jaehyunetz


“Finally, you pick up my phone.” Gentala berujar dengan begitu tenang setelah Kaynara mengangkat sambungan telfonnya.

Di sebrang sana, Kaynara hanya tertawa. Dia merasa lucu mendengar nada suara Gentala yang seolah-olah Kaynara tidak bisa dihubungi berbulan-bulan,

“Mau apa kamu nelfon aku malem begini?” Kaynara bertanya dengan suara sinis yang dibuat-buat.

Gentala mengulum senyumannya, hatinya menghangat dan moodnya membaik setelah mendengar suara lembut Kaynara,

“I just want to apologize.” ucapnya dengan penuh rasa bersalah.

“Buat?”

“Kejadian di rumah sakit tadi. Im so sorry, Kay. That's not supposed to be happen.”

“Hei, its okay, gak apa-apa kok. Lagipula, memang kayaknya salah aku karena pergi bareng kamu, aku paham kok dia lagi cemburu itu. Gak apa-apa gak masalah, you don't need to apologize.”

“You're so kind, Kaynara.”

Pipi Kaynara memerah mendengar pujian yang terlontar dari mulut Gentala di sebrang sana. Mulut gadis itu pun melengkung membentuk seutas senyum yang begitu manis—mengalahkan manisnya gula,

“Kay.” panggil Gentala, suara lelaki itu kini terdengar sangat berat dan begitu serius.

“Ya?”

“I need you.”

Gadis itu jelas terkejut mendengar pengakuan Gentala. Bagaimana bisa dia mengatakan hal ini dengan begitu sungguh-sungguh dan meyakinkan kepada perempuan yang bahkan bukan pacarnya sama sekali,

“Kak… are you drunk?”

Terdengar kekehan berat di sebrang sana, dan setelah kekehan itu gendang telinga Kaynara menangkap suara erangan frustasi dari Gentala. Kaynara khawatir di buatnya,

“No, im not! Aku gak mabok. Im 100% sober!” jawab Gentala yang terdengar seperti racauan bagi Kaynara.

Kaynara menjilat bibirnya yang kering, kekhawatiran gadis ini semakin memuncak. Dia juga tidak tahu kenapa dirinya bisa begini, tapi yang jelas, dia takut, dia takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi kepada Gentala, dimanapun pria itu berada sekarang,

“Kak, where are you? Aku susulin kesana ya?”

“Aku di rumah aku cantik.” jawab Gentala, “can i give up, Kay?”

Kaynara benar-benar tidak tahu apa yang sedang Gentala bicarakan. Namun, mendengar dia mengucap kata-kata “can i give up” itu membuat Kaynara ketakutan. Takut kalau dia melakukan sesuatu yang bisa melukai dirinya sendiri atau menghilangkan nyawanya sendiri,

“Kak, please, don't make me worried about you. Where are you, right now?”

“Kaynara, this is so fucked up. Im tired, Kay. I just wanna live in peace. And the most important thing is, i just want to spend my rest of my life with you.”

“Kaynara, why did you leave me then?”

“I hate it when i have to keep blaming fate. but, if only that day you didn't go, by now we would have become lovers.”

“I love you, Kay. I really do.”

Kaynara tidak bisa berkata-kata lagi, gadis itu hanya termangu di tempatnya, mencoba mencerna semua racauan Gentala di telfon,

“Kak, you already had a girlfriend.”

“Persetan sama Tiara. Aku gak bisa jatuh cinta sama dia, sekeras apapun aku coba untuk jatuh cinta sama dia, aku ga pernah bisa.” Gentala melanjutkan ucapannya, “i want you, i need you, Kaynara Flora.”

Kaynara kembali dibuat bungkam oleh pernyataan Gentala. Selama ini, lelaki itu masih dengan setia mencintainya. Fakta itu membuat Kaynara terharu dan meneteskan air matanya. Dia selalu berpikir kalau semua laki-laki yang menyukainya tidak pernah tulus, mereka hanya menyukai Kaynara karena badannya. Tapi ternyata, ada laki-laki yang begitu tulus mencintai Kaynara selama hampir dua belas tahun lamanya,

“Kak, thank you.” lirih Kaynara.

Alih-alih mendapat kembali balasan, di sebrang sana Kaynara malah mendengar suara dengkuran keras yang sudah jelas penyebabnya siapa. Gadis itu tertawa pelan seraya menghapus air mata yang jatuh di pipinya,

“Good night, Gentala. Have a nice dream.”

Setelah itu, Kaynara memutuskan sambungan telfon dengan sepihak.

Gadis itu menaruh ponselnya di nakas samping ranjangnya. Dia telentangkan tubuhnya, dan menatap langit-langit dengan tatapan kosong, namun senyum terpatri jelas di wajah gadis itu,

“Kak Genta.” gumamnya.

Lalu, sedetik kemudian Kaynara tersadar dan langsung menampar pipinya dengan keras,

“SADAR KAY SADAR!” makinya kepada diri sendiri, “Kak Genta udah punya pacar. Gila lo!”

Ya, begitulah, satu sisi Kaynara senang mendengar fakta bahwa Gentala masih menyimpan rasa kepadanya meskipun sudah dua belas tahun berlalu, tetapi satu sisi juga Kaynara mencoba untuk tidak merasa senang, karena Gentala sudah memiliki kekasih.

Tolong sadarkan Kaynara.


Kaynara dan Gentala berjala menyusuri lorong rumah sakit bebarengan. Di lengannya, Gentala memegang satu bouquet bunga di tangan kirinya dan satu bouquet buah-buahan tangan kanannya. Dua bouquet itu dibeli Kaynara di sela-sela perjalanan mereka menuju rumah sakit.

Sekarang keduanya sudah tiba di sebuah ruangan VVIP milik Tiara. Entah kenapa, perasaan gugup menghampiri Kaynara saat itu. Namun Kaynara mencoba menepisnya, dirinya datang dengan maksud dan tujuan yang baik, tidak perlu ada rasa gugup, risau, atau apapun itu.

Gentala menegang gagang pintu, lalu menggerakkannya ke bawah. Lelaki itu mempersilahkan Kaynara terlebih dahulu untuk masuk ke dalam, lalu disusul oleh Gentala yang sekarang sedang berdiri di belakang Kaynara setelah kembali menutup pintu ruangan dengan rapat.

Tidur Tiara seketika terusik ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Gadis itu agak terkejut melihat sosok Kaynara datang ke sini bebarengan dengan Gentala. Pikiran-pikiran buruk pun menghampiri Tiara,

“Hai kak.” sapa Kaynara dengan ramah setelah dirinya berdiri di samping ranjang sebelah kanan milik Tiara, dan Gentala berdiri di sebrangnya.

“Kamu ngapain kesini?” Tiara bertanya dengan nada suara yang datar, membuat Kaynara seketika terhenyak dan gugup. Suasana pun menjadi sedikit agak menegang.

Gentala pun sama, dia terkejut mendengar bagaimana Tiara membalas sapaan ramah Kaynara. Gadis ini tidak pernah sekasar ini kepada orang lain sebelumnya, tapi kenapa sekarang dia malah seperti ini?

“Aku mau nengok kaka.” jawab Kaynara, “soalnya waktu kemarin di kantin aku liat kaka muka kaka pucet banget, terus kemarin aku kesini nemenin temen buat ngambil obat dan ketemu sama Ka Davian, terus kata Ka Davian kaka sakit jadi ya aku mau nengok.” lanjut Kaynara seraya memperlihatkan senyuman ramahnya. Tidak perduli dengan nada datar yang dilontarkan Tiara barusan.

Tiara menganggukkan kepalanya. Mengerti dengan apa yang dijelaskan Kaynara,

“Sekarang kamu udah liat keadaan aku kan? Kamu boleh keluar dari sini, dan biarin aku sama Gentala berdua.”

Kaynara terdiam dan kebingungan. Perasaan kemarin Tiara begitu ramah dan baik kepadanya, kenapa sekarang gadis itu berubah 180°? Apa ada yang salah dengan Kaynara hari ini? Apa karena Kaynara datang bersama dengan Gentala? Entahlah, Kaynara tidak bisa menebaknya, mau bertanya pun rasanya segan, seperti Kaynara tidak memiliki nyali untuk itu,

“Tiara, dia dateng dengan tujuan baik loh.” Gentala tidak habis pikir dengan Tiara, bagaimana bisa dia mengusir Kaynara setelah gadis itu rela datang kesini, membelikan Tiara bouquet bunga dan buah hanya untuk Tiara.

“Aku gak suka ada orang lain disini. Aku cuman mau kamu dan orang tua aku yang ada disini.” tegas Tiara.

“Tiara—”

Kaynara sadar kalau kehadirannya disini malau membawa keributan kepada dua pasangan itu, maka dengan itu, dia lebih memilih untuk pergi. Gadis itu memotong ucapan Gentala,

“Gak apa-apa kak, aku bisa pulang aja. Semoga Kak Tiara cepet sembuh ya.” ucap Kaynara masih setia memberikan senyuman termanisnya kepada Tiara.

Disaat seperti ini Gentala benci dengan dirinya sendiri. Dia tidak bisa tegas, dia hanya mampu terdiam sambil menatap Kaynara dengan tatapan seolah memohon kepada gadis itu agar gadis itu tidak pergi meninggalkannya,

“Kalau bouquet bunga dan buah ini dari kamu, aku gak mau nerima.” ucap Tiara ketus.

Kaynara menggelengkan kepalanya, “itu bukan aku yang beli kak, itu Kak Genta yang beli.” bohong Kaynara. Jelas-jelas dia yang membeli itu semua, dia bahkan turun langsung untuk memilih bunga juga memilih buah-buahan yang bagus dan fresh. Gadis itu tidak mau pemberiannya di tolak mentah-mentah oleh Tiara.

