jaehyunetz


Jihan sudah tiba di hotel dari beberapa menit yang lalu. Kunci duplikat kamar yang dipesan Juan sudah ada di genggamannya, wanita itu sekarang sedang berada di dalam lift untuk memergoki Juan yang sedang bersama wanita lain di dalam kamarnya.

Janu, teman satu kampus Jihan, tadinya menawarkan diri untuk menemani Jihan, takut-takut ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun, Jihan menolak, dia tidak ingin melibatkan orang lain di dalam hubungannya ini.

Pintu lift terbuka. Jihan segera keluar dari dalam lift dengan perasaan hancur, dan matanya yang sudah sembab. Iya, selama perjalanan ke hotel, tidak ada yang bisa Jihan lakukan selain menangis. Membayangkan hal gila yang dilakukan Juan dengan “selingkuhan”nya di dalam sana.

Kini, tibalah Jihan di depan pintu kamar nomor 302. Dengan tangan yang bergetar, Jihan membuka pintu tersebut dengan duplikat kunci yang diberikan Janu. Begitu pintu terbuka, Jihan segera masuk ke dalam. Dan, hal buruk yang dipikirkannya selama perjalanan tadi pun benar benar terjadi.

Jihan mendengar suara desahan seorang perempaun yang terus memanggil nama Juan. Hati Jihan benar-benar sakit, air mata sudah mengalir deras dari mata indahnya. Dia ingin pergi dari sana, namun, dia ingin menghampiri Juan, dan mengakhiri semuanya hari ini.

Dengan sekuat tenaga, Jihan terus melangkahkan kakinya menuju kamar. Dan, sekarang, dia berada di sudut kamar, melihat Juan yang sedang bergumul dengan wanita dibawahnya. Kalau bisa pingsan, Jihan ingin pingsan sekarang. Melihat bagaimana Juan laki-laki yang begitu mencintainya, sedang mencumbu perempuan lain di depan matanya,

“Happy anniversary yang kedua tahun Juan Alvaro Naruna.” ucap Jihan dengan nada lirih dan bergetar.

Juan terkejut mendengar kekasihnya ada disini. Dia yang sudah tidak memakai atasan, langsung bangkit dan menatap Jihan yang sudah menangis dengan tatapan penuh sendu. Juan menggelengkan kepalanya, memberi kode kepada Jihan kalau apa yang dilihatnya bukanlah seperti apa yang dipikirkan oleh Jihan.

Sementara wanita yang tadi dicumbu oleh Juan. Hanya terduduk diatas ranjangnya, dengan raut wajah penuh penyesalan. Jihan tahu siapa dia. Dia adalah Yunita, teman masa kecil Juan.

Juan berjalan menghampiri Jihan. Lelaki itu berdiri di depan Jihan dengan tatapan penuh rasa bersalah,

“Jihan.” panggil Juan dengan suara yang gemetar.

“Juan, aku gak tau aku salah apa sama kamu selama ini, sampai kamu tega ngelakuin ini di hari anniversary kita. Aku minta maaf sama kamu, kalau selama ini aku gak pernah cukup untuk kamu. Aku udah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa jadi pacar yang terbaik buat kamu, meskipun hasilnya sia-sia. Tapi, aku gak pernah nyesel untuk itu.”

“Aku punya hadiah untuk kamu di hari anniversary kita yang ke dua tahun ini. Sebentar.” Jihan merogoh tasnya, dan mengambil dua tiket liburan ke Lombok, lalu dia memberikannya kepada Juan, “aku payah dalam ngasih hadiah, jadi aku cuman bisa ngasih ini ke kamu. Kamu bisa pakai dua tiket itu untuk pergi sama Yunita kesana, karena detik ini im not your girlfriend anymore.”

Juan membuang dua tiket itu ke lantai. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak kemauan Jihan untuk selesai dengannya,

“Enggak. Aku gak mau putus dari kamu. Jihan, aku minta maaf, semua ini salah aku, tapi tolong, kasih aku kesempatan kedua. Aku gak mau, Jihan. Aku gak tau harus apa kalau aku tanpa kamu.”

Jihan tersenyum, sambil terus menitikan air matanya,

“Kamu bisa tanpa aku, Juan. Kamu gak sadar? Hampir beberapa bulan ini, kamu laluin hari-hari kamu tanpa aku, selalu ada Yunita yang terus sama kamu. Itu artinya apa? Kamu bisa, kamu bisa tanpa aku.”

“Enggak mau, Han, aku mau kamu. Aku mohon, jangan tinggalin aku. Kamu boleh pukul aku, tendang aku, atau lakuin apapun yang kamu mau ke aku, asal jangan putus.”

“All i wanna do is break up with you.”

“Jihan, aku mohon jangan gini.”

“Aku minta maaf, Juan. Aku cinta sama kamu, cinta banget, gak pernah aku se cinta ini sama orang lain. Tapi, aku juga sakit ngeliat kamu kayak tadi sama perempuan lain. Kamu punya aku, seharusnya kamu sadar itu. Tapi, aku gak tau apa yang buat kamu kayak gini. Dan aku pun gak mau tau, jadi, ayo sekarang hidup masing-masing, tanpa adanya kita diantara aku sama kamu. Aku permisi.”

Jihan hendak berlalu, namun Juan terus menahannya. Namun, Jihan berhasil untuk pergi dari sana.

Jihan pulang ke rumahnya dengan berjuta-juta tangis dan juga rasa sakit di dalam hatinya.

Dia tidak tahu kalah hari jadi ke 2 tahun hubungannya dengan Juan, akan menjadi hari terakhir dia dan Juan menjadi sepasang kekasih.

Mungkin ini memang yang terbaik. Mungkin.


Jam setengah sebelas malam ponsel milik Jihan berbunyi.

Gadis yang sudah hampir menemui mimpinya itu, buru-buru bangun dan meraih ponselnya. Senyum merekah tersirat di wajah cantik Jihan, melihat nama kontak yang menelfonnya di malam seperti ini,

“Hallo sayangnya aku.” sapa seseorang di sebrang sana, membuat Jihan tidak mampu menghalau rona merah yang memenuhi pipi chubbynya yang menggemaskan.

“Hallo juga sayang.” Jihan balas menyapa.

“Belum bobo pacarku?”

Telfon ini jelas berasal dari Juan. Laki-laki yang sudah lebih dari 1 tahun berkencan dengan Jihan. Janu memang tipikal laki-laki yang tidak malu-malu untuk menunjukkan rasa cintanya kepada Jihan, entah itu melalui tindakan, ucapan, ataupun panggilan diantara keduanya.

Juan hampir jarang sekali memanggil Jihan dengan panggilan “Jihan”, lelaki itu pasti selalu memanggil Jihan dengan panggilan sayang. Apapun itu,

“Kalau aku udah bobo, yang angkat telfon kamu siapa dong?”

Juan terkekeh disana, “hehehe iya yah, aku lupa. Lagian kamu sih!”

“Kok jadi nyalahin aku?”

“Menuhin otak aku terus, jadi aja aku lupa banyak hal, kecuali bahagiain kamu aku gak lupa.”

Gombalan-gombalan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari Jihan sebagai pacar Juan. Pada awalnya, Jihan merasa geli, namun lama kelamaan, Jihan menikmatinya, dan kadang dia juga salting dibuatnya.

