jaehyunetz


Sinar matahari masuk melalui sela sela pintu balkon kamar apartement Janu. Hal itu cukup berhasil mengusik tidur nyenyak Janu. Lelaki itu dengan begitu terpaksa membuka matanya yang masih terasa lelah dan berat. Ditambah lagi kepalanya yang terasa pusing akibat mabuknya semalam bersama Jaffin dan juga Yazid.

Setelah Janu sepenuhnya sadar, matanya yang berwarna merah itu menangkap sosok kekasihnya, Shezan yang tengah berdiri di hadapan lelaki itu, menatapnya tanpa ekspresi. Janu tersenyum menyambut kekasih tercintanya itu,

“Kamu kok bisa disini sih sayang?” tanya Janu dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur.

Shezan menghela nafasnya kasar, “kamu mabuk, ada masalah apa kamu sampai mabuk begini?”

Janu terdiam.

Meskipun dia kemarin mabuk berat, dan sekarang pusing dan mualnya masih bersisa, tapi otaknya masih berjalan dengan sangat lancar, dan dia juga mengingat alasan yang membuatnya sampai harus berakhir di club malam bersama kedua temannya.

Namun, Janu tidak mungkin menceritakan itu semua kepada Shezan. Dia akan menyembunyikannya, tidak ingin Janu menyakiti hati kekasihnya itu,

“Cuma masalah kantor aja sih.” alibi Janu, “kamu udah makan?”

Janu mencoba setengah mati untuk mengganti topik pembicaraan, namun, sepertinya untuk kali ini Shezan tidak tertarik dengan pertanyaan “kamu udah makan?” yang dilontarkan oleh Janu,

“Are you sure ini cuman masalah kantor aja?” Shezan bertanya dengan tatapan mata penuh selidik, “bukan, karena kamu mau dijodohin sama ibu kamu itu kan?”

Pupil mata Janu membesar ketika mendengar pertanyaan akhir Shezan. Satu yang terbesit di otaknya ialah, darimana Shezan tau masalah ini?

Panik melanda Janu. Namun, lelaki itu mencoba untuk bersikap biasa saja, seolah-olah tidak ada kebohongan kali ini,

“Beneran kok—”

Suara decakan dari mulut Shezan membuat Janu mematung,

“Kamu selalu bilang kalau suatu hubungan itu bakal berjalan lancar kalau gak ada kebohongan diantara kita, tapi buktinya? You lie to me.”

“Im sorry.” lirih Janu, “aku gak mau ngasih tau karena aku gak mau kamu sakit hati.”

“You already hurt me, Janu.” Shezan berkata dengan suara lirih.

Janu bangkit dari tidurnya, dan langsung mencoba untuk meraih tangan Shezan dengan begitu panik dan rasa bersalah yang menguasai hatinya. Shezan menolak tangan Janu untuk menyentuh dirinya,

“Kamu iyain perjodohan itu?” tanya Shezan menatap Janu.

“I have no choice.” jawab Janu dengan begitu penuh rasa penyesalan di dalam dirinya, “aku nurut dan nerima perjodohan itu, karena aku gak mau semua aset aku diambil, dan jabatan aku sebagai direktur utama di perusahaan papaku, dicabut dan digantiin sama Marlo. Aku gak mau.”

Shezan terdiam.

Perasaan sedih, marah, kecewa, dan kesal yang dari kemarin hinggap di dalam dirinya setelah mengetahui bahwa Janu, kekasihnya itu akan dijodohkan oleh ibu lelaki itu. Mendadak hilang begitu saja, digantikan dengan perasaan ikhlas.

Raut mukanya yang terlihat murung dan datar juga kini sudah berubah menjadi lebih ekspresif,

“Aku belum ketemu sama ceweknya, tapi ya, setelah ketemu pun, aku bakal jelasin ke dia kalau aku punya kamu, dan aku udah ada rencana, kalau misalkan kita bakal nikah setahun doang, setelah itu aku bakal ceraiin dia, dan aku nikah sama kamu.” Janu berbicara dengan begitu meyakinkan Shezan, “1 tahun aja aku mohon.”.

“Tapi kamu bakal sering nemuin aku kan? Dan kita bakal ngejalanin hubungan kita kaya sebelum kamu dijodohin sama perempuan itu?”

Janu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum,

“Of course dong sayang, aku gak bakal jatuh cinta sama perempuan lain selain kamu. Aku sayang kamu pake banget.”

“Really?”

Janu tertawa pelan, “ada dari sudut muka aku yang nipu kamu?”

Shezan terdiam sambil seolah-olah dia sedang berpikir. Matanya menelisik wajah tampan Janu,

“Gak ada sih, yang ada di muka kamu cuma kegantengan kamu doang.”

Janu tertawa lumayan keras, begitu pula dengan Shezan. Lalu, pria itu menarik Shezan ke dalam dekapannya, dan mendekap tubuh kekasihnya itu dengan begitu erat, begitu pula dengan Shezan.

Seolah-olah tidak ada hari esok untuk keduanya.


“HAH!? DIJODOHIN!?”

Begitulah kira-kira teriakan terkejut Kaira setelah mendengar omongan yang ingin diomongkan oleh kedua orang tuanya kepada Kaira secara langsung.

Dirinya sempat berpikir kalau obrolan ini sangatlah penting dan urgent. Tapi nyatanya, apa yang ingin diobrolkan oleh kedua orang tua Kaira benar-benar amat sangat diluar dugaan gadis itu.

Seumur hidupnya. Dia tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan siapapun, lalu tiba-tiba, orang tuanya dengan santainya bilang kalau mereka ingin menjodohkan Kaira dengan seorang anak laki-laki yang merupakan anak dari teman kedua orang tuanya, yang mana, Kaira tidak sama sekali mengenal siapa sosok laki-laki itu,

“Nduk, duduk dulu ya? Biar bapak sama ibu jelasin dulu, kenapa perjodohan ini tercipta. Duduk yang manis ya sayang.” bujuk sang ibunda dengan begitu lembut, wanita paruh baya berdarah Jogjakarta ini sangat pandai menenangkan anak gadisnya itu.

Kaira duduk kembali dari duduknya, dengan ekspresi mukanya yang masih terkejut, namun tidak terkejut seperti pada saat di awal.

Setelah Kaira duduk manis dan tenang di sofanya, baru, mulailah kedua orang tuanya bercerita secara bergantian.