“Bener sayang?” Tiara menoleh, menatap Gentala penuh cinta, beda dengan cara gadis itu menatap Kaynara. Tatapan Tiara terhadap Kaynara bak tatapan seseorang kepada musuh bebuyutannya.

Gentala tampak kebingungan untuk menjawab, dia diam diam melirik Kaynara, dan Kaynara hanya mengangguk membiarkan lelaki itu untuk mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Tiara. Kaynara seolah paham dengan isi pikiran lelaki itu,

“Iya.” jawab Gentala disertai senyuman terpaksanya.

Tiara sumringah, “terima kasih sayang! Bunganya bagus, terus juga buah-buahannya fresh. I love it!” girang Tiara.

Melihat itu Kaynara hanya bisa tersenyum senang. Meskipun dirinya sempat sakit hati dengan perlakuan Tiara barusan yang tidak begitu ramah kepadanya, tapi setidaknya, Kaynara senang karena Tiara menyukai bunga dan buah pilihannya.

Sementara Gentala, lelaki itu tidak bisa berhenti untuk mencuri kesempatan dengan memandangi Kaynara. Tatapan mata penuh cinta itu menyaratkan sebuah rasa bersalah. Andai Gentala bisa tegas, Kaynara tidak mungkin diperlakukan seperti barusan oleh Tiara,

“Kalau gitu, aku permisi pulang ya.” pamit Kaynara, yang dibalas anggukan kepala oleh Tiara, “cepet sembuh ya Kak Tiara!” lanjut Kaynara sambil menatap mata sayu Tiara dengan tulus.

“Iya.”

Lalu, Kaynara menatap Gentala, tatapannya menyiratkan bahwa gadis itu berpamitan kepadanya. Dan Gentala menganggukan kepalanya, memberikan izin dengan terpaksa kepada Kaynara untuk gadis itu pulang sendirian ke apartemennya.


“Kaynara, ya?” panggil seseorang yang membuat Kaynara dan juga Rifaldi menoleh ke sumber suara.

Untuk beberapa saat Kaynara terdiam, mencoba untuk mengingat-ingat siapa sosok lelaki yang memanggil namanya ini. Lalu kemudian, lelaki itu sadar kalau Kaynara kebingungan, dia lantas memperkenalkan dirinya sendiri,

“Gue Davian, yang waktu itu di kantin Ilkom.” katanya memperkenalkan diri seraya memberikan senyuman termanisnya.

“Oh iya!” ucap Kaynara seraya bangkit dari duduknya, gadis itu lalu menoel Rifaldi yang duduk di sampingnya untuk ikut berdiri juga, “Kak Davian, kenalin ini Rifaldi temen gue.”

Davian mengangguk, lalu kedua lelaki itu saling berjabat tangan dan berkenalan.

Rifaldi bukan tipe pria yang suka berbasa-basi, jadi setelah berdiri, ia memilih kembali duduk dan fokus dengan ponselnya, dibandingkan harus ikut mengobrol dengan Kaynara dan Davian. Lelaki itu juga berkenalan hanya karena Kaynara yang meminta,

“Kakak pasti kesini nengokin temennya Kak Genta ya?” tanya Kaynara mencoba menebak.

“Temen?” Davian mengerutkan dahinya bingung. Lalu sedetik kemudian dia mengerti, Gentala pasti sedang membohongi gadis dihadapannya ini, “enggak kok, gue kesini gak jengukin temennya Genta, gue jengukin cewenya Genta, si Tiara.”

Kaynara terlihat ikut prihatin ketika mendengar jawaban tersebut. Pantas saja kemarin dia bertemu dengan Tiara di kantin ilmu komunikasi, kondisi gadis itu benar-benar terlihat seperti seseorang yang sedang tidak sehat. Tubuh yang kurus, rambut yang terlihat tipis dan hampir botak, juga wajahnya yang pucat pasi,

“Ya ampun, pantesan kemarin pas di kantin dia kayak yang lagi sakit gitu, soalnya mukanya pucet, badannya kurus, rambutnya juga tipis gitu kayak hampir botak. Jadi keingetan waktu gue tipes, udah kayak orang kena kanker aja gue waktu itu.” ucap Kaynara dengan tawa kecilnya.

Davian mengangguk sambil ikut tertawa. Mulut lelaki itu tidak tahan ingin memberitahu kalau Tiara menderita kanker darah, tapi ia urungkan niatnya. Ini bukan urusannya, biar saja Gentala yang memberitahu ini kepada Kaynara,

“Lo kesini ngapain? Abis nemenin temen lu periksa, atau lu yang periksa?”

“Ini kak, gue nemenin temen gue ngambil obat buat tantenya.”

Davian mengangguk mengerti.

Sementara di depan pintu lift lantai utama, berdiri Gentala yang matanya sedang menangkap Davian dan Kaynara yang tengah bercengkrama. Lelaki itu terkejut karena melihat Kaynara berada di rumah sakit. Raut khawatir juga terpatri di wajah pria itu, dia takut Kaynara sedang sakit. Tanpa pikir panjang, Gentala melangkahkan kaki lebarnya untuk mendekati Davian dan Kaynara.

Kaynara terkejut melihat kedatangan Gentala, dengan ekspresi muka khawatirnya, dan matanya yang terus menatap Kaynara. Lelaki itu bahkan tidak memperdulikan Davian yang tengah mengajak Kaynara bicara,

“Kamu ngapain disini? Kamu sakit?” tanya Gentala, nada suaranya di dominasi oleh kekhawatiran dan kerisauan lelaki itu terhadap Kaynara.

Kaynara menggelengkan kepalanya, “enggak kak, aku gak sakit. Ini aku lagi nemenin…” Kaynara menggantungkan ucapannya, dia berbalik ke belakang, dan menyuruh Rifaldi untuk berdiri kembali, dengan malas, Rifaldi pun berdiri, “aku nemenin temenku ini ngambil obat buat tantenya. Rifal, kenalin ini temen gue pas masih kecil, namanya Kak Genta, nah Kak Genta, ini temen aku, namanya Rifaldi.”

Ada tatapan sinis dari Gentala yang menyapa Rifaldi. Lelaki itu sadar akan hal tersebut, tapi dia tidak perduli. Dia tetap bersikap ramah dan berjabatan tangan dengan Gentala, meskipun Gentala menatapnya seperti dia adalah musuh bebuyutannya.

Sesi perkenalan itu pun selesai kurang dari 1 menit. Rifaldi kembali duduk di kursinya. Dan, Gentala kembali menatap Kaynara, kini tatapan itu sudah berubah menjadi tatapan lega—karena Kaynara kesini hanya mengantarkan temannya, bukan untuk berobat,

“Kamu kenapa turun? Kamu udah selesai nemenin Kak Tiara?” Kaynara bertanya.

Gentala terhenyak mendengar pertanyaan gadis itu. Dia melirik Davian sekilas, menatap sahabatnya itu dengan tatapan sinis. Sementara yang ditatap sinis tidak bereaksi apa-apa, dia merasa apa yang dilakukannya bukanlah kesalahan yang fatal,

“Gak apa-apa, aku pingin turun aja. Lagian diatas juga ada orang tuanya Tiara.” jawab Gentala, “kamu setelah ini ada—”

Ucapan Gentala terpotong ketika suara operator memanggil nomor antrian pengambilan obat selanjutnya. Dan ternyata, itu adalah nomor antrian milik Rifaldi. Lelaki itu buru-buru bangkit dari duduknya, dan berpamitan untuk mengambil obat milik tantenya,

“Kenapa kak?” tanya Kaynara sambil menatap Gentala penasaran.

“Kamu habis ini ada acara atau langsung pulang ke apartemen?” Gentala mengulang kembali pertanyaannya.

“Aku mau makan dulu sama dia, soalnya dia udah janji mau nraktir aku katanya.” jawab Kaynara seraya tersenyum sumringah.

Gentala mengangguk paham. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan yang hanya disadari oleh Davian. Gentala padahal memiliki rencana untuk mengajak Kaynara pergi ke bukit kecil malam ini, karena suasana disana ketika malam hari lebih indah daripada siang. Namun, gadis itu sudah memiliki rencananya sendiri, Gentala tidak bisa mengganggunya.

Rifaldi kembali dari loket pengambilan obat, sembari membawa kantung plastik yang berisikan obat-obatan milik tantenya. Melihat itu Kaynara langsung inisiatif berpamitan dengan Davian dan juga Gentala,

“Kak, kita pamit duluan ya.”

Gentala hendak membuka mulutnya untuk mengucapkan sepatah kata, yang malah langsung dipotong oleh Davian,

“Oh iya, silahkan. Hati-hati di jalan ya.” ucap Davian, kemudian lelaki itu melirik Rifaldi, “lu bawa mobil jangan ngebut-ngebut, kalau habis ujan jalanan suka licin.”

Rifaldi tertawa, “hahahahahahaha siap kang.” jawab Rifaldi, Kaynara juga ikut tertawa.

“Kak, aku pulang ya.” Kaynara kembali pamitan kepada Gentala.

Lelaki itu tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya.

Lalu, Kaynara dan Rifaldi pun berlalu meninggalkan kedua pria yang masih setia berdiri di tempatnya tersebut.

Mata Gentala tidak bisa berhenti memandangi punggung Kaynara. Davian yang sadar akan hal tersebut langsung menepuk bahu sahabatnya. Gentala menoleh,

“Udah, bukan pacarnya kok. Gak usah khawatir gitu.” ucap Davian.

“Sekarang bukan, nanti nanti siapa yang tau.”

Davian berdecak,

“Lu kalau Kaynara emang jodoh lu, mau sebanyak apapun cowo yang dia pacarin, atau selama apapun lu bertahan sama Tiara, kalian bakal dipertemuin lagi kok. Udah elah santai aja.”