Seperti sekarang ini. Rasa kantuk itu seakan-akan hilang, digantikan dengan perasaan salting yang menggebu-gebu,

“Gimana? Senyam-senyum gak? Pipinya udah merah?” goda Juan.

“Kamu kalau godain aku terus, aku bakal tutup telfonnya.” ancam Jihan, yang jelas ancamannya hanya sekedar ucapan belaka. Mana mau Jihan mengakhiri sesi telfon ini hanya karena dirinya merasa salting akan gombalan Juan.

Hanya mendengar suara kekehan Juan di sebrang sana, tanpa melihat wajah lelaki itu secara langsung, perasaan cinta Jihan semakin bertambah. Ini terdengar sangat cringe, but thats the fact,

“By the way, sayang.” Jihan berusaha mengambil alih topik, “how was your day, hm?”

“So bad.” jawab Juan dengan nada lesu yang dibuat-buat.

“Kok bisa? Did something happen to you?” tanya Jihan khawatir dan mulai serius.

“Enggak ketemu kamu, makanya hari aku jadi buruk.”

“Astaga Juannnn! Im being serious right now.”

Juan tertawa mendengar rengekan kesal Jihan, karena lelaki itu terus mengeluarkan jurus gombalannya, “aku serius, beneran deh, aduh, enggak ketemu kamu sehari kayak ga ketemu setahun.”

“Lebay kamu!”

“Kan lebaynya juga sama kamu bukan sama yang lain.” ujar Juan, “kalau kamu, how was your day?”

“Ya gitu, dengerin omelan dosen, terus omelan tetangga di apartement aku, belum lagi ada tetangga yang minta diurusin surat-surat cerainya ke aku. Tapi sama aku yang kedua ga diiyain, karena aku aja masih harus banyak belajar, dan untuk ibu-ibu yang tetangga aku yang ngomel gara gara anaknya sering mesra-mesraan sama pacarnya di kamar, aku kasih nasihat aja, baik ke si ibu maupun ke anaknya.”

“Im so proud of you sayang! Hari ini kamu udah did your best. Makasih karena kamu udah mau sayang sama diri kamu sendiri, dan gak menempatkan orang lain sebagai prioritas kamu. Sekali lagi, im really really proud of you!”

Bibir Jihan membentuk lengkungan manis mendengar kata-kata sportif dari Juan,

“Makasih pacarku!”

“Sama-sama pacarku!” Juan melanjutkan ucapan lelaki itu, “i wanna tell you something.”

“Go ahead, by.”

“Temen kecilku yang namanya Yunita itu baru mau nyampe di Bandung nanti subuh. Perjalanan dari Malang dia.”

“Loh bukannya kata kamu di Surabaya?”

“I don't know, maybe papanya di pindah tugasin ke Malang.”

“Oh gitu, terus-terus gimana?”

“Ya, dia besok katanya mau dateng ke apartement aku, mau ketemu aku. Awalnya aku udah nolak, karena aku gamau masukin cewe lain ke apartement aku selain kamu, tapi dianya maksa, dan kalau dia udah maksa udah gabisa di bujug untuk nurut.”

Berbagai kemungkinan langsung berkecamuk di kepala Jihan. Gadis itu hanya terdiam, mencoba untuk mencerna semuanya,

“Sayang? Kenapa? Are you still there?”

Mendengar Juna yang beberapa kali memanggil namanya, membuat Jihan seketika langsung tersadar dari lamunannya,

“Oh iya, aku masih disini kok, sorry tadi kaget aku soalnya ada suara orang ngetok ternyata bukan.” alibi Jihan.

“Aku kira kamu marah setelah aku kasih tau itu. Im so sorry sayang, dia yang minta padahal aku udah nolak.”

Jihan tersenyum tipis meskipun Juan tidak bisa melihatnya,

“Its okay, gak apa-apa kok. Mungkin alasan Yunita pingin ketemu kamu di apartement kamu, itu karena dia kan dateng dari Malang, dan too tired to go outside. Aku juga kadang gitu kalau pergi ke luar kota, kalau baru nyampe pasti males untuk pergi ke cafe atau kemanapun. Aku ngerti kok sayang.”

“I love you so much, sayang. Aku beneran cinta kamu banget! Aku gak tau kalau aku ga ketemu kamu, hidup aku bakal kayak gimana. Makasih sayang, makasih karena udah percaya sama aku.”

“Iya sama sama pacarku yang ganteng!” lalu tiba-tiba, rasa ngantuk menghampiri Jihan, wanita itu menguap, untuk meluapkan rasa kantuknya.

“Kamu udah ngantuk by?”

“Iya nih aku ngantuk banget. Aku bobo duluan gapapa kan?”

“Oh iya gapapa, bobo yang nyenyak ya sayangnya Juan, terus mimpi yang indah juga, semoga setelah bangun nanti, kamu tambah cinta sama aku, karena aku juga setiap bangun selalu tambah cinta sama kamu.”

Jihan terkekeh geli,

“Siap bos!”

Keduanya lalu tertawa,

“Kalau gitu, aku pamit tidur ya, goodnight baby.”

“Goodnight sayangnya aku!”

Dan kemudian sambungan telfon pun terputus.

Jihan langsung kembali menaruh ponselnya di nakas. Dia lalu membenarkan posisi tidurnya, menarik selimutnya sampai menutupi dadanya, dan tertidur dengan begitu pulas.


Bandung, 2014

Pagi itu, adalah pagi dimana aku kembali bersekolah sebagai anak kelas 8 SMP, setelah hampir satu bulan lamanya libur.

Di sekolahku dulu, setiap kenaikan kelas, murid-murid yang awalnya berada di kelas 7 akan diacak, dan dipencarkan, hal itu bertujuan agar semua siswa mengenal teman-temannya yang lain, jadi tidak hanya kenal dengan itu itu saja.

Saat itu, aku merasa sedih, karena aku harus terpisah dengan Keisha, Ghisell, Shara, dan Ita, teman-teman baikku di kelas 7. Aku sempat ingin mengadu kepada guru BK untuk menggantikan aku agar masuk ke kelas teman-temanku, namun sayangnya, guru BK tidak mengidahkan permintaanku karena tidak ada dari murid di kelas 8 D (kelas teman-temanku dulu) yang mau pindah.

Dengan berat hati, aku harus ikhlas terpisah dengan mereka.

Awalnya, aku pikir, di kelas 8 ini, aku akan bernasib sama dengan salah satu temanku, yang sekarang sudah menjadi almarhumah. Menjadi korban bully karena tidak memiliki teman sama sekali. Tapi nyatanya, pikiranku salah, aku tidak benar-benar sendiri disana, ada temanku juga, Alsa namanya, dia sempat satu kelas denganku saat kelas 7. Selain dengan Alsa aku juga pada akhirnya berteman dengan Salma.

Sehari sebelum aku masuk sekolah, aku sempat mengunggah video menyanyiku di laman instagram. Dan tentunya, video itu dilihat oleh beberapa followersku. Video itu, sampai lah ke beberapa temanku di SMP, saat itu, aku menjadi perbincangan hangat, banyak yang membicarakanku, mentertawakanku.

