jaehyunetz


Kurang dari tiga puluh menit, Jefri akan melepas masa lajangnya di umurnya yang sudah menginjak tiga puluh tujuh tahun. Sejujurnya, bayangin kalau Jefri akan menikah itu tidak pernah ada di benak pria itu, karena selama ini dia hanya mendedikasikan hidupnya untuk perusahaan sang ayah.

Namun, Tuhan dengan baik menghadirkan sosok seorang perempuan ke kehidupannya dengan cara yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Namun, perempuan itu mampu membuat Jefri memiliki bayangan untuk sebuah pernikahan dan kehidupan setelah pernikahan nanti bersama perempuan itu.

Jani Maritza Zaila.

Jani adalah sosok perempuan itu. Perempuan yang memberikan gambaran tentang indahnya kehidupan pernikahan di dalam benak Jefri. Perempuan yang berhasil membuat Jefri berani untuk mengambil tindakan sejauh ini. Perempuan yang berhasil membuat Jefri ingin menghabiskan sisa hidup pria itu bersamanya. Tidak ada perempuan lain yang bisa melakukan itu semua terkecuali Jani.

Gugup. Bukan main. Ini adalah hari pemberkatan, dimana dia akan bersaksi di hadapan Tuhan, untuk menjadikan Jani sebagai istrinya dan menjaga gadis itu baik dalam suka maupun duka, baik sehat maupun sakit. Beberapa kali Jefri mengepalkan tangannya, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

Melihat kedua orang tuanya yang duduk di barisan paling depan, kedua temannya yang duduk di barisan kedua, dan beberapa kolega serta keluarganya. Membuat Jefri mendapatkan kekuatan untuk bisa mengatasi perasaan gugupnya.

Tak terasa acara pun sudah mulai.

Pintu gereja yang tadinya tertutup, kini terbuka, dan masuklah Jani bersama dengan Chandra yang menjadi pengiring Jani di altar. Tidak hanya itu, ada empat anak kecil di depan Chandra dan Jani yang menaburkan bunga ke lantai dengan malas-malasan, dan tingkah mereka itu mengundang tawa sebagian tamu undangan.

Ditempatnya, Jefri tidak kuasa menahan air matanya. Melihat bagaimana cantik dan sempurnanya Jani yang menggunakan wedding dress pilihannya. Sungguh, Jefri benar-benar merasa beruntung. Begitu sampai di tempat, Chandra menyerahkan Jani kepada Jefri. Lelaki yang berstatus sebagai kakak ipar dari mempelai wanita, menatap Jefri dengan tatapan seolah-olah memohon agar Jefri menjaga dan merawat Jani dengan baik sebagaimana kedua mendiang orang tua Jani merawat gadis itu dengan baik.

Chandra kembali ke tempat duduknya.

Sebelum janji pernikahan di ucapkan, sang pendeta meminta kepada Jefri agar lelaki itu membuka veil yang menutupi wajah cantik Jani ke belakang kepala gadis itu. Dan kini, Jefri semakin tak kuasa menahan tangisnya akibat melihat dengan jelas bagaimana cantiknya Jani di pagi hari yang cerah ini,

“You're pretty.” bisik Jefri yang dapat didengar oleh Jani.

Jani tersenyum tipis, “thank you. You look handsome too.” Jani balas berbisik dan memuji Jefri.

Setelah saling memuji, sang pendeta kemudian mengucapkan janji pernikahan yang nanti akan dijawab oleh kedua Jefri dan Jani,

“Hadirin yang terhormat, tibalah saatnya kita untuk meresmikan perkawinan antara Jefri dan Jani. Saya persilahkan saudara masing-masing untuk menjawab pertanyaan saya.” ucap pendeta tersebut dengan lantang. “Jefri, maukah saudara menikah dengan Jani Maritza Zaila yang hadir disini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun duka?” sambung sang pendeta yang bertanya akan kesiapan lelaki ini untuk menjadi suami dari gadis yang berdiri di hadapannya ini.

“Ya, saya mau.” jawab Jefri seraya matanya menatap kagum manik mata Jani yang berkaca-kaca pada hari ini.

“Jani, maukah saudara menikah dengan Jefri Adrian Bramantyo yang hadir disini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun duka?” tanya sang pendeta sembari giliran melirik Jani.

Jani terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan dari pendeta tersebut. Mata kecilnya itu menatap mata dalam Jefri, mencari-cari apakah ada sesuatu di mata itu yang akan membawa Jani ke dalam kebahagiaan di masa depan. Dan ternyata, Jani menemukan itu disana. Jani menemukan harapan bahwasanya kehidupan rumah tangga mereka di masa depan akan menjadi cerah.

Maka setelah diamnya beberapa saat, gadis itu meyakinkan dirinya dan dengan tenang namun tetap tegas menjawab,

“Ya, saya mau.”

Chandra dan Jadira yang sedari tadi panik karena takut adiknya itu tiba-tiba menolak langsung tersenyum lega. Begitupun dengan para tamu, kolega, dan keluarga dekat kedua mempelai.

Pemasangan cincin pun di mulai. Pertama-tama, Jefri memasangkan cincin kepada Jani, dan setelahnya, Jani yang memasangkan cicin kepada Jefri. Kini dua manusia yang pada awalnya tidak saling mengenal itu sudah sah menjadi sepasang suami istri,

“Sekarang, kalian sudah sah menjadi suami istri baik itu dimata agama maupun dimata negara. Jadi, Jefri, silahkan cium istri kamu.”

Jefri kemudian maju selangkah ke arah Jani. Ia mendekatkan tubuh dan wajahnya, lalu mengecup bibir Jani lumayan lama. Suara riuh tepuk tangan pun menggema di dalam gereja ini, seolah mereka ikut berbahagia atas resminya Jani dan Jefri menjadi sepasang suami istri.

Jani, selama berciuman dengan Jefri sama sekali tidak melakukan apapun. Bibirnya tidak bergerak. Bukan, bukan karena Jani tidak tahu bagaimana caranya dia membalas ciuman mesra seseorang, hanya saja, Jani terkejut, belum lagi ritme degup jantungnya yang amat sangat tidak beraturan, dan perasaan aneh yang muncul di hatinya membuat otak gadis itu seketika tidak dapat bekerja sama sekali.

Bahkan ketika ciuman itu sudah usai pun, Jani masih shock.

Di tempat duduknya, Yasmin dan Anindita melihat itu. Mereka berdua menggeleng-gelengkan kepalanya, bagaimana bisa Jani bertindak seperti barusan ketika suaminya menciumnya?

Lalu bagaimana urusan malam pertama mereka nanti?

Ah, berbicara urusan malam pertama. Jani sama sekali tidak berpikir sampai kesana. Entah kalau Jefri, secara dia laki-laki, nafsu yang dia miliki pasti lebih besar.

Hari ini, rangkaian pernikahan Jefri dan Jani belum selesai tentunya. Masih ada resepsi dan after party—khusus para pemuda dan tetua dilarang untuk bergabung di acara ini. Huft, semoga saja Jani bisa tahan dan tidak langsung tumbang ketika nanti mereka tiba di rumah Jefri.


“Jefri?”

Jani terkejut melihat Jefri yang tengah berada di pusara kedua orang tuanya.

Mendengar namanya di panggil, Jefri langsung menoleh dan berdiri begitu melihat Jani yang datang sembari membawa bouquet bunga untuk kedua orang tuanya. Jefri menyambut Jani dengan senyuman manisnya,

“Hai.” sapa Jefri setelah Jani berada di sampingnya.

“Hai.” Jani membalas sapaan Jefri, “lo ngapain di makam nyokap bokap gue?” tanya Jani heran.

“Bulan depan kita mau nikah, dan rasanya gak etis kalau saya enggak izin sama orang tua kamu.” jawab Jefri sambil tersenyum tipis, “saya udah selesai kok, kalau kamu mau sendiri, gak apa-apa, saya bakal lang—”

“You stay here.” perintah Jani yang jelas langsung diiyakan oleh Jefri. Kapan lagi gadis ini meminta Jefri untuk menemaninya, “sampai gue selesai.”

“Oke.”

Lalu Jani pun mendudukan dirinya di rerumputan yang bersih dan rapih itu. Ia meletakkan bouquet bunga ditengah-tengah batu nisan kedua orang tuanya. Jani memang sengaja membelikan bunga untuk orang tua gadis itu ketika dalam perjalanan menuju makam.

Jani menatap dua batu nisan yang terpampang nama ayah dan ibunya. Meskipun Jani sering berbicara kepada teman-temannya, kalau dia sudah benar-benar berdamai dengan masa lalunya. Tetapi, ketika dia kembali ke tempat ini, tempat yang sebenarnya paling dia benci. Air mata itu kembali menetes, mengaliri pipi chubbynya.

Jefri melihat itu. Dia melihat Jani yang menangis sembari menatap nisan kedua orang tuanya dengan penuh kerinduan. Tidak ada yang siap untuk kehilangan orang yang kita sayangi, apalagi orang itu adalah orang tua. Dan, Jefri dapat memahami itu,

“Pa, ma, hallo, Jani disini.” ucap Jani dengan suara yang bergegar, “maaf ya ma, pa, Jani jarang kesini, tapi Jani selalu doain mama dan papa kok setiap malem. Papa sama mama denger semua doa-doa Jani kan?” sambungnya.

“Pa, ma, anak bungsu kalian ini bulan depan udah mau menikah, sama laki-laki yang tadi udah duluan dateng kesini dan minta izin sama mama dan papa.” Jefri dibuat tertawa mendengar ucapan Jani, gadis itu melirik Jefri dan tersenyum getir, “sekarang, giliran aku mau minta izin sama papa dan mama. Aku mau menikah ma, pa, sama laki-laki yang kalian pilihin untuk aku. Aku gak tau apa aku bakal punya kehidupan rumah tangga seindah rumah tangga kalian atau rumah tangganya Kak Dira sama Kak Chandra. Tapi yang jelas, sekarang aku mau ngejalanin ini semua dengan ikhlas. Dan, aku minta untuk papa sama mama selalu ngawasin aku dari atas sana, dan tolong hukum calon suami aku kalau misalkan dia buat yang macem-macem.” ucap Jani yang lagi-lagi membuat kontak mata dengan Jefri yang kini sedang tersenyum geli ke arah Jani.

“Oh iya pa, ma, kalian bakalan jadi kakek sama nenek loh, karena Kak Dira lagi hamil, dan sekarang kehamilannya udah masuk trimester ke dua. Dia udah empat bulan, tapi semenjak Kak Dira hamil, dia jadi ngeselin dan bawel, percis kayak mama dulu.” Jani tertawa sumbang, “dulu papa sampai kesel sendiri karena mama bawel banget, aku masih inget waktu papa sama mama berantem pakai bahasa Belanda, itu lucu banget, kalian berantem tapi masih bisa saling ketawa satu sama lain. Cuman, habis itu, aku kesel karena aku mergokin kalian lagi making love.”

Jefri menatap Jani dengan tatapan tidak percaya sekaligus bertanya-tanya. Apakah membahas tentang hal terakhir yang diucapkan oleh Jani itu di perbolehkan ketika berada di pemakaman?

“Tapi gak apa-apa, itu tandanya kalian masih saling sayang.” lanjut Jani, dia seperti tidak perduli dengan tatapan bingung Jefri, “rumah bener-bener sepi tanpa adanya papa sama mama, meskipun ini udah mau yang ke dua tahun, sejak kalian ketemu sama Tuhan di surga. Maaf ya pa, ma, aku kadang masih suka nangisin kalian. Aku cuman rindu, gak ada maksud apa-apa. Tolong sering-sering dateng ke mimpi aku ya pa, ma. Aku bener bener pingin di datengin sama kalian lewat mimpi sebelum aku menikah nanti. Aku sayang sama kalian, dan sampai nanti aku mati, aku akan terus sayang sama kalian.”