Gedung Fakultas Ilmu Komunikasi dan Gedung Fakultas Hukum sebenarnya tidak terlalu jauh. Jarak kedua gedung tersebut hanya sekitar 150 meter. Cukup lumayan menguras tenaga sebenarnya, tapi bagi Kaynara yang memang gemar berolahraga, hal seperti ini tidak terlalu membuatnya kelelahan.

Gadis itu sudah menginjakkan kakinya di aquarium—sebuah ruangan yang lumayan cukup besar yang full kaca bak aquarium—dia melanjutkan perjalanannya sampai tiba di kantin fakultas ilmu komunikasi—Maizara sempat menelfon Kaynara, dan bilang kalau pembeli itu menunggunya di kantin ilmu komunikasi.

Sesampainya di kantin, Kaynara tidak langsung melanjutkan langkah kakinya. Dia menelusuri setiap sudut kantin menggunakan mata kecilnya itu, untuk menemui sosok perempuan yang percis seperti di foto yang Maizara kirimkan kepadanya. Dan akhirnya, mata kecil itu menangkap sosok perempuan yang bernama Tiara—pelanggan Maizara. Dia sedang duduk disana bersama tiga laki-laki di depannya.

Kaynara dengan senyum lebarnya berjalan kembali untuk menghampiri gadis itu. Namun, belum juga ada tiga langkah, gadis itu berhenti melangkah, senyuman lebar di wajahnya pun seketika menghilang bak di telan bumi. Dia melihat sosok pria bertubuh jangkung dengan paras yang tampan, menghampiri meja Tiara dan duduk di samping Tiara.

Kaynara kenal lelaki itu. Iya. Dia adalah Gentala Samudra. Laki-laki yang pernah mengajaknya menikah dua belas tahun yang lalu.

Seketika, Kaynara merasa canggung untuk melangkahkan kakinya kesana. Perasaan aneh ini tiba-tiba datang. Kalau Kaynara boleh menebak, mungkin perasaan ini datang karena mereka sudah lama tidak bertemu, dan juga sehari sebelum mereka berpisah, Kaynara dan Gentala menyempatkan untuk pergi ke sebuah bukit di dekat rumah dinas orang tua mereka, dan disana, Gentala yang saat itu baru berumur sepuluh tahun, mengajak Kaynara yang saat itu baru berumur sembilan tahun untuk menikah ketika mereka sudah dewasa.

Membayangkan hal itu sekarang, disaat Kaynara sudah berumur dua puluh tahun, dan sudah tidak terlalu bodoh soal cinta membuat bulu kuduknya meremang. Ia benar-benar merinding,

“WOI!” suara teriakan seseorang di belakang Kaynara berhasil membuat seisi kantin ilmu komunikasi yang seketika ramai langsung hening, dan mereka semua—termasuk Tiara, Gentala, dan tiga laki-laki itu, menoleh ke sumber suara—yaitu Kaynara.

Kaynara yang terkejut sekaligus malu karena menjadi pusat perhatian semua orang langsung minggir untuk memberikan akses jalan kepada seorang laki-laki bertubuh gempal dengan wajahnya yang menyeramkan. Gadis itu menghela nafasnya kasar. Benar-benar memalukan.

Karena sudah kepalang malu, gadis itu dengan sangat amat terpaksa berjalan mendekati meja yang diduduki oleh Tiara dan Gentala. Dalam hatinya, Kaynara sangat berharap, mudah-mudahan Gentala sudah lupa dengan Kaynara,

“Hai.” sapa Kaynara yang mati-matian untuk tidak menatap Gentala—yang sialnya saat ini tengah menatap ke arahnya.

“Hai.” balas seorang dari ketiga pria yang duduk dihadapan Tiara dan Gentala. Dia adalah pria dengan rambut gondrong berwarna, “anak mana? Cantik banget.” pujinya yang langsung mendapatkan hadiah pukulan di kepala dari kedua teman disampingnya.

Kaynara tidak terlalu memperdulikan pujian-pujian genit seperti itu. Dia sudah sering mendapatkannya, awal-awal Kaynara memang merasa senang, tapi makin kesini, rasanya semakin menjijikan dan melelahkan, ketika dia harus terus mengucapkan kata “terima kasih” disertai senyuman disaat semua orang memujinya. Padahal, Kaynara tidak pernah meminta banyak orang untuk memuji kecantikannya,

“Kakak namanya Kak Tiara ya?” tanya Kaynara sambil memandangi wajah Tiara yang terlihat tirus dan pucat.

Tiara menganggukkan kepalanya. Lalu sedetik kemudian dia memasang ekspresi kagetnya, sepertinya dia baru ingat kalau Kaynara adalah “kurir” yang dimaksud oleh Maizara,

“Kamu Kaynara ya? Temennya Maizura kan?” Tiara malah balik bertanya, dan Kaynara mengangguk sebagai jawaban, “ya ampun, maaf ya aku lupa, aku kira kamu siapa. Sorry sorry.”

Kaynara tertawa kecil.

Tawa manis itu, berhasil membuat Gentala yang sedari tadi hanya diam dan memandangi wajah cantik Kaynara, ingin berdiri dan mendekatinya lalu mendekap tubuhnya. Menyalurkan seluruh kerinduan yang sudah selama dua belas tahun ini ia tahan.

Rasanya amat sangat sesak, ketika kita tidak bisa memeluk seseorang yang kita cintai hanya karena kita harus menghargai seseorang yang mencintai kita.

Davian, sedari tadi diam-diam memperhatikan Gentala. Dia mungkin bukan pakar pembaca ekspresi muka seperti Roy Suryo, tapi dia tahu, kalau ada perasaan rindu yang begitu besar yang ingin Gentala sampaikan pada sosok perempuan yang tengah berdiri diantara mereka berlima. Dan, Davian melihat jelas perbedaan dari cara Gentala menatap Tiara dan cara Gentala menatap perempuan itu,

“Oh iya kak, ini barangnya.” Kaynara menyerahkan dus berbentuk kotak segi empat dengan ukuran tidak terlalu besar itu kepada Tiara. Namun, Tiara malah menolak kotak tersebut, Kaynara kebingungan.

“Jangan kasih ke aku, kasih ke pacar aku aja.” ucap Tiara sambil menepuk pundak Gentala, “soalnya ini hadiah dari aku untuk dia, karena dia udah jadi best boyfriend.” lanjutnya, sambil tangannya bergelayut manja di tangan Gentala, dan menatap wajah tampan lelaki itu dengan tatapan mesra, sementara Gentala hanya tersenyum canggung.

Ada perasaan aneh yang menggerogoti hati Kaynara melihat pemandangan itu. Entahlah, dia merasa kesal. Mungkin, karena dulu Gentala mengajak Kaynara menikah karena Gentala bilang dia mencintai Kaynara, tapi kini, lelaki itu malah berpacaran dengan perempuan lain. Selain itu, ini mungkin efek dari Kaynara yang baru saja ditolak oleh laki-laki yang disukainya, Milan.

Kaynara memaksakan senyumnya. Dia berjalan memutari meja untuk menghampiri Gentala. Setelah itu, ia memberikan kotak tersebut. Dan tidak sengaja tangan keduanya saling bersentuhan ketika Gentala menerima kotak tersebut. Debara jantung Kaynara tidak terelakan lagi ketika tangan mereka saling bersentuhan,

“Makasih.” ucap Gentala sambil tersenyum kepada Kaynara. Kaynara mengangguk kikuk, “makasih ya, Tiara.” sambungnya sambil kini menatap Tiara.

“Sama-sama sayang. Aku cuman bisa kasih kamu t-shirt ini, dan maaf kalau kamu gak suka. Jujur aku agak bingung kesukaan kamu apa, soalnya kamu apa aja suka.”

Aku suka sama Kaynara, Tir,

“Lo kasih bangke ke Genta juga bakal dia terima, Ra.” ucap salah satu teman Gentala.

“Sialan lo.”

Melihat pemandangan ini. Kaynara hanya mampu tersenyum. Dia senang sekali. Entah kenapa, rasanya begitu senang melihat Gentala yang tubuh dengan baik, memiliki seorang teman, dan juga kekasih. Jujur, Kaynara merindukan Gentala, karena dialah satu-satunya orang yang selalu bersama Kaynara ketika mereka kecil dulu. Namun sekarang, keadaan sudah berubah, Kaynara tidak bisa bersama Gentala terus menerus seperti dahulu. Mereka sudah hidup dengan pilihan masing-masing.

Bagi, Kaynara, bertemu dengan Gentala disaat laki laki itu tumbuh dengan baik dan sehat, adalah hal yang paling membahagiakan dari apapun,

“Kalau gitu, aku permisi dulu ya. Udah mau ujan juga soalnya.” pamit Kaynara, dia tidak enak kalau harus terus berlama-lama disini.

“Mau di anterin gak? Gue free. Gue bisa nganterin kok.” tawar laki-laki berambut gondrong itu lagi.

Kaynara menggelengkan kepalanya. Melihat bagaimana panjangnya rambut lelaki itu, dan penampilannya yang seperti anak punk tapi versi elit, membuat Kaynara berpikir dua kali untuk meladeninya. Takut kalau Kaynara menerima tawaran lelaki itu, di jalan, tiba-tiba dia membius Kaynara, dan keesokan harinya Kaynara terbangun tanpa menggunakan sehelai benangpun di ranjang bersama lelaki itu,

“Dia takut sama lu, Elang. Makanya potong noh rambut lo, jelek banget kayak dukun beranak lu lama-lama.” ejek pria dengan tubuh kekar dan wajah yang mirip seperti orang Batak.

“Sialan lu, Rangga!”

Oh, ternyata Elang dan Rangga nama mereka berdua,

“Udah lu berdua katro banget kayak gak pernah liat cewe cakep.” lerai satu pria lagi, “lo kalau mau pulang ya pulang aja, maaf temen gue emang suka gangguin orang.”

Kaynara mengangguk, dia kembali berpamitan, lalu setelah itu pergi meninggalkan kawasan kantin ilmu komunikasi untuk pulang ke apartemennya.