Sampai di hari itu, saat pertama kalinya aku masuk ke dalam kelas baruku. Aku masuk dengan perasaan gugup, wajahku benar-benar tegang seperti hendak memasuki ruang sidang. Namun, perlahan-lahan, rasa takut dan tegang itu perlahan-lahan hilang karena aku melihat Alsa yang duduk di meja paling belakang baris ke tiga.

Aku segera berlari, berjalan menghampirinya, dan duduk disana. Awalnya, aku hanya mengenal Alsa, lalu Alsa mengenalkanku kepada Salma. Dan hari itu, aku menjadi sangat akrab dengan Salma, kalau dengan Alsa jangan ditanya lagi. Di hari itu saja, kamu sudah memutuskan untuk duduk berdua bersama.

Namun, ada hal lain di hari itu yang sedikit menganggu diriku.

Yaitu, ada seorang anak laki-laki, yang berdiri di belakang pintu, sambil menyender dan menghadap ke arahku. Matanya terus memperhatikan aku, senyum terpatri di wajahnya. Senyuman ambigu yang bahkan aku tidak tahu apa arti senyuman itu. Bahkan sampai sekarang pun aku masih selalu memikirkan senyuman itu.

Namun, karena aku masih berumur 13 tahun pada saat itu, dan aku juga di umur segitu sudah mulai tersinggung. Pada saat itu, aku berpikir, kalau dia melihatku itu karena diam-diam dia sedang meledekku.

Dan, saat itu juga aku memutuskan untuk tidak akan pernah mau berteman dengannya.


Bandung, 2022

Di dalam bilik kamarku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis.

Menangisi kenanganku yang indah bersama lelaki yang sudah hampir 6 tahun lebih mengisi seluruh ruang di hatiku.

Tangisan benar-benar tidak terbendung lagi. Bantal ku sudah benar-benar basah, membentuk sebuah bulatan yang menjadi tanda kalau aku menangis disini. Kepalaku terasa berat, mataku pun terasa sangat bengkak. Badanku sakit semua, namun, aku masih terus menangis.

Menyalurkan semua rasa rindu yang memenuhi seluruh tubuhku.

Reigan namanya.

Laki-laki tampan dengan rambut hitam agak sedikit kemerah-merahannya yang begitu amat sangat rapih, kacamata yang selalu bertengger di matanya, tulisan tangannya yang indah, dan proporsi tubuhnya yang kurus serta tinggi, juga suaranya yang lemah lembut.

Dari sejak lulus SMP, sampai sekarang aku sudah berada di semestar 6 pun, kami tidak pernah bertemu. Entah apa yang sebenarnya direncanakan oleh Tuhan kepadaku, sehingga memberikanku banyak begitu cobaan atas kisah cintaku.

Tapi aku percaya, kalau suatu saat, Tuhan akan memberikan arah kepada Reigan untuk kembali kepadaku. Aku yakin dan percaya.

Sampai saat itu tiba, aku akan terus mencintainya, sampai nanti aku dan dia di pertemukan, dan Tuhan pun menyatukan kita dalam ikatan suci pernikahan.

Aamiin.


“Lo suka banget sama pecel lele?” tanya Janu sembari memperhatikan Kaira yang sedang asyik menyantap pecel lelenya.

Sambil mulutnya mengunyah, Kaira menganggukkan kepalanya. Aksi itu benar-benar mencuri perhatian Janu, perempuan dihadapannya itu terlihat seribu kali menggemaskan,

“Aku malah selalu pingin berterima kasih sama orang yang nyiptain pecel lele dan sambel-sambelnya soalnya enak banget.” jawab Kaira setelah mengunyah makanannya.

Janu tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tak terasa waktu semakin cepat berlalu, piring yang tadinya penuh dengan nasi, daun kemangi, kol, timun, satu ikan lele, dan sambal pun kini sudah habis tidak tersisa,

“Enak banget pecel lelenya!” komentar Kaira.

Janu tersenyum tipis, “kalau mau bungkus terus dibawa ke rumah juga gak apa-apa.”

“Ah enggak. Udah malem masa makan lagi di rumah. Lagian juga cuman bilang enak doang gak ada niatan buat makan lagi.”

“Kenapa? Lagi diet?” tanya Janu sambil menaikan satu alisnya.

Kaira menggeleng, “enggak bukan lagi diet, emang udah kenyang aja. Bilang enak kan bukan berarti mau makan lagi.”

Janu ber-oh ria,

“Kirain, karena mau nikah sama gue lu jadi ngejalanin program diet.”

Kaira bergidik ngeri,

“Kepedean banget kamu mas. Emang kamu pikir aku mau nikah sama pangeran Inggris apa hah? Sampai harus diet segala.”

“Loh? Ketampanan gue ini setara sama pangeran Inggris loh.”

“On your dream.”

Janu tertawa mendengar respon Kaira, juga melihat mimik wajah gadis itu yang betul-betul menggemaskan. Dalam hatinya Janu bertanya, kenapa dia baru menyadari kalau calon istrinya ini sangat cantik dan juga menggemaskan?

“Oh iya mas, mas Marlo itu beneran sepupu kamu?” tanya Kaira.

Dahi Janu mengernyit, “ngapain lu manggil-manggil dia pake mas segala? Akrab lu sama dia?” sewotnya.

“Loh bukan, kayaknya mas Marlo itu lebih tua dari aku, ya aku panggil mas lah. Di Jogja juga aku selalu manggil orang yang lebih tua dari aku pake panggilan mas.”

“Ya lu sekarang tinggal dimana gue tanya?” Janu bertanya masih dengan nada suaranya yang terdengar begitu sewot.

“Di Bandung.” jawab Kaira dengan suara yang agak pelan. Dia bingung sekaligus agak takut dengan sikap Janu yang berubah-ubah layaknya seorang bipolar.

“Nah ya udah, panggil aja pake nama gak usah pake mas-mas an segala.”

“Tapi kan gak sopan—”

“Nurut sama calon suami sendiri bisa kan?” Janu buru-buru memotong ucapan Kaira.

Kaira menghela nafasnya,.

“Iya. Maaf ya mas.” lirih Kaira.

“Dimaafin.” jawab Janu singkat.

“Tapi mas.”

“Apalagi?”

Kaira menelan ludahnya sebelum bertanya, “mas gak punya penyakit bipolar kan?” tanya Kaira berhati-hati.

Janu memasang ekspresi tidak percaya mendengar pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut calon istrinya itu. Bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu? Ya ampun,

“Lu waktu di chat nyebut gue ikut pesugihan, sekarang lu bilang gue kena bipolar. Ada masalah apa sih lu sama gue?”

“Ih gak gitu mas. Yang waktu di chat mas bilang kalau mas di gangguin sama setan alas, ya aku pikir mas ikutan pesugihan, terus pesugihannya gagal karena mas gak ngikutin kemauan makhluk pegangan mas, eh akhirnya mas diganggu sama setan alas. Terus yang bipolar, aku bingung, mas itu kadang sikapnya baik, kadang ngeselin, kadang ketus, terus berubahnya pun gak ada jangka waktunya, selalu habis baik, tiba-tiba jadi ketus.”

“Oke, gue jelasin.”

Kaira mengangguk dan dia menatap Janu dengan tatapan serius yang mana itu malah membuat Janu merasa gemas, dan ingin sekali menggigit pipi Kaira kalau bisa,

“Yang urusan setan alas itu. Gue gak sama sekali ikut pesugihan, lagian gue udah kaya, ga perlu ikut ikutan hal musyrik kayak begitu. Haram hukumnya.”