Jani menundukkan tubuhnya untuk mengecup kedua nisan orang tuanya itu.

Melihat hal itu, hati Jefri terasa seperti menghangat. Senyuman tulus sedari tadi tidak luntur dari wajah tampan lelaki itu,

“Udah selesai?” tanya Jefri sembari berdiri dari duduknya, mengikuti Jani.

Jani mengangguk, “habis ini lo mau kemana?” tanya Jani begitu dia sudah berdiri disamping Jefri.

Alih-alih menjawab pertanyaan sang calon istri, Jefri malah balik bertanya,

“Kamu butuh temen untuk ngobrol?”

“Kerjaan lo gimana?”

“Kerjaan bisa di urus nanti, yang terpenting saya harus nemenin kamu.”

Mereka bercengkrama sembari berjalan berdampingan meninggalkan kawasan pemakaman, sampai pada akhirnya mereka berdua tiba di depan mobil milik Jefri. Seperti biasa, Jefri membukakan terlebih dahulu pintu untuk Jani, lalu setelah itu dirinya memutari mobilnya untuk masuk dan duduk di dalam.

Sekarang mereka sudah berada di dalam mobil. Jefri sudah menyalakan mesin mobilnya, dan dia sedang memundurkan mobilnya menggunakan satu tangan, sembari melirik ke belakang, takut takut ada sesuatu yang ia tabrak.

Jani menjadi salah tingkah, setelah melihat Jefri yang menyetir mundur mobilnya menggunakan satu tangannya yang berurat. Tapi, Jani mencoba untuk menyembunyikan hal tersebut dan bersikap seolah biasa saja dan tidak terpana dengan aksi Jefri barusan,

“Dosa banget ini gue abis nangis-nangis di makam bokap sama nyokap, eh malah disuguhin pemandangan sexy kayak barusan.”


Sekarang, Jefri dan Jani sedang duduk di hamparan rumput hijau yang terbentuk seperti bukit dan di depannya ada sungai buatan yang airnya amat sangat bersih. Katanya, tempat ini adalah tempat yang selalu Jefri datangi disaat lelaki itu merasa lelah tetapi tidak ingin meminum minuman kerasnya,

“Lo kok bisa nemuin tempat ini di Bandung?” tanya Jani sembari melirik Jefri yang duduk di sampingnya.

Jefri balas melirik Jani, “banyak tempat-tempat indah di Bandung yang jarang ke ekspose.” jawab Jefri, seraya tangannya melemparkan kerikil ke danau buatan tersebut.

Jani hanya menganggukkan kepalanya, sembari mulutnya membentuk huruf O,

“Jan.” panggil Jefri.

“Ya?”

“Kenapa kamu gak ada di rumah duka, waktu mama papa kamu meninggal?”

Pertanyaan Jefri membuat Jani termangu. Bingung harus menjawab apa,

“Kalau gak mau jawab gak apa-apa, saya gak maksa kamu untuk jawab.” ucap Jefri. Dia sadar dengan diamnya Jani setelah Jefri bertanya seperti diatas, menandakan bahwa Jani keberatan untuk menjawab pertanyaan itu.

Jani menarik nafas lalu menghembuskannya dengan kasar,

“I was in the hospital.” jawab Jani sambil melirik Jefri, yang dilirik pun ikut memperhatikan Jani yang hendak melanjutkan ceritanya, “I tried to commit suicide by slashing my veins with a sharp knife until it bled profusely. At that time i thought that i would never be able to live without my parents, so i chose to kill myself so that i could go with them.” lanjut Jani.

Jefri jelas terkejut mengetahui fakta baru tentang Jani barusan. Bagaimana bisa gadis secantik dan sesempurna ini pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya karena kedua orang tuanya yang pergi untuk selama-lamanya di waktu yang bersamaan,

“But turns out, i'm fine. Kak Chandra immediately took me to the hospital, and i was critical for 28 hours because of losing so much blood. Then the next day, i woke up, and i was really angry, i even screamed and beat the doctors and nurses who treated me at that time..”

“It didn't stop there, i had to go to a psychiatrist because i was mentally unstable. I keep trying to end my life.”

Jani menarik nafasnya dalam-dalam sembari memejamkan matanya, menikmati keindahan alam yang tersembunyi di Kota Bandung ini. Lalu dia menghembuskan nafasnya perlahan-lahan,

“Tapi gue udah seratus persen sembuh dan udah berdamai sama masa lalu. Gue udah gak pernah kepikiran untuk bunuh diri lagi.” ucap Jani dengan sangat amat yakin.

Jefri tidak memperdulikan ucapan Jani, mata pria itu terfokus kepada pergelangan tangan Jani yang ada bekas jaitan disana. Tiba-tiba Jefri meraih pergelangan tangan tersebut, Jani terdiam dibuatnya dia seharusnya marah ketika Jefri menyentuhnya seperti ini, tapi kenapa dia malah terdiam dan bingung harus melakukan apa sekarang.

Jefri mengelus bekas jahitan itu dengan ibu jarinya lembut. Dia bahkan mengangkat tangan Jani ke udara, dan Jefri merundukkan kepalanya untuk mengecup luka itu. Jani semakin dibuat terkejut dan terdiam. Pipinya pun terasa panas. Jantungnya juga berdegup kencang. Ada apa dengan dirinya?

“Don't think about suicide again. I'm here, you can tell me everything you want to tell me.” ucap Jefri dengan lembut, seraya matanya menatap lurus ke arah Jani.

Jefri tersenyum tipis, lalu ia menarik Jani ke dalam dekapannya. Lelaki bertubuh kekar itu mendekap tubuh Jani dengan erat, seolah-olah tidak ada hari esok untuk dirinya mendekap tubuh Jani.

Sementara Jani, di dalam dekapan Jefri, masih terus bertanya-tanya dengan dirinya yang tidak marah ketika Jefri menyentuh tangannya bahkan mengecup luka jahitan di pergelangan tangannya. Dan sekarang, Jani bingung, kenapa dirinya merasa begitu nyaman ketika Jefri mendekap tubuhnya dengan erat seperti ini.

Ada apa dengan dirinya hari ini?


“Suka dengerin musik gak?” tanya Jefri kepada Jani. Dia sedang mencoba untuk mencairkan suasana dingin diantara keduanya.

Iya, Jani sudah berada di dalam mobil Jefri dari lima belas menit yang lalu. Bahkan mobil pun sudah setengah jalan, tapi keadaan di dalam sana benar-benar awkward, tidak ada yang berani membuka percakapan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, hanya ada suara mesin mobil yang samar-samar terdengar,

“Suka.” jawab Jani seadanya. Sebenarnya, Jani tidak begitu suka mendengar musik kalau dia sedang berada di dalam mobil, karena hal itu bisa membuat kepalanya pusing dan muntah.

“Ya udah kalau gitu saya put—”

“JANGAN!” Jani buru-buru menahan tangan Jefri yang mau menyalakan tape mobilnya. Jefri melirik gadisnya itu dengan bingung. Sadar kalau dirinya sudah memegang tangan Jefri, Jani langsung menjauhkan tangannya dari sana.

Kini, keadaan kembali menjadi awkward. Jefri mengeluarkan suara dehemannya yang keras, untuk menetralkan dirinya yang sedang salah tingkah, karena itu adalah kedua kalinya tangan mereka saling bersentuhan.

Sementara Jani hanya merutuki dirinya sendiri, karena bisa-bisanya dia berbuat ceroboh seperti tadi,

Sorry, gue gak sengaja megang tangan lu.” cicit Jani, namun Jefri masih tetap bisa mendengarnya.

Jefri tertawa pelan sambil tangannya membelokan stir mobilnya ke kiri, “why do you have to apologize? I'm your soon to be husband, you can touch me anytime.” ujar Jefri bercanda.

Tapi candaan itu tidak sama sekali membuat Jani tertawa. Gadis itu malah termangu, hatinya merasa resah hanya karena mendengar ucapan Jefri barusan. Tiba-tiba saja otaknya teringat akan ucapan Anindita saat gadis itu membaca sifat Jefri.

Dia ingat kalau Anindita bilang bahwa Jefri adalah sosok yang sangat mahir ketika berada di ranjang, dan bisa membuat partnernya tidak mampu berjalan selama beberapa hari. Seketika seluruh bulu kuduk Jani berdiri membayangkan kalau suatu saat hal itu terjadi.

Bukan apa-apa, meskipun mereka menikah tanpa didasari cinta, tapi mereka tetaplah manusia yang memiliki hawa nafsu. Apalagi, nanti mereka tinggal bersama di rumah, pasti pikiran-pikiran liar itu akan muncul, dan mungkin saja mereka akan melakukannya disaat mereka benar-benar sudah tidak bisa menahan nafsunya lagi,

“Jani, are you okay?” Jefri bertanya dengan nada khawatir, karena gadis itu terdiam cukup lama.

Jani tersadar dari lamunannya, “hah kenapa?” tanya Jani polos.

Jefri tersenyum tipis, “kamu kenapa? Tadi kamu ngelamun. Apa yang kamu pikirin?” tanya Jefri dengan lembut.

Jani menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Tidak mungkin dia jujur apa yang dia pikirkan kepada Jefri, bisa jatuh harga diri dia di depan Jefri,

“Nothing.”

“Bener?”

“Iya udah fokus aja nyetirnya.”


Setelah melalui keheningan dan kecanggungan di dalam mobil selama kurang lebih tiga puluh menit. Akhirnya, kedua calon suami istri itu tiba di butik milik designer kenamaan di Indonesia yang merupakan langgangan mamanya Jefri.

Mobil mewah milik Jefri sudah terparkir rapih di lahan parkir yang disediakan di butik ini. Keduanya kompak saling melepaskan safety belt mereka, dan setelah itu, Jefri duluan keluar dari dalam mobil. Pria itu berjalan memutar mengelilingi mobilnya dan membukakan pintu untuk Jani.

Jani terkejut dibuatnya. Namun, ia tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Gadis itu tanpa banyak bicara turun dari dalam mobil Jefri dan berjalan masuk duluan ke dalam butik, disusul dengan Jefri dibelakangnya yang berjalan dengan senyum paling membahagiakan.

Sesampainya di dalam, Jefri dan Jani disambut oleh seorang pria yang agak sedikit kemayu, juga ada Mama Jefri, dan Jadira yang sudah menunggu dua calon pengantin ini. Seperti biasa, sang designer tidak henti-hentinya memuji Jefri dan Jani, entah sudah berapa puluh kali lelaki itu bilang kalau Jefri dan Jani merupakan pasangan yang serasi.

Setelah melakukan sesi bercengkrama dan memuji, akhirnya sang designer mempersilahkan Jani masuk ke dalam ruang ganti bersama beberapa asisten perempuannya untuk mencoba dress yang sudah dipilih oleh Jani lewat group chat yang dibuat oleh mamanya Jefri.

Lalu, bagaimana dengan Jefri? Lelaki itu terduduk di kursi yang ada di depan pintu ruang ganti. Hatinya berdegup kencang, dia gelisah menunggu Jani yang tengah mencoba dress pilihannya,

“Cantik banget loh calon kamu. Dapetin yang kayak gitu dimana?” sang designer yang peka akan kegugupan Jefri pun mulai mengajak ngobrol kliennya itu dengan nada khas kemayunya.

Jefri melirik sang designer dan dirinya tertawa kikuk, “mama yang kenalin, sama kakak ipar saya juga ikut bantu.” jawab Jefri, kembali dia merasakan gugup.