Pada intinya, kedua orang tua Kaira itu berteman baik dengan orang tua dari laki-laki yang akan dijodohkan dengan Kaira, mereka benar-benar sangat dekat, saking dekatnya mereka sudah seperti saudara. Dan, pada suatu hari, saat mereka berlibur ke puncak, ayah dari laki-laki yang akan dijodohkan dengan Kaira itu berucap, kalau mereka sudah menikah dan memiliki anak nanti, mereka sepakat untuk menjodohkan anak mereka.

Karena itu lah kenapa perjodohan ini ada.

Setelah diceritakan panjang lebar, dalam hatinya, Kaira masih merasa tidak adil dan tidak ingin menerima perjodohan ini. Menikah tanpa didasari rasa cinta adalah salah satu hal yang sangat amat tidak diinginkan oleh Kaira, apalagi, gadis itu tidak pernah memiliki pengalaman menjalin hubungan dengan seseorang.

Tapi, sebagai anak perempuan yang sudah di didik untuk selalu patuh kepada orang tua, Kaira tidak bisa komplain apalagi sampai harus menolak permintaan kedua orang taunya. Permintaan mereka bagi Kaira—meskipun sangat amat tidak masuk di akal—masih belum sebanding dengan segala pengorbanan mereka untuk membesarkan Kaira,

“Nduk, setelah di kasih penjelasan ini, ibu sama bapak berharap, nduk bisa menerima perjodohan ini, dan kalian bisa secepatnya ketemu untuk saling kenalan.” pinta sang ibunda dengan suara yang lembut, membuat Kaira semakin tidak bisa untuk melayangkan protes.

“Anaknya baik sekali nduk, dia juga direktur di perusahaan terbesar di Bandung. Bapa percaya kalau dia bisa membahagiakan kamu seperti kami membahagiakan kamu juga.” timpal sang ayah.

Kaira semakin bimbang. Jelas, dia ingin sekali menolak. Selain karena ini adalah perjodohan, Kaira juga belum terpikirkan untuk berumah tangga. Mental Kaira belum 100% siap untuk menjadi seorang istri. Tapi, kembali lagi, Kaira begitu amat sangat menghormati kedua orang tuanya, dia tidak punya hati untuk menolak kemauan kedua orang tuanya itu,

“Iya pa, bu.”

Senyum mereka terpampang nyata di wajah kedua orang tua Kaira. Melihat itu, Kaira ikut tersenyum. Meskipun senyumannya palsu. Berpura-pura terlihat ikhlas dan seolah-olah benar benar menerima perjodohan ini, padahal sebenarnya, Kaira menjerit di dalam hatinya.

Kenapa harus dia yang mengalami hal rumit seperti ini?

Huh, Kaira yakin, setelah ini mungkin saja dia tidak akan pernah bisa menjalani hari-harinya dengan perasaan yang tenang.


Perjalanan Jayden dan Milka ke kampus hari ini tidak seperti biasanya.

Biasanya, Milka akan sangat berisik menceritakan khayalannya dengan Dilan, yang mana adalah sahabat dari Jayden sendiri, dan Jayden tidak bisa melakukan apa-apa selain mendengarkan khayalan gila dari sahabat masa kecilnya itu.

Atau Milka yang bernyanyi dengan nada suara sumbangnya, yang membuat siapapun akan memukul gadis itu dengan barang apapun. Namun, bagi Jayden, nyanyian jelek dari suara Milka adalah serotonin bagi Jayden.

Namun untuk hari ini, Milka tidak melakukan dua kegiatan itu. Jayden tidak bersyukur akan hal tersebut. Apalagi mengingat alasan dibalik perubahan sikap Milka hari ini, Jayden justru khawatir. Teramat sangat khawatir. Bukan apa-apa, hal ini bukanlah yang pertama kali untuk Milka, sudah dari tahun 2019 kedua orang tua Milka selalu bertengkar hebat, entah apa alasannya, Milka sendiri tidak tahu, apalagi Jayden.

Dan, di akhir tahun 2020, Milka pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya, dengan menengguk banyak obat yang dia sengaja beli di warung. Namun, Tuhan masih menyelamatkan Milka. Meskipun ia overdosis pada awalnya, namun, setelah Jayden membawa Milka ke rumah sakit, gadis itu hanya koma selama 3 hari, setelahnya dia sadar dan menyesali kenapa dirinya harus kembali hidup.

Hubungan kedua orang tua Milka sempat membaik, namun, di pertengahan 2021, mereka kembali bertengkar. Tak jarang mereka saling bermain fisik. Itu benar-benar membuka luka lama Milka, dan gadis itu merasa di khianati oleh kedua orang tuanya. Ketika Milka masih dalam keadaan lemas setelah sadar dari komanya, kedua orang tua Milka berjanji untuk tidak bertengkar lagi, namun mereka mengingkari janji itu.

Milka, si gadis rapuh yang hampir direnggut oleh rasa sakitnya itu, mencoba untuk bangkit, dengan menahan dirinya agar tidak menyakiti dirinya sendiri ketika kedua orang tuanya mulai bertengkar. Dan, Tuhan, memberikan Jayden ke dalam hidupnya. Sejujurnya, Jayden adalah anugerah dari Tuhan untuk Milka yang paling indah. Jayden banyak membantunya di masa-masa sulit Milka, dan bahkan, ketika kedua orang tua Milka bertengkar pun, ada Jayden yang selalu siap siaga untuk membawa Milka pergi. Entah itu ke rumah Jayden, atau sekedar jalan-jalan mengelilingi kota Bandung.

Yang terpenting, Jayden berhasil membawa kabur Milka dari rumah yang tidak seperti rumah itu,

“Mil.” panggil Jayden sambil mata pria itu lurus ke depan, fokus menyetir demi keselamatan keduanya.

Milka yang sedari tadi hanya melirik jalanan melalu kaca mobil milik Jayden disamping, langsung menoleh ke arah Jayden. Wajah pucat dan sembab itu, berhasil tertangkap oleh Jayden. Melihatnya membuat hati pria itu terasa sakit,

“Mau gue telfonin, Dilan?”

Milka merapatkan kedua bibirnya membentuk senyuman yang tulus sambil menggelengkan kepalanya, “gue gak mau ada Dilan, gue maunya ada lo.”

Jawaban spontan Milka itu berhasil membuat telinga Jayden memerah. Dirinya salting. Namun, Jayden adalah Jayden, si laki-laki tampan yang jago sekali bermain peran. Dia mencoba untuk berakting seperti terlihat biasa saja dengan apa yang Milka ucapkan barusan,

“Udah nyerah emang lu sama dia?”

