu aku tidak pernah merasa kalau reaksi yang aku berikan atas tindakan Kiki waktu itu adalah karena aku sudah mulai menaruh hati kepadanya. Namun, ketika aku sudah beranjak dewasa dan sudah paham akan banyak hal seperti sekarang ini, aku sudah mulai sadar, kalau hari itu adalah hari dimana aku sudah mulai menjatuhkan perasaanku kepada Kiki,

“Eh tapi tau gak sih, Cral?” tanya Sara, aku langsung mengalihkan pandanganku kepada Sara pada saat itu.

Wanita bertubuh tinggi dengan kacamata yang bertengger di matanya itu mulai membuka suaranya,

“Kiki pas SMP mantannya dua loh.”

“Wah? Serius?” aku bertanya sambil melirik Kiki yang wajahnya sudah terlihat begitu panik.

Aisha dan Aura juga Sara tertawa melihat bagaimana paniknya Kiki ketika itu. Tapi aku? Aku sama sekali tidak tertawa, aku hanya memaksakan senyumanku. Aku merasa kesal dan agak sedikit marah pada saat itu. Yang kemudian, aku ketahui bahwa perasaan itu adalah perasaan cemburuku terhadap Kiki,

“Enggak Clar bohong. Aku gak pernah pacaran. Sumpah.” Kiki dengan begitu menggebu-gebu menjelaskan semuanya kepadaku. Aku hanya tersenyum membalas itu semua, namun pikiranku pergi entah kemana pada saat itu.

“Sara anjir.” celetuk Kiki menatap Sara dengan tatapan kesal.

Aku ingat sekali tatapan dia pada saat itu. Tatapan itu juga adalah tatapan mata yang sama yang ia perlihatkan kepadaku ketika kami berdua kembali di persatukan kembali di kelas yang sama di kelas 12, namun dengan keadaan yang sudah berbeda.

“Aku beneran gak punya pacar sumpah.” katanya dengan begitu bersungguh-sungguh, aku dapat mendengar keputus asaan dari nada suaranya itu.

Aku tersenyum tipis, lagi. Kali ini ditambah dengan anggukan kepala.

Lantas, aku berpura-pura menguap saat itu, aku membuat diriku seolah-olah merasa mengantuk, padahal aku sama sekali tidak mengantuk, aku hanya merasa cemburu dan kesal kepada Kiki. Aku tahu hal itu seharusnya tidak aku lakukan, tapi mengingat pada saat itu umurku masih 17 tahun, aku merasa tidak masalah untuk memaklumi sikap kekanak-kanakan ku itu.

Aku bangkit dari dudukku, dan berjalan ke bangku belakang dekat jendela—bangku dimana aku dan Aura duduk—bersama dengan Aura. Aku dan Aura duduk disana. Kiki terus memperhatikanku dari tempat duduknya, aku sadar akan hal itu, tapi aku mencoba untuk tidak memperdulikannya.

Dan ya, berhasil! Aku langsung melipat kedua tangankan di meja, dan meletakkan kepalaku disana. Kepalaku sudah tenggelam jauh ke dalam tanganku yang sengaja aku jadikan sebagai bantal. Aku tidak tahu setelah itu apa yang terjadi kepada Kiki, karena aku sudah berkelana jauh di alam mimpiku.