“Ini loh mba, bodynya tuh bagus, singset gitu, sexy, bagian dada sama bagian pantatnya keisi, tapi dibagian perutnya rata gitu loh. Itu body bener bener ideal banget.” puji sang designer akan penampilan Jani, sambil matanya menatap Mama Jefri, Jadira, dan Jefri bergantian.

“Calon menantu aku gitu loh.” sombong Mama Jefri yang mengundang tawa kecil Jadira, Jefri, dan sang designer.

Setelah mencoba dress pilihannya selama kurang lebih 15 menit. Pintu ruang ganti pun dibuka terlebih dahulu oleh dua asisten sang designer, dan sepersekian detik, Jani pun ikut keluar dari dalam sana, dengan menggunakan gaun pilihannya.

Demi Tuhan, penampilan Jani sekarang cukup sukses membuat Mama Jefri, Jadira, Jefri, bahkan sang designer melongo saking cantiknya gadis itu menggunakan mermaid dress yang membuat tubuh Jani terlihat berkali-kali lipat jauh lebih sexy. Jefri benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Ucapannya yang ingin menyembah Jani, sepertinya ingin ia lakukan sekarang juga.

Karena Jani, benar-benar definisi perempuan yang sempurna. Kesempurnaannya benar-benar diluar nalar. Ini semakin membuat perasaan Jefri kepada gadis itu semakin besar, rasa cintanya sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia ingin segera menikahi gadis itu, dan memilikinya seutuhnya,

“Wow….. Wow….. Wow…..” sang designer berujar sembari bertepuk tangan mengikuti dengan nada ucapannya seraya berjalan memutari kliennya itu, “kayaknya udah siap banget ya jadi Nyonya Jefri?” goda sang designer yang hanya dibalas dengan tawa kikuk oleh Jani.

“Sayang, astaga, kamu cantik banget, Ya Tuhan.” lirih Mama Jefri, sembari berjalan mendekati Jani, dan mendekap tubuh gadis itu dengan erat sekilas.

“Makasih tante.”

Kini giliran Jadira yang menghampiri Jani, dan mendekap tubuh adik kandungnya itu,

“Papa sama mama pasti seneng banget ngeliat kamu secantik ini, apalagi nanti pas hari h.” ucap Jadira dengan suara yang bergetar.

Jani mengangguk sembari tersenyum, dengan matanya yang berkaca-kaca.

Setelah Jadira menghampiri dan memeluk Jani, wanita itu lantas berjalan mundur ke tempatnya. Seharusnya, Jefri berjalan maju dan memberikan pelukan atau bahkan kecupan kepada calon istrinya itu, namun hal tersebut tidak mampu untuk Jefri lakukan.

Dia benar-benar terpana dengan kecantikan Jani. Baginya Jani seperti medusa yang membuat siapapun berubah menjadi batu tat kala melihat ke arah matanya. Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata saja Jefri tidak bisa, tatapan matanya yang penuh kekaguman sudah menjelaskan apa saja yang ingin ia lontarkan kepada Jani,

“Jefri!” gertak sang Mama membuat anak lelakinya itu langsung sadar dari sesi mengagumi kecantikan Jani yang diluar nalar itu.

“Apa?” sahut Jefri belagak bingung.

“Kamu ini ngelamun terus, gak mau kasih komentar apa-apa soal wedding dressnya Jani?”

“Cantik.” jawab Jefri dengan tulus, “cantik banget.” sambungnya mengulangi ucapannya.

Mama Jefri tersenyum mendengar jawaban dari anak lelakinya itu,

“Gimana nak? Udah cocok sama yang ini, atau mau cari yang lain?”

“Ini aja tan, ini udah bagus banget kok, aku juga suka sama modelnya.”

“Ok kalau gitu.”


Thank udah anterin gue.” ucap Jani seraya melepaskan safety belt yang melindungi dirinya selama perjalanan pulang bersama Jefri.

Iya, mobil Jefri sekarang sudah tiba di depan pagar rumah Jihan yang terlihat mewah namun masih terkesan sederhana. Berbanding terbalik dengan rumah Jefri yang jauh dari kata sederhana alias mewah. Benar-benar mewah,

“Sama-sama.” jawab lelaki itu sembari menganggukkan kepalanya dan menyimpulkan senyum tipisnya.

“Gue lagi gak mau nerima tamu, hari ini juga gue capek banget, karena gue kira cuman ngurusin baju doang, ternyata sampai ngurusin gedung sama catering. Jadi, gue mau istirahat.”

Jefri terkekeh pelan,

“Saya juga gak mau masuk ke dalem kok, karena saya masih banyak kerjaan di kantor.” tolak Jefri disertai dengan kekehan renyahnya.

“Ya udah kalau gitu. Gue turun ya.”

“Iya.”

Jani membuka pintu mobil milik Jefri, dan keluar dari dalam sana. Gadis itu langsung masuk begitu saja ke dalam rumahnya, tanpa berniat untuk diam sebentar dan menatap kepergian Jefri dengan mobilnya untuk menuju ke kantor.

Jefri tidak mempermasalahkan hal itu. Dia memaklumi, karena dia bisa melihat raut kelelahan yang terpatri di wajah Jani. Jadi, biarlah dia pergi masuk ke dalam rumahnya dan mengistirahatkan dirinya disana. Sementara itu, Jefri kembali menyalakan mesin mobilnya, dan mulai menekan pedal gas dan membelah jalanan kota Bandung untuk sampai di kantornya.


Sejatinya, menunggu adalah hal yang paling dibenci oleh banyak orang. Termasuk Jefri.

Tetapi untuk hari ini, menunggu menjadi hal yang tidak begitu Jefri permasalahkan. Bagaimana tidak, yang pria itu tunggu adalah sosok perempuan cantik yang merupakan calon istrinya. Jani. Iya, sore ini, keluarga Jefri dan juga keluarga Jani memutuskan untuk bertemu dan membahas soal perjodohan.

Sambil menunggu Jani datang, Jadira menceritakan sedikit tentang sosok Jani kepada Jefri dan kedua orang tuanya. Hal itu dia lakukan agar mereka bertiga tahu sedikit tentang Jani, sebelum gadis itu datang dan bergabung bersama mereka,

“Jani itu, aduh, anaknya emang susah sekali untuk diatur.” ucap Jadira disertai tawa kecilnya, Chandra yang duduk disamping istrinya itu pun ikut tertawa, “tapi dia anaknya baik, dan dia juga perduli sama sekelilingnya. Dia sering pergi ke Panti Asuhan, Panti Sosial, atau Panti Jompo untuk ngasih santunan. Tapi dibalik itu semua, dia juga seneng banget sama yang namanya party.”

“Dira, gak usah khawatir, we all love parties too.” ucap Mama Jefri, yang membuat semua orang yang duduk di meja itu tertawa, “apalagi Jefri nih, aduh, dia ini kasarnya pemabuk berat, di rumahnya ini dia sampai punya mini bar saking cintanya dia sama alkohol.” sambung sang mama sambil memegangi bahu Jefri.

Jefri tersipu malu. Telinganya memerah dan juga tangannya ia arahkan untuk menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal,

“Dia kayak saya waktu masih muda dulu. Cinta banget sama yang namanya alkohol, tapi, setelah saya ketemu sama mamanya dia, saya milih untuk berhenti mabuk, karena itu request dari dia.” timpal Papanya Jefri.

“Jani tuh, yang saya syukuri adalah, dia meskipun party kaya gitu, tapi gak pernah dia pulang ke rumah dengan keadaan mabuk. Dia selalu sadar, makanya saya kadang suka takut kalau suatu saat dia kelepasan, makanya ya udah deh, biar saya jodohin aja dia sama Jefri, itung-itung saya bikin papa sama mama diatas sana senang.”

Seketika suasana menjadi sedikit agak sedih, tat kala Jadira membahas soal mama dan papanya, yang seharusnya sekarang berada di tengah-tengah mereka,

“We miss your parents, Jadira.” lirih Papa Jefri, “dulu, saya belajar banyak dari papa kamu. Dia orang yang hebat, orang paling sabar dan paling baik yang pernah saya temui. Tanpa nasihat dia yang kadang pakai bahasa kasar, kayaknya saya gak bakal bisa sesukses ini.”

Jadira tersenyum menahan air matanya. Chandra meraih tangan istirnya itu, meletakkan tangan itu di pahanya, dan mengelusnya dengan lembut,

“Papa pasti seneng liat om sekarang masih sehat, dan hidup bahagia sama tante.” ucap Jadira dengan suara bergetar.

Kesedihan itu tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya, bintang utama dari acara pertemuan keluarga malam ini datang. Iya, setelah bermacet-macetan di jalan selama kurang lebih hampir satu setengah jam, akhirnya Jani pun tiba dengan selamat di tempat tujuan.

Jefri tidak mampu menyembunyikan kekagumannya atas kecantikan Jani. Rambut panjangnya yang diurai, menggunakan slit dress berwarna biru, dengan riasan make up natural. Membuat Jefri bertanya-tanya dalam hatinya, apakah dia akan menikahi seorang bidadari? Karena Demi Tuhan, Jani benar-benar seperti bidadari yang tidak bersayap. Dia sempurna. Kalau Jani adalah Tuhan, pasti Jefri akan menyebahnya.

Berbanding terbalik dengan Jefri, Jani terkejut melihat sosok Jefri. Jantungnya hampir mencelos. Laki-laki yang selalu ia ejek gay untuk menggoda Yasmin dan Anindita, ternyata adalah sosok pria yang dijodohkan dengannya. Doa Yasmin ternyata di dengar oleh Tuhan. Sialan, apa kata Yasmin dan Anindita nanti kalau mereka tahu hal ini?

“Ya ampun, cantik sekali kamu.” puji Mama Jefri sambil berdiri dari duduknya, menghampiri Jani, dan memberikan cipika-cipiki.

Jani membalasnya sembari tertawa kecil,

“Kamu beneran mirip banget sama mama kamu. Kalau kakak kamu itu fotocopyan papa kamu.” ucap Mama Jefri setelah sesi cipika-cipiki. Wanita berumur sekitar enam puluh tahunan itu menatap kagum calon menantunya ini.

“Terima kasih banyak tante.” ucap Jani dengan sopan.

“Saya kayak ngelihat Theresa waktu masih pacaran sama papa kamu loh.” ungkap Papa Jefri, sambil berjalan mendekati Jani dan memeluknya sebentar, “bener-bener mirip Theresa.” sambungnya sembari melirik Jadira dan Chandra bergantian. Kedua keluarga Jani itu hanya tertawa, begitu pula dengan Jani.

Mama's daugther memang dia tuh om.” timpal Chandra.

“Iya. Mini Theresa kamu.”

Jani tertawa kikuk, “hehehehe iya om. Banyak yang bilang aku emang lebih ikut ke mama, kalau kakak baru ke papa.”

“Setuju!” Papa Jefri melanjutkan, “ayo kenalan ini sama calon kamu, anak om.”

Ada rasa mengganjal di hati Jani ketika lelaki tua di hadapannya ini menyebutkan kata calon kamu. Jani masih tidak percaya, kalau dia yang selalu berprinsip untuk tetap hidup senang meskipun tidak memiliki pasangan, kini berakhir dengan dijodohkan oleh lelaki yang bahkan tidak pernah Jani temui sebelumnya.

Papa Jefri mempersilahkan Jefri untuk berdiri dari duduknya, karena sedari tadi lelaki itu terlihat sangat tidak sabar untuk menyambut kedatangan Jani. Lelaki itu pun berdiri, dan berjalan menghampiri Jani dengan kikuk. Demi Tuhan, dia merasa bersyukur tempat ini ramai, jadi tidak ada yang mendengar suara degup jantungnya yang kelewat kencang ini,

“Jefri.”