Milka menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menggelengkan kepalanya,

“Terus kenapa? Biasanya kan elu selalu maksa-maksa gue buat pap-in si Dilan lah, live report tentang Dilan lah. Ini gue tawarin dengan senang hati lu malah gak mau. Aneh.”

“Dilan gak berkontribusi banyak di hidup gue. Well, bisa dibilang, dia berkontribusi tapi cuman sedikit. Karena dia, gue jadi semangat belajar. Tapi lo, lo adalah manusia yang berkontribusi tinggi di hidup gue. Apa Dilan ada nyelamatin nyawa gue kayak yang lo lakuin ke gue dulu? Apa ada Dilan yang selalu ngebawa gue pergi ke tempat-tempat aneh dan absurd kalau misalkan monster-monster itu lagi pada adu mekanik? No, Jayden, cuman lo.”

Kalau bisa Jayden teriak sekarang, ingin rasanya laki-laki itu berteriak kencang. Namun apa daya, citranya sebagai laki-laki yang tidak suka dengan Milka lebih dari seorang perempuan harus ia jaga, kalau tidak, bisa-bisa Milka mengejeknya, atau lebih buruk, pertemanan yang sudah mereka bina selama kurang lebih 10 tahun itu hancur begitu saja karena perasaan suka Jayden kepada Milka,

“Jadi, biarin hari ini ajaa, gue bener-bener spending time together sama lu, gak usah ada Kak Dilan, atau pun Hannah sahabat gue. Just two of us, okay?

Jayden melirik Milka sekilas lalu kembali fokus ke depan sambil menganggukkan kepalanya,

“Janji ya gak nanya-nanyain soal Dilan?”

“Janji prince mogu-mogu!”

Senyum Jayden mengembang dengan manis tat kala Milka memanggil laki-laki itu dengan sebutan prince mogu-mogu. Dimana panggilan itu adalah panggilan yang disematkan oleh Milka untuk Jayden dari sejak keduanya berada di bangku Sekolah Menengah Pertama,

“Baiklah princess mogu-mogu


Bandung, 2014

Siang itu, kelas 8-C begitu bising, hal itu dikarenakan tidak ada guru yang mengajar. Membuat murid-murid di dalam sana merasa bebas, dan berpikir kalau kebisingan mereka itu tidak akan ketahuan oleh guru yang tengah mengajar di kelas sebelah atau sedang lewat.

Kala, si gadis dengan sejuta keceriaan, duduk di belakang bersama teman sebangkunya, Alsa. Dua gadis itu sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru yang seharusnya datang dan mengajar di kelas hari ini. Keduanya mengerjakan tugas sambil mendengarkan lagu melalui ponsel Kala.

Memang sudah menjadi kebiasaan bagi Kala, dia senang mendengarkan lagu disaat sedang mengerjakan tugas. Begitu pula dengan Alsa.

Tiba-tiba seseorang menghampiri meja Kala dan Alsa. Dia adalah Janu. Lelaki tinggi, dengan kulit super putih, dan wajahnya yang begitu tampan meskipun menggunakan kacamata. Lelaki itu memang sering sekali berjalan menghampiri meja Kala dan Alsa, meskipun tidak ada hal yang begitu penting,

“Si Kala mah nulisnya lemot, liat Alsa nulisnya udah dua halaman.” ejek Janu.

Kala membalas dengan begitu nyolot, “ya udah sih emang masalah buat kamu kalau aku nulisnya lemot? Nyebelin banget.”

Tidak ada reaksi apa-apa dari Janu selain daripada lelaki itu yang tersenyum, dan setelah itu dia kembali duduk ke bangkunya.

Kala mengomeli Janu dari tempat duduknya, sambil matanya menatap lurus ke arah laki-laki itu,

“Ngeselin banget dia sumpah ih Sa jadi manusia. Bete aku!” protes Kala.

Alsa hanya tertawa. Wanita keturunan Arab itu memang sudah terbiasa dengan hubungan love and hate yang terjalin antara Janu dan Kala,

“Sering banget ngejailin aneh kenapa sih?”

“Suka kali sama kamu.”

Kala bergidik ngeri, “udah gila! Anaknya manja gitu hihhhh ngapain juga aku mesti suka sama dia.”

Dan kemudian, Alsa tertawa.

Kedua perempuan itu kembali lanjut mengerjakan tugas. Dan keributan di kelas pun semakin tidak terbendung, ada beberapa siswa yang sampai memukul-mukuli galon yang memang disediakan di dalam kelas untuk minum para murid.

Kegaduhan tersebut pada akhirnya terdengar langsung oleh seorang guru PKN yang sedang melewati kelas 8 C. Guru tersebut langsung membuka pintu kelas 8 C yang ditutup dengan begitu keras. Membuat semua murid yang berisik langsung berbondong-bondong kembali duduk di bangkunya.

Ekspresi marah terpatri di wajah cantik guru itu. Semua murid mendadak resah dan ketakutan,

“Kalian ini di sekolahin sama orang tua kalian buat belajar bukan buat berisik-berisik kayak begini! Ganggu kelas lain lagi belajar aja.”

Semua murid terdiam, tidak ada yang membuka suara. Mereka menunduk ketakutan. Begitu pun dengan Kala di belakang,

“Pelajaran siapa sekarang?”

“IPA bu.” jawab salah satu murid yang duduk di pojok belakang.

“Udah dikasih tugas kan?” semua murid kompak menjawab iya, “terus kenapa masih berisik? Kasian temen temen kalian di kelas lain yang mau belajar. Udah bayar SPP mahal-mahal bukannya dapet ilmu malah diberisikin sama kalian!”

Lagi, tidak ada yang bersuara.

Sampai pada akhirnya, suara ponsel entah milik siapa berbunyi. Sang guru yang asalnya sudah mampu meredam emosinya kembali murka,

“Astagfirullah, SUDAH TAHU ATURAN SEKARANG HANDPHONE HARUS DIKUMPULKAN, INI KENAPA ADA YANG GAK NGUMPULIN HAPE?”

Semua murid kembali ketakutan. Pasalnya, di kelas ini banyak yang tidak mengumpulkan ponsel. Termasuk Janu, Kala, dan juga Alsa,

“SIAPA YANG GAK BAWA HANDPHONE!? JUJUR SAMA SAYA!”

Dan, pada akhirnya Janu, Kala, Alsa, dan beberapa murid lainnya yang ketahuan tidak mengumpulkan ponsel langsung mengacungkan tangannya,

“Masha Allah. Dasar anak-anak nakal!” hardik guru PKN itu, “saya sita handphone kalian semua, nanti harus diambil sama orang tua kalian!”

