jaehyunetz


Emily tiba di rumah Ethan dengan perasaan yang campur aduk dan pikiran yang terbang kemana-mana. Iya, gadis itu masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari sikap Ethan yang terkesan aneh—menurut Emily,

“Liat itu ibu dateng.” ucap Ethan sambil menggendong Kaisar dan berjalan mendekati Emily.

Ethan seketika terdiam, melihat Emily yang tidak seperti biasanya. Gadis itu terlihat lebih diam, dan seperti ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Dia kenapa ya? pikir Ethan dalam hatinya,

“Hallo, Kaisar.” sapa Emily tidak terlalu ceria seperti biasanya, “sini ibu gendong sayang.” sambung Emily sambil mengambil alih Kaisar ke dalam gendongannya.

Ethan membiarkan Emily mengambil alih dan menggendong Kaisar,

“Emily, are you okay?” tanya Ethan sambil menatap Emily dengan serius, ada kekhawatiran juga disana.

“Huh? Okay kok gue, kenapa coba gue harus gak baik baik aja.” jawab Emily berdusta. Padahal jelas-jelas pikiran Emily sekarang sedang kemana-mana.

“You seems like you're not okay.” Ethan masih tidak percaya dengan jawaban Emily.

Emily menghela nafasnya kasar,

“Seriusan deh, gue baik-baik aja. Gak ada masalah apa-apa kok, udah mendingan lo ke kampus aja, daripada diem disini lama, nanti telat lagi.” tegas Emily.

Gantian, sekarang Ethan yang menghela nafasnya kasar. Mata laki-laki itu masih terus menatap Emily, namun kali ini, tatapannya lebih lembut tidak seserius barusan,

“Kalau misalkan ada hal hal yang ngeganggu pikiran lo, lo bisa cerita sama gue, if you don't mind, gue emang bukan sosok yang bisa ngasih good advice tapi setidaknya, lo bisa berbagi beban pikiran lo ke gue. Gue akan sangat senang dan hal itu.”

“Jangan di pendem sendiri ya Emily. Gue gak mau lo jadi stress.”

Emily dibuat semakin bingung dengan Ethan. Apa mungkin semua kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mengganggu pikiran Emily ini memang salah satunya menjadi nyata? Karena, tidak mungkin ada laki-laki tulus yang menawarkan diri untuk menjadi tempat cerita oleh perempuan asing.

Well, sebenarnya mereka tidak benar-benar asing. Tapi tetap saja, mereka dipisahkan selama 11 tahun lalu dipertemukan, dan semua langsung berubah.

Tidak ada respon sama sekali dari Emily terkait ucapan Ethan barusan. Dan, Ethan pun tidak memaksa Emily untuk merespon ucapannya, dia hanya menuturkan itu semua agar Emily mau bercerita kepadanya,

“Kalau gitu, gue ke kampus dulu ya.” pamit Ethan, Emily hanya mengangguk sebagai jawaban, “Kaisar, ayah pergi dulu ke kampus ya, nanti ayah pulang bawa mainan untuk Kaisar oke?” gantian Ethan yang pamit kepada Kaisar sekarang sembari mencium pipi anak bayi itu.

Kaisar tertawa sebagai respon dari pamitnya Ethan untuk menimba ilmu di kampus,

“Kalau ada apa-apa hubungin gue, ya?” pinta Ethan sebelum dirinya benar-benar pergi.

“Iya, Ethan.” jawab Emily.

Dan selanjutnya, Ethan pergi ke kampusnya, sementara Emily mengurus Kaisar sambil terus memikirkan hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi kepada dirinya jika dia terus terjatuh kepada sikap Ethan yang selalu membuatnya salah tingkah.


Emily datang ke rumah Ethan dengan langkah yang terbirit-birit. Ethan yang melihat pemandangan tersebut langsung menyambut kedatangan Emily, dan mempersilahkan gadis itu untuk duduk terlebih dahulu di sofa.

Melihat bagaimana nafas Emily yang tidak beraturan, membuat Ethan terlihat seperti tidak perduli dengan waktu yang sudah menunjukkan pukul 6.29, yang mana satu menit lagi kelasnya akan di mulai, tetapi dia masih berada di rumah,

“Ethan, im so sorry, im late. My father interrogated me before i left here. I am really, really sorry.” ucap Emily menyesal, “my dad was right. I am not responsible for anything. Its my first day of work, but im already late.”

Ethan merasa tidak enak melihat Emily yang terlihat begitu menyesal. Lelaki itu berjongkok di hadapan Emily, membuat Emily kebingungan dan degup jantungnya berdegup sangat kencang 2000 kali lipat lebih kencang dari sejak dirinya sampai ke rumah ini,

“Gak apa-apa kok, gak masalah. Lo emang telat gue akuin, but that's okay, you're just not used to all this. I understand.”

Emily tersenyum senang. Dia beruntung karena memiliki bos yang baik seperti Ethan. Lelaki itu benar-benar tidak membebankan Emily sama sekali,

“You're such a good boss.” lirih Emily sambil tersenyum haru, dibalas oleh senyuman manis Ethan.

“Oh by the way, i just want to remind you, that your first day of work was yesterday, and today is your second day of work.” kata Ethan mengingatkan.

“Oh? Yang kemarin di itung?” tanya Emily dengan polosnya.

Ethan tertawa, “of course, udah gila kali gue enggak ngitung hari kemarin.” ujar Ethan.

Emily hanya mengangguk paham.

Lalu matanya menangkap jam dinding yang ditaruh diatas pintu masuk sudah menunjukkan waktu hampir jam 7. Pupil mata Emily membesar sangking kaget dan paniknya dia,

“Ethan, you're late! Ini udah hampir jam tujuh.” Emily berseru panik.

“HAH!?”

Ethan langsung bangkit dari jongkoknya, dia melihat jam di tangannya, dan benar saja waktu sudah menunjukkan pukul 6.58. Habislah Ethan sekarang. Sebenarnya kalau mau, Ethan bisa aja membolos, namun, dia sudah sering membolos di mata kuliah ini, jadi dengan sangat amat terpaksa, dia tetap pergi meskipun pada akhirnya dia hanya akan mendapat makian dari dosen pengampu di mata kuliah ini,

“Emily, gue pergi dulu ya! Hati-hati di rumah sama Kaisar!” pamit Ethan buru-buru.

“Iya Ethan, hati-hati, jangan ngebut!”

Sepertinya Ethan tidak mendengarkan apa kata Emily, karena gadis itu dapat mendengar suara kencang dari motor Ethan yang melenggang, membelah jalanan kota Bandung untuk sampai di kampusnya.

“Semoga Ethan selamat sampai tujuan.” doa Emily.

Tiba-tiba gadis itu mendengar suara jeritan tangis yang berasal dari kamar Ethan. Buru-buru Emily menghampiri kamar tersebut, dan langsung membawa Kaisar ke dalam gendongannya.

Menenangkan anak itu agar berhenti menangis.


“Loh, pagi-pagi udah rapih aja, ada jadwal offline nak?” tanya bunda Emily ketika melihat anak perempuannya yang muncul di meja makan dengan pakaian yang sangat rapih juga wangi yang semerbak bak bunga-bunga di taman.

Emily menggelengkan kepalanya, sambil duduk di sebrang sang ibunda. Tangannya membalikan piring lalu mengambil secentong nasi untuk mengambil nasi goreng seafood buatan ibundanya,

“And where are you going this morning?” sang ayah akhirnya membuka suara.

“Work.” jawab Emily masih dengan nada yang ketus.

“You got a job?” sang ayah berseru tak percaya. Ada kebahagiaan yang meliputi wajah tampannya yang sudah mulai dipenuhi oleh keriput.

Sang ibunda juga terlihat begitu bahagia dan tidak percaya karena pada akhirnya, anak perempuannya, yang sempat mereka ragukan tidak akan survive untuk menjadi wanita mandiri, ternyata mampu membuktikan dirinya sendiri,

“Yeah, i got a job. So please stop underestimate me.” ucap Emily dengan angkuh.