“Jani.”

Mereka berdua bersalaman, sembari saling menyebutkan nama masing-masing. Setelah itu, Jani melepaskan jabatan tangan mereka terlebih dahulu. Jefri kecewa, padahal dia masih ingin merasakan tangan Jani yang kelewat lembut itu. Namun, Jefri mengerti, pasti Jani kurang nyaman,

“Ya udah ayo semuanya duduk.” pinta Chandra sambil melirik Jefri dan Jani bergantian.

Jefri pun berbalik untuk kembali duduk di tempatnya, begitu pun dengan Jani.

Lalu, agenda selanjutnya, mereka menyantap menu makan malam yang mewah ini didampingi dengan obrolan hangat yang rata-rata membahas tentang kenangan yang pernah dilalui oleh kedua orang tua Jefri dan juga mendiang kedua orang tua Jani dan Jadira.

Jefri tidak bisa fokus malam ini, matanya terus mencuri-curi pandang kepada Jani yang terlihat begitu tenang menyantap makan malamnya. Dalam hatinya, Jefri lagi-lagi mengucap syukur, karena Tuhan memberikan sosok gadis ini ke dalam hidupnya. Meskipun melalui cara yang konyol, yaitu perjodohan.


“Jadi, Jani sekarang kerja apa?” tanya Mama Jefri setelah makan malam sudah selesai mereka lakukan.

Jani hendak menjawab, namun, Jadira buru-buru membuka suaranya, sehingga membuat Jani terdiam dan mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan dari wanita tua di depannya itu,

“Dia jadi Legal Adviser di kantor papa tante.” jawab Jadira yang membuat Jani diam-diam mengepalkan tangannya, berusaha untuk tidak mengacau di malam yang damai ini.

Chandra diam-diam melirik adik iparnya itu, dan dia bisa melihat bagaimana kesalnya Jani, meskipun Chandra hanya melihatnya dari samping. Lelaki itu juga tidak bisa berbuat apa-apa, selain membiarkan istrinya untuk berbicara,

“Wah, keren dong kalau kayak gitu.” puji Mama Jefri yang hanya dibalas senyuman kikuk oleh Jani.

“Bisa tuh nanti kalau kalian menikah, kamu jadi private legal advisernya Jefri. Dia kemarin absi kena masalah sama anak perusahaan di Malaysia.” timpal Papa Jefri, yang membuat Jani tertawa kecil.

“Kalau gitu aku harus di gaji om.” candanya, yang membuat satu meja tertawa.

“Iya, nanti di gajinya di nafkahin seumur hidup. Iya kan, Jef?” timpal Papa Jefri sambil menyenggol bahu anak laki-lakinya itu yang sedari hanya diam.

Jefri pun tersadar dari lamunannya, “hah? Kenapa?” responnya clueless. Hal itu mengundang tawa semua orang yang duduk disana, terkecuali Jani, dia hanya tersenyum, sambil matanya menatap lurus ke mata Jefri, yang mana hal itu disadari oleh Jefri, dan membuat pria itu tidak mampu berkutik sama sekali.

Sialan, mata Jani sangat berbahaya. Jefri bisa terus jatuh cinta kepada Jani hanya dengan tatapan matanya yang mematikan itu,

“Kamu ini, papa tahu Jani itu cantik sekali, tapi jangan sampai hilang fokus gitu dong.” goda Papa.

Yang digoda hanya tersenyum malu-malu, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali,

“Apaan sih pa.” protes Jefri malu-malu. Lagi, semua yang duduk di meja itu tertawa melihat respon Jefri yang salah tingkah.

“Masih sama aja ya lu Jef kayak dulu? Kalau salting telinganya merah.” lontar Chandra.

Jefri mengumpat dalam hatinya. Dia benci dengan salah satu kebiasaannya ini. Dia menjadi benar-benar tidak bisa berbohong karena telinganya yang memerah akibat salah tingkah,

“Ya gitu lah bang.” respon Jefri. Dia tidak tahu harus berbicara apalagi saking saltingnya.

Jani tidak terlalu banyak bicara malam itu. Dia hanya tertawa dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua orang tua Jefri. Namun, gadis itu, diam-diam sibuk memperhatikan Jefri. Lelaki itu memang tampan—gila rasanya kalau Jani bilang Jefri adalah pria yang jelek—ditambah lagi dia adalah anak dari seorang konglomerat, dan sekarang juga dia menjadi CEO di perusahaan milik keluarganya, sudah memiliki rumah sendiri. Lelaki itu benar-benar mirip sekali seperti lelaki impian Jani saat dia berada di masa-masa akhir kuliahnya.

Sekarang, Tuhan telah mengabulkan mimpi Jani akan lelaki impiannya (meskipun butuh waktu hampir kurang lebih dua atau tiga tahun) Dia mempertemukan Jani dan Jefri melalui perjodohan ini. Meskipun Jani tidak yakin kalau dia akan mencintai pria di hadapannya ini, tapi sisi lain dari dirinya berkata kalau dia sangat amat beruntung karena bisa bertemu dan akan membangun rumah tangga bersama Jefri.

Ah, tapi selain itu, Jani juga bertanya-tanya, alasan kenapa Jefri mau menerima perjodohan ini? Karena setahu dia (berdasarkan cerita cerita yang dia baca) seorang lelaki akan sangat menolak keras untuk dijodohkan dengan seseorang, kecuali kalau laki-laki itu gay. Apakah mungkin, Jefri benar-benar seorang gay?

“Kayaknya, sekarang kita bahas aja ya rencana ke depan untuk perjodohan ini.” ucap Papa Jefri yang mulai masuk ke dalam point pembahasan pertemuan hari ini, “seperti yang sudah Jani ketahui, bahwa om dan tante adalah teman baik mendiang orang tua kamu dan Jadira. Dulu, kami membuat janji persahabatan, untuk menjodohkan anak kami kalau mereka sudah besar. Maka dari itu perjodohan ini direalisasikan sekarang. Dan sangat amat disayangkan bahwasanya, papa dan mama kamu tidak melihat secara langsung hal ini, padahal mereka sangat menanti-nanti hal ini. Tapi, om dan tante percaya, kita semua percaya kalau papa dan mama kamu, melihat dan tersenyum bahagia dari atas sana.”

Air mata Jani dan Jadira menetes mendengar penuturan Papa Jefri. Mereka berdua benar-benar merindukan kehadiran kedua orang tua mereka yang sudah pergi meninggalkan mereka dari dua tahun yang lalu,

“Om dan Tante benar-benar berharap, kalau Jani bisa cepat-cepat menikah dengan Jefri. Jadi, bagaimana kalau tiga bulan lagi, pernikahan kalian berdua diselenggarakan?” ucap Papa Jefri yang langsung membuat Mama, Jefri, Chandra, dan Jadira mengangguk setuju.

Jani hanya diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Menikah adalah salah satu yang paling dia takuti, meskipun pernikahan kedua orang tuanya harmonis, pernikahan kakaknya juga harmonis, tapi mendengar cerita-cerita diluaran sana membuatnya takut. Apalagi semasa kuliah dia pernah magang di Pengadilan Agama, dan melihat sidang perceraian dengan berbagai macam tangis dan drama rumah tangga, membuatnya takut untuk menikah.

Kedua orang tua Jefri dan juga Jefri terheran-heran karena hanya Jani yang diam disaat yang lainnya setuju dengan usulan Papa Jefri. Menyadari akan hal itu, Jadira menyenggol bahu sang adik, sehingga membuat gadis itu tersadar dari lamunannya yang membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelah kehidupan sehabis menikah,

“Ada apa?” tanya Jani dengan begitu polosnya.

Jadira mencoba untuk terus tersenyum, meskipun tangannya gatal ingin mencubit paha Jani saat ini juga. Huh, kehamilan benar-benar membuat Jadira berubah menjadi sosok yang selalu bermain fisik saat ia sedang kesal,

“Pernikahan kamu sama Jefri bakal diadain 3 bulan lagi. Kamu siap, kan?” entahlah, Jani mendengar nada suara Jadira berubah menjadi menyeramkan di telinganya. Seperti ada pemaksaan disana.

Ingin sekali rasanya Jani menjawab tidak karena jujur dia belum siap untuk menikah, ditambah lagi dia juga tidak mencintai Jefri. Tapi, melihat kakaknya yang tengah mengandung keponakannya, membuat Jani jadi tidak tega untuk menolak. Ia tidak mau membuat kakaknya stress yang mana itu akan memperburuk keadaan janinnya.

Jadi dengan sangat amat terpaksa, Jani menjawab,

“Iya aku siap.”


Berbanding terbalik dengan Jefri. Jani menolak mentah-mentah perjodohan ini, tetapi Jadira dan Chandra tidak menyerah sama sekali untuk meyakinkan gadis itu agar supaya mau menerima perjodohan yang sebenarnya sudah direncanakan dari sejak kedua orang tua Jani dan Jadira masih hidup,

“Kak apaan sih, jodoh jodohin segala. Aku gak mau ya! Aku gak mau dijodohin, lagipula aku masih dua puluh tiga tahun, aku masih muda!” kesal Jani. Dia tidak pernah membayangkan kalau sesuatu yang biasa dia lihat di cerita-cerita akan terjadi kepadanya hari ini.

Jadira menghembuskan nafasnya, dia mencoba untuk sabar, meskipun tangannya sudah gatal ingin memukul adik kecilnya itu agar diam dan menuruti semua kemauan kedua orang tuanya sejak beliau masih hidup,

“Jani, tolong, kakak minta tolong ke kamu untuk terima in—”

Jani langsung memotong ucapan sang kakak dengan nada suara yang setengah berteriak,

“Tolong? Kaka minta tolong ke aku untuk hal ini? Seberapa penting sih perjodohan ini untuk kakak? Apa kakak jual aku supaya aku gak hidup di rumah ini, dan kakak stop biayain aku, iya? Kakak jahat tau gak! Papa sama mam—”

Sebuah tamparan mulus menyapa pipi halus dan chubby milik Jani. Gadis itu terkejut ketika sang kakak menampar pipinya, meskipun tamparannya tidak keras, tapi Jani tetap shock. Tidak pernah Jadira melakukan hal ini kepadanya, tapi hari ini? Wanita itu bukan seperti kakaknya, melainkan seperti monster jahat bagi Jani.

Tidak hanya Jani yang terkejut, Chandra, sang suami pun ikut terkejut dengan istrinya itu.

Jadira bukan tanpa alasan melakukan hal itu, dia sudah sangat amat habis kesabaran melihat tingkah laku adiknya yang sama sekali susah diatur, ditambah dirinya yang tengah berbadan dua, terus merasakan mual, mood swing, dan sakit diseluruh badan,

“Perjodohan ini ada bukan karena kakak mau jual kamu! Tapi perjodohan ini ada karena emang udah direncanain sama papa sama mama, jauh sebelum mereka meninggal. Kalau kamu gak percaya, kakak ada suratnya supaya kamu baca dan kamu percaya biar kamu stop nuduh kakak yang enggak-enggak.” geram Jadira seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepada Jani yang masih tertegun memegangi pipinya.

Jani menerima surat itu dengan kasar, dia melirik sinis sang kakak sebelum membaca suratnya. Dan ketika ia sudah membaca suratnya, dia merasa bersalah karena sudah menuduh kakaknya yang tidak-tidak. Ternyata, apa yang kakaknya bilang itu benar, perjodohan ini ada memang karena rencana kedua orang tuanya, bukan karena kakaknya yang merasa lelah mengurusi Jani dan ingin menjual Jani ke orang lain.