Dan yah, hari itu benar-benar menjadi hari terburuk bagi Kala, Juan, Alsa, dan beberapa murid di kelas 8C yang memilih untuk tidak mengumpulkan ponsel mereka.


Bandung, 2022

“Safira, lain kali jangan kayak teman-teman yang lain ya? Nilai Safira bagus semua loh, tapi kalau gak patuh sama aturan sekolah juga sama aja bohong namanya.”

Suara lembut guru Safira begitu indah didengar oleh Safira dan juga Kala.

Yang bersalah—Safira hanya mampu menundukkan kepalanya sambil menganggukkan kepalanya. Gadis itu mengakui bahwa dirinya memang bersalah, dan dia merasa malu dengan kakaknya, Kala, juga dengan guru yang sekarang duduk di depannya,

“Makasih ya ibu.” ucap Kala dengan begitu sopan dan lembut, “maafin juga ya bu adik saya, dia emang kebiasaan kalau disuruh ngerjain tugas nggak pernah bisa kalau gak dengerin handphone. Tapi apa yang sudah adik saya lakuin gak bisa dijadiin excuse jadi sekali lagi saya, kaka kandungnya Safira, atas nama Safira meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang Safira perbuat, saya janji, saya akan pastikan kalau adik saya gak akan jadi anak bandel lagi.”

“Iya kakaknya Safira enggak apa-apa. Tapi semoga ini bisa jadi pelajaran ya buat Safira.” ucap si ibu guru, “oh iya, kalau gak salah, kakaknya Safira ini pernah sekolah disini ya? Soalnya kebetulan saya kayak sering ngeliat wajahnya Safira dulu.”

Kala tertawa pelan,

“Iya bu, kebetulan saya dulu waktu SMP-nya disini, kalau SMA-nya di SMA lain, tapi ya gitu swasta juga, kuliah juga ya tetep aja swasta.”

“Aduh gak apa-apa, yang penting sekolah, swasta negeri itu sama aja.”

“Iya bu.” lalu kemudian Kala berpamitan dengan ibu guru didepannya ini, “kalau begitu, saya pamit dulu ya bu?”

“Oh iya mangga, mangga, silahkan.”

“Permisi bu.”

“Makasih ya bu.”

Kala dan Safira akhirnya keluar dari dalam ruang guru. Mereka berdua berjalan menuruni tangga untuk turun ke bawah.

Selama perjalanan, mata Kala tidak bisa untuk tidak melirik ke sebelah kanan gedung sekolah. Itu adalah gedung SMP, tempat dimana dahulu dia bersekolah. Banyak kenangan yang ada disana, membuat Kala menjadi sedikit nostalgia mengingat jaman-jaman ketika dirinya masih begitu polos, terutama soal cinta.

Tanpa terasa, air mata Kala terasa basah akan air mata. Bulir-bulir itu menumpuk dibawah matanya. Kala berusaha sekuat tenaga menahan tangisannya agar tidak keluar, karena ia tidak ingin Safira bertanya lebih lanjut tentang perasaan kakaknya.

Dan begitu sampai di dalam mobil. Setelah Kala dengan mati-matian menyembunyikan air matanya, Safira malah mengetahuinya. Adik perempuan kesayangannya itu terlihat begitu panik dan khawatir mengetahui sang kakak yang berkaca-kaca,

“Kak, are you okay?

Tidak ada jawaban suara dari Kala, gadis itu hanya mengangguk, sambil terus merunduk dengan tangannya yang mencoba untuk menyalakan mesin mobil.

Namun, anggukan Kala itu berbanding terbalik dengan suara tarikan ingus yang membuat Safira yakin kalau kakaknya itu sedang menangis,

“Kak.”

Kala pada akhirnya memberanikan diri untuk melirik Safira, sebelum pada akhirnya dia menjalankan mobilnya,

“Safira, kakak gak apa-apa, kakak nangis karena kakak memang lagi banyak tugas aja, jadi jangan nanya lagi ya?”

Meskipun Safira sangat ingin tahu, tapi ia menghormati sang kakak.

Jadi, Safira putuskan untuk mengangguk, dan menuruti kemauan kakak perempuannya itu.


Siang ini hujan turun tidak begitu deras, namun tetap membasahi hampir seluruh kawasan Puncak. Kirana dan Jiro memilih untuk berteduh di dalam mobil milik.

Satu hal yang menarik perhatian Jiro selama dia bersama Kirana adalah, bagaimana gadis itu terlihat begitu bahagia dengan turunnya, padahal beberapa makhluk di bumi sangat begitu membenci hujan, tapi Kirana, matanya tidak bisa berbohong kalau dia begitu mencintai hujan.

Di mata Jiro, Kirana terlihat begitu menggemaskan, bagaimana matanya yang berbincar, dan senyumannya yang tidak pernah luntur hanya karena sebuah partikel-partikel air yang mengendap di awan dan turun ke bumi. Saking menggemaskannya Kirana, Jiro sampai tertawa pelan.

Mungkin, Kirana mendengar suara tawa Jiro. Gadis itu seketika menoleh ke samping, untuk melihat Jiro yang sedang memperhatikannya sambil tertawa. Gadis itu bingung, mengapa Jiro tertawa, apa ada hal lucu yang dilakukannya secara tidak sengaja?

“Kok ketawa sih?” Kirana bertanya heran.

“Lo tuh suka hujan ya?” Jiro malah balik bertanya.

Kirana langsung mengangguk antusias disaat Jiro membahas tentang hujan,

“Kenapa?” Jiro bertanya, “maksudnya, semua orang di bumi ini nganggep kalau hujan itu semacem kayak musibah. Dan lo, bisa-bisanya lo suka hujan.”

Kirana tertawa. Ia tahu, terkadang orang-orang selalu menganggapnya aneh karena terlalu mencintai hujan. Tapi, faktanya, hujan selalu berhasil memberikan ketenangan kepada Kirana. Apalagi dikala anak itu sedang benar-benar kehilangan fokus, hujan lah yang membantu Kirana kembali tenang dan mulai bisa fokus akan sesuatu hal yang akan dia kerjakan,

“Mungkin bagi sebagian orang, hujan itu musibah, tapi bagi gue, hujan itu anugerah.” ucap Kirana, “dulu, waktu kecil, gue pernah dimarahin abis-abisan sama nyokap gue, karena gue gak sengaja rusakin taneman kesayangannya. Dan, karena didikan keluarga gue itu keras, especially mendiang kakek aku, gue jadi gak berani nangis. Gue selalu terbiasa nyembunyiin perasaan sedih gue waktu kecil, gue gak bisa nangis sama sekali waktu kecil, tapi di hari itu, gue gak bisa tahan semuanya. Gue rusakin taneman kesayangan nyokap, dan nyokap marahin gue sampai dia diemin gue. Lo bayangin hal itu terjadi sama gue pada saat umur gue baru lima tahun.”