Kedua orang tua Emily saling menukar pandang, dan diam-diam tangan mereka saling bertautan. Dua orang yang umurnya sudah hampir menginjak setengah abad itu melemparkan senyum bahagia mereka melihat Emily pada akhirnya mampu hidup dengan mandiri,

“Im so proud of you, honey.” ucap sang ayah, yang membuat Emily bahagia dan dia hampir memperlihatkan senyuman manisnya.

Iya, Emily berencana akan terus bersikap cuek kepada ayahnya sampai laki-laki itu mau menurunkan egonya dan meminta maaf kepada Emily,

“Bunda juga bangga sama kamu, nak.” gantian sang ibunda yang memuji anak perempuannya itu.

“Thank you.” jawab Emily dengan suara setengah berbisik, namun masih dapat di dengar oleh kedua orangtuanya.

“So, what company hired you?” tanya sang ayah.

“Ok, ayah, *before i answer your question, do you really not feel sorry for what you did to me?” kesal Emily.

Sang ayah menghembuskan nafasnya sambil tersenyum. Ok, kali ini lelaki tua itu menyerah, dia akan meminta maaf kepada Emily. Lelaki itu sadar bahwa dia amat sangat keras terhadap Emily, tapi hal itu juga dia lakukan semata-mata karena dia sayang kepada Emily dan ingin membuat gadis itu menjadi pribadi yang lebih baik.

Pria itu menaruh sendoknya di atas piring, lalu menatap anak perempuan kesayangannya itu dengan tatapan lembut,

“Ok, im sorry. Im sorry for being rude to you yesterday. But all that i do because i want you to be a better person and can be responsible. I love you very much, honey.” ucap ayah Emily dengan tulus.

Emily tersenyum lalu ia berdiri dari duduknya dan mendekap tubuh sang ayah dari samping sekilas, sembari mengecup puncak kepala sang ayah. Melihat pemandangan itu, membuat Bunda Emily merasa senang, bahkan saking senangnya beliau sampai berkaca-kaca,

“Bunda, are you crying?” tanya Emily setelah duduk kembali di tempatnya.

“No. Im not.” elak beliau sambil mengipas-ngipas matanya menggunakan tangannya sendiri, “jadi kamu kerja dimana, nak?”

“I was working with my friend.” jawab Emily dengan senyum yang merekah.

“Oh, how can a friend at your age own a company, and hire you there.” celetuk sang ayah.

“No one owns the company and no one works in the company.” sanggah Emily, “i work for my friend as a baby sitter.”

Suasana yang tadi membaik kini berubah menjadi menegagangkan,

“What the hell?” tanya ayah Emily kesal, sementara ibunda Emily hanya diam sambil menatap anaknya yang terlihat kebingungan di tempat duduknya, “honey, are you out of your mind?”

“Why? Remember that you're the one who said that i have to work so i can support myself. And now i've got it. Where did i go wrong?”

“Listen to me, you can work in a company or at a law firm, or in government agency, or wherever it is. Why did you choose to be a baby sitter? And i don't understand, why does your friend need a baby sitter?”

“First of all, because i love the babies. Second of all, its not you business. And the third, im late, so, i gotta go. Bye ayah, bunda.”

Emily bangkit dari duduknya dan mencium kedua pipi orang tuanya, setelah itu ia pergi melenggang keluar dari rumahnya menuju rumah Ethan untuk mulai mengurus Kaisar.

Sementara kedua orang tua Emily masih terdiam di meja makan mereka,

“Why does she have to be a baby sitter?” ayah Emily masih tidak terima fakta bahwa anaknya bekerja sebagai seorang baby sitter.

Bunda menghela nafasnya, “Being a baby sitter isn't such a bad thing. she can learn how to take good care of children, and she can use it for her future children.” ucapnya dengan lembut.

“Future children? Oh come on, baby, she's still a baby.”

“Are you kidding me? She's 21 years old.”

“She's still my baby. I don't want to lose my little babygirl.”

Bunda tersenyum penuh haru. Ia menggenggam tangan suaminya itu dan mengecupnya dengan lembut,

“I know what you feel, but you don't have to be worry, we'll never lose our little baby girl.”

Ayah mengangguk dan tersenyum, gantian sekarang dirinya yang mengecup punggung tangan bunda,

“But i swear the god, whoever wants to marry my little babygirl, i will make him give up quickly.”


Setelah bermain-main sebentar dengan Kaisar, dan menidurkan bayi itu. Emily diajak oleh Ethan untuk pergi ke halaman belakang rumah lelaki itu. Entah apa maksud dan tujuan Ethan, tapi Emily tetap menurutinya. Dan kini, kedua insan manusia itu tengah duduk berdampingan di ayunan besar yang muat untuk diduduki dua orang, yang letaknya berada di sudut pinggiran kolam renang.

Sudah hampir sepuluh menit mereka berdua duduk berdampingan, namun, tidak ada satupun yang memulai pembicaraan. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Baik Ethan maupun Emily, mereka sama-sama ragu dan canggung. Sampai pada akhirnya, Ethan yang terlebih dahulu memecah keheningan diantara keduanya,

“Gue kayaknya harus ngejelasin deh apa yang sebenernya terjadi sebelas tahun yang lalu.” ucap Ethan yang langsung membuat Emily menoleh ke arahnya.

“Come on, thats not a big deal. No need explanation.”

Bohong.

Emily jelas ingin mengetahui alasan itu. Seumur hidupnya, Emily terus dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya tentang Ethan yang memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Emily padahal mereka saja baru beberapa menit pacaran. Hanya saja, Emily tidak mau terlihat seperti dia menginginkan alasan itu, maka dari itu dia memilih untuk basa-basi dengan mengatakan seperti kalimat diatas.

Gadis tahu, kalau cinta yang bersemi di bangku Sekolah Dasar itu bukan cinta yang sebenarnya, biasanya itu hanya cinta monyet, atau cinta sesaat. Tapi, tetap saja, Emily masih tidak terima. Semua itu benar-benar mengganggunya,

Well, dengan cara lo ngungkit permasalahan tadi, gue rasa you need an explanation, so—”

“Please explain!” Emily buru-buru memotong ucapan Ethan sambil memasang ekspresi wajah serius. Emily sudah tidak tahan lagi, dia benar-benar membutuhkan penjelasan itu.

Ethan terkejut melihat perubahan ekspresi muka Emily yang begitu cepat,

“Oke i'll explain.” Ethan melanjutkan kalimatnya, “sebenernya, hari itu gue gak pernah ada niat untuk mutusin lu, cuman, my parents are kinda old fashioned. Jadi, mereka gak ngizinin gue pacaran waktu gue SD.”

“Ethan, i think all parents are doing what your parents doing. They forbid their children who are still in elementary school to date.” sahut Emily.

“Ya, i know, but my parents are so crazy, especially my dad, dia bakalan ngerem gue di kamar mandi.”

Terdengar helaan nafas yang berasal dari Ethan. Sementara Emily tidak memberikan reaksi apa-apa, dia hanya duduk disana dan menunggu Ethan untuk melanjutkan kalimatnya,

“Look.” Ethan berujar seraya berdehem dan merubah posisi duduknya menjadi agak sedikit menyamping, agar bisa berhadap-hadapan dengan Emily, “i really liked you back then. I swear the god, Emily that's not just only a puppy love, i'm really sincere. It just, i was to afraid of my parent's threats. That's why i choose to end our relationship. Im so sorry”

Emily tersenyum, dia menganggukan kepalanya, membuat Ethan bingung dengan reaksi yang Emily berikan, bukankah seharusnya ada sedikit saja kekecewaan dari wajah Emily, kenapa dia terlihat begitu tenang?

“Its okay. I forgive you.” ucap Emily dengan tulus.

“Wow.”