Jadira memperhatikan gerak-gerik Jani dengan seksama. Gadis itu terlihat menahan air matanya ketika membaca setiap kata yang dituliskan di dalam surat tersebut. Setelah membaca suratnya, dia langsung melipat surat tersebut, melemparnya ke sembarang arah, lalu memperhatikan sang kakak dengan penuh rasa bersalah, dan berlari untuk memeluknya.

Sang kakak awalnya terkejut, namun kemudian dia membalas pelukan Jani dengan erat. Menepuk punggung adiknya itu dengan lembut. Rasa kesal yang tadi mendominasi Jadira seketika hilang digantikan perasaan bahagia. Melihat moment mengharukan ini, Chandra mengeluarkan ponselnya dan memfoto dua kakak beradik ini, tidak lupa juga dia ikut berselfie diantara istri dan adik iparnya yang sedang berpelukan itu,

“Kak, maafin Jani, harusnya Jani gak bersikap kayak tadi. Harusnya Jani gak ngelawan kaka, dan gak nuduh kaka yang macem-macem. Jani gak sadar kalau selama ini kakak udah berbuat banyak ke Jani, Jani bener-bener minta maaf kak.” rengek Jani di dalam pelukan Jadira.

“Iya gak apa-apa, kakak juga minta maaf ya karena tadi kakak udah nampar Jani. Kakak khilaf, kakak lagi capek sama semuanya. Maafin kakak, oke?”

Chandra tersenyum bahagia, lalu ia berjalan mendekati Jadira, dan mengecup puncak kepala istrinya itu. Jadira melirik Chandra sekilas dan mengulas senyuman tipisnya.

Jani melepaskan pelukannya seraya menghapus air matanya yang tidak mau berhenti mengalir. Ia menatap Jadira dengan tatapan tulus dan senyuman lembut yang sudah jarang Jadira dapatkan akhir-akhir ini dari sang adik,

“Kamu mau kan nerima perjodohan ini?” tanya Jadira dengan hati-hati, takut menimbulkan pertengkaran antara dirinya dan sang adik.

“Aku boleh pikir-pikir dulu gak kak? Bagaimanapun juga, yang namanya perjodohan gak bisa sembarangan aku terima. Aku bakal menikah sama dia, dan menikah itu sakral.” pinta Jani.

Jadira menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Ya, setidaknya Jani tidak menjawab tidak, jadi Jadira akan memberikan kesempatan kepada adiknya itu untuk berpikir lebih matang soal perjodohan ini,

“Iya silahkan. Tapi kakak harap waktunya gak lama ya.”

“Iya kak.”


“Den Jefri.” panggil seorang perempuan di balik pintu ruang kerja Jefri.

Jefri yang tengah berkutat dengan laptopnya untuk melihat perjanjian kerja sama yang baru dikirimkan oleh sekertarisnya itu menjawab dengan mata yang masih terus berfokus kepada laptop,

“Masuk aja bi.” sahut Jefri setengah berteriak.

Pintu kayu berwarna putih itu pun dibuka oleh seorang perempuan paruh baya yang menjadi asisten di rumah Jefri yang sangat amat besar ini. Jefri memindahkan fokusnya dari laptop ke Bi Inah—nama ART Jefri—yang berdiri tepat di hadapan lelaki itu,

“Kenapa bi?” tanya Jefri dengan suara lembut, seperti menghargai sosok wanita tua dihadapannya ini.

Ya, Jefri di besarkan oleh kedua orang tuanya untuk selalu menghargai siapapun, mau dia lebih tua atau lebih muda, mau dia jabatannya diatas Jefri atau dibawah Jefri. Lelaki itu tetap harus menghargai mereka, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Bisa jadi, kita membutuhkan bantuan mereka atau justru sebaliknya,

“Ada Tuan Besar dan Nyonya Besar di bawah, nungguin Den Jefri.” jawab Bi Inah sambil menunjuk ke arah luar pintu menggunakan jempolnya.

Jefri mengernyitkan keningnya bingung. Kedua orang tuanya tiba-tiba datang tanpa memberitahu kepada Jefri terlebih dahulu, padahal biasanya, kalau mereka ingin berkunjung menemui Jefri pasti mereka menghubungi Jefri. Aneh sebetulnya, tapi Jefri tidak mau terlalu ambil pusing, toh yang datang juga orang tuanya, bukan orang lain,

“Ya udah bi, bibi keluar aja dulu, nanti saya nyusul.” titah Jefri.

“Baik den.”

Bi Inah pergi keluar dari ruangan kerja Jefri. Sementara sang pemilik ruangan, tengah membereskan laptopnya, lalu menyusul Bi Inah untuk turun menemui kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang keluarga milik Jefri yang luasnya sudah setara dengan lapangan futsal.

Ya, rumah milik Jefri memang rumah yang bisa dibilang mewah, hampir mirip dengan mansion. Hal ini wajar, karena Jefri merupakan anak dari Yudhistira Bramantyo, seorang pengusaha lemari terkaya di Indonesia dan juga di dunia. Perusahaan lemarinya itu sudah terkenal di berbagai penjuru dunia, bahkan artis dalam negeri dan artis luar negeri pun banyak yang menggunakan lemari milik perusahaan ayah Jefri.

Tetapi, sedikit informasi, rumah yang Jefri miliki ini bukan rumah yang dibelikan oleh orang tua Jefri. Rumah ini adalah rumah yang ia beli sendiri. Jefri menabung dari sejak kelas tujuh SMP, dia sudah bermimpi untuk memiliki rumah yang mewah seperti ayahnya. Tabungan itu terus bertambah dengan konsisten tanpa ada yang kurang sedikitpun, sampai akhirnya Jefri menginjak usia 30 tahun, dimana dia sudah resmi menjadi CEO di B Closets. Memiliki gaji tetap dengan kisaran ratusan juta. Maka impian Jefri untuk memiliki rumah mewah dengan hasil jerih payahnya pun terwujud di umur Jefri yang menginjak angka 31 tahun.

Jefri sudah menginjakkan kakinya di ruang keluarga. Dia sudah menemui kedua orang tuanya, bercipika cipiki dengan mereka. Ini hal yang biasa Jefri lakukan sedari kecil dulu. Tidak lupa juga Jefri menawarkan kedua orang tuanya itu minuman,

“Papa sama mama mau minum apa?” tanya Jefri seraya mendudukkan dirinya di sofa yang bersebrangan dengan sofa yang di duduki oleh kedua orang tuanya, “Jefri yang bikinin.”

“Loh Bi Inah kemana?” tanya Papa Jefri.

“Ada, tapi Jefri pingin bikinin minum aja buat papa sama mama.” Jefri melanjutkan, “gak bakal Jefri bikin asin kok minumnya.” ujarnya bercanda yang direspon oleh tawa kedua orang tuanya.

“Kita minum apa aja kok.” jawab sang mama.

Jefri mengangguk. Lantas, dirinya berdiri dan berjalan menuju dapur, yang jaraknya lumayan jauh dari ruang keluarga untuk membuatkan minum. Dan tidak lama setelahnya, Jefri kembali dengan membawa dua gelas tinggi yang berisikan orange juice di dalamnya. Jefri meletakan satu-satu gelasnya diatas meja. Lalu setelah itu, Jefri kembali duduk di sofanya,

“Dicicipin pa, mam minumannya.” ucap Jefri mempersilahkan kedua orang tuanya. Papa dan Mama Jefri pun mencicipi minuman tersebut dengan bersamaan.

“Jadi gimana perusahaan? Aman-aman aja kan? Kemarin papa denger katanya ada trouble ya sama anak perusahaan kita yang di Malaysia itu?” sang Papa membuka percakapan diantara mereka bertiga.

Jefri menganggukan kepalanya, mengiyakan pertanyaan papanya itu. Bahwa memang satu minggu yang lalu, ada masalah yang menimpa anak perusahaan Jefri, yang membuat lelaki itu harus mati-matian bekerja untuk menyelesaikan masalah ini,

“Ya gitu deh pa, tapi udah Jefri selesain, dan semuanya udah back to normal.”

“Syukurlah kalau gitu.” Papa Jefri terlihat begitu lega, “kamu emang bisa papa andelin. Papa bangga sama kamu.”

Jefri mengangguk sambil menyunggingkan senyum sumringahnya. Lelaki itu bersyukur, bahwa dia tumbuh di dalam keluarga yang selalu mengharagi dan mensupport apapun yang Jefri lakukan, mau itu benar, sekalipun kalau salah, kedua orang tua Jefri tidak pernah memberikan kritikan dengan kata-kata yang pedas. Mereka selalu menambah kalimat, “kamu sudah bekerja keras, tapi mungkin, kamu bisa melakukan hal yang lebih baik dari ini, tapi ini sudah jadi yang terbaik”,

“Oke, papa, first of all, i want to remind you that we didn't come here to discuss work matters.” kesal sang mama, *“second of all, we came here to discuss about you.” ungkap sang mama sambil menatap Jefri tepat dimata dalam lelaki itu.

Jefri kebingungan di buatnya,

“Me?” Jefri bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan terheran-heran.

“Yes, you.” jawab sang mama, “Jefri, you're 37 years old right now, do you have absolutely no thoughts of getting married?”

Oke, Jefri tahu kemana sekarang arah pembicaraan ini berjalan. Nanti, pasti Jefri akan dipaksa menikah oleh mamanya (Jefri tidak yakin kalau papanya juga ikut andil dalam urusan ini), dan kalau Jefri tidak mau, maka mama yang akan turun tangan dengan mencarikan calon pengantin perempuan untuk Jefri,

“Mama, siapa yang gak mau menikah, aku jelas mau menikah. Tapi, aku merasa belum waktunya aku untuk berumah tangga.” tutur Jefri, “lagipula, menurut aku 37 tahun itu aku tergolong yang masih muda. Let it flow aja, nantipun kalau memang aku udah dikasih jodohnya sama Tuhan, ya pasti aku bakalan menikah. Iya ga pa?”

Jefri melirik sang ayah, dibarengi dengan istrinya juga ikut meliriknya. Membuat sang ayah yang hendak meminum orange juicenya kebingungan dan merasa terpojok—terutama akan tatapan tajam istrinya, maka dari itu, untuk kali ini, Papa Jefri terpaksa untuk berada di pihak Mama daripada anak lelakinya itu,

“Ya apa yang kamu bicarain itu betul, tapi ada baiknya untuk kamu segera menikah. Papa sama mama ini udah bukan orang tua muda lagi, kami udah tua, entah berapa lama lagi kami hidup di dunia. Kami cuman pingin lihat kamu menikah, dan punya anak. Itu keinginan kami.”

Woah, betapa terkejutnya Jefri ketika tahu kalau sang ayah untuk kali ini tidak memihak kepadanya,

“Kalau kamu belum mau juga untuk menikah, terpaksa, kami akan jodohkan kamu dengan anak mendiang teman kami.” ucap sang mama dengan begitu mendadak dan yakin kalau Jefri akan menerima langsung perjodohan itu.

Jefri tidak terima. Apa-apaan ini? Kenapa harus perjodohan yang menjadi jalan satu-satunya? Padahal, Jefri sudah memiliki rencana untuk mengajak adik dari seniornya di kampus dahulu untuk berkenalan, tapi kenapa tiba-tiba keputusan gila ini terjadi?

“Pa, Ma, kok tiba-tiba jadi di jodohin? Jefri gak mau. Jefri udah ada niatan untuk kenalan sama cewe kok, cuman emang belum kesampean aja.” tolak Jefri.