“Hubungannya sama hujan apa?” celetuk Jiro.

Kirana tersenyum sebelum menjawab, “hari itu, hujan turun lumayan deras di daerah rumah gue. Gak tau deh, tapi otak kecil gue dulu itu mikir, kalau misalkan gue nangis di bawah hujan, pasti gak bakal keliatan kayak nangis, karena kan muka kita basah sama air. Nah, pas waktu itu tuh, gue langsung aja hujan-hujanan, sambil nangis. Tapi untuk malsuin itu semua, ya biar gak keliatan banget gue lagi nangisnya, gue sambil nari-narian di bawah hujan. Semua orang, mulai dari nenek, kakek, nyokap gue, bokap gue, taunya gue lagi seneng-seneng di bawah air hujan pas liat gue pada hari itu, padahal pada kenyataannya gue lagi luapin semua rasa sedih gue.”

“Lo gak perlu kayak gitu lagi.” pesan Jiro, “ada gue, kalau lo mau nangis, lo bisa nangis ke gue.”

“Hahahaha apaan sih!” tawa Kirana menggelegar, “ya itu kan dulu pas gue waktu kecil, gue udah berobat ke psikolog kok, dan yah, gue sekarang udah berani untuk nangis tanpa harus dibawah hujan. Tenang aja, gue udah sehat.”

Jiro tersenyum tipis. Tangannya terulur untuk menyentuh puncak kepala Kirana, entah untuk apa tujuannya,

“Eh iya, mau ujan-ujanan gak?”

“Hah?” bingung Jiro.

Melihat bagaimana Jiro yang kebingungan membuat Kirana hanya mampu tertawa geli. Gadis itu tanpa menjawab apa-apa, langsung melepaskan safety beltnya, dan turun dari mobil. Untuk beberapa saat Jiro terkejut, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dirinya semakin terkejut tat kala melihat Kirana yang sudah berdiri di depan mobilnya sambil menari-nari. Gadis itu melihat ke arah Jiro yang masih terkejut di dalam sini, sambil tangannya terulur dan memberi kode seperti mengajak Jiro untuk keluar dan bergabung bersamanya.

Seolah dihipnotis, Jiro pada akhirnya mengikuti ajakan Kirana. Lelaki itu keluar dari dalam mobilnya, dan bergabung bersama Kirana. Mereka berdua saling menari di bawah hujan, sambil tertawa-tawa, melepaskan beban yang mungkin tengah mereka rasakan. Tidak perduli dengan beberapa orang yang lewat dan melihat mereka seperti orang aneh.

Yang jelas, hari ini, Jiro dan Kirana hanya ingin bahagia, tanpa perlu memikirkan orang lain.

Kirana terus menari dan tertawa. Tangannya ia rentangkan dan badannya memutar, kepalanya menenggak ke atas sambil berteriak. Sementara Jiro, pria itu hanya diam, sambil menatap Kirana, senyum manis terpatri di wajah Jiro, ikut merasakan euphoria kebahagiaan yang di dalam diri Kirana,

“Kiran.” panggil Jiro, Kirana berhenti dengan aktifitasnya, lalu ia menatap Jiro.

“Ya, kenapa?” sahut Kirana.

Tidak ada jawaban dari Jiro. Lelaki itu hanya melangkahkan kakinya sebanyak 2 langkah—agar tubuhnya dekat dengan Kirana. Lalu, tangannya ia gunakan untuk menangkup kedua pipi Kirana, dan sesuatu yang tidak pernah Kirana duga pun terjadi. Jiro, mencium bibirnya begitu saja.

Kirana terkejut? Jelas. Bukan main gadis itu terkejutnya. Tidak ada yang bisa Kirana lakukan. Ini adalah ciuman pertamanya, Kirana tidak tahu harus berbuat apa, selain itu, Kirana juga cukup terkejut karena Jiro begitu tiba-tiba melakukan hal seperti ini.

Namun, lama kelamaan, perasaan ingin membalas ciuman Jiro muncul di dalam hati Kirana. Dengan itu, dia memberanikan diri untuk membalas ciuman Jiro. Tangan gadis itu juga sudah dilingkarkan di leher Jiro.

Hari ini, hujan menjadi saksi akan cinta dua manusia ini.


“Mau check up?” tanya seorang pria yang duduk tepat di samping Kirana.

Kirana yang sedang memainkan ponselnya, langsung berhenti dan menoleh ke samping. Ia mengangguk sambil menyunggingkan senyumannya,

“Check up pasca operasi sama mau cabut jaitan.” jawab Kirana.

Lelaki itu terlihat begitu tidak menyangka mendengar jawaban Kirana,

“Loh sama juga.” ucapnya, Kirana menyambutnya dengan antusias.

“Serius?”

“Iya, baru seminggu kemarin di operasi usus buntu.”

Kini gantian, Kirana yang tidak menyangka dengan pernyataan lelaki yang tidak diketahui namanya itu,

“Astaga, sama juga!” seru Kirana, “saya juga baru banget di operasi seminggu yang lalu, dan casenya sama, usus buntu juga.”

Lelaki itu tertawa,

“Wah, bisa samaan gini ya.” ucapnya disela-sela tawanya.

Kirana tersenyum sambil mengangguk,

“Oh iya, kenalin, nama gua Jiro.” lelaki itu tiba-tiba mengajak Kirana berkenalan dengan mengulurkan tangannya, dan Kirana pun menyambut uluran tangan tersebut.

“Kirana.”

Jiro mengakhiri terlebih dahulu jabatan tangan tersebut,

“Nama yang cantik.” pujinya.

Kirana tersipu malu, “makasih.”

“Oh iya, boleh minta nomor telfon? Mungkin setelah ini kita bisa temenan dan sharing hal banyak soal usus buntu?”

Kirana tertawa pelan, diikuti juga oleh Jiro. Lalu kemudian, gadis itu mengangguk dan menyebutkan nomor telfonnya, dan Jiro yang mengetik di ponselnya. Setelah selesai, Jiro menelfon nomor tersebut, ponsel Kirana langsung berbunyi, belum sempat Kirana mengangkat telfon tersebut, Jiro sudah terlebih dahulu mematikan sambungan telfonnya,

“Save ya, Jiro.”