“Terus setan alas yang mas sebutin itu maksudnya apa coba?”

“Setan alas yang gue maksud itu adalah, wujud manusia, manusia asli nih yah bukan hantu bukan apa, tapi gue perumpamain sebagai setan alas, soalnya kelakuannya kayak setan.” jelas Janu.

Kaira hanya ber-oh ria,

“Terus yang kedua, yang lu nyangka gue bipolar. Oke gini, kenapa gue jadi baik sama lu, karena gue pingin perjodohan ini lancar sampai kita menikah nantinya. Gue sadar, pernikahan bukan hal yang harus dimain-mainin. Ini sunah, dan wajib untuk kita seriusin, biar berkah ke hidup kita nantinya.”

“Masha Allah.” Kaira bergumam di dalam hatinya.

“Dan kenapa gue jadi ketus, gue gak suka lu tiba-tiba ngomongin laki-laki lain di depan gue yang notabenenya adalah calon suami lu.”

“Tapi kan Mas Marlo itu sepupunya mas. Terus aku juga mau jadi bagian dari keluarga mas, wajar dong aku nanya soal Mas Marlo, biar kalau ketemu nanti aku jadi gak salah bersikap sama beliau.”

Janu menghela nafasnya,

“Ya udah biar gue jelasin aja.” akhirnya Janu mengalah, “Marlo itu dia sepupu gue, dia anaknya adiknya bokap gue. Nyokapnya Marlo di rawat di rumah sakit jiwa karena depresi yang dideritanya. Dulu Marlo punya adik, perempuan, namanya Marleen, cuman Marleen meninggal karena kecelakaan, dan ibunya depresi, lalu dirawat di rumah sakit jiwa yang ada di daerah Lembang.”

Ekspresi wajah Kaira mengisyaratkan sebuah perasaan empati kepada Marlo,

“Hubungan gue sama Marlo gak pernah baik, gak tau kenapa juga, pasti setiap kali ketemu ada aja hal kecil yang selalu kita ributin.” sambil bercerita, sambil Janu mengingat kembali hal hal yang selalu dia dan Marlo ributkan. Tawa kecil terdengar oleh telinga Kiara, “tapi walaupun begitu, dia tetep sepupu gue, ada darah gue juga yang mengalir di tubuh dia, begitupun dengan dia, ada darah dia yang mengalir di tubuh gue.”

“Kalau kayak gitu, kalian harus damai dong.”

“Itu sih tergantung.” kata Janu, Kaira mengernyitkan dahinya bingung, “tergantung kalau semisal lu mau berhenti nanyain tentang Marlo, gue bakal baik sama dia, tapi kalau lu nanyain terus, gue bakal terus perang sama dia.”

“Astaga. Iya iya, ini terakhir aku nanya-nanyain soal Mas Marlo.”

“Pinter.” Janu senyum, “ya udah pulang sekarang aja yuk?”

Kaira mengangguk,

“Hayu.”


Siang ini, seperti biasa Kiara dan Gita melayani begitu banyak pembeli yang datang ke toko.

Kiara begitu bersyukur karena toko bunga yang dirintisnya dari sejak dia masih berkutat dengan skripsinya, sekarang betul betul menjadi toko bunga besar yang sering dikunjungi oleh orang-orang.

Tidak pernah terpikirkan oleh dirinya kalau dia akan menjadi seorang pembisnis yang setiap bulannya mendapatkan omset hampir satu milyar perbulannya.

Semoga, rezeki akan terus berpihak kepada dirinya. Aamiin,

“Kai.” panggil Gita.

Kaira menoleh,

“Tadi ada yang ngechat gue, nanya gitu toko kita buka apa ngga.”

“Terus? Lo jawab apa?” tanya Kaira sambil memperhatikan bunga lily yang tinggal sedikit lagi itu.

“Ya gue jelasin aja kalau toko kita itu selalu buka dari hari Senin sampai Minggu, bahkan di tanggal merah pun kita tetep buka, kecuali hari—”

Ucapan Gita terpotong karena datangnya seorang lelaki gagah, dengan jas yang begitu mengepas di badannya, sehingga memperlihatkan tubuh lelaki itu yang kekar. Wajahnya yang begitu tampan, dan senyumannya yang manis yang membuat wanita manapun tergila-gila ketika melihatnya.

Gita sampai melongo saking terpesonanya dia dengan lelaki itu.

Berbeda dengan Kaira yang terkesan tidak begitu perduli dengan penampilan customernya tersebut,

“Selamat siang ada yang bisa saya bantu?” Kaira bertanya dengan begitu ramahnya.

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, “saya mau beli bunga untuk ibu saya, kebetulan ibu saya suka sekali bunga lily.” jawab lelaki itu, “bunganya masih ada?”

“Oh iya, kebetulan untuk bunga lily kita masih ada, tapi mungkin enggak sebanyak biasanya, ya kurang lebih cuman 5 tangkai. Bagaimana?”

“Oh boleh boleh, gak apa-apa. Saya pesan satu ya.”

Kaira mengangguk,

“Kalau gitu saya siapin dulu bunganya ya.” pamit Kaira, lelaki itu mempersilahkan Kaira untuk mempersiapkan bunga pesanannya.

Sebelum pergi ke belakang untuk menghias bunga lily pesanan customernya menjadi bouquet bunga yang cantik, tidak lupa Kaira memberi kode kepada Gita untuk segera sadar dari lamunannya. Untungnya, Gita langsung sadar dari lamunannya.

Dan, begitu Kaira pergi ke belakang, Gita pun mengajak lelaki itu untuk bercengkrama sedikit,

“Bapak yang tadi ngechat saya ya?” tanya Gita basa basi.

Lelaki itu mengangguk, “jadi mba yang namanya Gita?” tanyanya.

Gita mengangguk. Jantungnya berdebar ketika lelaki dihadapannya ini mengingat namanya,

“Iya pak, saya yang namanya Gita, yang tadi itu temen saya namanya Kiara. Dia bosnya pak, saya disini cuman bantu-bantu aja.”

“Oh gitu.” lelaki itu melanjutkan ucapannya, “nama saya Marlo.”

“Oh Pak Marlo.”

Marlo pun terkekeh pelan, “jangan panggil saya pake embel-embel pak dong, saya belum punya anak, panggil aja pake nama. Marlo.”

Gita cengengesan,

“Iya pak—eh maksud saya Marlo.”

Marlo mengangguk sambil tersenyum.

Tidak lama, pintu toko pun terbuka. Dan masuklah Janu ke dalam. Marlo menoleh ke belakang untuk melihat sosok Janu yang datang dengan wajahnya yang begitu hancur, seperti lelaki itu sedang ditimpa masalah yang begitu besar.

Janu terkejut bukan main melihat keberadaan Marlo disini. Begitu pula dengan Marlo, yang terkejut melihat Janu yang datang dengan wajahnya yang lesu, bak seseorang yang sedang memiliki banyak masalah dalam hidupnya.

Gita? Gadis itu semakin tidak berdaya karena harus berada di antara dua laki-laki tampan. Rasanya ia ingin pingsan detik ini juga,

“Lu ngapain disini?” tanya Janu setelah dirinya berdiri bersebelahan dengan Marlo.