Tiba-tiba mama mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Jefri memperhatikan mamanya yang tengah mengotak-atik ponselnya itu dengan bingung. Lalu, tiba-tiba, beliau memberikan foto seorang gadis cantik yang langsung membuat Jefri terpana dan tertegun akan kecantikannya. Jefri juga langsung mengenali gadis ini. Ini adalah adik dari Jadira, perempuan yang ia perhatikan di club minggu lalu,

“Itu dia calon kamu. Namanya Jani, adiknya Jadira.” ucap mama sambil kembali menarik ponselnya dan memasukannya ke dalam tas.

Kalau seperti ini jadinya, Jefri diharamkan untuk menolak perjodohan ini.

Tuhan memang begitu baik merencanakan ini semua kepada Jefri,

“Aku mau ma, pa. Aku terima perjodohan ini.”

Dan, begitulah, semuanya berjalan begitu mudah. Tidak perlu ada paksaan bahkan gertakan yang dilakukan oleh papa atau mama kepada Jefri. Lelaki itu sudah menyerahkan dirinya sendiri kepada kedua orang tuanya.

Memang, lelaki akan selalu lemah dengan pesona wanita cantik.


“Kamu tuh mau sampai kapan sih kayak gini terus?” tanya Jadira—kakak dari Jani dengan nada berang sembari menatap sang adik yang tengah terduduk di sofa dengan tatapan pasrah.

Jani tidak bergeming di tempatnya. Ia hanya duduk sembari menunduk dan menautkan jari-jarinya, menyalurkan perasaan waswas dan juga kesal yang bersamaan,

“Kerjaan kamu cuman party party gak jelas. Untuk apa mendiang papa sama mama nguliahin kamu, kalau setelah lulus aja kamu bukannya kerja, malah asyik ngabisin uang.” kekesalan dan kemarahan itu masih berlanjut.

“Kak, aku juga party pakai uang aku sendiri kok. Dan yang tadi kebetulan aku gak ngeluarin sepeser uangpun karena itu gratis. Kenapa sih kakak selalu kayak gini ke aku?”

Sang puan yang sedari tadi hanya diam sembari mengumpulkan nyalinya, pada akhirnya bersuara, mengutarakan kekesalannya yang terpatri di dalam sanubarinya. Kesal bukan main Jani, ketika umurnya yang sudah dua puluh tiga tahun, tapi kakaknya masih selalu memperlakukannya layaknya seorang anak kecil berumur 3 tahun,

“Kamu pakai uang sendiri pun itu ada uang kakak yang kakak masukin ke m-banking kamu.”

“Aku gak pernah minta!” geram Jani, dia merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya barusan, seolah-olah dirinya tidak mampu untuk membiayai hidupnya sendiri.

“Kakak gak pernah sejahat itu untuk ngebiarin kamu hidup tanpa uang.” balas Jadira tidak mau kalah.

“Kak.” Jani menghembuskan nafasnya kasar, dirinya lelah akan pertengkaran yang tidak pernah ada ujungnya ini, “kakak kenapa selalu nganggep aku kayak manusia yang paling gak bisa berbuat apa-apa? Kenapa? Apa karena aku adiknya kamu, iya? Atau karena kamu udah mapan, udah menikah, jadi kamu merasa superior untuk bikin aku rendah? Atau karena setelah kepergian papa sama mama, dan papa sama mama nitipin aku ke kakak, jadi kakak gunain kesempatan itu untuk bales dendam sama aku, gitu?”

Emosi Jadira semakin menjadi-jadi, dia memandangi wajah cantik sang adik yang penuh dengan riasan make up itu dengan berang. Bagaimana bisa adiknya berbicara sejahat itu kenapa Jadira, disaat Jadira sendiri seperti ini karena ingin melindungi adiknya, dan karena dia sangat menyayangi Jani.

Untung, Jadira memiliki Chandra—suaminya—yang menguatkan Jadira untuk tetap sabar menghadapi Jani yang mungkin memang di umurnya yang masih terbilang muda sedang merasa labil dan belum menemukan jati diri yang sesungguhnya. Terkadang, sebagai seorang yang paling tua, Jadira harus memahami Jani terlebih dahulu, sebelum Jani memahaminya,

“Kamu ada hati bilang gitu ke kakak?” tanya Jadira yang kini sudah bisa mengontrol emosinya, “kakak sama Kak Chandra kerja dari pagi sampai malem itu buat siapa? Ya buat kamu! Kenapa kakak memperlakukan kamu kayak gini itu karena kakak sayang sama kamu, kakak gak mau kamu menjadi lebih buruk dari kakak di masa lalu. Kakak gak pernah bales dendam karena papa sama mama lebih sayang kamu, lebih perduli sama kamu, itu hal yang wajar yang dilakuin orang tua ke anak bungsunya, kakak gak pernah merasa cemburu sama kamu. Apa kamu gak bisa nurut kata-kata kakak sekali aja?”

Jani terdiam.

Muncul rasa bersalah di dalam dirinya karena sudah menuduh sang kakak yang tidak-tidak. Namun, perasaan geram lebih mendominasi dalam hatinya, jadi, Jani tidak akan meminta maaf dan dia akan tetap melawan dan bersikap seolah-olah kakaknya lah yang salah disini,

“Kakak mau apa dari aku?” tanya Jani dengan nada ketus.

Jadira menghembuskan nafasnya, “kakak mau kamu kerja.” jawab Jadira dengan yakin.

“Kerja dimana? Di perusahaan papa? Atau perusahaan Kak Chandra?” Jani melanjutkan kalimatnya, “kak, kakak tahu prinsip aku dari dulu, aku gak mau kerja untuk orang lain, aku mau kerja untuk diri aku sendiri. Aku selama ini buka usaha thrifting baju, dan hasilnya pun lumayan untuk aku jajan.”

“Kamu itu kuliah hukum, kakak pingin kamu kerja sesuai dengan jurusan kamu. Kakak pingin kamu kerja di perusahaan papa, jadi legal adviser.” desak Jadira.

“Aku gak mau!” ungkap Jani, sembari berdiri dari duduknya dengan memasang raut wajah jengah, sang kakak hendak berbicara namun Jani keburu memotongnya, “kalau kamu lupa, papa sama mama selalu bilang agar supaya kita gak maksa seseorang untuk lakuin apa yang kita suruh, so, please, stop forcing me to do something i don't want to do. Aku harap kakak ngerti.”

Kemudian setelah itu, Jani melenggang pergi menuju kamarnya di lantai atas, Jadira berteriak memanggil nama Jani untuk berhenti dan kembali duduk karena masih banyak hal yang ingin Jadira sampaikan kepada adiknya itu. Namun seolah tuli, Jani tetap terus melanjutkan langkah kakinya menaiki anak tangga.

Jadira menghembuskan nafasnya kasar. Matanya terlihat lelah dan berkaca-kaca, Chandra—sang suami yang sedia mendampingi istrinya yang tengah hamil satu bulan itu, merangkul tubuh rapuh Jadira, memberinya kecupan di puncak kepalanya, dan membiarkan Jadira menangis sembari mengeluarkan keluh kesahnya yang selama ini ia tahan sebagai kakak sekaligus orang tua tunggal bagi Jani,

“Aku cuman pingin yang terbaik buat dia mas, apa aku salah?” lirih Jadira.

Chandra menggeleng, “kamu gak salah, kamu udah ngelakuin hal yang bener. Mungkin, Jani masih gak bisa untuk berkomitmen kerja di suatu perusahaan, punya jabatan, atau apapun itu yang berat bagi dia. Dia masih butuh ruang untuk diri dia menjadi bebas, party kesana kesini.”

Jadira menjauhkan dirinya dari rengkuhan Chandra dan menatap wajah suaminya itu dengan matanya yang basah akibat air mata,

“Aku gak bisa kayak gini terus. Aku harus jalanin salah satu wasiat papa sama mama.”

Chandra tahu wasiat terakhir dari kedua orang tua istrinya itu. Dan sejujurnya dia tidak yakin apakah Jani akan mau menjalankan ini atau tidak,

“Sayang.” suara Chandra melembut, tangannya ia gunakan untuk membelai pipi Jadira, “disuruh kerja aja dia gak mau, apalagi kalau yang ini.”

“Aku gak perduli mas, aku akan tetep jodohin dia sama Jefri, anak temennya papa sama mama.” keukeuh Jadira.

Kalau sudah seperti ini, Chandra tidak bisa berbuat apa-apa. Karena posisi Chandra di keluarga ini hanya sebagai suami Jadira, dan kakak ipar Jani, dia tidak memiliki kewenangan lebih untuk ikut campur dalam urusan wasiat kedua orang tua Jadira dan Jani.


Pada dasarnya, Jefri bukanlah tipe manusia yang senang akan keramaian. Dia terbiasa hidup dengan ketenangan tanpa adanya lautan manusia di dekatnya.

Tapi malam ini, Jefri terpaksa ikut ke club baru milik teman baik karyawan kantornya, Matthew. Awalnya, Jefri jelas menolak, kalau kata Johnny, Jefri menolak karena lelaki itu takut kalau dirinya akan miskin secara tiba-tiba, karena terlalu banyak memesan jenis alkohol, atau karena menyewa jasa prostitusi untuk memuaskan nafsunya.

Padahal, bukan itu alasan Jefri menolak. Jefri menolaknya karena (kembali ke alasan pertama) dia bukanlah tipe manusia yang suka berada di tengah-tengah keramaian. Kalau pun dia mau bersenang-senang sambil meminum alkoholnya, Jefri bisa melakukan itu sendiri di rumahnya. Dia memiliki mini club di rumahnya sendiri.

Namun, untuk kali ini, Jefri mencoba untuk menantang dirinya keluar dari zona nyaman, dengan mencoba bergabung bersama banyaknya jenis macam manusia. Rasanya tidak begitu buruk, dan ini juga lumayan menghilangkan stress yang sudah Jefri rasakan selama kurang lebih satu minggu ini.

Suara musik DJ yang begitu keras, tidak terlalu mengganggu Jefri malam ini. Ia, tetap setia duduk di kursi barnya bersama gelas sloki, dan sebotol wiskey. Kenapa Matthew dan Johnny? Matthew sedang turun ke lantai dansa, dan Johnny, dia sedang melakukan penetrasi dengan seorang perempuan random di ujung sana.

Melihat hal tersebut, Jefri hanya mampu tergeleng-geleng, seraya tangan kekarnya menuangkan wiskey ke dalam gelas slokinya lalu meminumnya dengan sekali teguk. Entah sudah keberapa gelas sloki yang ia teguk, rasa pusing belum terlalu menguasai dirinya, lelaki itu masih bisa sadar seperti saat pertama ia masuk ke dalam club. Hal itu sebenarnya dapat dimengerti dan dimaklumi, karena Jefri mewarisi sifat kakek buyutnya, yaitu memiliki toleransi terhadap alkohol yang sangat tinggi, hal itu menyebabkan Jefri menjadi seseorang yang tidak mudah mabuk, dan mungkin membutuhkan 2 atau 3 botol wiskey untuk membuat lelaki itu wasted.

Duduk di meja bar sendirian, membuat Jefri merasa bosan, maka dari itu ia mengedarkan pandangannya, memperhatikan setiap sudut dari club malam ini yang minim pencahayaan, membuat apapun yang dilihat oleh setiap orang yang berkunjung kesini terasa samar-samar.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi Jefri. Meskipun pencahayaan yang minim. Mata dalam milik Jefri dapat menangkap seorang gadis cantik yang tengah duduk sembari memainkan ponselnya di arah jarum jam 12. Meskipun dilihat dari jarak yang lumayan jauh, Jefri bisa merasakan aura kecantikan yang terpancar dari wajah gadis itu.