“Iya.”

Setelah itu, pintu ruangan pun terbuka, dan suster keluar, lalu dia memanggil Kirana untuk segera masuk ke dalam. Kirana pun berdiri dari duduknya dan sebelum masuk ke dalam ia berpamitan dulu kepada Jiro,

“Masuk dulu ya.”

Jiro mengangguk sambil tersenyum, “iya silahkan.”


“Darimana lu?” Jauzan bertanya sesaat setelah melihat Yudha masuk ke dalam kelas sambil membawa beberapa lembar kertas di tangannya.

Yudha mendudukan dirinya di kursi yang kebetulan bersebelahan dengan Jauzan,

“Abis ngambil ini.” jawab Yudha sambil mengangkat lembaran kertas itu ke udara.

Jauzan hanya mengangguk, kemudian dia berkata,

“Dosennya hari ini gak masuk anjing, padahal gue udah lari dari parkiran nyampe sini, asu.”

“Lah? Serius?”

Jauzan mengangguk dengan penuh yakin dan mimik wajah kesal,

“Bete gue diem di kelas mau cabut ke kantin, ikut kagak lu?”

“Kaga dah kaga, lagi agak ga enak badan gua.” tolak Yudha, memang, wajah pria itu terlihat agak sedikit pucat, tidak seperti biasanya.

Jauzan yang paham pun tidak memaksa. Pria itu berdiri, berpamitan dengan Yudha, dan pergi keluar dari kelasnya menuju kantin untuk memberi makan cacing-cacing di dalam perutnya yang terus-terusan meronta.

Sebagai mahasiswa yang terbilang cukup populer, seorang Jauzan, selalu disapa oleh banyak teman-teman kampusnya, terutama teman-teman perempuan. Seperti saat ini, terhitung sudah lebih dari tiga puluh perempuan (mungkin) yang menyapa Jauzan. Pesona dan kepopuleran Jauzan memang sudah tidak perlu diragukan lagi.

Begitu kakinya menginjakkan kawasan kantek (kantin teknik), Jauzan langsung mengedarkan pandangannya mencari-cari meja yang kosong untuk dirinya duduk, karena saat ini, pengunjung kantin lumayan penuh. Rata-rata mereka semua bukan mahasiswa teknik asli. Ada banyak orang yang bilang kalau kantin teknik adalah kantin dengan makanan yang sangat lengkap dan juga enak, Jauzan akui itu. Dia bukan tipikal pria yang senang makan makanan kantin, tapi pengecualian untuk kantin teknik. Semua makanan disini memiliki cita rasa yang spesial.

Pangan mata Jauzan pada akhirnya jatuh kepada seorang gadis yang tengah memesan makanan di stand mie kocok. Dari tempatnya berdiri, Jauzan bisa melihat sisi samping gadis itu yang begitu cantik, apalagi ketika gadis itu tersenyum. Bak sulap, Jauzan pun ikut tersenyum ketika itu. Seketika, memori hari kemarin, dimana ia bertemu dengan Janita, si kasir cantik di Millies Café memenuhi otaknya.

Melihat perempuan cantik itu benar-benar seperti dia melihat sosok Janita. Dan ternyata, hal itu benar adanya. Begitu wanita itu berbalik dan berjalan ke tempat duduknya yang kebetulan berhadap-hadapan dengan stand mie kocok itu. Dia adalah sosok Janita, gadis yang sudah menyita perhatian seorang Jauzan. Senyum sumringah pun terpatri di wajah tampan lelaki itu.

Dengan penuh rasa percaya diri. Jauzan berjalan mendekati meja yang diduduki oleh Janita. Dan, sepertinya sang wanita begitu terkejut sesaat dia melihat Jauzan yang berdiri dihadapannya sambil menyunggingkan senyumannya. Gadis itu juga kalau Jauzan perhatikan dari ekspresi matanya yang menyipit seperti sedang mengingat-ingat dimana ia pernah melihat Jauzan,

“Hai.” sapa Jauzan.

Tidak ada jawaban dari Janita. Gadis itu hanya diam tidak bereaksi sama sekali.

Jauzan sedikit malu, tetapi pada akhirnya dia kembali membuka suaranya,

“Well, mungkin lo lupa gue siapa, tapi gue Jauzan yang waktu kemarin malem ke millies café beli hot chocolate.”

Janita hanya mengangguk sambil ber-oh ria.

Baru juga Jauzan mau kembali membuka suaranya (niatnya ingin izin untuk duduk) tetapi tiba-tiba si pemilik stand mie kocok datang mendekati meja Janita sambil membawa semangkuk mie kocok diatas nampannya. Dia menaruh semangkuk mie kocok itu ke atas meja (tepat diharapan Janita), sehabis itu barulah dia pergi meninggalkan Janita dan juga Jauzan.

Tanpa izin, Jauzan tiba-tiba saja mendudukkan tubuhnya di kursi panjang kosong dihadapan Janita. Gadis itu terkejut dibuatnya, matanya melotot, dan satu kalimat pun keluar dari mulutnya—kalimat itu nadanya terdengar begitu rude,

“Lo ngapain duduk disitu?” Janita masih terkejut.

“Ya suka-suka gue.” jawab Jauzan dengan santainya, “eh iya lo makan mie kocok ya?”

Janita memutar bola matanya malas,

“Kayaknya tanpa gue jawab pun lo tau kan gue lagi makan apa?”

Jauzan cengengesan. Sejujurnya dia ingin berbincang-bincang lebih dengan Janita, tentunya dengan topik yang seru juga, akan tetapi, respon gadis itu masih begitu dingin, mungkin lain kali kalau ada kesempatan Jauzan akan mengajaknya berbicara,

“Terus lo ngapain masih disini?” tanya Janita menatap Jauzan dengan tatapan yang kurang begitu ramah.

“Liatin lo makan.” jawab Jauzan, “sekalian, gue juga mau kenalan sama lo, kita sekampus ya walaupun beda jurus—”

“Jani lo sam—LAH KAK JAUZAN!?”

Alice, datang bergabung dengan Janita dan Jauzan. Gadis itu membelalakan matanya terkejut ketika melihat Jauzan menoleh ke samping, sementara Jauzan hanya tersenyum ramah membalas sapaan Alice. Dan Janita yang tidak tahu apa-apa hanya diam sambil memperhatikan dua manusia itu secara bergantian,

“Eh Lic, abis nengokin Mahen?” Jauzan bertanya dengan ramahnya.