Sementara itu, Gentala terus memandangi punggung Kaynara yang semakin lama semakin menjauh. Tatapan mata itu tidak bisa berbohong. Gentala terlihat sangat sedih dan tidak rela kalau Kaynara harus pergi, dia masih belum puas untuk melihat wajah manis dan cantik Kaynara. Dia ingin Kaynara. Dia rindu Kaynaranya.

Semoga Tuhan dan semesta mau berpihak kepada keduanya kali ini.


“So, what happen to you?” tanya wanita tua yang merupakan ibu kandung dari Kaynara sambil memandangi anak perempuan yang duduk di hadapannya penuh curiga.

Bagaimana tidak curiga, Mama Kaynara tahu kalau anak perempuannya itu bukan tipikal anak perempuan yang pemalas. Kaynara selalu rajin membereskan kamarnya, dia juga benci kalau sesuatu tidak tertata dengan rapih di manapun itu. Tapi tadi, beliau datang ke apartement Kaynara dan melihat apartemen itu yang seperti kapal pecah.

Untungnya, setelah Kaynara tiba di apartemennya, gadis itu langsung bergegas membersihkan segala kekacauan di apartemennya. Dan tentu di bantu oleh ibunya, tidak mungkin wanita itu tega membiarkan anak perempuan satu-satunya ini membereskan semua kekacauan ini sendirian, apalagi posisinya Kaynara baru saja pulang kuliah,

“Nothing.” jawab Kaynara dusta. Dia tidak mau jujur alasan dibalik kamarnya yang berantakan ini.

Sang ibunda menghela nafasnya lalu menatap Kaynara dengan tatapan memohon,

“Nak, mama tau kamu loh, kamu gak mungkin tiba-tiba berantakan kayak tadi kalau semisal kamu lagi gak ada masalah.” digenggamnya tangan Kaynara, gadis itu terdiam sambil menatap wajah ibunya. Di dalam pikirannya dia sedang menimang-nimang apakah dia harus jujur atau tetap berbohong, “ayo nak, ceritain sama mama semuanya. Whatever what the reason is, im not gonna judge you. I promise.”

“You promise?” lirih Kaynara sambil menatap sang ibunda tepat di bola matanya. Gadis itu mencari kejujuran di balik bola mata cokelat milik sang ibunda, dan ia menemukannya disana.

“I promise.”

Kaynara melepaskan tangannya dari genggaman sang ibunda. Ia menyenderkan punggungnya ke senderan kursi, lalu menghembuskan nafasnya berat dan mulai bercerita,

“Yesterday, i confessed to someone, and he rejected me.”

Sang ibunda terkejut mendengar penuturan Kaynara. Ia menatap sang anak dengan tatapan penuh belah kasihan. Kaynara benci sebenarnya ditatap seperti itu, tetapi dia sudah tidak memiliki banyak energi untuk protes. Gadis itu sudah terlalu lelah menangis semalaman, belum lagi hari ini kelasnya sangatlah padat, membuat dirinya semakin lemah tak berdaya,

“Oh honey. Im so sorry.” tulus sang ibunda, yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Kaynara, “dia bener bener bodoh banget udah nolak anak mama yang cantik ini.”

“Percuma cantik tapi gak bisa naklukin hati cowo yang kita suka.” sarkas Kaynara kepada dirinya sendiri seraya melipat kedua tangannya di depan dada, dan menoleh ke arah lain.

Sang ibunda bangkit dari duduknya, ia menarik kursi yang di dudukinya menggunakan tangannya sendiri, dan menaruhnya di samping Kaynara, lalu wanita itu kembali mendudukan pantatnya disana, dan menarik Kaynara agar menaruh kepalanya di bahu sang mama. Beliau tahu, anaknya sedang membutuhkan ini sekarang,

“Hei, dengerin mama, kamu itu udah yang paling cantik loh nak. Kalau dia gak suka sama kamu, ya udah gak masalah, mungkin standar dia yang rendah. Kamu bisa dapetin yang lebih dari dia. Gentala misalnya.”

Kaynara mendecak sebal. Dia baru saja patah hati, tapi ibunya sudah menyinggung nama pria lain,

“Maaaaaaa, aku baru disakitin cowok loh ma.” rengek Kaynara.

Sang ibu hanya terkekeh, sambil menarik tubuh anak gadisnya ke dalam dekapannya. Dan mendekapnya dengan erat, sembari megecupi puncak kepalanya,

“Akan ada saatnya laki-laki yang mencintai kamu lebih besar daripada kamu mencintai dia. You just have to wait, its all about the time.”


Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, itu seharusnya sebentar lagi Ethan sudah pergi ke kampus, tapi kenyataannya Ethan masih berkutat di kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Emily sebetulnya sudah berteriak dari lantai bawah, mengingatkan Ethan untuk cepat-cepat mandi, karena takut lelaki itu terlambat, namun, Ethan malah tidak menghiraukannya.

Sementara Ethan mandi di atas. Emily tengah duduk di ruang keluarga sambil terus menggendong Kaisar. Hari ini Kaisar sedang tidak bisa untuk dilepas seperti biasanya, kalau Emily melepas Kaisar dari gendongannya dan menaruh bayi itu di sofa atau di kasur, dia pasti akan menangis. Emily sempat curiga kalau Kaisar demam, namun setelah di cek badannya sama sekali tidak panas. Entahlah, Emily pikir, Kaisar sedang berada di masa-masa rewelnya, karena sejak kemarin, selama bersama Emily, Kaisar jarang sekali memangis.

Disela-sela waktu luangnya, tiba-tiba bell pintu rumah Ethan berbunyi. Emily agak terkejut mendengar suara bell tersebut. Alih-alih langsung berdiri dari duduknya, Emily memilih untuk diam sebentar sambil menimang-nimang apakah dia harus membuka pintu rumah Ethan atau tidak. Setelah cukup lama berpikir, Emily pun—dengan terpaksa dan penuh ketakutan, memilih untuk membuka pintu rumah Ethan dan menyambut tamu yang ternyata adalah seorang laki-laki yang seumuran dengan Ethan.

Laki laki yang tidak dikenali oleh Emily ini langsung berubah menjadi patung ketika gadis itu sudah membukakan pintu untuknya. Mata kecil memandangi Emily dengan pandangan memuja. Bagaimana tidak, Emily yang hanya mengenakan kaus polos berwarna hitam, serta denim hotpants, dan rambut panjangnya yang terurai serta wajahnya yang tanpa riasan, membuat aura kecantikan Emily semakin terpancar.

Lelaki mana yang tidak terpana dengan Emily, ditambah lagi gadis memiliki darah keturunan Amerika Serikat, yang jelas membuat aura bule yang dimilikinya terpancar dan mendapatkan kecantikan spesial di mata lelaki ini,

“Hallo?” panggil Emily, dirinya mulai merasa takut karena lelaki ini sama sekali tidak berkutik dan hanya diam mematung dengan mata kecilnya yang memandangi Emily.

Lelaki itu masih belum sadar juga,

“Hai. Hallo!”

Bahkan untuk yang kedua kalinya pun, lelaki itu masih belum sadar.

Untungnya, di kali ketiga Emily mencoba untuk menyadarkannya, laki-laki itu langsung tersadar dari lamunannya. Membuat Emily bernafas lega disertai senyuman kikuk,

“Mau ke Ethan ya?” tanya Emily dengan nada suara yang ramah.

Lelaki itu menganggukkan kepalanya, “hari ini ada kelas soalnya. Emily ya?”

“Iya.” jawab Emily, “lo siapa?”

“Gue Haikal.” jawab lelaki yang ternyata bernama Haikal itu.

Emily mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum, begitu pula dengan Haikal.

Lalu, pandangan Haikal tertuju kepada Kaisar yang berada di gendongan Emily,

“Hai Kaisar, ini Om Haikal dateng.” ucap Haikal menyapa bayi kecil yang sudah jelas tidak mengeti dengan apa yang Haikal ucapkan.

Emily menggoyangkan tubuhnya pelan, lalu menyampingkan tubuhnya, agar supaya Haikal bisa melihat wajah tampan Kaisar yang sedari tadi tersembunyi dada Emily,

“Itu ada Om Haikal. Hei. Kok diem aja?” ujar Emily yang direspon oleh kekehan kecil Haikal, “maaf ya, Haikal, daritadi Kaisar bener bener gak bisa ditinggal gitu aja, kayaknya lagi rewel.”

“Oh iya gak apa-apa santai aja.” ujar Haikal, “Ethan masih mandi ya?”

“Mas—”

“Ngapain lu nyamperin gue?” tanya Ethan yang tiba-tiba muncul diantara Emily dan Haikal. Nada suara Ethan benar-benar terdengar tidak ramah, dan berhasil membuat nyali Haikal menciut.

Lelaki itu berdiri di samping Emily, dengan bepakaian rapih dan wangi tentunya. Bau parfum Ethan tidak menyengat seperti kebanyakan lelaki lainnya, Emily senang menciumi bau parfum Ethan,

“Ya kan elu yang minta gue buat jemput lu kemari, gimana sih.” ucap Haikal disertai nada bercanda di akhir kalimatnya. Namun sayangnya Ethan tidak tertawa sama sekali, lelaki itu masih menunjukkan ekspresi tidak sukanya.

“Ya udah gih sana pergi. Nanti telat.” titah Emily.

Tanpa Emily sadari, wanita itu sudah menyelamatkan Haikal dari seramnya tatapan tajam Ethan.

“Ya udah.” ucap Ethan, “ke kampus dulu ya. Kaisar, aku ke kampus dulu ya, nanti pulangnya kita main oke? Oke dong!” pamit Ethan begitu ceria kepada Emily dan Kaisar.

“Oke! Aku tunggu ya!” jawab Emily yang seolah-olah dirinya adalah Ethan.