Dan hal tersebut, sukses membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis yang bahkan tidak dia ketahui namanya itu. Sebut saja Jefri gila, tapi memang itu yang ia rasakan sekarang. Jefri tidak pernah merasakan hal seperti ini dengan seorang perempuan sebelumnya. Dia selalu bersikap sinis kepada perempuan, mau itu perempuan yang cantik atau yang biasa saja. Tapi gadis ini, dia spesial, dia berhasil mencairkan hati beku seorang Jefri.

Pandangan mereka pun seketika bertemu. Jefri tergemap di buatnya, namun hal itu hanya terjadi sesaat, setelahnya Jefri biasa saja, dia bahkan masih aktif memandangi perempuan itu. Padahal, jelas-jelas perempuan itu sudah menampakan ekspresi risihnya dari jauh.

Lalu detik berikutnya, mata Jefri menangkap pemandangan yang membuatnya tertegun. Ia melihat seorang perempuan yang datang bersama seorang pria bertubuh tinggi, dan mendatangi meja bar yang diduduki oleh gadis yang sudah mencuri perhatiannya itu.

Sebagai seorang lulusan terbaik di Universitas Padjadjaran, jelas, ingatan Jefri sangatlah baik, dan dengan itu Jefri bisa mengenali orang-orang yang pernah berada di masa lalunya, entah itu yang sering bertemu atau yang sudah tidak pernah bertemu. Sepertin contohnya, sekarang, Jefri merasa sangat mengenali perempuan yang tengah menyeret si pencuri hati Jefri untuk keluar dari tempat ini,

“Mba Dira kan itu?” Jefri bermonolog dengan dirinya sendiri, suatu hal yang sering ia lakukan satu minggu ini, “cewek itu siapa? Apa adiknya? Tanyain aja deh, sekalian modus kenalan.”

Baru saja Jefri hendak melaksanakan niatnya. Akan tetapi, tepukan kencang di punggungnya, membuat lelaki itu duduk kembali di tempatnya. Ia berbalik ke belakang untuk mengetahui siapa orang gila yang dengan berani menepuk pundaknya begitu keras seperti barusan.

Dan ternyata, orang itu adalah Johnny yang sudah datang dengan keadaan cukup lumayan berantakan, terutama di bagian rambut dan celana. Jefri menatap Johnny dari atas sama bawah dengan tatapan memengkalkan. Johnny kemudian mendudukkan dirinya di kursi bar disamping Jefri tanpa izin kepada Jefri sama sekali,

“Matthew kemana?” tanya Johnny sambil melihat ke sekeliling mencari Matthew.

“He's on the dance floor.” jawab Jefri, sembari tidak fokus, karena matanya yang sedari tadi mencoba untuk mencuri-curi pandangan ke meja dimana pencuri hatinya itu duduki.

“Damn it!” umpat Jefri yang langsung membuat Johnny heran.

“Kenapa lu?” Johnny bertanya, seraya mengambil botol whiskey milik Jefri, dan meminumnya melalui botol sebanyak 5 teguk.

“Gue tadi ketemu cewe cantik over there.” jawab Jefri sambil menunjuk menggunakan wajahnya ke arah jam 12.

Johnny mengikuti arah petunjuk Jefri,

“No one there.”

“Tadi.” jawab Jefri agak sedikit menekan intonasi suaranya, “sebelum lo dateng ke sini dengan nepuk bahu gue keras.” keluh Jefri.

Tidak ada rasa bersalah yang terpatri di wajah Johnny, lelaki itu hanya menganggukan kepalanya serrta kembali meminum sebotol vodka milik Jefri.


“Genta, bunda kamu kemana sih?” tanya ayah yang sudah duduk di meja makan bersama Tiara dan kedua orang tua gadis itu.

Gentala hanya mengangkat kedua bahunya tanda kalau dia tidak tahu—tapi sebenarnya dia tahu kemana ibunya pergi. Wanita itu pergi untuk menjemput Kaynara, maka dari itu mood Gentala hari ini benar-benar bagus.

Ayahnya Gentala merasa tidak enak dengan keluarga Tiara karena mereka sudah datang sejak jam enam petang tadi, dan sudah menunggu sekitar 1 jam, akan tetapi istrinya itu pergi entah kemana.

Tidak lama setelah itu, ibunda Gentala pun datang bersamaan dengan Kaynara di belakangnya. Tiara begitu terkejut dan wajahnya menyiratkan kebencian akan kehadiran Kaynara di makan malam hari ini. Berbeda dengan reaksi Tiara, Gentala dan sang ayah terlihat begitu senang dengan keberadaan Kaynara.

Kaynara hanya berdiri disamping ibunda Gentala, sambil mencoba untuk tidak bertatapan mata langsung dengan Tiara, karena sumpah demi apapun Kaynara merasa takut dan juga bersalah kepada perempuan itu,

“Loh, ini siapa, Jihan?” tanya seorang perempuan yang diketahui ibunda dari Tiara.

“Kenalin semuanya, ini namanya Kaynara, dia temen masa kecilnya Gentala yang aku dan Adam anggap seperti anak kandung kami sendiri.” jawab ibunda Gentala sambil menggandeng Kaynara.

“Wah can—”

“Maaf om, tante, tapi bukannya makan malem ini cuman dihadirin sama keluarga aja ya? Dia bukan keluarga tante sama om kan?”

Pertanyaan kasar yang keluar dari mulut Tiara itu membuat kedua orang tuanya dan kedua orang tua Gentala terkejut. Yang mereka tahu Tiara adalah anak yang baik dan sopan. Gentala yang duduk bersebrangan dengan gadis itu, sudah sangat kesal dengan kekasihnya, dia diam-diam mengepalkan tangannya, menyalurkan kekesalannya agar tidak meledak.

Sementara Kaynara, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam, padahal dia sudah benar-benar ingin lari dari rumah ini,

“Tiara..” tegur sang ibunda dengan lembut.

“Apa ma? Kenapa emang? Bener kan kalau makan malam ini cuman untuk keluarga aja.” Tiara keukeuh dengan ucapannya.

Kaynara menghembuskan nafasnya perlahan,

“Tiara, maaf sebelumnya kalau kamu gak nyaman sama kehadiran Kaynara, tapi, saya sudah menganggap Kaynara seperti anak saya sendiri, jadi, tolong, biarkan makan malam ini berjalan dengan lancar sama Kaynara ya?” akhirnya ayah Gentala membuka suaranya.

Tiara sebenarnya masih ingin protes dan tidak terima dengan kehadiran Kaynara di tengah-tengah acara makan malam keluarga. Tapi, dia urungkan niat itu karena dia tidak mau kejutan yang sudah ia siapkan malam ini hancur begitu saja.

Pada akhirnya, keluarga besar ini menyantap makan malam mereka dengan obrolan hangat. Juga tidak lupa Gentala yang selalu mencuri-curi kesempatan untuk memegang tangan Kaynara, yang jelas hal itu langsung ditepis oleh Kaynara. Dan Tiara, yang makan malam sambil menahan rasa kesal melihat Kaynara yang duduk bersebelahan dengan Gentala.

Makan malam selesai, keluarga itu kini masih duduk di meja makan sambil berbincang-bincang,

“Kaynara ini dulu kesayangannya Genta, kemana-kemana selalu sama Genta.” ujar ibunda Genta sambil memegang bahu Kaynara, “bener-bener udah kayak prangko sama surat aja mereka berdua tuh haduh, kalau di pisahin, Gentanya nangis atau ga Kaynaranya yang ngambek.”

Kaynara hanya tertawa mendengar sepenggal kisah tentang dirinya dan Gentala di masa lalu. Begitu pun Gentala yang tertawa dengan begitu bahagia. Melihat hal itu, Tiara semakin kesal, tidak pernah dia melihat senyuman itu selama dirinya dan Gentala berkencan,

“Cantik sekali ya kamu. Orang Bandung asli?” tanya ayah Tiara.

Kaynara menggeleng, “saya kebetulan orang Jakarta om, di Bandung lagi kuliah.” jawab Kaynara.

“Oh iya? Kuliah dimana dan jurusan apa?” kini giliran ibunda Tiara yang bertanya.

“Satu kampus sama Kak Genta sama Kak Tiara kok, cuma bedanya saya jurusan hukum.”

“Waduh, serem ya. Mau jadi notaris ya nanti kalau udah lulus?”

Kaynara tertawa kikuk sambil menggelengkan kepalanya,

“Ah engga tante, saya jadi apa aja mau asal masih sejalan sama jurusan saya, ga harus melulus jadi notaris.” jawab Kaynara.

“Udah punya pacar ya pasti? Cantik gini soalnya, gak mungkin kalau gak punya pacar.” goda Ibunda Tiara.

Kaynara tersipu malu sambil menggelengkan kepalanya. Gentala meliriknya dan ikutan tersenyum,

“Kalau Genta punya adik, kamu udah tante jodohin sama adiknya Genta, biar kamu jadi menantu tante. Biar kita bisa terus pergi bareng-bareng.” ujar ibunda Gentala, yang membuat semua orang yang ada di meja makan itu tertawa (kecuali Tiara).

Tiba-tiba suara deheman yang lumayan kencang yang berasal dari Tiara membuat meja makan itu menjadi hening seketika. Mereka semua memusatkan perhatian mereka kepada Tiara,

“Om, tante, hari ini, aku dateng kesini sama Mama sama Papa, karena mau ngomongin sesuatu tentang hubungan aku sama Genta.” ucap Tiara yang membuat kedua orang tua Gentala, Gentala, dan Kaynara kebingungan.

Tapi, entah kenapa Kaynara memiliki perasaan yang tidak enak akan hal ini,

“Oh ya? Apa itu?” tanya ayah Gentala.

“Aku sama Genta, mutusin untuk tunangan.” jawab Tiara, yang langsung membuat keluarga Gentala dan Kaynara terkejut dan tidak bergeming sama sekali.

Sementara Tiara tersenyum penuh kemenangan atas suprisenya untuk Gentala yang berjalan dengan lancar. Gadis itu diam-diam melirik Kaynara, dan menyeringai, melihat Kaynara yang menahan tangisnya,

“Maksud kamu apa, Tiara?” tanya Gentala, “kapan aku bilang kalau aku mau tunangan sama kamu? Aku masih kuliah, karir aku masih panjang.”

“Kenapa, Gen? Kamu tau umur aku gak bakal lama lagi, aku cuman pingin ngabisin sisa waktu aku sama kamu aja. Udah, gak ada permintaan lain lagi kok.”

Gentala mendengus kesal. Semakin hari Tiara semakin benar-benar bersikap seenak jidat terhadapnya. Pertunangan bagi Gentala hampir seperti pernikahan, dia menganggap itu adalah hal sakral yang tidak boleh dipermainkan. Gentala tidak pernah sama sekali mencintai Tiara, lalu bagaimana bisa keduanya bertunangan?

“Emang kalian gak bicarain ini?” ayah Gentala bertanya.

“Nggak pernah.” jawab Gentala dengan tegas, “dia yang buat keputusan ini sendiri, gak pernah dia tanya aku apa aku mau atau enggak. Im so sick of this shit!”

Terlampau emosi membuat Gentala terpaksa harus berbicara kasar dan pergi meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Sementara Kaynara hanya terdiam di tempat dengan perasaan shock yang masih melanda dirinya.

Semua orang memanggil Gentala, namun lelaki itu tidak menurutinya. Ia terus berjalan menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam kamarnya,

“Kenapa semuanya jadi begini?” tanya ibu Tiara dengan bingung..

“Sebentar ya, biar saya susul dulu Gentalanya.”

Ibunda Gentala pun terpaksa turun tangan akan masalah ini. Beliau berdiri dari duduknya, dan pergi ke atas untuk menghampiri Gentala yang ada di kamar. Sesampainya di kamar sang putra, Ibunda Gentala melihat anak lelakinya itu yang tengah duduk di ujung kasur, sambil menunduk seraya mengepalkan tangannya.