Alice yang masih kebingungan terpaksa menjawab pertanyaan Jauzan dengan anggukan, “kok lo bisa sama—”

“Gue gak tau dia yang tiba-tiba dateng kesini nyamperin gue.” potong Janita buru-buru.

“Beneran kak?” tanya Alice memastikan.

Jauzan terpaksa menganggukkan kepalanya, “bosen aja sih gue gak ada kelas, terus ke kantin, gue ketemu sama Jani, kebetulan kemarin pas gue dateng ke milles café dia jadi kasir disana, dan karena gue masih inget, jadi ya gue datengin aja.” jelas Jauzan.

Membuat Alice ber-oh ria, sementara Janita masih diam sambil sibuk menyantap Mie Kocoknya,

“Tapi gue juga mau balik kok.”

“Kok cepet amat?”

“Gak apa-apa.” jawab Jauzan. Lalu pria itu berdiri dari duduknya dan melihat ke Janita, “Jan, pamit dulu ya? Ntar kita ketemu lagi.”

Janita tidak bergeming. Gadis itu benar-benar mengabaikan kehadiran Jauzan.

Alice yang berada di posisi tersebut merasa awkward melihat bagaimana sikap Janita kepada Jauzan, namun sebisa mungkin gadis itu menyembunyikan perasaan awkwardnya.

Lalu, barulah Jauzan benar-benar melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kawasan kantin. Namun, belum juga ada tiga langkah, Jauzan mendengar percakapan Alice dan Janita di belakang sana,

“Kak Yudha tugasnya susah banget anjir, beneran lo kerjain?”

“Gue kalau gak ngerjain tugas dia, gak bakal bisa nransferin duit buat nyokap sama adek gue di Jogja. Gak apa-apa, lagian gue fast learner kok.”

Anjing? Jadi Yudha ngejoki tugasnya ke Janita? By the way, Janita kenapa sampai open jasa joki tugas segala? Dia ada economic problem apa gimana deh? Gak cape apa kerja di cafe terus ngerjain tugas orang lain?


Hujan mengguyur kota Bandung yang begitu amat dingin di malam hari ini. Janitra, si pelayan cantik hanya bisa terdiam menatap ke arah jendela café tempatnya bekerja. Tatapannya begitu kosong, seperti tidak memiliki tujuan. Pikirannya melayang memikirkan sang ibunda yang tengah tertimpa musibah di Jogja sana.

Suara bell yang berbunyi—sebagai tanda adanya pelanggan baru yang masuk pun, tidak lantas membuat Janitra sadar dari lamunannya. Suara-suara berisik terus menggema di kepala Janitra, suara-suara yang menyalahkan dirinya karena tidak ada disamping sang ibunda saat musibah menimpa satu-satunya orang tua yang dimiliki oleh gadis yang akrab disapa Jani itu. Tak terasa, air mata menetes begitu saja di pipi Janitra,

“Jani!”

Panggilan seorang pegawai yang tidak bisa Janitra dengar.

“Jani!”

Lagi, dia memanggil Janitra, dan respon yang diberikan masih sama. Janitra tidak bisa mendengarnya.

“JANI!”

Gertakan dan pukulan di bahu Janitra pada akhirnya mampu membuat gadis itu tersadar dari lamunannya dan terlepas dari suara-suara bising yang menyalahkan dirinya. Gadis itu bereaksi gelagapan, ia melihat sang senior yang berdiri disampingnya sekilas, lalu sepersekian detik dia menatap seorang pemuda tampan yang tengah berdiri di depannya hendak memesan makanan,

“Kamu layanin dia, nanti sehabis itu ikut saya ke belakang.” ucap senior Janitra dengan begitu angkuhnya. Beliau pergi begitu saja meninggalkan Janitra di depan meja kasir.

Kini, tersisalah Janitra dan si pelanggan tampan. Lelaki itu menatap Janitra dengan tatapan yang begitu sulit untuk diartikan. Janitra sadar akan tatapan itu, tapi perasaan kalut dan takut akan dimarahi sang senior membuatnya tidak begitu perduli dengan tatapan pria itu, dan tetap melayaninya dengan bagaimana seharusnya,

“Selamat malam, selamat datang di Millies Cafe, ada yang bisa saya bantu?”

“Mba kenapa nangis?” pertanyaan absurd itu keluar dari mulut si pria, perubahan raut wajah Janitra langsung terlihat dengan jelas—seperti tidak suka dan kurang nyaman dengan pertanyaan itu.

“Kalau masih bingung untuk milih menunya, boleh dibaca disini. Barangkali masnya punya mata minus.” ucap Janitra sambil jarinya mendorong kertas menu yang berada di atas meja kasir kepada pria tersebut.

Mungkin pria itu sudah sadar bahwa pertanyaan yang diajukannya kepada Janitra membuat gadis itu merasa kurang nyaman, terlihat jelas dari raut wajahnya yang terlihat seperti tidak enak dan menyesal karena sudah menanyakan pertanyaan barusan,

“Maaf mba, saya mau pesan hot chocolatenya satu.”

Janitra dengan gesit menekan pesanan milik pria itu di layar komputer yang sudah menggunakan teknologi touch screen,

“Ada lagi?” tanya Janitra memastikan.

Pria itu menggelengkan kepalanya sambil menyunggingkan senyuman manisnya,

“Udah itu aja mba.” jawab si pria.

“Saya ulang ya mas pesanannya. Hot chocolatenya satu. Totalnya jadi tiga puluh lima ribu.”

Dikeluarkanlah uang pecahan 50.000 oleh si pria sesaat setelah Janitra menyebutkan harga yang harus dibayar atas pesanan pelanggan itu.

Janitra menerima uang tersebut, dan mengembalikan 1 lembar uang nominal 10.000, dan 1 lembar uang nominal 5.000, beserta struk belanjaan dan kayu kecil berbentuk persegi panjang yang bertuliskan angka 7 kepada pelanggan tersebut,

“Pesanannya akan saya antar ya, boleh ditunggu.”

Pria itu mengangguk paham.

Lalu ia berlalu untuk mencari meja tempat dirinya akan duduk dan menikmati cokelat panas di dinginnya Bandung malam hari ini.

Dan, pria itu pun memilih meja yang jaraknya cukup dekat dengan kasir. Hal itu, ia lakukan sebab, ia ingin menatapi wajah si kasir cantik itu lebih lama.

Tidak dapat dipungkiri kalau pria itu terbius dengan kecantikan sempurna Janitra dipertemuan mereka yang pertama.