“Kampus dulu ya, hati-hati di rumah.” pamit Ethan kepada Emily—lagi sambil tersenyum manis, dan satu tangannya yang mengelus lembut poni Emily.

Emily menganggukkan kepalanya sambil tersenyum,

“Haikal, hati-hati ya.”

“Oh iya.”

Lalu, Ethan memandangi Haikal tidak ramah, berbeda seperti saat lelaki itu memandangi Emily dan Kaisar. Keduanya pun pergi meninggalkan rumah besar milik Ethan menuju kampus mereka.


Hari sudah semakin malam. Itu artinya, Emily dan Ethan harus berhenti bermain layang-layang. Mereka tidak ingin mengakhiri keseruan hari ini, tetapi, mereka harus pulang dan menjemput Kaisar yang sedang bersama kedua orang tua Emily.

Dua insan manusia itu sudah berada di dalam mobil dari empat belas menit yang lalu. Namun, Ethan belum menyalakan mesin mobilnya sama sekali, Emily pun sama sekali tidak protes. Gadis itu hanya diam sambil menggerak gerakan jarinya di atas pahanya, seperti sedang menunggu sesuatu.

Ethan melirik Emily yang duduk disampingnya. Memandangi wajah gadis itu dari samping—yang tampak seribu kali lipat lebih sempurna. Tatapan mata Ethan turun ke bibir tipis dan pink milik Emily. Pikirannya terus mengingat kejadian dimana dia gagal mencium Emily sore tadi,

“Emily.” suara berat Ethan memanggil nama Emily, membuat gadis itu langsung menolehkan kepalanya ke samping sebagai sebuah respon.

Gadis itu gagal fokus karena bibir Ethan. Sama seperti lelaki itu, Emily pun mengingat kejadian dimana dirinya yang gagal berciuman dengan Ethan. Padahal, gadis itu sudah sangat siap untuk melakukannya dengan Ethan,

“Can i kiss you?” tanya Ethan dengan suara lirih.

Emily tidak membutuhkan waktu lama untuk berpikir. Dia langsung menganggukkan kepalanya, memberi izin kepada Ethan untuk mencium bibirnya.

Lelaki itu langsung menangkup pipi sebelah kiri Emily menggunakan tangan kanannya. Ethan juga mendekatkan tubuhnya serta kepalanya, dan mulai menjamah bibir lembut Emily. Ciuman Ethan benar-benar lembut tidak ada kesan menuntut, Emily tidak merasa takut, justru sekarang dia merasa seperti ribuan kupu-kupu berterbangan di perutnya.

Emily membalas ciuman itu. Kini keduanya saling melumat bibir masing-masing. Ethan berusaha sebisa mungkin untuk tidak membiarkan tangannya menyentuh tempat-tempat yang sensitif bagi Emily, sementara Emily, dia membiarkan tangannya berada di kepala Ethan, memainkan rambut lembut lelaki itu.

Ciuman tersebut berlangsung selama kurang lebih 5 menit. Keduanya pun saling menjauh untuk sama-sama menghirup pasukan oksigen yang hilang akibat kegiatan ciuman mereka.

Setelah itu mereka hanya saling diam, dan saling melemparkan pandangan dan juga senyuman. Tangan Ethan terulur untuk membenarkan poni Emily yang sedikit berantakan. Lalu tangan itu turun untuk mengelus pipi Emily, lalu bibir Emily.

Dengan jahil, Emily diam-diam membuka mulutnya, dan menggigit ibu jari Ethan, membuat sang pria sedikit terkejut dan meringis kesakitan. Setelahnya, kedua insan manusia itu saling tertawa,

“Bibir lo manis banget.” puji Ethan.

Setan di dalam dirinya berkata kalau dirinya harus mencium bibir manis itu lagi, karena jujur Ethan belum puas sama sekali. Namun, dia mencoba untuk menahan dirinya, dia takut membuat Emily tidak nyaman,

“Well, we can kiss again.” ucap Emily dengan tidak sabaran.

Kini gantian gadis itu yang memulai semuanya.

Emily melepaskan safety beltnya, dia lalu merangkak menuju pangkuan Ethan. Lelaki itu benar-benar terkejut dengan apa yang dilakukan Emily, dia hampir tidak bisa memproses semuanya. Bahkan sampai dimana Emily melumat bibir Ethan pun, lelaki itu masih terpaku. Dia merasa ini salah, namun, sisi lain dari dirinya menyebutkan bahwa ini adalah benar.

Ethan tidak bisa menahannya lagi. Dia membalas semua cumbuan Emily terhadapnya. Kalau tadi, mereka hanya melakukan ciuman biasa, hanya sekedar saling melumat dan menyesap bibir masing-masing. Kini, mereka mulai berani untuk melakukan french kiss.

Ini gila, tapi, Emily merasakan pusing yang tidak tertahan ketika lidah keduanya saling bersentuhan, dan masuk ke dalam mulut masing-masing. Ya Tuhan, ini adalah dosa terindah yang pernah Emily lakukan.

Mereka melakukan kegiatan ini tanpa terburu-buru, sengaja mereka lakukan untuk lebih bisa menikmati momen dan suasananya yang semakin lama semakin memanas.

Pagutan itu terlepas. Keduanya saling menatap, dengan mata yang sama-sama sayu penuh nafsu. Ethan bisa melepaskan kontrolnya sekarang juga, namun, dia harus menahannya, dia belum meresmikan hubungannya dengan Emily. Rasanya akan sangat salah kalau Ethan melakukan hal yang lebih ini dengan Emily,

“Ethan.” panggil Emily dengan setengah berbisik, “i love you.” ucap Emily yang masih berada di pangkuan Ethan.

Ethan tersenyum, lalu mengecup pelan bibir Emily lumayan lama,

“I love you more.”


“I told you. My dad is so fucking scary.” ujar Emily disertai kekehan ringannya, sambil melirik Ethan yang sedang fokus menyetir, membawa Emily pergi entah kemana tujuannya.

“He is.” respon Ethan, “tapi gue ngerti, lu anak cewek satu-satunya, dan seinget gue ayah itu sayang banget sama anak cewenya, wajar kelakuan bokap lo kaya gitu ke gue tadi.”

Emily mengangguk setuju dengan ucapan Ethan.

Cinta pertama seorang anak perempuan memanglah ayah mereka, dan itulah kenapa kebanyakan anak perempuan memiliki bonding yang spesial dengan ayah mereka. Emily pun merasakan hal tersebut, dia memang dekat dengan bundanya, sangat dekat, tetapi dengan ayahnya, kedekatan mereka itu terasa begitu spesial,

“Ethan.” panggil Emily, kembali menoleh untuk melihat side profile Ethan yang begitu tampan.

“Ya?” Ethan merespon panggilan Emily, seraya menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berwarna merah yang itu artinya mereka—para pengguna kendaraa harus berhenti.

Lelaki itu ikut menoleh kepada Emily. Dan kini mereka saling menatap satu sama lain,

“Do you miss your parents?” tanya Emily dengan nada suara yang rendah.

Ethan mengangguk, “i miss them so much. But i understand, they left and decided to stay in Paris to support me here.” ujar Ethan.

Emily memandangi mata Ethan. Disana. Tepat di mata itu. Emily bisa melihat dan merasakan bagaimana laki-laki itu begitu merindukan sosok orang tuanya, dan bagaimana laki-laki itu begitu kesepian karena harus hidup sendirian tanpa orang tuanya,

“Do you feel lonely?” tanya Emily yang sebenarnya dia sendiri sudah tau jawabannya.

Ethan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang Emily ajukan,

“The first day my parents moved to Paris. I feel lonely. For your information, every night i always cry.” tutur Ethan, diserta tawa mengingat awal-awal dimana kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Paris, “Too much isn't it?” tanya Ethan.

Emily jelas langsung menggelengkan kepalanya. Menangis karena merasa kesepian itu bukanlah hal yang berlebihan. Mau laki-laki atau perempuan sekalipun, merasakan hal seperti itu adalah hal yang normal,

“Gak berlebihan.” bantah Emily, “normal kalau lo nangis apalagi itu hari pertama lo ditinggal orang tua lu buat tinggal di Paris.”

“Hm. Tapi sekarang gue udah gak ngerasa kesepian lagi.” ucap Ethan sambil memandangi wajah cantik Emily, lalu fokus ke matanya, dan diam-diam fokus menatapi bibir pink dan tipis Emily, “soalnya Tuhan ngasih Kaisar ke kehidupan gue, dan juga Tuhan nemuin gue lagi sama lo. Gue jadi gak merasa kesepian lagi.”

Emily tersenyum malu-malu. Begitu pula dengan Ethan yang terkekeh kecil melihat senyuman malu-malu Emily yang begitu menggemaskan.

Lalu entah kenapa, atmosfer di mobil itu berubah menjadi lebih… panas? Ditambah lagi, mata Ethan yang tidak berhenti memandangi bibir Emily. Begitu pun dengan Emily, matanya begitu fokus memandangi bibir indah Ethan. Dan membayangkan bagaimana kalau bibir indah itu menyentuh bibirnya, melumatnya dengan lembut.

Ah sepertinya Emily sudah gila!

Disaat Emily hendak mengakhiri sesi saling tatap menatap ini. Tiba-tiba saja Ethan mendekatkan tubuhnya ke arah tubuh Emily, sembari memiringkan kepalanya. Keduanya sudah tahu kemana hal ini akan mengarah. Dan keduanya pun tidak bisa mengelak, bahwa mereka memang sama-sama mau.

Mereka sudah semakin dekat, jarak sudah tidak ada artinya lagi bagi mereka. Baik Ethan maupun Emily, mereka bisa merasakan deru nafas saling menerpa permukaan wajah mereka masing-masing. Sebentar lagi, bibir mereka saling bertautan.

Namun, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepada keduanya. Karena disaat Ethan sedikit lagi berhasil merasakan lembutnya bibir Emily, suara klakson dari mobil belakang membuat keduanya harus saling menjauh,

“Astaga.” cicit Emily sambil memegangi jantungnya yang berdegup kencang.