Ia sampai tidak sadar kalau ibunya datang ke kamarnya,

“Gentala.” panggil sang ibunda seraya berjalan masuk ke dalam kamar anak laki-lakinya itu dan menutup pintunya rapat-rapat.

Gentala mendongak, matanya menatap lurus sang ibunda. Satu hal yang sekarang hinggap di otaknya adalah, Kaynara. Gadis itu pasti terkejut mendengar pengumuman gila tadi,

“Kaynara gimana bun?” tanya Gentala yang berhasil membuat sang ibunda mengerutkan dahinya. Bingung,

“Kok kamu tiba-tiba nanyain Kaynara?”

“Aku cinta sama Kaynara.” jawab Gentala dengan lirih, “maaf bun, maafin aku, tapi aku gak bisa kalau harus sama Tiara. Dia baik, tapi dia selalu berbuat seenak jidat dia tanpa ngelibatin aku. Aku pun gak cinta sama dia, selama ini aku ada untuk dia, nemenin dia berobat itu karena aku nganggep dia teman, meskipun status kita pacaran.”

Ibunda Gentala menghela nafasnya berat. Lalu berjalan mendekati sang anak, dan duduk disampingnya, seraya merangkul bahu bidang anak lelakinya itu,

“Bunda tahu perasaan kamu, tapi bunda gak suka lihat kamu ngomong kasar di meja makan tadi.”

“Maaf bun.”

“Nak, kamu sudah besar sekarang, kamu yang nentuin semuanya. Terserah mau kamu gimana, bunda akan support kamu. Mau kamu terus bertahan sama Tiara, atau mengejar cinta kamu, yaitu Kaynara, bunda serahin semuanya ke kamu.”

Gentala menatap sang ibunda, “beneran bun?” tanya Gentala tidak percaya.

“Iya nak.” jawab Gentala.

“Kalau gitu, aku mau kejar cinta aku pun. Aku mau sama Kaynara.”

Ibunda Gentala tersenyum sambil mengangguk,

“Kejar dia, bunda pingin dia jadi menantu bunda.”

Gentala tersenyum sumringah seraya menganggukkan kepalanya.

Rasa percaya diri sudah dikantongi oleh Gentala. Dia akan tegas dengan pilihannya sekarang. Bahwa dia akan mengakhiri hubungannya dengan Tiara, dan berlanjut untuk mengejar cinta Kaynara.

Namun, sepertinya dewa fortuna sedang tidak berpihak kepada Gentala. Karena tiba-tiba saja, Kaynara naik ke atas, dengan wajah panik, lalu dia memberitahukan kalau Tiara pingsan dengan darah yang keluar dari hidungnya.

Gentala benar-benar merasa kalau kesempatannya untuk hidup bahagia bersama Kaynara itu tidak pernah ada.


Disinilah Gentala dan Kaynara sekarang. Duduk di hamparan bukit kecil dekat rumah dinas kedua orang tua mereka dulu. Banyak kenangan yang mereka ciptakan berdua disini, contohnya seperti bermain layangan bersama, melihat bintang menggunakan teleskop milik ayah Gentala, mendirikan tenda, dan lain-lain.

Keduanya hanya diam, sambil mata mereka menatap lurus ke depan. Mereka sama-sama tengah mengingat semua kenangan kenangan indah yang sudah mereka lakukan bersama semasa kecil dulu. Senyuman menyungging di bibir mereka, teringat akan polosnya mereka waktu itu,

“Do you remember? Kamu pernah nangis sesenggukan disini, karena aku pura-pura pingsan?” Gentala mulai membuka suaranya.

Kaynara mengangguk sambil tertawa, “waktu itu aku freak out banget, kamu tiba-tiba pingsan disaat aku kebelet pipis. Emang ngeselin!” ujarnya seraya memukul lengan atas Gentala pelan.

Gentala ikut tertawa,

“Kamu tau gak alasan aku kayak gitu karena apa?” tanyanya.

“Apa?”

“Ayah bilang ke aku, katanya kalau misalkan kita mau tau seseorang itu cinta atau enggak sama kita, coba kita pura-pura sakit atau pingsan. Kalau dia cuma khawatir tanpa nangis itu artinya dia cuma perduli sama kita, tapi kalau dia khawatir dan nangis, itu artinya dia cinta sama kita.” jelas Gentala yang membuat Kaynara tersenyum tipis. Berusaha menahan rasa saltingnya.

“Kamu tuh yah, umur kamu walaupun waktu itu diatas aku, tapi kita berdua sama-sama masih minor, kamu malah ngomongin soal cinta mana sampai ngajakin aku nikah segala lagi.” ledek Kaynara.

Gentala tertawa mendengar ejekan Kaynara. Tidak, dia tidak merasa tersinggung akan ejekan tersebut. Lelaki itu menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan, seraya menselonjorkan kakinya, dan menaruh kedua tangannya di belakang sejajar dengan pinggul,

“Tapi tawaran itu masih berlaku loh.” ucap Gentala.

Kaynara benar-benar menghindari percakapan ini. Tapi, lelaki itu malah mengungkitnya. Dia melirik Gentala dan menatap lelaki yang duduk di sampingnya itu dengan tatapan memohon agar tidak membahas hal seperti ini,

“Kak…” lirih Kaynara.

Gentala menoleh ke samping untuk bisa menatap wajah Kaynara, “aku serius Kay. Tawaran itu akan terus berlaku sampai kapanpun.” lanjutnya dengan sungguh.

Kedua mata itu saling bertemu, memancarkan sebuah kerindungan yang mendalam. Ini gila, tapi Gentala sangat ingin mengecup bibir Kaynara dan menarik gadis itu ke dalam dekapannya, lalu menjadikan Kaynara sebagai gadis yang akan menjadi teman hidup Gentala sampai waktunya di dunia habis,

“Kamu punya Kak Tiara.” lirih Kaynara, mata gadis itu memanas, entah kenapa ia merasa sakit dan juga sedih berada di posisi seperti ini.

“Badan aku emang punya dia, tapi hati aku cuma punya kamu, Kaynara. Aku berani sumpah di depan orang tua kamu bahkan Tuhan sekalipun.” ujar Gentala dengan begitu yakin.

Lelaki itu merubah posisi duduknya menjadi tegap dan bersila,

“Kenapa? Kenapa kamu punya perasaan sama kamu, disaat kamu pacaran sama Kak Tiara?”

Gentala menghembuskan nafansya. Oke, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk Kaynara tahu kekacauan apa yang sebenarnya terjadi disini,

“Dia sakit, Kay.”

“I know, she is sick. That's why kemarin kita jengukin dia kan di rumah sakit.” ucap Kaynara yang masih tidak tahu maksud sakit oleh Gentala.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya,

“Dia sakit keras.” Gentala melanjutkan ucapannya, “kanker darah stadium 4.”

Kaynara membulatkan bola matanya. Terkejut. Amat sangat terkejut gadis itu mendengar kabar menyedihkan ini dari Gentala. Rasa kesal yang sempat menghinggapi dirinya terhadap Tiara atas perlakuan wanita itu kepada Kaynara di rumah sakit, digantikan menjadi rasa iba dan prihatin,

“Kak, kamu tau dia sakit, tapi kamu malah bersikap kayak gini ke dia? Are you even have a heart?”

“I tried to love her, Kay, but i couldn't.” ucap Gentala putus asa.

Kaynara hanya diam sambil matanya terus memandangi Gentala. Gadis itu benar-benar tidak pernah menyangka kalau dirinya akan berada di posisi yang sesulit ini. Kalau boleh jujur, Kaynara sudah jatuh ke dalam pesona Gentala sejak dari dulu. Dari banyaknya lelaki yang pernah masuk ke kehidupan Kaynara, entah itu mantan pacarnya atau laki-laki yang pernah disukainya, tidak ada yang membekas seperti Gentala. Gentala memiliki tempat paling spesial di hati Kaynara. Lelaki itu adalah cinta pertamanya, bagaimana bisa Kaynara melupakan Gentala dengan begitu mudahnya?

Pria itu tiba-tiba meraih tangan Kaynara, mengangkatnya ke tepat ke depan mulut Gentala, lalu mengecupnya dengan durasi yang lumayan lama. Demi Tuhan, Kaynara tidak mampu lagi untuk membendung air matanya.

Melihat hal tersebut, Gentala langsung menghapus air mata yang membasahi pipi chubby gadis itu menggunakan ibu jarinya. Lalu, setelah itu, Gentala menangkup pipi Kaynara menggunakan tangan besarnya itu. Mata itu kembali menatap Kaynara dengan penuh cinta dan kerinduan,

“Tolong, jangan kemana-mana lagi. Tetep disini sama aku, aku akan lawan semuanya, dan kita bakal hidup bersama. Aku janji sama kamu. Ini semua enggak bakalan lama, aku mohon sama kamu, ya?”

“Kak, aku merasa jahat.” lirih Kaynara.

Gentala menggelengkan kepalanya, matanya menatap sedih Kaynara,

“No, kamu gak jahat. Dari awal aku gak pernah cinta sama dia. Aku selalu pingin akhirin hubungan ini, tapi bujuk rayu orang tuanya, yang minta aku untuk stay karena cuman aku alasan Tiara untuk sembuh bikin aku merasa punga tanggungjawab besar. Kamu tau, Kay, selama ini hidup aku dipenuhi bayang-bayang itu, aku bahkan gak punya kebebeasan, karena apa-apa aku harus ngurusin Tiara. Aku cape, Kay. Aku bener bener capek, aku kayak dilahirin ke dunia ini cuman untuk nyenengin Tiara tanpa aku bisa nyenengin diri aku sendiri.”

“Aku mohon sama kamu. Aku butuh kamu, aku butuh orang yang aku cintai untuk aku jadiin tempat pulang. Aku mohon sama kamu. Kamu rumahku, Kay, aku gak bisa kemana-mana lagi selain ke kamu.”

Gentala juga ikutan menangis. Kini, giliran Kaynara yang bergantian menghapus air mata itu menggunakan jari-jari cantiknya. Gadis itu tersenyum tipis,

“Kak, aku mau buat pengakuan sama kamu.”

“Apa itu?” tanyanya, seraya melepaskan tangannya dari pipi Kaynara.

“Dari dulu, aku udah jatuh cinta sama kamu. Kamu cinta pertama aku, aku gak mungkin bisa lupain kamu, semudah aku ngelupain mantan pacar aku atau cowo cowo yang pernah aku sukai. Kamu punya tempat spesial di hati aku.”

“Jadi, aku bakal temenin kamu. Aku tahu ini salah, tapi aku gak mau liat kamu kesiksa sendirian, aku selalu ada untuk kamu. Aku bakal jadi rumah ternyaman untuk kamu.”

Kebahagiaan dan keharuan terpancar dari mata Gentala setelah mendengar penutusan Kaynara barusan. Senyuman lebar juga menghiasi wajah tampan Gentala. Ini adalah senyuman terlebar yang pernah Gentala tunjukkan setelah kurang lebih 1 tahun dia berkencan secara terpaksa dengan Tiara,

“Can i hug you, sayang?”

Kaynara tersenyum, sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Dengan penuh kebahagiaan, Gentala mendekap tubuh Kaynara erat, sambil sesekali ia menciumi puncak kepala Kaynara. Sekarang, Gentala merasa hidup kembali. Setelah sebelumnya, dia merasa kalau dia sebenarnya sudah dari sejak lama mati, namun, Tuhan masih memberikan bonus untuk dia bisa beraktifitas dengan jiwanya yang sudah lama mati itu,

“I love you so much, Kaynara.”

“I love you too, Kak Genta!”