Emily menatap Ethan dengan kebingungan, “what's wrong with your reaction?” tanya Emily.

“Gue kaget aja—well amazed sih sebenernya. Seharusnya lo kayak marah kek gitu sama gue atau gimana, tapi ini lo malah forgive me so easily.” jawab Ethan.

“Actually, i used to really hate you back then.” ucap Emily.

“Oh ya?” respon Ethan.

Emily tertawa pelan sambil menganggukkan kepalanya, “well, i know i shouldn't have to hate you. But, still, it hurts to be dumped by someone who's only been your boyfriend for 28 minutes. I mean, you are my first boyfriend, shouldn't our relationship last longer?”

Ethan mengangguk. Ya, seharusnya hubungan mereka bisa bertahan lebih lama waktu itu. Tapi, Ethan malah mengacaukannya,

“Emily.” panggil Ethan.

“Ya?” respon Emily.

“Am i your first boyfriend?” tanya Ethan ingin kembali memastikan.

Emily mengangguk,

“I thought you dating Raihan, before you dating me.” ucap Ethan agak tidak percaya.

“Duh, i wish i could date him. But turns out, he doesn't like me.”

“Cowo goblog.” gerutu Ethan yang disambut tawa kecil oleh Emily.

“You're right. So fucking right.” Emily melanjutkan kata-katanya, “kok lo bisa bisanya nyangka gue sama dia pacaran? Jangan bilang karena….”

“Ya, karena dia punya nomor telfon lu. Jadi ya, pada saat itu gue masih SD, pemikiran gue masih kayak, if he has your phone number, that means he's your ex.”

“Astaga, dasar bocah.” ejek Emily, yang hanya dibalas dengan kekehan Ethan.

“By the way, after all of this, we can be friends right?” tanya Ethan.

Emily mengangguk dengan semangat,

“Of course we can.”

“Now give me a best friend hug.” pinta Ethan sambil merentangkan tangannya.

Emily tersenyum lalu memeluk tubuh Ethan, sampai akhirnya suara tangisan Kaisar terdengar. Emily buru-buru melepaskan pelukannya, dan berlari meninggalkan Ethan untuk mengurus Kaisar. Takut takut kalau anak laki-laki itu terjatuh ke lantai.

Sementara Ethan, dia masih duduk manis di tempatnya sambil tersenyum misterius. Entah apa makna dibalik senyumannya, hanya dia dan Tuhan yang tahu.


Apa yang diucapkan Haikal di group chat ternyata memang benar adanya.

Jantung Ethan benar-benar terasa seperti akan keluar dari tempatnya saking cepatnya degup jantung Ethan tat kala melihat Emily—mantan kekasihnya yang sore ini datang untuk mulai bekerja di rumahnya sebagai baby sitter.

Gadis itu berhasil membuat Ethan terpana dengan penampilannya yang terlihat begitu cantik dengan rambut paniang kecokelatannya yang dibiarkan terurai begitu saja, ditambah kaus putih lengan pendek yang digunakannya, dengan hot pants yang memperlihatkan kaki ramping dan jenjang Emily.

Sangking terpananya Ethan dengan Emily, lelaki itu sampai tidak membiarkan Emily untuk masuk ke dalam rumahnya, padahal keduanya sudah berdiri saling berhadap-hadapan dan saling diam selama kurang lebih 5 menit,

“Ethan.” panggil Emily membuat Ethan seketika langsung tersadar dari aktifitasnya—mengagumi kecantikan Emily.

“Eh iya kenapa?” tanya Ethan.

“Lo gak mungkin nyuruh gue untuk berdiri terus di depan pintu rumah lo kan?”

Ethan tertawa—lebih tepatnya dia mentertawai kebodohannya sendiri,

“Sorry gue lupa.” ucap Ethan, “silahkan masuk.” lanjutnya, sambil bergeser ke samping, agar Emily bisa masuk ke dalam rumahnya.

Setelah itu pintu pun ditutup. Ethan mengikuti langkah Emily dari belakang, dan mensejajarkan dirinya dengan Emily,

“Rumah lo segede ini.” puji Emily sambil matanya menelusuri setiap sudut ruang tamu rumah Ethan yang luasnya 11-12 dengan halaman belakang rumah Emily yang dijadikan mini zoo oleh ayahnya, “wajar kalau semisal lo lebih milih ngekost setelah nyokap bokap lo ke Paris.” lanjut Emily sambil melirik Ethan disampingnya.

Ethan mengangguk, tangannya ia gunakan untuk menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak terasa gatal. Ini adalah cara Ethan untuk menyembunyikan perasaan saltingnya karena ditatap oleh Emily seperti barusan

“Oh iya, bayinya mana?” tanya Emily.

“Ada di kamar gue.” jawab Ethan, “gak apa-apa kan kalau semisal lo masuk kamar gua?”

Emily mengerutkan dahinya bingung, “bukannya harusnya gue ya yang nanya kayak gitu? Kenapa malah jadi lu?” tanya Emily.

“Engga maksud gue, takutnya lo gak nyaman kalau harus masuk ke kamar laki-laki, makanya gue nanya dulu ke elu.”

Emily tertawa pelan.

Ethan bersumpah dalam hatinya, dia benci melihat tawa itu, karena kini ritme jantungnya semakin tidak beraturan. Lebih parah dari awal tadi,

“Gak masalah kok.” jawab Emily, “so, can you take me to your room?”

“Sure.”

Ethan berjalan terlebih dahulu menaiki tangga, lalu diikuti dengan Emily di belakangnya.

Mereka berdua sudah tiba di depan pintu kamar Ethan yang tertutup dengan rapat. Ethan membuka pintu kamarnya, lalu masuk ke dalam, ia juga tidak lupa mempersilahkan Emily untuk masuk ke dalam kamarnya.

Emily agaknya terkejut melihat kondisi kamar yang bernuansa serba biru tua ini. Bagaimana tidak, kamar ini benar-benar berantakan, banyak baju bayi, pampers, dan banyak barang-barang bayi lainnya yang berserakan di lantai.

Ethan mengutuki dirinya sendiri yang tidak membereskan kamarnya sebelum Emily datang. Sekarang, Emily melihat sisi buruk Ethan yang tidak pernah bisa rapih dengan kamarnya sendiri,

Well, Emily, sorry lo jadi harus ngeliat kamar gue yang berantakan ini.” kata Ethan yang malu setengah mati dan merasa menyesal juga marah kepada dirinya sendiri. Seharusnya dia memberikan kesan baik kepada Emily, karena ini pertemuan keduanya setelah sebelas tahun.

Meskipun masih terkejut, tapi Emily merespon permintaan maaf Ethan itu dengan tenang seolah-olah dirinya tidak terguncang dengan kamar Ethan yang berantakan ini,

Its okay, di rumah pun kadang kamar gue sama berantakannya kayak kamar lo.” jawab Emily bohong. Bagaimana bisa Emily membiarkan kamarnya berantakan, sementara dirinya akan begitu stress kalau banyak barang berserakan di kamarnya.

Entahlah, Ethan merasa kalau respon dari Emily tadi seperti gadis itu mengiyakan kalau kamar Ethan memang benar-benar berantakan.

Emily mencoba untuk tidak memperdulikan barang-barang yang berserakan di lantai. Ia memfokuskan dirinya kepada sosok bayi yang tengah tertidur di atas ranjang berukurang king size milih Ethan dengan dua guling—disamping kiri dan kanan Ethan sebagai pelindung, agar bayi itu tidak jatuh ke lantai.

Senyum merekah tersirat di wajah Emily. Gadis itu langsung berjalan mendekati kasur, dan duduk di samping kasur, lalu mengajak bayi itu bercengkrama, seolah-olah bayi itu paham dengan apa yang Emily ucapkan.