“Ya lu pikir aja gue disini ngapain.” jawab Marlo sedikit agak sarkas.

“Beli bunga buat siapa lu?”

“Nyokap.” jawab Marlo, mendengar jawaban itu, Janu langsung diam.

Tidak lama, Kaira kembali ke depan dengan bouquet bunga lily yang sudah ada di tangannya.

Gadis itu terkejut begitu melihat Janu yang sudah ada disana bersama dengan Marlo. Janu tersenyum menyapa Kaira, dan gadis itu langsung mematung saat senyum Janu menyapanya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena Kaira langsung sadar dan buru-buru memberikan bouquet bunganya kepada Marlo.

Marlo menerima bouquet bunga itu dengan senyum yang sumringah,

“Ibu saya pasti bakal suka ngeliat bouquet bunganya seindah ini.” puji Marlo, membuat Kaira tersenyum bangga, “pantes aja ya tokonya selalu rame, kualitas bunganya bagus, terus bouquet nya juga sebagus ini.”

“Bayar aja kali kagak usah kebanyakan muji.” sindir Janu.

Kaira melotot melirik Janu yang berbicara sangat tidak sopan kepada customernya.

Marlo hanya tertawa,

“Gak apa-apa, sepupu saya emang suka gitu.”

“HAH? SEPUPU!?” pekik Kaira terkejut, “mas dia sepupu kamu?”

Gita dan Marlo terkejut begitu mendengar Kaira menyebut Janu dengan sebutan mas,

“Iya, dia sepupu gue.” jawab Janu, “oh iya, kayaknya sekarang aja deh gue kasih tau ke elu, Lo.”

Marlo hanya diam,

“Kaira, pemiliki Kaira florist ini adalah cewek yang nyokap dan bokap gue pilihin untuk gue.”

“Maksudnya?”

“Iya, lo mau dikenalin kan sama cewek yang mau dijodohin sama gue? Ya dia ceweknya.”

Gita membuka mulutnya lebar-lebar, dia begitu tidak percaya kalau dia bertemu langsung dengan lelaki yang akan dijodohkan dengan Kaira.

Marlo yang semakin terkejut pun mencoba untuk menahan dirinya sendiri untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan,

“Wow, dunia sempit banget.” celetuk Marlo sambil tersenyum sarkas, “keren sih, cewek secantik Kaira bakal hidup sama laki-laki yang mungkin bakal berpoligami di masa depan.”

Kaira mengernyitkan dahinya bingung,

“Jangan omongan lu!”

Marlo tersenyum santai, “gak usah marah bro, gue cuman bercanda. By the way, selamat ya, Kai, lo bakal jadi bagian dari keluarga gue nantinya.”

Kaira tersenyum kikuk dan mengangguk,

“Ya udah kalau gitu, gue bayar dulu bunganya. Nyokap gue kayaknya udah nungguin.”

Setelah itu, Marlo pun melakukan transaksi, dan bergegas pergi menuju tempat ibunya.

Kini, tersisa Gita, Kaira, dan Janu disana,

“Jadi, lo cowok yang mau dijodohin sama Kaira?” tanya Gita.

Janu mengangguk,

“Astaga, gue beneran gak ngenalin dia loh, Kai. Meskipun lo udah ngasih liat fotonya ke gue, tapi dia lebih ganteng aslinya.”

Janu tersenyum dengan penuh percaya diri ketika mendengar pujian dari Gita. Sementara Kaira hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Gita,

“Eh gue takut ganggu moment lo berdua, kayaknya gue mending cabut ke belakang dulu deh, mau bersih-bersih.” pamit Gita.

Gadis itu langsung berlalu pergi ke belakang, meninggalkan Janu dan Kaira berdua,

“Mau ngapain kesini?” tanya Kaira tanpa basa-basi.

“Ngeliat lo kerja.” jawab Janu, “penasaran aja, calon istri gue kerjanya kayak gimana sih.”

“Tumben-tumbenan?” heran Kaira.

Janu tersenyum, “kenapa sih? Emang gak boleh? Lagian nih yah, kita ini dijodohin, dan kita harus lebih sering ngabisin waktu berdua. Itung itung pendekatan.” jelas Janu.

“Loh? Bukannya kamu ya mas dulu yang gak mau banget deket-deket sama aku? Bahkan fitting baju aja kamu selalu minta ditemenin sama ibu kamu.”

Janu terdiam. Rasa bersalah seketika menggerayangi perasaannya,

“Sorry, waktu itu gue masih dikuasai sama setan. Sekarang gue udah buang jauh-jauh setan itu.”

Kaira bergidik ngeri, “serem banget.”

Janu tertawa,

“Nanti pulang jam berapa?” tanya Janu.

“Toko tutup jam 8 sih, ya jam segituan, lebih deng, setengah sembilan, kan beres-beresin tokonya dulu. Mau ngapain?”

“Mau ngajak lu makan malem bareng. Kangen makan pecel lele.”

Kaira tersenyum senang ketika mendengar kata pecel lele disebut. Pecel lele adalah makanan favoritnya,

“Mau mau mau!” pekik Kaira bersemangat.

“Oke. Nanti gue jemput, sekarang gue ke kantor dulu ya?”

“Oke. Hati-hati ya?”

“Iya.”


“Jujur sama aku sekarang.”

Mata tajam milik Janu terus memperhatikan Shezan yang duduk di hadapannya sambil menundukkan kepalanya. Gadis itu benar-benar terlihat begitu ketakutan akan sosok Janu yang sedang marah seperti ini,

“Jan.”

“Gak usah bertele-tele. Aku bilang jujur ya jujur!”

Shezan menarik nafasnya pelan-pelan, lalu menghembuskannya dengan begitu cepat,

“Janu, dengerin dulu penjel—”

“SAYA BILANG JUJUR YA JUJUR!”

Terkejut bukan main Shezan setelah gadis itu mendengar suara debrakan meja dibarengi dengan teriakan tegas penuh emosi dari Janu.

Ini adalah pertama kalinya Janu membentaknya sampai separah ini.

Mata Shezan berkaca-kaca. Raut ketakutan jelas terpancar di raut wajah wanita itu.

Lalu, apakah Janu perduli ketika melihat itu? Jangan harap. Bahkan Janu semakin terpancing emosi ketika melihat Shezan yang bukannya menjelaskan malah menangis.

Janu benar-benar beda dari Janu yang sebelumnya. Dia benar-benar tidak memperlihatkan sisi dirinya yang begitu mencintai Shezan lagi. Rasa cintanya untuk Shezan seperti hilang digantikan oleh perasaan kecewa dan marah di dalam dirinya.

Lagipula, laki-laki mana yang tidak marah dan kecewa ketika dijebak seperti ini oleh perempuan yang begitu dicintai dan dipercayainya,

“Nu, kamu bentak aku?”

“Makanya jawab!”

“Enggak, diem! Kenapa kamu bentak aku? Kenapa kamu ngelakuin hal yang tadi, Nu? Kenapa? Perempuan itu udah nguasain diri kamu iya? Sampai kamu berani kasar sama aku secara verbal kayak begini?”

“Eh jangan bawa bawa Kaira ya? Dia gak ada urusannya sama masalah ini.”

“Tapi dia salah satu penyebabnya kan?”