“Shit.” umpat Ethan dalam hatinya.

Ethan pun mengendarai mobilnya, membelah jalanan kota Bandung yang terpantau ramai lancar.

Sekarang, suasana mobil kembali awkward akibat dari gagalnya sesi ciuman barusan. Baik Ethan maupun Emily mereka sama-sama malu untuk sekedar memulai percakapan. Pada akhirnya, hampir 10 menit mereka saling diam, dan karena Ethan tidak tahan dengan keheningan ini, dia memberanikan diri untuk membuka mulutnya,

“Kita hari ini mau kemana?” tanya Ethan.

“Kalau semisal kita main layangan lo mau ga?” jawaban yang terkesan seperti pertanyaan itu terlontar dari mulut Emily.

Entah kenapa, sekelibat kenangan Emily bermain layang-layang bersama ayahnya di masa kecil terlintas di otaknya. Membuat Emily ingin kembali mengulang masa-masa itu tetapi bersama Ethan,

“Emang lu bisa main layang-layang?” Ethan bertanya heran.

Bukan apa-apa, ini adalah pertama kalinya Ethan bertemu seorang perempuan yang ingin bermain layang-layang untuk first date mereka. Kebanyakan perempuan di luaran sana kan lebih suka pergi ke coffee shop atau museum atau tempat apapun itu yang indoor untuk first date mereka,

“Bisa dong!” Emily berujar dengan sombong, “gue dulu waktu kecil, kan pernah dua tahun tinggal di Oregon tuh, kampungnya bokap gua, nah gua disana sering banget main layang-layang hehehe.”

Entah takdir atau memang hanya sebuah kebetulan.

Ethan juga sama seperti Emily. Lelaki itu sangat pandai bermain layang-layang. Meskipun dia terlahir dari keluarga yang bisa dibilang cukup berada, tapi, Ethan tumbuh dan berkembang bersama teman-teman yang timggal di pinggiran komplek rumahnya. Mereka selalu pergi mengajak Ethan bermain layang-layang di lapangan luas, bermain bola, kelereng, dan permainan jadul lainnya.

Beruntungnya, orang tua Ethan bukan tipe orang tua yang mengharuskan Ethan bermain dengan orang-orang yang sama seperti keluarga Ethan—yaitu orang kaya. Asalkan, Ethan bahagia dan pergaulan itu tidak membawa dampak negatif untuk Ethan, orang tua lelaki itu selalu mendukung,

“Gue juga suka main layang-layang.” ucap Ethan, sembari otaknya mengingat banyaknya memori indah dimana ia bermain layang-layang bersama teman-temannya ketika kecil dulu.

“SERIUS!?” tanya Emily begitu bersemangat, Ethan menjawab sambil menganggukkan kepalanya, “IH TUH KAN EMANG SESERU ITU MAIN LAYANGAN TUH!” lanjut Emily.

Ethan tertawa gemas.

Entahlah, apapun yang Emily lakukan, selalu berhasil membuat Ethan merasa gemas,

“Kalau gitu, gue tau tempat yang bagus buat kita main layang-layang.”

“Take me there, Sir!”

“Lets goooo!”

– – – –

Lalu sampailah mereka di sebuah lapangan besar nan luas. Emily terlihat begitu senang, dia berjalan layaknya seorang anak kecil yang dibawa pergi oleh kedua orang tuanya ke wahana mandi bola. Sementara, Ethan, berjalan mengekori Emily di belakang, dengan membawa layang-layang beserta gelasannya.

Hari semakin gelap, langit pun sudah berubah warna menjadi jingga, namun itu tidak menyurutkan semangat Ethan dan Emily untuk bermain layang-layang.

Sembari menunggu Ethan memasangkan benang ke layang-layang, Emily memutuskan untuk mengambil beberapa foto pemandangan langit yang begitu indah ini. Huh, rasanya Emily beruntung masih bisa diberi kesempatan untuk melihat langit Bandung yang seindah ini,

“Nih, udah beres. Lo mainin layang-layangnya ya, biar gue yang bantu terbangin.” ucap Ethan sambil memberikan gelasan kepada Emily, Emily menerima gelasan itu dengan perasaan senang, wajahnya berbinar.

Melihat itu, Ethan hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar menggemaskan, pikirnya.

Permainan pun di mulai.

Emily berjalan mundur sambil melepaskan benang dari gelasannya sepanjang 20 meter,

“Stop!” ucap Ethan memperingati Emily.

Emily pun berhenti. Tempat dimana dirinya berdiri benar-benar adalah tempat yang bagus dan pas untuk bermain layangan. Anginnya juga tidak terlalu kencang dan tidak terlalu pelan. Emily berpikir, kalau Ethan sering menghabiskan masa kecilnya di lapangan ini untuk bermain layangan bersama teman-temannya,

“Ethan, terbangin layang-layangnya.” pinta Emily agak berteriak.

“Ok!”

Dan Ethan pun melepaskan kertas layangan tersebut ke udara. Emily langsung dengan sigap menggerak-gerakan benangnya untuk membuat layang-layang itu tetap terbang.

Emily melakukan itu sembari berteriak kencang disertai tawa juga. Ethan ikutan tertawa dan senang melihat Emily petang ini.

Dia berlari mendekati Emily. Berdiri di belakang gadis itu sambil terus memberikan semangat,

“Ayo Milee!!! Layangan lo makin tinggi. Good job!”

“AAA GUE SENENG BANGET!” teriak Emily, “GUE UDAH LAMA GAK MAIN INI. IM SO HAPPY! FUCKING HAPPY!

Mendengar teriakan itu, membuat senyuman Ethan semakin melebar. Hatinya menghangat. Dia senang kalau Emily merasa senang.

Semoga, seterusnya, Ethan bisa membuat Emily senang dan lepas seperti ini.

Sembari Emily bermain, tiba-tiba, Ethan memeluk gadis itu dari belakang. Membuat Emily terkejut bukan main, dia langsung melepaskan tangannya dari benang sangking kagetnya. Dan, dengan sigap, Ethan mengambil alih benang tersebut, dan menarik ulurnya, sambil dirinya mendekap erat tubuh Emily dari belakang.

Emily tidak bisa berkutik. Dia hanya mampu diam sambil tersenyum dan membiarkan Ethan mengambil alih permainan dengan posisi seperti ini. Benar-benar nyaman bagi Emily.


“I told you. My dad is so fucking scary.” ujar Emily disertai kekehan ringannya, sambil melirik Ethan yang sedang fokus menyetir, membawa Emily pergi entah kemana tujuannya.

“He is.” respon Ethan, “tapi gue ngerti, lu anak cewek satu-satunya, dan seinget gue ayah itu sayang banget sama anak cewenya, wajar kelakuan bokap lo kaya gitu ke gue tadi.”

Emily mengangguk setuju dengan ucapan Ethan.

Cinta pertama seorang anak perempuan memanglah ayah mereka, dan itulah kenapa kebanyakan anak perempuan memiliki bonding yang spesial dengan ayah mereka. Emily pun merasakan hal tersebut, dia memang dekat dengan bundanya, sangat dekat, tetapi dengan ayahnya, kedekatan mereka itu terasa begitu spesial,

“Ethan.” panggil Emily, kembali menoleh untuk melihat side profile Ethan yang begitu tampan.

“Ya?” Ethan merespon panggilan Emily, seraya menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berwarna merah yang itu artinya mereka—para pengguna kendaraa harus berhenti.

Lelaki itu ikut menoleh kepada Emily. Dan kini mereka saling menatap satu sama lain,

“Do you miss your parents?” tanya Emily dengan nada suara yang rendah.

Ethan mengangguk, “i miss them so much. But i understand, they left and decided to stay in Paris to support me here.” ujar Ethan.

Emily memandangi mata Ethan. Disana. Tepat di mata itu. Emily bisa melihat dan merasakan bagaimana laki-laki itu begitu merindukan sosok orang tuanya, dan bagaimana laki-laki itu begitu kesepian karena harus hidup sendirian tanpa orang tuanya,

“Do you feel lonely?” tanya Emily yang sebenarnya dia sendiri sudah tau jawabannya.

Ethan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang Emily ajukan,

“The first day my parents moved to Paris. I feel lonely. For your information, every night i always cry.” tutur Ethan, diserta tawa mengingat awal-awal dimana kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Paris, “Too much isn't it?” tanya Ethan.

Emily jelas langsung menggelengkan kepalanya. Menangis karena merasa kesepian itu bukanlah hal yang berlebihan. Mau laki-laki atau perempuan sekalipun, merasakan hal seperti itu adalah hal yang normal,

“Gak berlebihan.” bantah Emily, “normal kalau lo nangis apalagi itu hari pertama lo ditinggal orang tua lu buat tinggal di Paris.”

“Hm. Tapi sekarang gue udah gak ngerasa kesepian lagi.” ucap Ethan sambil memandangi wajah cantik Emily, lalu fokus ke matanya, dan diam-diam fokus menatapi bibir pink dan tipis Emily, “soalnya Tuhan ngasih Kaisar ke kehidupan gue, dan juga Tuhan nemuin gue lagi sama lo. Gue jadi gak merasa kesepian lagi.”

Emily tersenyum malu-malu. Begitu pula dengan Ethan yang terkekeh kecil melihat senyuman malu-malu Emily yang begitu menggemaskan.

Lalu entah kenapa, atmosfer di mobil itu berubah menjadi lebih… panas? Ditambah lagi, mata Ethan yang tidak berhenti memandangi bibir Emily. Begitu pun dengan Emily, matanya begitu fokus memandangi bibir indah Ethan. Dan membayangkan bagaimana kalau bibir indah itu menyentuh bibirnya, melumatnya dengan lembut.

Ah sepertinya Emily sudah gila!