Dari tempatnya, Ethan melihat pemandangan itu. Dia tersenyum senang, melihat Emily yang langsung mencoba untuk mengakrabkan diri dengan Kaisar. Ethan sekarang merasa seperti dirinya sedang melihat bayangan masa depannya,

“Namanya siapa, Than?” tanya Emily.

“Kaisar. Kaisar Malik Pratama.” jawab Ethan dengan begitu bangganya.

“Such a beautiful name.” lirih Emily, “just like this baby. Hello… im here… im your new friend, my name is Emily. You're cute.”

Dan Kaisar pun tertawa, seolah-olah dia mengerti ucapan dan isi hati Emily yang begitu amat sangat terpana dengan Kaisar,

“Ethan, dia ketawa.” seru Emily kepada Ethan.

“Serius?” Ethan bertanya tidak percaya.

“Iya serius. Sini!” ajak Emily sambil mengayun-ayunkan tangannya.

Ethan berjalan menghampiri Emily dan Kaisar. Dan benar saja, Kaisar tengah tertawa, dengan giginya yang belum tumbuh sama sekali. Anak kecil itu seribu kali lipat semakin terlihat menggemaskan,

“You know what?” ujar Ethan sambil matanya terus menatap Kaisar, seolah-olah Kaisar adalah pemandangan indah yang harus selalu dilihatnya.

“Hm.” respon Emily yang melakukan hal yang sama seperti Ethan—menatap Kaisar.

“Dia gak pernah ketawa selama beberapa hari tinggal sama gue. Yang dia lakuin selalu nangis, minta susu, dan setelah itu tidur.” ungkap Ethan.

Emily mengalihkan pandangannya kepada Ethan,

“Really?” tanya Emily tidak percaya.

Ethan menganggukan kepalanya.

Lalu, Emily kembali memfokuskan pandangannya kepada Kaisar. Menatap anak bayi itu dengan tatapan penuh sayang,

“Dia mungkin butuh sosok perempuan di hidupnya. Atau, dia tahu seburuk apa sikap lo ke gue waktu 11 tahun yang lalu.” ucap Emily yang kembali menatap Ethan.

Ethan tertawa pelan,

“Astaga.” desah Ethan.

Emily pun ikut tertawa. Mengingat kembali memori yang entah menyedihkan atau memalukan—Emily bingung menyebutkan,

“Remember?”

“Well, how can i forget about that?”


Amoura dan Nadin selalu bilang, kalau rumah Emily adalah rumah yang paling nyaman untuk ditempati. Selain karena design interior rumah itu ala-ala scandinavian, rumah itu juga dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang yang tulus diantara keluarga kecil yang meninggali rumah itu. Membuat rumah itu tidak seperti rumah biasa melainkan seperti surga untuk mereka-mereka yang tidak menemukan perasaan itu di rumah mereka sendiri.

Namun, malam ini, label “rumah indah” itu hilang, dikarenakan suasana menegangkan menyelimuti seisi rumah tersebut. Suasana ini mengingatkan Emily kepada wahana permainan yang amat sangat ditakutinya yaitu, rumah hantu. Emily benci suasana seperti ini, suasana dimana sang ayah hanya diam dan menatap Emily tajam dan menusuk, dengan rahangnya yang mengeras seperti sedang menahan amarah. Dan ibunya yang hanya bisa diam di samping suaminya itu dengan ekspresi wajah pasrah,

“Wow, i really feel the tension here. What's going on?” tanya Emily dengan gugup, sambil dirinya duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan kedua orang tuanya.

“I want to take back the credit card that i gave to you.” tanpa memperdulikan pertanyaan sang anak, laki-laki berkebangsaan Amerika Serikat itu meminta kepada Emily untuk mengembalikan kartu kredit yang beliau kasih kepada Emily.

Emily terkejut sekaligus bingung. Salah apa yang sudah ia perbuat sampai ayahnya tiba-tiba ingin mengambil kembali kartu kredit milik perusahaannya yang diberikan kepada Emily,

“Why?” tanya Emily kebingungan sekaligus tidak terima.

*“I can't believe you still can say “why” after what you've done.” jawab sang ayah begitu sarkastik.

Emily semakin dibuat bingung. Ia menatap sang bunda yang diam disamping sang ayah dengan wajah gelisah sekaligus pasrah. Pandangan dua perempuan itu bertemu, Emily menekankan tatapannya, seolah-olah memberi kode kepada ibundanya untuk menjelaskan semua keanehan yang menimpa ayahnya malam ini. Namun, bunda Emily lebih memilih untuk menunduk—menghindari kontak mata dengan anak perempuannya itu,

“Did i do something wrong?” lagi, lagi, Emily bertanya.

*“Yes, you did! You are doing something very very wrong and irresponsible. I gave you that credit card because i believe that you can use it wisely. But in reality, you're not. You keep wasting my money!” marah ayah Emily.

Selama ayah Emily menjabarkan beberapa kesalahan dari gadis itu. Emily benar-benar tidak bisa berkata apa-apa, dia tidak percaya kalau ayahnya menuduhnya sebagai orang yang tidak bertanggungjawab. Padahal, uang-uang itu juga tidak pernah Emily gunakan untuk masuk ke club malam, atau hal-hal negatif lainnya. Emily gunakan kartu kredit itu untuk membeli buku-buku. Maka dari itu, setelah perlu beberapa waktu untuk memahami, Emily mulai terpancing emosi,

“Ayah, for your information kartu kredit ayah ini aku pakai untuk beli koleksi-koleksi buku aku, dan aku juga gak pernah pakai kartu kredit ini untuk transaksi hal hal yang negatif. Why do you care about this?” balas Emily tidak kalah emosinya.

“Look, i don't care how much money that you spend. What i care is, your responsibility to this credit card.” Ayah Emily melanjutkan ceramahnya, *“when you were in college, i gave you that card with so many rules, one of which is that you must be responsible for this credit card and use this credit card wisely.”

Emily baru saja mau membuka mulutnya, namun keburu dipotong oleh ayahnya,

“I don't want to hear your excuse anymore. Now, give me the card.”

“Ayah.” rengek Emily.

“Give me the card!”

“Terus aku gimana?” tanya Emily sambil merengek kepada ayahnya itu.

Ia juga sempat menatap sang ibunda, berharap kalau ibundanya itu mau membantu, namun nyatanya, bunda Emily hanya diam saja dan tidak bisa membantu apa-apa,

“Emily!” Ayah Emily meninggikan suaranya, membuat Emily takut dan dengan terpaksa dia mengeluarkan kartu kredit dari dalam tasnya, dan memberikannya kepada sang ayah.

Diterimanya kartu kredit itu dengan senang hati oleh sang ayah,

“You're bad!” kesal Emily dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Its better to be evil for good, than to be irresponsible at all.” balas sang ayah, *“go find a job to support yourself.”

Emily berdiri dari duduknya dengan kesal, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis bukan karena sedih, tetapi karena dia kesal kepada ayahnya yang sudah bersikap seenak jidat kepada Emily,

“Fine! I will work to support myself. And i don't need a penny from both of you, especially you, ayah!”

Emily pergi menuju tangga dan naik ke atas untuk masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya di ruang keluarga,

“Honey, please, reduce the punishment for Milee, she is our child.” pinta ibunda Emily dengan bersungguh-sungguh, tangannya yang kecil menggenggam tangan suaminya yang dua kali lipat lebih besar darinya.

“Hei, this is the only way she can learn from her mistakes. We have spoiled her too often. And now, let her live independently without us who always spoil her. Especially you.” tutur ayah Emily sambil membalas genggaman tangan istrinya itu, dan punggung tangannya yang dikecup lembut olehnya.

Ibunda Emily menghembuskan nafasnya kasar, lalu mereka saling melepaskan genggaman tangan, dan digantikan dengan ayah Emily membawa istrinya itu ke dalam dekapannya. Mengecupi puncak kepala istrinya berulang-ulang sebagai bentuk kasih sayang dan juga kerinduan yang mendalam,

“Is she really going to get a job?”