Janu diam. Wajahnya terlihat kebingungan atas tuduhan yang dilayangkan oleh Shezan,

“Jawab, Nu! Jangan diem aja.”

“Kenapa jadi harus aku yang jawab? Ini masalah semuanya ada di kamu, aku gak berhak untuk jawab semua pertanyaan kamu yang out of topic sekarang tolong kamu jujur sama aku, kamu jebak aku?”

Shezan diam. Sibuk menarik ingusnya yang keluar bebarengan dengan air matanya,

“Jawab Shezan, jangan cuman diem aja—”

“IYA! AKU JEBAK KAMU, KENAPA? MAU NAMPAR AKU? SINI TAMPAR!”

Janu benar-benar tidak habis pikir dengan Shezan yang berani-beraninya melakukan hal sekeji ini,

“KAMU GILA!?”

“IYA AKU GILA!? KENAPA!? GAK SUKA KAMU HAH!?”

“Eh asal kamu tau ya Janu, aku kayak gini karena aku stress, aku stress sama hubungan kita. Kamu bener bener perlakuin aku kayak simpenan aku, padahal pada kenyataannya perempuan itu yang simpenan kamu!”

“Dia pilihan ibu aku, jangan pernah sebut dia simpenan.”

Shezan tertawa sarkas, “oh jadi sekarang kamu udah mulai bela dia? Mulai cinta kamu sama dia hah? Badan dia lebih enak dari bada—”

PLAK

Janu sudah kehilangan rasa sabarnya. Dia dengan begitu tega menampar pipi Shezan begitu keras. Shezan terkejut, betul-betul terkejut. Sambil memegangi pipinya yang memerah, Shezan menatap Janu dengan matanya yang berkaca-kaca,

“Kamu berani nampar aku, Janu?”

Janu mengangguk, “kenapa aku harus takut? Kamu orang yang udah hancurin kepercayaan aku, dan yah, orang kayak kamu pantes untuk dapetin tamparan keras kayak tadi.”

“Sekarang aku tau She, aku tau kenapa keluargaku gak suka sama kamu. Ya karena sifat kamu ini, yang bisanya cuma matahin kepercayaan orang yang udah bener bener percaya sama kamu.”

“Mulai sekarang, aku sama kamu bener bener udah putus. Gak ada yang namanya kita lagi diantara aku dan kamu.”

Janu lekas pergi dari hadapan Shezan. Namun, belum ada tiga langkah, Janu kembali berhenti ketika Shezan membuka mulutnya yang bergetar,

“Kamu gak bakal pernah bener-bener pergi dari aku, Janu. Karena semalem, kamu melakukan itu tanpa pengaman. Aku bisa aja hamil anak kamu. Be ready.”

Mulai dari sini, hidup Janu benar-benar tidak tenang.


Sudah sekitar tiga puluh menit Janu tiba di apartement Shezan.

Lelaki itu bahkan sudah duduk di sofa milik Shezan, sambil menonton tayangan TV, dengan Shezan yang berada di sampingnya. Bermanja dengan Janu.

Oh iya, Janu dan Shezan sudah berdamai. Keduanya langsung berdamai setelah Janu tiba di apartement Shezan,

“Sayang, kamu mau minum apa?” tanya Shezan kepada Janu.

Janu tidak menjawab. Lelaki itu hanya diam, pikirannya melanglang buana entah kemana.

Shezan yang heran langsung menjauhkan kepalanya dari bahu bidang Janu, dan menggoyangkan tubuh lelaki itu. Janu pun pada akhirnya sadar dari lamunannya,

“Eh, kenapa?” dengan wajah polosnya Janu bertanya.

Shezan mendecak sebal. Ia menghela nafasnya kesal,

“Kamu aku tanya tadi, mau minum apa?”

“Oh, apa aja deh terserah kamu.”

Shezan mengangguk, “kamu gak apa-apa kan? Gak ada sesuatu yang lagi kamu pikirin kan?”

Janu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis,

“Gak ada kok. Aku baik-baik aja.”

“Beneran?”

“Bener. Udah sana buatin minumannya buruan.”

“Ya udah, aku buatin dulu ya.”

“Iya.”

Shezan pun beranjak ke dapur, meninggalkan Janu sendirian di tempatnya.

Lelaki itu meraih ponselnya, ia langsung membuka aplikasi chat, dan tiba-tiba menekan kontak Kaira. Tidak hanya itu, ia juga tiba-tiba mengetikkan sesuatu dan mengirimkannya begitu saja.

Janu buru-buru mematikan data ponselnya. Lalu menaruh kembali ponselnya ke dalam saku celananya.

Tidak lama setelah itu, datang lah Shezan dengan membawa sebuah nampan berwarna hijau pastel dengan gelas berisikan air sirup rasa jeruk. Janu menyambut hangat kedatangan kekasihnya itu.

Lantas, Shezan mendudukkan dirinya disamping Janu. Dan menaruh gelas itu di hadapan Janu,

“Air sirup ini manis loh. Soalnya aku yang bikin.” ucap Shezan basa-basi.

Janu tertawa pelan, “iya, kamu emang yang paling manis di dunia ini. Gula sama madu aja kalah.”

“Gombal!!!”

“Beneran. Aku bicara soal fakta loh.”

Shezan mendecak. Dirinya salah tingkah akan kata-kata manis yang keluar dari mulut Janu barusan,

“Udah cepetan diminum.”

Janu mengangguk sambil tertawa, lalu ia meneguk air sirup tersebut.

Awal-awal, Janu terlihat biasa saja. Namun, tiba-tiba, lelaki itu terus menguap, matanya pun terlihat sangat amat berat.

Melihat hal itu, Shezan diam-diam tersenyum miring,

“Kenapa? Kamu kok kayak yang ngantuk gitu.”

“Gak tau nih.”

“Aku anter ke kamar aja ya? Tidur di kamar oke?”

“No, gak apa-apa. Aku tidur disini aja.”

“Sayang, nanti badan kamu sakit kalau tidur disini. Dikamar aku aja ya?”

“Terserah kamu deh.”

Dengan penuh kekuatan, Shezan membopong tubuh bongsor Janu ke dalam kamarnya.

Sesampainya di kamar, Shezan langsung menaruh Janu di atas ranjangnya. Dan, Shezan tutup pintu kamarnya, lalu ia kunci pintu kamarnya sendiri.

Kemudian, Shezan mulai melakukan aksinya.


“Selamat mal—”

Kaira terkejut bukan main ketika sosok Janu muncul dari balik pintu floristnya.

Bukan hanya Kaira, Janu pun ikut terkejut dibuatnya. Lelaki itu menjadi salah tingkah seketika. Kakinya sudah berniat untuk melangkah mundur dan pergi dari tempat ini, namun, suara nyaring milik Gita menghentikan langkag kakinya.

Kedua insan manusia itu langsung tersadar dari lamunan mereka masing-masing,

“Selamat malam mas, ada yang bisa saya dan bos saya bantu?” Gita bertanya dengan begitu ramahnya, dia belum sadar kalau laki-laki yang berdiri dihadapannya itu adalah laki-laki yang dijodohkan dengan Kaira, sahabatnya.

“Saya mau beli bunga.” jawab Janu, matanya sesekali melirik Kaira yang masih berdiri di belakang.

“Boleh.” sahut Gita, “kalau boleh tahu, bunganya buat siapa ya? Buat pacarkah, calon istrikah?”