Disaat Emily hendak mengakhiri sesi saling tatap menatap ini. Tiba-tiba saja Ethan mendekatkan tubuhnya ke arah tubuh Emily, sembari memiringkan kepalanya. Keduanya sudah tahu kemana hal ini akan mengarah. Dan keduanya pun tidak bisa mengelak, bahwa mereka memang sama-sama mau.

Mereka sudah semakin dekat, jarak sudah tidak ada artinya lagi bagi mereka. Baik Ethan maupun Emily, mereka bisa merasakan deru nafas saling menerpa permukaan wajah mereka masing-masing. Sebentar lagi, bibir mereka saling bertautan.

Namun, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepada keduanya. Karena disaat Ethan sedikit lagi berhasil merasakan lembutnya bibir Emily, suara klakson dari mobil belakang membuat keduanya harus saling menjauh,

“Astaga.” cicit Emily sambil memegangi jantungnya yang berdegup kencang.

“Shit.” umpat Ethan dalam hatinya.

Ethan pun mengendarai mobilnya, membelah jalanan kota Bandung yang terpantau ramai lancar.

Sekarang, suasana mobil kembali awkward akibat dari gagalnya sesi ciuman barusan. Baik Ethan maupun Emily mereka sama-sama malu untuk sekedar memulai percakapan. Pada akhirnya, hampir 10 menit mereka saling diam, dan karena Ethan tidak tahan dengan keheningan ini, dia memberanikan diri untuk membuka mulutnya,

“Kita hari ini mau kemana?” tanya Ethan.

“Kalau semisal kita main layangan lo mau ga?” jawaban yang terkesan seperti pertanyaan itu terlontar dari mulut Emily.

Entah kenapa, sekelibat kenangan Emily bermain layang-layang bersama ayahnya di masa kecil terlintas di otaknya. Membuat Emily ingin kembali mengulang masa-masa itu tetapi bersama Ethan,

“Emang lu bisa main layang-layang?” Ethan bertanya heran.

Bukan apa-apa, ini adalah pertama kalinya Ethan bertemu seorang perempuan yang ingin bermain layang-layang untuk first date mereka. Kebanyakan perempuan di luaran sana kan lebih suka pergi ke coffee shop atau museum atau tempat apapun itu yang indoor untuk first date mereka,

“Bisa dong!” Emily berujar dengan sombong, “gue dulu waktu kecil, kan pernah dua tahun tinggal di Oregon tuh, kampungnya bokap gua, nah gua disana sering banget main layang-layang hehehe.”

Entah takdir atau memang hanya sebuah kebetulan.

Ethan juga sama seperti Emily. Lelaki itu sangat pandai bermain layang-layang. Meskipun dia terlahir dari keluarga yang bisa dibilang cukup berada, tapi, Ethan tumbuh dan berkembang bersama teman-teman yang timggal di pinggiran komplek rumahnya. Mereka selalu pergi mengajak Ethan bermain layang-layang di lapangan luas, bermain bola, kelereng, dan permainan jadul lainnya.

Beruntungnya, orang tua Ethan bukan tipe orang tua yang mengharuskan Ethan bermain dengan orang-orang yang sama seperti keluarga Ethan—yaitu orang kaya. Asalkan, Ethan bahagia dan pergaulan itu tidak membawa dampak negatif untuk Ethan, orang tua lelaki itu selalu mendukung,

“Gue juga suka main layang-layang.” ucap Ethan, sembari otaknya mengingat banyaknya memori indah dimana ia bermain layang-layang bersama teman-temannya ketika kecil dulu.

“SERIUS!?” tanya Emily begitu bersemangat, Ethan menjawab sambil menganggukkan kepalanya, “IH TUH KAN EMANG SESERU ITU MAIN LAYANGAN TUH!” lanjut Emily.

Ethan tertawa gemas.

Entahlah, apapun yang Emily lakukan, selalu berhasil membuat Ethan merasa gemas,

“Kalau gitu, gue tau tempat yang bagus buat kita main layang-layang.”

“Take me there, Sir!”

“Lets goooo!”

– – – –

Lalu sampailah mereka di sebuah lapangan besar nan luas. Emily terlihat begitu senang, dia berjalan layaknya seorang anak kecil yang dibawa pergi oleh kedua orang tuanya ke wahana mandi bola. Sementara, Ethan, berjalan mengekori Emily di belakang, dengan membawa layang-layang beserta gelasannya.

Hari semakin gelap, langit pun sudah berubah warna menjadi jingga, namun itu tidak menyurutkan semangat Ethan dan Emily untuk bermain layang-layang.

Sembari menunggu Ethan memasangkan benang ke layang-layang, Emily memutuskan untuk mengambil beberapa foto pemandangan langit yang begitu indah ini. Huh, rasanya Emily beruntung masih bisa diberi kesempatan untuk melihat langit Bandung yang seindah ini,

“Nih, udah beres. Lo mainin layang-layangnya ya, biar gue yang bantu terbangin.” ucap Ethan sambil memberikan gelasan kepada Emily, Emily menerima gelasan itu dengan perasaan senang, wajahnya berbinar.

Melihat itu, Ethan hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar menggemaskan, pikirnya.

Permainan pun di mulai.

Emily berjalan mundur sambil melepaskan benang dari gelasannya sepanjang 20 meter,

“Stop!” ucap Ethan memperingati Emily.

Emily pun berhenti. Tempat dimana dirinya berdiri benar-benar adalah tempat yang bagus dan pas untuk bermain layangan. Anginnya juga tidak terlalu kencang dan tidak terlalu pelan. Emily berpikir, kalau Ethan sering menghabiskan masa kecilnya di lapangan ini untuk bermain layangan bersama teman-temannya,

“Ethan, terbangin layang-layangnya.” pinta Emily agak berteriak.

“Ok!”

Dan Ethan pun melepaskan kertas layangan tersebut ke udara. Emily langsung dengan sigap menggerak-gerakan benangnya untuk membuat layang-layang itu tetap terbang.

Emily melakukan itu sembari berteriak kencang disertai tawa juga. Ethan ikutan tertawa dan senang melihat Emily petang ini.

Dia berlari mendekati Emily. Berdiri di belakang gadis itu sambil terus memberikan semangat,

“Ayo Milee!!! Layangan lo makin tinggi. Good job!”

“AAA GUE SENENG BANGET!” teriak Emily, “GUE UDAH LAMA GAK MAIN INI. IM SO HAPPY! FUCKING HAPPY!

Mendengar teriakan itu, membuat senyuman Ethan semakin melebar. Hatinya menghangat. Dia senang kalau Emily merasa senang.

Semoga, seterusnya, Ethan bisa membuat Emily senang dan lepas seperti ini.

Sembari Emily bermain, tiba-tiba, Ethan memeluk gadis itu dari belakang. Membuat Emily terkejut bukan main, dia langsung melepaskan tangannya dari benang sangking kagetnya. Dan, dengan sigap, Ethan mengambil alih benang tersebut, dan menarik ulurnya, sambil dirinya mendekap erat tubuh Emily dari belakang.

Emily tidak bisa berkutik. Dia hanya mampu diam sambil tersenyum dan membiarkan Ethan mengambil alih permainan dengan posisi seperti ini. Benar-benar nyaman bagi Emily.


Tempat pertama yang akan dikunjungi Ethan, Emily, dan Kaisar adalah Trans Studio Mall Bandung.

Yup! Salah satu mall besar di Kota Bandung ini menjadi tujuan utama Ethan dan juga Emily, dikarenakan mereka tidak hanya ingin pergi berjalan-jalan, tetapi mereka juga akan belanja untuk beberapa keperluan Kaisar, seperti membeli baju baru, stroller, tempat tidur bayi, dan juga beberapa mainan yang mungkin bisa Kaisar gunakan ketika dia sudah berumur 1 tahun.

Sesampainya di toko khusus segala macam perlatan bayi, Ethan dan Emily langsung masuk ke dalam dan disambut hangat oleh para pegawai disana.

Lorong pertama yang mereka kunjungi adalah lorong khusus stroller. Emily memandangi stroller itu dengan penuh ketertarikan, namun ada satu stroller yang benar-benar menarik perhatiannya,

“Than, kayaknya buat Kaisar bagusan stroller yang itu ga sih.” ucap Emily sambil menunjuk stroller berwarna mint.

Ethan mengikuti kemana jari Emily menunjuk, “boleh kok.”

Ethan benar-benar tidak mempermasalahkan apapun pilihan Emily, mau itu mahal atau tidak, asalkan Emily yang memilihnya, Ethan pasti akan setuju. Dia tahu, pilihan Emily merupakan pilihan yang terbaik,

“Beneran beli yang itu?” tanya Emily tidak percaya. Bagaimana tidak, Ethan begitu mengucapkan kata iya, bahkan laki-laki itu tidak memiliki pilihan untuk stroller Kaisar.

“Iya beneran.” kata Ethan dengan nada yang lembut namun meyakinkan Emily, kalau dirinya benar-benar setuju dengan apapun yang Emily pilih.

“Lo gak punya pilihan lain gitu untuk strollernya Kaisar?”

“Enggak.” jawab Ethan dengan santainya, “gue percayain semuanya ke elu, karena gue tau lu lebih tau yang terbaik untuk Kaisar.”

Hati Emily terenyuh mendengar penuturan Ethan. Senang rasanya ketika ada seseorang yang tidak meragukan kita,

“Selamat sore, ada yang bisa kami bantu.” ucap seorang pelayan perempuan bernama Sarah yang menghampiri Emily dan Ethan.

“Kita mau stroller itu ya mba yang warna mint.” jawab Ethan sambil menunjuk stroller pilihan Emily untuk Kaisar.

“Oh stroller anex m-typer 3 in 1 ya ayah. Baik, saya siapkan dulu di meja kasir, barangkali ayah sama bundanya mau pergi cari-cari barang dulu yang lain sembari saya siapkan strollernya.”