“Our daughter is so amazing. She will definetly get a job.”


“Eh kalian pada inget gak sih dulu waktu jaman-jaman ospek, si Milee yang paling susah buat diajak ngobrol?” ucap Amoura yang mulai bernostalgia tentang masa-masa ospek mereka 3 tahun yang lalu.

Ya, setelah Emily, Amoura, dan Nadin asik berbelanja baju di salah satu mall terbesar di Bandung, tidak lupa juga bagi Emily untuk membeli buku—padahal kemarin dia sudah membeli lumayan banyak buku—mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke salah satu coffee shop di Bandung yang menyajikan pemandangan kota Bandung dilihat dari atas,

“IYA GUE INGET BANGET!” Nadin berseru heboh sambil memukul-mukul meja.

“Masa sih gue dulu susah buat diajak ngobrol?” Emily terlihat bingung, apakah dirinya dulu memang seperti apa yang diucapkan Amoura? Seingatnya dia biasa-biasa saja, dan dia juga berbaur dengan beberapa teman di kelompok ospeknya waktu itu.

Amoura mengangguk sambil menyeruput mocktail pesananannya,

“Demi Tuhan semua orang pada takut buat ngobrol sama lu, karena muka lu yang too intimidating dan juga lu yang kalau diajak ngobrol cuman jawab seadanya, dan nada suara lo pun gak ramah sama sekali.” papar Amoura.

“Sebegitunya kah gue?” tanya Emily seolah-olah tidak percaya kalau dirinya dulu seburuk itu.

“Iya anjir.” Nadin ikut menambahkan, “parah banget sumpah lo dulu, gue sampai setiap ngeliat lo males banget anjir, soalnya lo emang sejudes itu, lo ada masalah apaan sih dulu?”

Emily mengangkat kedua bahunya. Dia juga tidak tahu kenapa dulu dia seperti itu, padahal sebenarnya dia merasa kalau dirinya baik-baik saja, dan selalu mencoba untuk berbaur dengan siapapun,

“Terus gue tiba-tiba bisa temenan sama lo berdua karena apaan? Gue kayak lupa, literally lupa.” tanya Emily.

“Kalau gak salah sih gara-gara waktu itu lo nolongin Nadin, pas Nadin pingsan waktu Bela Negara, terus lo neriakin gue, ya udah akhirnya gue sama lo bareng sama si bapak tentara yang palanya botak kumis baplang perut gede bawa Nadin ke UKS, iya gak sih?” jawab Amoura seperti kurang yakin dan seperti mencoba untuk mengingat-ingat kembali masa-masa itu.

“Iya.” Nadin berseru, “nah terus abis itu pas gua sadar tuh, kita bertiga ngobrol dan obrolan kita serus banget, abis itu kemana-mana deh kita selalu bareng.”

“Gila yah, gue gak nyangka loh gue bertahan temenan sama lo pada sampai tiga tahun. Kalau boleh jujur, dulu waktu di SMA tuh gue hampir kayak gak punya temen, karena waktu SMA gue yang blasteran sendirian di kelas, terus ya cewek cewek di kelas pada jealous gitu ke gue karena mereka mikirnya gue ngerebut perhatian cowo cowo dari mereka. Ya bukan salah gue dong kalau kayak gitu? Iya gak sih?”

Nadin dan Amoura mengangguk setuju,

“Mereka gak jelas semua anjir.” geram Amoura.

“Eh foto-foto yuk?” ajak Nadin.

Amoura dan Emily pun menganggukan kepalanya semangat.

Kegiatan berswafoto disaat pergi bersama teman-teman sudah menjadi hal yang lumrah bagi setiap orang. Meskipun ada segelintir orang yang acap kali menganggap kalau berfoto disaat sedang berkumpul dengan teman itu tidak penting dan mengurangi kebersamaan yang sebenarnya. Tapi bagi Emily, Amoura, dan Nadin, berswafoto disaat sedang berkumpul bersama itu adalah hal yang penting dan tidak boleh dilewatkan. Kenapa? Karena akan tiba pada masanya dimana mereka bertiga sudah hidup dengan pilihan dan jalan masing-masing, bisa jadi dari itu semua membuat intensitas mereka untuk bertemu semakin berkurang, dan kalau seperti itu, foto-foto mereka lah yang akan menjadi pengobat rindu disaat mereka sudah tidak bisa lagi sering-sering untuk berkumpul bersama.

Disela-sela kegiatan berfoto mereka, tiba-tiba ponsel Emily berbunyi. Mereka bertiga otomatis langsung berhenti berfoto dan membiarkan Emily untuk mengangkat telfon yang ternyata dari ayahnya. Muka Amoura dan Nadin terlihat begitu tegang—entah mengapa mereka berdua memiliki perasaan yang buruk tentang ayahnya Emily, sementara Emily terlihat biasa-biasa saja,

“Gue angkat telfon dari bokap gue dulu ya.” pamit Emily sambil tersenyum tipis, kedua sahabatnya pun mengangguk.

Emily berdiri dari duduknya dan berjalan menjauh dari meja makannya, lalu mengangkat telfon dari sang ayah yang entah mau apa menelfonnya, padahal Emily juga akan pulang sebentar lagi dan mereka akan bertemu di rumah nanti,

“Hallo ayah!” sapa Emily dengan begitu ceria seperti biasanya.

“Where are you?” suara ayah Emily terdengar begitu tegas dan serius, tidak seperti biasanya, sekarang jantung Emily berdegup kencang sekaligus bingung, ada apa dengan ayahnya?

“Im hanging out with my friends.” jawab Emily, suara cerita Emily hilang begitu saja digantikan dengan suara tegang.

“You better go home now!” titah sang ayah, Emily bergidik ngeri, dia bisa merasakan aura kemarahan ayahnya dan raut wajahnya yang serius dan tegas.

“Iya.”

Sambungan telfon pun diputus begitu saja oleh sang ayah. Emily takut. Sangat takut. Dia tidak tahu dimana salahnya sampai-sampai ayahnya terdengar sangat marah seperti barusan. Apa karena dirinya yang tidak ikut menjemput ke bandara? Ini bisa jadi. Tapi satu tahun yang lalu, Emily pernah absen untuk menjemput ayahnya di bandara, dan lelaki tua itu tidak marah justru ia malah pergi mengajak Emily untuk berjalan-jalan.

Ah entahlah, mungkin, seiring bertambahnya usia, mood pun sering berubah-ubah. Tidak perlu khawatir Emily, everything will be fine. Gadis itu terus merapalkan kalimat tersebut di dalam hatinya.

Emily kembali ke mejanya, dan dia langsung menyembunyikan wajah tegang dan gelisahnya, berubah menjadi wajah yang begitu ceria. Dia lakukan hal ini karena dia takut Amoura dan Nadin berpikir kalau ayahnya tidak menyukai mereka berdua,

“Eh kita masih lama gak kira-kira?” tanya Emily setelah duduk di kursinya.

“Lo disuruh pulang?” Amoura bertanya dengan hati-hati.

Emily menggelengkan kepalanya, “enggak, bokap gue tadi nelfon katanya dia udah sampai di rumah, nah gue ga enak aja dia nyampe tapi gue gak ada, jadi kayaknya gue mau balik aja deh.” jawab Emily berdusta.

“Oh ya udah kita balik sekarang aja. Lagian ini udah jam delapan malem juga.” timpal Nadin.

“Ya udah yuk.”

Dan pada akhirnya, ketiga perempuan itu pun memutuskan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Tapi sebelum itu, Amoura harus mengantarkan Emily dan Nadin terlebih dahulu, sebelum dirinya sendiri pulang ke rumahnya.

Hari ini adalah hari yang seru bagi mereka bertiga!


Setelah bertanya kepada sang mama dan mendapatkan pencerahan, Ethan langsung bergegas pergi menuju mini market yang tidak terlalu jauh dari kost-annya, dan anak bayi yang belum Ethan beri nama itu, Ethan titipkan kepada tetangganya yang kebetulan perempuan.