Bingung melanda Janu ketika Gita menyodorkan pertanyaan tersebut.

Padahal, itu pertanyaan yang mudah untuk Janu. Dia datang kesini untuk membeli bunga untuk Shezan, kekasihnya. Namun, keberadaan Kaira di belakang, yang hanya diam sambil memperhatikan dirinya, membuat Janu menjadi sedikit salah tingkah dan kebingungan untuk menjawab pertanyaan Gita.

Kaira yang paham akan gerak-gerik Janu yang merasa tidak nyaman akan keberadaan dirinya di sekeliling lelaki itu, pada akhirnya memutuskan untuk menjauh dari Janu dan juga Gita. Kaira berjalan ke belakang, berpura-pura untuk menyelesaikan tugasnya di kebun yang ada di belakang, padahal, pada kenyataannya dia hanya menghindar.

Melihat Kaira yang pergi begitu saja, membuat banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Janu buru-buru menyadarkan dirinya sendiri dari perasaan aneh ini. Dia langsung menjawab pertanyaan Gita yang belum sempat dijawabnya,

“Saya mau beli bunga untuk rekan kerja saya.” jawab Janu.

Gita mengangguk paham, “kalau gitu, saya panggil bos saya dulu ya? Soalnya dia yang paling paham soal bunga-bunga. Disini saya cuma bagian kasir doang.” Gita cengengesan.

Begitu tahu kalau Gita hendak memanggil bosnya, yang mana itu adalah Kaira. Janu langsung gugup, dan dia juga berniat untuk menghadang Gita agar tidak memanggil Kaira, namun sayang, gadis itu sudah keburu pergi bahkan sebelum Janu menghalanginya.

Tidak lama, Kaira kembali dari tempatnya, sendirian, tanpa Gita. Gadis itu langsung mendekat ke arah Janu. Bisa terlihat dari ekspresi wajah mereka. Mereka berdua sama-sama merasa gugup dan salah tingkah,

“Mau beli bunga?” Kaira bertanya terlebih dahulu.

Janu menganggukkan kepalanya, “buat rekan kerja.” jawab Janu.

“Dalam rangka apa?”

Diam. Lagi-lagi, Janu hanya diam. Terlihat jelas kalau dia kebingungan untuk menjawab apa.

Sampai pada akhirnya, jawaban ini pun terlintas di otaknya,

“Minta maaf.” jawab Janu, “staff gue ngelakuin banyak kesalahan, jadi gue sebagai direktur yang baik, mau minta maaf dan ngasih bunga.”

Kaira mengangguk. Dia diam sejenak, seolah-olah sedang berpikir. Sampai akhirnya, Kaira kembali bersuara,

“Kalau kayak gini, saran saya, lebih baik kasih bunga anggrek aja. Soalnya, anggrek itu elegan tapi sederhana. Kalau untuk minta maaf, kita gak perlu pakai bunga yang heboh dan mencolok banget, nanti keliatan kalau kita kaya mau nyuap partner kerja kita, dan gak bagus juga kan di dalam etika berbisnis. Gimana?”

Janu termangu mendengar penjelasan dari Kaira,

“Permisi. Hallo…” Kaira melambai-lambaikan telapak tangannya di depan muka Janu.

Janu langsung tersadar dari lamunannya, “eh iya kenapa?” tanya lelaki itu.

Kaira menghela nafasnya,

“Bapak dengar saya bicara apa tadi kan?” tanya Kaira memastikan.

Janu merasa awkward ketika Kaira memanggilnya dengan sebutan bapak, dan juga memanggil dirinya sendiri menggunakan kata “saya”,

“Iya denger.” jawab Janu, “boleh dirangkai sekarang aja bunganya? Client gu—saya udah nunggu.”

Kaira mengangguk.

Gadis itu, dibantu dengan Gita, mulai mempersiapkan pesanan Janu.

Tidak butuh waktu hampir 1 jam. Karangan bunga anggrek untuk “partner kerja” Janu sudah selesai di rangkai. Kini bunga anggrek itu sudah berada di dalam bouquet menggemaskan hasil karya tangan cantik Kaira,

“Semuanya jadi berapa?” Janu bertanya.

Gita menyebutkan nominal harga dari bunga anggrek itu. Dan Janu membayarnya dengan kontan.

Sehabis itu, Janu pergi dengan sesegera mungkin meninggalkan tempat itu. Tetapi, sebelum pergi, dia sempat memperhatikan Kaira yang sedang melayani customer lain.

Entah apa yang ada di pikiran Janu saat memperhatikan Kaira yang sedang melayani customer lain dengan begitu ramahnya.

Yang jelas, tanpa Janu sadari, ada perasaan hangat di dalam dirinya, melihat keramahan Kaira, yang tidak pernah ia temukan di perempuan lain. Sekalipun itu ibunya atau Shezan.


Baik Janu maupun Kaira.

Mereka berdua sama-sama tidak berharap kalau hari ini akan tiba.

Hari dimana pada akhirnya mereka berdua sama-sama dipertemukan, dan diperkenalkan untuk dijodohkan oleh kedua orang tua mereka.

Baik Janu maupun Kaira, keduanya tidak ada sepatah katapun yang mereka ucapkan, entah itu saling sapa atau mengobrol basa-basi. Yang mereka lakukan hanya diam dan menyantap makanan mereka.

Sementara kedua orang tua mereka sibuk berbincang-bincang tentang hal serius dan sedikit bernostalgia di masa lalu,

“Aduh, ini Janu sama Kaira kok saling diem-dieman sih? Ngobrol dong.” tegur ayah Janu.

Janu dan Kaira langsung menoleh bebarengan, keduanya hanya tertawa kikuk laku kembali lanjut menyantap makanan yang lezat ini,

“Biasa mungkin baru pertama kali ketemu jadi masih malu-malu.” timpal ibunda Kaira.

Ayah Kaira pun menambahkan, “anak saya ini belum pernah berhubungan sama laki-laki, dia benar-benar menjaga kesuciannya untuk Janu, calon suaminya.” ucap Ayah sambil mengelus pundak anak gadisnya itu.

“Oh ya?” ibunda Janu terlihat begitu terkejut.

Kaira hanya mengangguk sambil tersenyum, “iya tante.”

“Masha Allah, gak salah Tante dan Om jodohin kamu sama Janu, kamu bisa bawa dia jadi manusia yang lebih baik lagi.”

Kaira hanya meresponnya dengan sebuah senyuman, lalu sudut matanya diam-diam melirik Janu yang kini sedang menatapnya dengan tatapan sinis. Merasa takut, Kaira pun merunduk, dan lanjut menyantap makanannya.

Namun, belum ada 5 menit Kaira menikmati makanannya. Tiba-tiba Janu bersuara,

“Pah, Mah, Om, Tante, Janu izin ngajak Kaira keluar buat ngobrol berdua ya.”

Keempat orang tua itu mengangguk dengan begitu senangnya. Tapi beda dengan Kaira yang justru ketakutan dan merasa terancam.

Sebelum beranjak dari tempat duduknya, Janu dengan wajah super galaknya, memberikan kode kepada Kaira untuk segera pergi menyusulnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Kaira harus menuruti permintaan lelaki itu.