Ethan tersenyum jahil ketika pelayan tersebut menganggap bahwa dirinya dan Emily adalah pasangan suami istri dengan menyebut keduanya ayah dan bunda.

Sementara Emily sudah salah tingkah akan sebutan itu. Pipinya memanas, dan sudah dipastikan berganti warna menjadi merah layaknya kepiting yang baru keluar dari kuali karena sudah selesai di rebus,

“Terima kasih mba.” ucap Emily,

Dan gadis itu melanjutkan langkahnya bersama dengan Ethan disampingnya, dan Kaisar yang berada di gendongan Ethan.

Kini keduanya berhenti di lorong khusus tempat tidur bayi. Lagi, lagi, Ethan meminta Emily untuk memilih, Emily tidak keberatan sama sekali, jadi ya, dia pun akhirnya memilihkan tempat tidur bayi untuk Kaisar. Tempat tidurnya berbahan dasar kayu dan berwarna putih, ukurannya tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil.

Begitupula dengan barang-barang selanjutnya. Emily lah yang memilih. Tapi untuk mainan, Ethan yang memilihkan untuk Kaisar. Emily tidak tahu menahu dengan mainan anak laki-laki, jadi Ethan yang mengambil alih.

Selesai berbelanja, Ethan pun membayar semua belanjaannya yang harganya hampir belasan juta. Tenang saja, Ethan bukan orang miskin. Ayahnya adalah seorang pengusaha mable terkenal, sementara ibunya seorang designer yang sudah bekerja sama dengan artis Indonesia dan artis mancanegara. Jadi, bisa kalian bayangkan kan sekaya apa Ethan?

Ethan, Emily, dan Kaisar pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, untuk menyimpan barang belanjaan mereka yang sangat amat banyak ini ke rumah, lalu setelah itu, mereka akan lanjut pergi jalan-jalan,

“Kaisar seneng ga beli mainan banyak tadi?” tanya Emily sambil mencolek pipi gembul Kaisar yang berada di gendongan Ethan.

“Seneng dong ibu. Kan belinya sama ibu sama ayah.” jelas ini bukan Kaisar yang menjawab, melainkan Ethan. Emily dibuat tertawa geli dengan suara Ethan yang sengaja dibuat seimut mungkin agar menyerupai suara Kaisar.

“Suara lo kayak tikus kejepit tau gak!” ejek Emily sambil memukul bahu Ethan pelan dan tertawa.

Ethan tidak tersinggung sama sekali mendengar ejekan itu. Dia malah ikut tertawa bersama Emily.

Kini, sampailah mereka di basement sembari membawa 2 troli yang isinya adalah barang-barang khusus untuk Kaisar.

Ethan menyerahkan Kaisar kepada Emily, gadis itu pun menerima dan menggendong Kaisar. Sementara Ethan membuka pintu bagasi, dan memasukan satu persatu barang ke dalam sana. Di belakang, Emily membuat suara selucu mungkin, sambil menggerak-gerakan badannya ke kanar dan ke kiri, serta memainkan tangan Kaisar, memberikan semangat kepada Ethan. Dimana Ethan hanya mampu tertawa gemas akan hal tersebut.

Semua barang pun sudah masuk ke dalam bagasi mobil Ethan. Mereka bertiga sudah siap untuk masuk ke dalam mobil, namun, hal yang tidak terduga pun terjadi.

Ya, Ethan dan Emily bertemu dengan ayah dan ibunda Emily.

Emily jelas kaget, sementara Ethan yang tidak tahu apa-apa hanya mampu bereaksi bingung. Namun, melihat keterkejutan Emily, membuat Ethan perlahan-lahan paham dengan situasi ini,

“Ayah, bunda, what are you doing here?” tanya Emily kikuk. Dia benar-benar ketakutan sekarang. Emily merasa seolah-olah dirinya sudah tertangkap basah melakukan kejahatan yang fatal.

“Oh, ayah sama bund—” bunda hendak menjawab, namun ayah keburu memotong ucapan bunda.

“Who are you?” tanya ayah sambil memandangi Ethan dengan tajam. Bak seorang singa yang sedang memandangi santapannya.

“Oh… mmm… Im Ethan, Sir.” jawab Ethan gelagapan. Tatapan tajam ayah Emily cukup sukses membuat Ethan tergertak.

“Oh, so you hired my daughter to baby sitting your illegitimate child.” ujar ayah sarkas.

Emily tidak percaya ayahnya akan mengucapkan kata-kata kasar seperti itu,

“Ayah!” tegur Emily.

Ayah gantian memandang Emily—dengan memasang wajah sedatar mungkin,

“What? Did i say something wrong?” tanya ayah Emily tanpa rasa bersalah sama sekali.

Emily memutar bola matanya jengah sambil menghembuskan nafasnya kasar. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap ayahnya yang berubah. Dulu, ayah Emily tidak pernah sekasar ini, dia selalu baik dan terbuka dengan segala hal, tapi kenapa sekarang malah berubah seperti ini? Emily benar-benar kecewa. Kalau semua perubahan ini dikarenakan umur ayahnya yang sudah menua, Emily sungguh berharap kalau laki-laki itu akan terus muda agar supaya tidak berubah menjadi menyebalkan,

“Bun, what's wrong with your man?” kesal Emily sambil mengalihkan pandangannya kepada sang bunda, yang hanya diam disisi ayahnya. Mata gadis itu berkaca-kaca saking kesalnya.

“Honey—” bunda hendak berbicara, berusaha menenangkan suaminya tersebut. Namun, ayah mengangkat jari telunjuknya ke udara, memberi kode agar supaya bunda diam.

Ternyata hal itu ayah lakukan, karena Ethan hendak membuka mulutnya setelah sedaritadi lelaki itu hanya diam dengan rasa takut yang menggeluti perasaannya. Bunda yang paham akhirnya memilih untuk diam, dan membiarkan Ethan bicara,

“You wanna talk? Go ahead.” titah ayah.

Ethan mengangguk dia berdehem sebentar lalu bicara, “He is not my biological child. His name is Kaisar. He was abandoned by his parents. Coincidentally, his parent dumped him right in front of my boarding room door. I have no other choice but to take care of him. And thats why i hired your daugther to be Kaisar's baby sitter.” jelas Ethan.

Ayah hanya mengangguk-anggukan kepalanya—dan masih memasang ekspresi muka dingin, datar, dan angkuhnya. Lalu lelaki tua itu kembali bertanya,

“How much salary do you give for my daugther?”

Ethan hendak menjawab, namun, Emily buru-buru memotongnya,

“Ayah!”

Ayah seolah-olah tidak memperdulikan eksistensi Emily. Lelaki itu berjalan mendekati Ethan, dan ketika sudah tepat berada di depan Ethan. Ayah menarik kedua kerah baju Ethan menggunakan kedua tangan besarnya. Ethan jelas ketakutan, Emily langsung berpindah posisi ke samping sang ibunda, takut-takut ayahnya melakukan sesuatu yang diluar dugaan,

“You better give big salary to my daughter. Because i raised her, by providing her with adequate and expensive facilities, i also gave her healthy and of course expensive food. All her clothes, shoes, bags, and everything. Its expensive. If you give my daugther a small salary. I will hunt you down and kill you.” ancam ayah Emily.

Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu benar-benar menyeramkan bagi Ethan. Lelaki itu dibuat tergagap karena ayah Emily,

“Y…yes, Sir!”

Setelah itu, ayah melepaskan cengkramannya terhadap kerah baju Ethan dengan kasar. Lelaki tua itu berjalan mundur kembali ke posisinya.

Emily yang menggendong Kaisar hanya bisa bernafas lega, karena sang ayah tidak menghajar Ethan. Tidak hanya Emily yang bernafas lega, bunda pun ikutan bernafas lega. Karena jujur, beliau sudah tidak bisa lagi kalau harus memisahkan suaminya itu kalau sudah bertengkar,

“Sayang, kalian setelah ini mau kemana?” tanya bunda kepada Emily—sambil memandang Emily dan Ethan bergantian. Beliau mencoba untuk mencairkan suasana yang tadi sempat menegang.

“We have a date.” jawab Emily dengan lantang, diam-diam dia melirik ayahnya, lalu gantian melirik Ethan, “ya kan, Ethan?” tanya Emily.

Ethan yang masih shock hanya mengangguk sebagai jawaban,

Oh great, kalau gitu biar Ethan dijagain sama bunda sama ayah aja ya? Ayah pasti seneng kalau ada anak kecil di rumah, dia kangen main sama anak kecil, makanya jadi sering grumpy.” tawar bunda diselingi candaan.

“Who said that?” sewot ayah.

“Honey, do you remember the day when you fought with her? You said that you wanted Emily to go back to being a baby. So you could play with her every day, hold her, take her for a walks in the stroller, and tickle her. Now, we have Kaisar since Emily is no longer possible to return to being our little baby.”

Emily menatap ayahnya dengan tatapan terharu. Sang ayah yang ditatap seperti itu hanya bisa memalingkan wajahnya, dia sangat amat malu,

“Oh… Daddy, is that true?” lirih Emily.

“I just miss you.” jawab sang ayah dengan suara yang pelan.

Emily menyerahkan Kaisar kepada bundanya. Gadis itu berlari kepada ayahnya, dan mendekap tubuh sang ayah dengan erat,

I love you, ayah.” lirih Emily.

Ayah membalas pelukan Emily dengan erat. Sembari mengecup puncak kepala Emily dan berkata,

“I love you too, my little pumpkin.”

Bunda hanya bisa tersenyum melihat pemandangan dihadapannya ini. Begitu pula dengan Ethan. Dirinya yang tadi dibuat tegang dengan sikap galak ayahnya, seketika berubah menjadi senang dan terharu melihat Emily dan ayahnya yang berpelukan. Hal itu, membuat Ethan merindukan sosok kedua orang tuanya yang ada di Paris sana.