Sesampainya di mini market, Ethan buru-buru pergi ke lorong dimana susu formula khusus bayi di jual. Disana, ada begitu banyak pilihan, tapi Ethan memilih susu formula untuk anak bayi yang berumur 0-6 bulan. Dia ambil 1 kaleng susu tersebut, membayarnya di kasir dan setelah itu dia buru-buru pergi dari mini market dan kembali ke kost-annya.

Ethan benar-benar berlari dengan kecepatan turbo dari mini market sampai ke kost-annya. Dengan nafas yang tidak beraturan, Ethan membuka gerbang kostnya, dan buru-buru masuk menuju kamar kostannya. Sesampainya di kamar kost ternyata anak bayi itu tmasih menangis, meskipun sudah digendong oleh teman satu kostan Ethan,

“Eh makasih banget ya lo udah mau nungguin dia.” kata Ethan dengan nafas yang ngos-ngosan.

“Dia? Lo gak kasih anak lo nama?” tanya perempuan ini.

“Dia bukan anak gue. Ada orang gila yang buang anak ini, terus di suratnya ditulis seolah-olah gue bapak kandungnya.” sewot Ethan, “dan ya, anak ini emang belum gue kasih nama, gue boro-boro mikirin nama, gue masih mikirin gimana caranya gue bisa ngurus ini anak.”

Perempuan itu hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil mulutnya membentuk huruf O,

“Ya udah kalau gitu gue cabut ke kamar gue dulu ya. Lu bikinin susu biar anak ini diem.”

“Iya ini gue mau bikinin susu.”

Dan, perempuan itu pun pergi keluar dari kamar kost Ethan. Tersisa Ethan dan anak bayi disini.

Karena masih amatir, Ethan memutuskan untuk melihat video cara membuat susu formula untuk bayi, dia takut kalau salah takaran susu atau bagaimana akan membuat si bayi ini sakit dan Ethan akan semakin repot dibuatnya.

Ethan benar-benar fokus menonton video sambil tangannya bekerja untuk membuat susu. Sampai akhirnya, susu pun berhasil di buat. Ethan buru-buru menggendong anak bayi yang tangisnya tak kunjung mereda itu, sambil memberikan dot yang berisi susu ke dalam mulut bayi itu.

Dan, benar saja, suara tangisnya langsung mereda. Ethan bernafas lega sekarang.

Sambil menggendong dan “menyusui” anak bayi ini. Ethan tiba-tiba kepikiran atas ucapan teman satu kostnya itu. Bayi ini belum sama sekali memiliki nama—atau mungkin sudah diberi nama oleh orang tua aslinya, tapi Ethan tidak tahu namanya siapa. Jadi, mungkin, apa salahnya kalau Ethan memberikan nama kepada anak ini?

“Kalau pun lo bukan anak gue, dan gue gak tau nyokap bokap lo siapa, tapi gue bakal ngasih lo nama yang sebagus mungkin.” ucap Ethan sambil melihat bayi kecil di gendongannya yang masih setia menyusu dengan matanya yang perlahan-lahan menutup karena mengantuk.

Awal-awal, Ethan mungkin terlihat tidak bisa menerima anak bayi nan menggemaskan ini. Tapi, sekarang, Ethan mulai bisa menerima kehadiran anak bayi ini. Dan, percaya atau tidak, Ethan langsung merasa kalau dirinya benar-benar terkoneksi dengan anak bayi ini. Ethan menyayanginya, seperti seorang kakak yang menyayangi adiknya.

Entah Ethan harus berterima kasih atau bagaimana kepada orang tua yang sudah membuang bayi kecil tidak berdosa ini. Tapi yang pasti, Ethan merasa senang dengan adanya anak bayi ini.


“Darimana aja kamu, nak?”

Emily baru saja tiba di rumahnya setelah seharian ini dia berkelana membeli buku-buku baru untuk dia baca. Niatnya, dia ingin langsung naik ke atas—ke kamarnya, namun, keberadaan sang ibunda di ruang keluarga terpaksa membuat Emily berhenti sebentar untuk menjawab pertanyaan wanita berumur sekitar empat puluh sembilan tahun itu,

“Abis dari gramedia bun, terus tadi ke cafe ngerjain tugas.” jawab Emily jujur, “emangnya ada apa bun?”

Ibunda Emily menaruh majalah fashion yang tengah dibacanya. Lantas wanita itu berdiri dan berjalan mendekati anak perempuan satu-satunya itu,

“Kamu beli buku sebanyak ini lagi?” entah kenapa, tapi, Emily sedikit tersinggung mendengar nada suara bundanya yang terdengar sarkastik.

“Iya.” jawab Emily mencoba untuk tidak terbawa emosi. Bagaimanapun juga, perempuan yang berdiri dihadapannya ini adalah ibunya, orang yang sudah melahirkan dan merawatnya dari sejak Emily kecil.

Terdengar helaan nafas berat dari sang ibunda. Hal itu membuat Emily menjadi berpikir, apakah salah kalau Emily begitu suka membaca? Apakah salah kalau Emily membeli banyak buku? Kalau salah, lalu apa yang harus Emily lakukan agar ibundanya ini tidak terlihat begitu kecewa ketika melihat Emily pulang dengan membawa banyak buku,

“Nak, bunda seneng kamu suka baca buku. Seneng sekali. Tapi, apa harus setiap saat kamu beli buku sebanyak ini?” ujar sang ibunda dengan suara lembutnya.

“Bun, apa salahnya sih aku beli buku banyak kayak gini? Toh juga ini buku engga cuma novel, tapi ada buku untuk self improvement juga which is itu bagus untuk aku yang masih butuh bimbingan biar hidup kedepannya aku bisa lebih baik lagi. Aku ngelakuin hal yang positif loh bun, aku gak ngelakuin hal yang buruk.”

“Iya bunda paham sayang. Tapi setiap kali kamu beli buku itu, uang yang kamu keluarkan itu banyak, dan ayah, ngasih kamu kartu kredit kantor itu untuk kamu pakai dengan sebaik-baiknya.”

“Oh, jadi menurut bunda beli buku itu bukan hal yang baik?” kali ini Emily mulai ikut terbawa emosi, suaranya sedikit agak meninggi.

Untunglah, ayahnya sedang pergi ke Malaysia, kalau laki-laki tua itu melihat pemandangan ini, sudah jelas Emily akan di beri hukuman yang sangat berat karena berani bicara dengan nada yang setinggi itu kepada ibundanya sendiri,

“Enggak gitu nak, dengerin bunda ya.” bunda masih mencoba untuk bicara dengan selembut mungkin, while Emily memasang ekspresi kesalnya. Bunda berjalan mendekati Emily, lalu kedua tangannya ia letakan di bahu Emily, mata indahnya itu menatap lurus mata Emily yang begitu tajam seolah-olah memberi tahu kepada sang ibunda bahwa dirinya sedang kesal, “i support you to do whatever you love, but the problem here is your father.”

What's wrong with, ayah?” tanya Emily dengan nada datar.

“He will be very angry if he finds out that you don't use the card wisely.”

“Bun, astaga, bunda tenang oke? Ayah gak bakal marah, toh aku pakai kartu ini untuk beli buku kan? Bukan untuk aku pake pergi ke club malam, atau shopping beli baju baju mahal yang ujung-ujungnya gak bakalan aku pakai juga. So, bunda tenang aja oke? Aku jamin kok, ayah nggak bakal marah sama aku.” ujar Emily dengan begitu tenangnya.

Sang ibunda sudah pasrah melihat anak perempuannya yang susah sekali untuk diberi tahu,

“Milee…….” bunda memanggil Emily dengan nama panggilan anak itu ketika bayi. Hal ini bunda Emily lakukan kalau dia sudah sangat lelah, khawatir, kesal kepada Emily.