Sesampainya di luar. Dengan perasaan gugup, Kaira mendekati Janu yang sedang berdiri sambil menatapnya dengan tatapan galak. Sumpah demi Tuhan, Kaira ingin sekali pergi dari hadapan lelaki tampan namun berwajah bengis ini,

“Gue gak mau banyak basa-basi sama lo.” kata Janu memulai percakapan, “lo udah tau nama gue, dan gue juga udah tau nama lo, udah, kita cukup tau itu aja, gak perlu tau hal-hal yang mendalam tentang gue ataupun tentang lo.”

“Kalau tanggal lahir?” sela Kaira.

“Buat apa lo tau tanggal lahir gue?”

“Biar layaknya suami istri, kalau papa sama mama kamu atau bapa sama ibu aku tau kita gak saling tahu tanggal ulang tahun, kan aneh….”

Janu mendengus, tapi dia tetap menjawab,

“14 Februari 1990.”

Kaira tersenyum tipis, “aku 11 April 1997.”

Janu mengangguk paham,

“Oke, kita buat kesepakatan mulai dari sekarang. Pokoknya setelah kita menikah urusan gue tetep jadi urusan gue, dan lo gak perlu ikut campur. Begitu pun juga dengan urusan lo, ya tetep jadi urusan lo, gue gak perlu tau.”

Kaira mengangguk. Dia paham, pasti Janu tidak merasa nyaman dan aman kalau ada orang asing yang mengetahui privasi lelaki itu. Kaira juga akan merasakan hal yang sama, ketika ada lelaki lain yang mengusik dan mencoba untuk ikut campur dengan privasinya,

“Dan selama kita belum menikah, kita ga perlu chat terlalu intens, kita chat kalau emang disuruh fitting baju atau bahas acara-acara keluarga.”

Kaira lagi-lagi hanya mengangguk,

“Ada lagi?”

“Itu aja buat sekarang, nanti buat kesepakatan pernikahan yang lebih lanjut setelah kita menikah, dan lo harus tanda tangan, kalau sampai lo langgar ataupun gue langgar, lo harus bayar denda. Paham!?”

“Kenapa harus ada denda-denda segala?” Kaira kebingungan.

“Dimana-mana kalau kita bikin sebuah agreement, kalau ada kesepakatan yang dilanggar ya harus ada denda lah.”

Gantian kini giliran Kaira yang mendengus kesal,

“Oke kalau gitu.” dengan pasrah Kaira menjawab, “deal.”


Sinar matahari masuk melalui sela sela pintu balkon kamar apartement Janu. Hal itu cukup berhasil mengusik tidur nyenyak Janu. Lelaki itu dengan begitu terpaksa membuka matanya yang masih terasa lelah dan berat. Ditambah lagi kepalanya yang terasa pusing akibat mabuknya semalam bersama Jaffin dan juga Yazid.

Setelah Janu sepenuhnya sadar, matanya yang berwarna merah itu menangkap sosok kekasihnya, Shezan yang tengah berdiri di hadapan lelaki itu, menatapnya tanpa ekspresi. Janu tersenyum menyambut kekasih tercintanya itu,

“Kamu kok bisa disini sih sayang?” tanya Janu dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur.

Shezan menghela nafasnya kasar, “kamu mabuk, ada masalah apa kamu sampai mabuk begini?”

Janu terdiam.

Meskipun dia kemarin mabuk berat, dan sekarang pusing dan mualnya masih bersisa, tapi otaknya masih berjalan dengan sangat lancar, dan dia juga mengingat alasan yang membuatnya sampai harus berakhir di club malam bersama kedua temannya.

Namun, Janu tidak mungkin menceritakan itu semua kepada Shezan. Dia akan menyembunyikannya, tidak ingin Janu menyakiti hati kekasihnya itu,

“Cuma masalah kantor aja sih.” alibi Janu, “kamu udah makan?”

Janu mencoba setengah mati untuk mengganti topik pembicaraan, namun, sepertinya untuk kali ini Shezan tidak tertarik dengan pertanyaan “kamu udah makan?” yang dilontarkan oleh Janu,

“Are you sure ini cuman masalah kantor aja?” Shezan bertanya dengan tatapan mata penuh selidik, “bukan, karena kamu mau dijodohin sama ibu kamu itu kan?”

Pupil mata Janu membesar ketika mendengar pertanyaan akhir Shezan. Satu yang terbesit di otaknya ialah, darimana Shezan tau masalah ini?

Panik melanda Janu. Namun, lelaki itu mencoba untuk bersikap biasa saja, seolah-olah tidak ada kebohongan kali ini,

“Beneran kok—”

Suara decakan dari mulut Shezan membuat Janu mematung,

“Kamu selalu bilang kalau suatu hubungan itu bakal berjalan lancar kalau gak ada kebohongan diantara kita, tapi buktinya? You lie to me.”

“Im sorry.” lirih Janu, “aku gak mau ngasih tau karena aku gak mau kamu sakit hati.”

“You already hurt me, Janu.” Shezan berkata dengan suara lirih.

Janu bangkit dari tidurnya, dan langsung mencoba untuk meraih tangan Shezan dengan begitu panik dan rasa bersalah yang menguasai hatinya. Shezan menolak tangan Janu untuk menyentuh dirinya,

“Kamu iyain perjodohan itu?” tanya Shezan menatap Janu.

“I have no choice.” jawab Janu dengan begitu penuh rasa penyesalan di dalam dirinya, “aku nurut dan nerima perjodohan itu, karena aku gak mau semua aset aku diambil, dan jabatan aku sebagai direktur utama di perusahaan papaku, dicabut dan digantiin sama Marlo. Aku gak mau.”

Shezan terdiam.

Perasaan sedih, marah, kecewa, dan kesal yang dari kemarin hinggap di dalam dirinya setelah mengetahui bahwa Janu, kekasihnya itu akan dijodohkan oleh ibu lelaki itu. Mendadak hilang begitu saja, digantikan dengan perasaan ikhlas.

Raut mukanya yang terlihat murung dan datar juga kini sudah berubah menjadi lebih ekspresif,

“Aku belum ketemu sama ceweknya, tapi ya, setelah ketemu pun, aku bakal jelasin ke dia kalau aku punya kamu, dan aku udah ada rencana, kalau misalkan kita bakal nikah setahun doang, setelah itu aku bakal ceraiin dia, dan aku nikah sama kamu.” Janu berbicara dengan begitu meyakinkan Shezan, “1 tahun aja aku mohon.”.

“Tapi kamu bakal sering nemuin aku kan? Dan kita bakal ngejalanin hubungan kita kaya sebelum kamu dijodohin sama perempuan itu?”

Janu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum,

“Of course dong sayang, aku gak bakal jatuh cinta sama perempuan lain selain kamu. Aku sayang kamu pake banget.”

“Really?”

Janu tertawa pelan, “ada dari sudut muka aku yang nipu kamu?”

Shezan terdiam sambil seolah-olah dia sedang berpikir. Matanya menelisik wajah tampan Janu,

“Gak ada sih, yang ada di muka kamu cuma kegantengan kamu doang.”

Janu tertawa lumayan keras, begitu pula dengan Shezan. Lalu, pria itu menarik Shezan ke dalam dekapannya, dan mendekap tubuh kekasihnya itu dengan begitu erat, begitu pula dengan Shezan.

Seolah-olah tidak ada hari esok untuk keduanya.