Namun, tampaknya Emily tidak perduli dengan panggilan itu. Gadis itu malah memeluk ibunya sebentar lalu mengecup pipinya sekilas,

“Aku minta maaf karena tadi bicaranya agak keras sama bunda. Maaf aku sebegitu keselnya sama bunda. Aku sayang bunda. Bunda gak perlu khawatir, ayah gak bakal marah sama aku.”

Setelah itu, Emily naik ke atas menuju kamarnya.

Sementara sang ibunda hanya mampu menghela nafasnya kasar. Dia masih berdiri di tempatnya, sambil melihat Emily yang menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat sikap Emily malam ini benar-benar seperti dia sedang melihat dirinya dulu ketika masih seumuran Emily.


Hari Jumat sebetulnya bukan hari yang melelahkan bagi Ethan. Jadwal kuliahnya pun tidak padat, hanya ada satu mata kuliah yang harus dia ikuti, setelah itu, Ethan bisa pulang ke kost-annya dan beristirahat atau bermain games atau melakukan video call dengan ketiga sahabatnya Haikan, Raven, dan juga Jehan.

Tapi, untuk Jumat di minggu ke-empat bulan Juli ini, Ethan merasa benar-benar lelah, seperti dirinya baru saja menyelesaikan beberapa tugas tanpa diberi istirahat. Ethan berpikir kalau mungkin itu disebabkan karena perasaan tidak enak yang menyelimuti dirinya.

Maka dari itu, Ethan menuliskan curhatan tentang hal tersebut di akun twitternya, lalu cerita ke tiga sahabatnya. Dan mereka memberi saran agar Ethan tidak terlalu memikirkan hal tersebut dan mencoba untuk mencari kegiatan yang lain, agar pikiran Ethan ter-distract.

Dan ya, Ethan akhirnya menuruti saran dari sahabatnya itu. Dia mencoba untuk bermain gitar dan bernyanyi dengan sesuka hatinya, namun hal itu juga tidak kunjung membuat Ethan bisa tenang, justru perasaan itu semakin menghantuinya. Tidak hanya bermain gitar, Ethan pun sampai rela membersihkan kost-kostannya padahal biasanya dia selalu menyewa jasa go-clean untuk membersihkan kost-kostannya yang selalu jauh dari kata rapih.

Kegiatan bersih-bersih kostan yang Ethan lakukan cukup berhasil membuat Ethan semakin lelah. Berkali-kali Ethan menguap. Ethan mencoba untuk tetap bertahan dan tidak tertidur, karena takut kalau bangun tidur nanti sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Sebisa mungkin dia tetap membuat dirinya waras, dengan cara apapun, entah itu pergi ke toilet untuk cuci muka, menampar pipi sendiri, atau mendengarkan lagu milik Gun n Roses melalui ponselnya.

Namun, sekuat apapun Ethan berusaha untuk tetap sadar, rasa kantuk berhasil mengalahkannya. Iya, pada akhirnya Ethan pun terlelap dengan begitu nyenyaknya. Suara dengkurannya begitu keras, bahkan air liur membentuk sebuah bulatan seperti pulau di bantalnya. Entah bagaimana reaksi perempuan diluaran sana ketika mengetahui Ethan yang terkenal sebagai laki-laki super tampan dan menjadi dambaan seluruh kaum hawa tidur dengan air liur yang begitu banyak dan juga suara dengkuran keras yang bisa saja mengganggu beberapa orang.

Mungkin tiga jam lebih Ethan sudah terlelap, tapi belum ada tanda-tanda lelaki itu akan bangun juga. Sampai pada akhirnya, suara ketukan keras yang berasal dari pintu kamar kostannya, berhasil membangunkan Ethan. Dengan mukanya yang setengah basah karena air liur, juga matanya yang merah dikarenakan baru bangun tidur. Ethan bangkit dari kasurnya, dan berjalan untuk membuka pintu. Ia bingung ketika melihat ketiga sahabatanya berdiri di depan kostannya, ditambah lagi ada beberapa penghuni kostan juga yang berdiri bersama mereka bertiga,

“Lu bertiga ngapain kesini?” tanya Ethan menatap Haikal, Raven, dan Jehan bergantian.

Bukannya mendapatkan jawaban, yang Ethan dapatkan adalah pukulan keras tepat di pipinya. Jelas Ethan terkejut, dia bahkan sampai limbung dan jatuh ke lantai. Pukulan yang dihadiahkan oleh Jehan itu cukup membuatnya tersadar. Ethan menatap Jehan dengan tatapan yang menuntut penjelasan,

“Lu apa-apaan anjing main nonjok gue?” tanya Ethan tidak terima setelah ia bangkit dari jatuhnya.

“Lu hamilin anak orang kan anjing?” bukannya menjawab Jehan malah balik bertanya.

“Mabok lu? Siapa yang hamilin anak orang bangsat, orang gue aja baru bangun tidur.”

Tiba-tiba ada seorang perempuan yang maju ke depan sambil menggendong seorang bayi. Ethan kenal siapa perempuan itu, dia adalah penghuni di kostan yang sama seperti yang Ethan huni tapi wanita itu tinggal di lantai atas, dan seingat Ethan wanita itu memiliki kekasih, juga, sejak kapan wanita itu hamil?

“Ini.” kata Raven, “ini anak tadi ada di box depan kamar lu, dan mending lu baca surat ini deh.”

Raven memberikan surat yang sedari tadi dipegangnya kepada Ethan. Ethan menerima dan membacanya. Mata lelaki itu membulat kaget ketika membaca isi dari surat tersebut,

“Aku udah gak sanggup lagi ngurus bayi ini sendirian. Aku harap kamu mau tanggungjawab dan urus bayi ini, biar kamu rasain gimana struggle-nya aku ngurus bayi ini sendirian.”

Ethan langsung membuang surat tersebut ke lantai. Dia menatap semua orang yang berdiri di depannya dengan tatapan yang meyakinkan. Meyakinkan mereka kalau anak itu bukanlah anaknya. Ethan tidak mungkin melakukan hal sebejat itu, kalau pun iya, Ethan tidak akan pernah lari dari tanggung jawab.

Dia adalah laki-laki yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya untuk menghargai setiap orang, apalagi perempuan,

“Sumpah gue berani sumpah pocong sekarang itu anak bukan anak gua.” ucap Ethan dengan menggebu-gebu, dia ingin semua orang percaya akan kesaksiannya.

“Than, jangan kayak gini.” ucap salah satu penghuni kost-an diikuti dengan penghuni kost-an lainnya.

“Than, lu temen gue, tapi jujur gue kecewa sama kelakuan lo. Gue gak nyangka lo bisa sebrengsek ini.” ucap Haikal yang sedari tadi hanya diam sambil menatap Ethan dengan tatapan kecewa dan marahnya.

Ethan menggeleng, wajahnya terlihat putus asa. Bagaimana caranya dia menjelaskan kalau bayi ini bukanlah anaknya,

“Demi Tuhan, Kal, Ven, Je, gue gak tau. Kalau pun iya gue hamilin perempuan, gue gak bakal lari dari tanggung jawab. Lo tau kan gimana gue?”

Haikal, Raven, dan Jehan terdiam. Mereka bertiga tahu sebenarnya kalau Ethan adalah sosok yang sangat amat bertanggungjawab dan menghargai perempuan, mereka percaya Ethan tidak melakukan ini, tapi sisi lain dari diri mereka mengatakan kalau bisa saja selama ini Ethan bersikap seperti laki-laki baik dan menghargai perempuan demi untuk menutupi kebusukan yang sebenarnya,

“Ya terus ini bayinya gimana, Than? Ini anak lo, lo tega biarin dia diem di kardus kedinginan hah? Seengganya, kalau lo gak mau tanggung jawab, tolong kasihan sama dia. Dia gak salah sama sekali, lo sama cewe yang lo tidurin yang salah. Ini pegang bayi ini.” perempuan itu menyerahkan bayinya kepada Ethan.

Ethan benar-benar tidak bisa bergerak, tubuhnya kaku ketika melihat sosok bayi itu yang umurnya kemungkinan masih sekitar 7 bulan. Dan, ketika mata bulat bayi itu menatap tepat ke mata Ethan, hati Ethan tiba-tiba menjadi tergerak dan terenyuh, merasa kasihan dengan bayi malang ini yang di buang oleh perempuan tidak tahu diri di luar sana. Tangan Ethan terulur begitu saja, seperti ada sesuatu dari belakang yang mendorongnya dan menggendong bayi itu dan surprisingly Ethan menggendong bayi itu dengan posisi yang benar, tidak seperti kebanyakan laki-laki diluaran sana yang masih selalu salah ketika menggendong seorang bayi.

Moment itu cukup membuat Jehan terharu, dia tidak menyangka bahwa sahabatnya itu kini sudah menjadi seorang ayah. Walaupun masih belum terbukti, tapi Jehan merasa marah dan juga bangga kepada Ethan. Tidak hanya Jehan, Haikal dan Raven pun merasakan hal yang sama. Senyum tipis terpatri di wajah mereka bertiga tat kala melihat Ethan yang sudah seperti sangat pro dalam menggendong bayi.

Akhirnya, kerumunan pun di bubarkan, setelah melalui beberapa banyak perdebatan yang alot. Dan kini, di dalam kamar kost-an Ethan, hanya ada Haikal, Raven, Jehan, Ethan, dan si bayi kecil yang kini sedang tertidur di atas kasur Ethan. Keempat pria itu memperhatikan bayi kecil itu dengan seksama, mereka begitu terpana dengan bayi lucu nan menggemaskan itu,

“Guys, lo percaya kan kalau bayi ini bukan anak gue?” Ethan bertanya sambil matanya masih fokus memperhatikan bayi lucu tersebut.

“Gue bingung.” jawab Haikal.

“Gue juga.” Raven dan Jehan ikut bersuara.

“Gue tau lu gak mungkin ngehamilin perempuan di luar sana, ya kecuali kalau lu udah nikah sama perempuannya. Ini kalau lu ngelakuin di luar nikah kayak enggak mungkin, we know you so well lu selalu baik sama perempuan, lu selalu menghargai perempuan walaupun looks lu kayak playboy kelas kakap yang cewenya ada di setiap sudut kota.” ujar Jehan.

“Terus lu kenapa nonjok gue bajingan?” kesal Ethan.

“Gue keburu emosi.” jawab Jehan.

“Bilang aja cemburu Ethan ternyata ngehamilin cewe lain.” celetuk Haikal.

“Moncong lu di jaga.” gerutu Jehan sambil memukul kepala bagian belakang Haikal.

Yang di pukul hanya mengaduh sambil tertawa,

“Terus, anak ini mau lo apain?” tanya Raven sambil menatap Ethan.

Ethan mengangkat kedua bahunya, “jujur gue clueless banget, gue masih shock.” jawab Ethan.

Bagaimana tidak shock, dirinya yang sedang tidur nyenyak, tiba-tiba terbangun dan sudah disodorkan bayi oleh seseorang yang mengaku-ngaku dihamili olehnya. Siapapun yang ada di posisi Ethan, butuh banyak waktu untuk memahami situasi gila ini,

“Kenapa gak coba lu urus aja?” saran Haikal.

“Gila lu? Gue ngurus sendiri aja kaga bisa, gimana lagi ngurus bayi.” sungut Ethan.

“Ya terus? Lu mau simpen ni anak di kardus lagi? Lu ga kasian apa?” Haikal jadi kembali larut terbawa emosi.

Ethan mendecak, “ya kemanain kek, ke panti asuhanin kek, panti sosial kek.” ucap Ethan dengan begitu entengnya.

“Lu tau gak sih? Semua yang terjadi di kehidupan kita ini mungkin aja ada alasannya, kayak Tuhan gak mungkin tiba-tiba ngasih kita sesuatu yang wah tanpa ada maksud dan tujuannya.” tutur Jehan, Ethan, Haikal, dan Raven seketika terfokus kepada Jehan menunggu anak itu untuk melanjutkan ucapannya, “bisa jadi nih ya bisa jadi, sebenernya ini anak tuh ngebawa kebahagiaan buat lo, Than. Lo kan sering bilang, semenjak nyokap bokap lu pindah ke Paris, lo ngerasa kesepian, makanya lo milih ngekost daripada tinggal di rumah lo yang gedenya udah kayak rumah kosong di film horror. Nah, Tuhan hadirin ini anak sebagai penghilang rasa sepi lu. Ini anak emang bukan anak lu, tapi bisa lu anggep dia sebagai adik lu. Lu juga selalu bilang kan kalau lu pingin punya adik?”

Ethan terdiam, apa yang diucapkan oleh Jehan ada benarnya juga,

“Atau, ada kemungkinan juga, kalau anak ini adalah sosok yang Tuhan kirimin buat lo untuk lo ketemu sama jodoh lo.” lanjut Jehan.

“Kagak nyambung goblog.” tandas Haikal.

“Tau nih si Jehan, dari bayi ke jodoh anying. Freak lu.” timpal Raven.

Jehan mendecak sebal,

“Ada banyak kemungkinan yang terjadi walaupun pada awalnya kayak aneh dan gak mungkin banget. Makanya lu pada tuh jangan memaknai hidup dengan sempit, sekali-kali memaknai hidup dan jalan kerja takdir dengan luas dong.” sombong Jehan.

“Terus ini anak gimana? Harus gue apain?”

“Lo rawat.” jawab Haikan, Jehan, dan Raven bersamaan.

“Anjing, kalau gue rawat ini anak, yang ada umur ni anak kagak bakal nyampe setaun.”

“WOI KONTOL ATI ATI LU KALO NGOMONG.” kesal Haikal.

Raven langsung memukul bahu Haikal dengan kencang,

“Goblog ah di pukul mulu gue.” kesal Haikal disertai ringisan akibat pukulan Raven yang kencang di bahunya.

“Elu tolol, punya lambe tu di jaga, sekarang disini ada bayi.”

“Ya emang dia bakal paham gitu apa yang gue omongin? Dia ngomong aja belom bisa.”

“Mending tutup baham lu Kal.” tambah Jehan.

“Anjing malah ribut lu berdua. Ini kalau gue urusn ni anak, gimana coba? Gue gak bisa urus sendirian.” Ethan terlihat begitu frustasi.

“Lu hidup di jaman keren begini gak usah panik lah anjir. Lu bisa hire baby sitter kalau lu mau.” Ethan baru mau membuka mulutnya namun Raven buru-buru memotongnya, “lu orang kaya, gue yakin lu mampu bayar baby sitter.”

Ethan menghela nafasnya,

“Gue harus nyari dimana? Gue gak mau pergi ke tempat pelatihan ART gitu males gue.”

“Lu bisa cari di twitter, sekarang di twitter ada autobase yang kita bisa cari orang yang mau kerja sama kita, rata-rata mereka yang baru lulus kuliah terus butuh kerjaan sambil nunggu kerjaan yang lain, atau yang lagi cuti kuliah, atau yang abis lulus SMA gak ada biaya buat lanjutin kuliah jadi milih kerja. Nama basenya worksfess, lu cari sekarang buruan.” desak Raven.

Ethan pun tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti apa yang Raven, Haikal, dan Jehan sarankan. Lagipula, jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam, Ethan tidak tega untuk membawa anak kecil tak berdosa ini ke panti sosial ataupun panti asuhan, selain pengurusan dokumennya yang bisa saja ribet, Ethan merasa takut kalau anak ini tidak di rawat dengan semestinya disana.

Mudah-mudahan, apa yang Jehan ucapkan benar, kalau anak ini dikirimkan Tuhan kepada Ethan untuk membawakan sejuta kebahagiaan kepada Ethan.