Kalila menahan air matanya ketika melihat hickey yang terpampang nyata di leher Julian. Itu bukan hasil dari perbuatannya, tapi itu hasil dari perbuatan perempuan lain yang ditemui Julian di kelab malam, tempat dia bermain bersama ketiga sahabatnya.

Hubungannya dengan Julian berdiri diatas sebuah perjanjian. Perjanjian ini dibuat sebelum mereka menjalin hubungan. Julian meminta Kalila untuk menandatangani surat perjanjian yang di dalamnya berisikan, keinginan Julian untuk menjalani open relationship atau hubungan terbuka.

Yang dimana maksudnya, hubungan ini bersifat bebas. Jadi, Julian tidak hanya berhubungan dengan Kalila, dia tetap bebas bermain dengan perempuan lain di luaran sana, begitu pula dengan Kalila. Entah apa alasannya, Kalila tidak benar-benar paham, tapi, karena saat itu Kalila begitu mencintai Julian, dia mengiyakan perjanjian tersebut dengan memberikan tanda tangan.

Menyesal? Jangan pernah tanya bagaimana menyesalnya Kalila. Namun, Kalila sadar kalau nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang harus disesali. Cukup Kalila bertahan dan meyakinkan dirinya kalau Julian akan berubah, meskipun lama, tidak apa-apa, Kalila akan tetap sabar menunggunya. Namun, apabila kesabaran itu telah habis, Kalila tidak akan pernah bertahan dan akan memilih pergi.

Benar benar pergi dari hidup Julian.


“Good morning, sayang.” suara lembut dan lingkaran tangan kekar di pinggul ramping Kalila, menyapa pagi gadis itu yang terasa semu.

Kalila terpaksa memperlihatkan senyumannya, sambil tangannya sibuk memotongi beberapa sayuran yang akan ia olah untuk menjadi sarapan dirinya dan juga Julian,

“Bobonya nyenyak?” tanya Kalila dengan lembut.

Julian mengangguk sambil wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher Kalila. Mencuri-curi kecupan disana, membuat Kalila terkekeh, namun hatinya menjerit perih,

“Aku mau bikinin kamu sup ya, biar pengar kamu ilang.”

“Thank you, honey.” Julian menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Kalila, lalu mengecup pipi Kalila dengan secepat kilat, “hari ini kamu mau ada acara apa?”

“Cuman ke kampus aja sih, habis itu ya pulang, aku kan bukan mahasiswi yang aktif.”

Julian berdehem,

“Kalau gitu, malam ini kita dinner gimana?”

Kalila spontan menghentikan kegiatan memotongnya itu. Ia langsung membalikan tubuhnya untuk menghadap Julian. Matanya menatap Julian dengan tatapan yang berbinar dan tidak percaya,

“Kamu gak boongan kan?”

Julian menggelengkan kepala sambil menyunggingkan senyuman tulusnya,

“Enggak bohong sayang. Pokoknya nanti malem siap siap oke?”

Kalila mengangguk antusias.

Kegundahan, rasa perih, kecewa, marah, dan sakit hatinya sirna begitu saja setelah Julian mengajaknya untuk pergi dinner bersama. Benar-benar hari yang membahagiakan untuk Kalila.


“Kok kakak parkir?” Karenina bertanya heran sesaat setelah mobil milik Javier terparkir dengan begitu rapih di basement khusus pengunjung apartement Karenina.

“Mau nganterin lo sampai depan kamar.” jawab Javier sambil melepaskan safety beltnya, sehabis itu dia menoleh ke arah Karenina yang masih kebingungan akan perlakuan Javier. Pria itu menyunggingkan senyuman manisnya, “ayo?”

“Hah?”

Javier tertawa pelan. Tangannya ia gunakan untuk mengacak-acak puncak rambut Karenina, yang mana hal itu sangat amat berbahaya untuk Karenina, disebabkan karena pipinya yang sekarang tiba-tiba memerah, dan perasaan salah tingkah yang menghinggapi dirinya,

“Gue anterin lo sampai depan unit apartement lo.” Javier mengulang ucapannya di awal.

Karenina langsung tersadar sepenuhnya. Gadis itu langsung menggelengkan kepalanya,

“Eh gak usah.” tolak Karenina dengan sangat halus.

“Gak apa-apa. Jadi kalau mau main atau apa, gue enggak perlu nungguin lo di lobby, biar gue langsung naik aja ke atas ke unit apartement lu.”,

Astaga, Ya Tuhan, Karenina benar-benar tidak menyangka kalau dirinya akan diantar pulang oleh Javier, bahkan dia juga akan diantar sampai ke depan pintu unit apartementnya oleh Javier. Ini mimpinya sejak dahulu, tapi, setelah Tuhan mewujudkannya, kenapa rasanya malah berbeda? Senang, tapi, ada perasaan bingung juga di dalam diri Karenina.

Mungkin, karena selama ini, Javier hanyalah sosok nyata di dalam hidupnya yang selalu ia khayalkan di setiap detiknya,

“Lah ini malah ngelamun. Woy!” Javier menggoyangkan tubuh Karenina perlahan, sampai gadis itu tersadar dari lamunannya, dan memasang ekspresi polosnya yang menggemaskan.

“Apa?”

“Oke, ini kayaknya kalau nanya nanya mulu, lo bakal nginep di mobil gue, jadi sekarang, ayo kita turun.”

Belum sempat Karenina berbicara, Javier buru-buru keluar dari dalam mobilnya. Ia memutari mobilnya hanya untuk membukakan pintu mobil untuk Karenina. Dan, setelah pintu terbuka, bukannya turun Karenina malah menatap Javier dengan raut wajah yang membingungkan,

“Kayaknya ga perlu sampai segininya deh.” ucap Karenina.

Javier tersenyum, “i just want to treat you well.” jawaban itu, kembali memberikan sensasi kupu-kupu di dalam perut Karenina.

Karenina tersipu malu.

Lalu, ia turun dari mobil tersebut. Javier menutup pintu mobilnya, dan keduanya pun masuk ke dalam pintu samping lobby apartement. Di tengah-tengah perjalanan mereka, tiba-tiba saja, Javier meraih tangan Karenina dan menggenggamnya.

Karenina jelas terkejut. Ia bahkan sampai menghentikan langkah kakinya, yang mana itu membuat Javier juga ikut menghentikan langkah kakinya. Karenina menoleh menatap Javier, Javier pun melakukan hal yang sama. Mata indah lelaki itu seolah-olah bertanya kepada Karenina, kenapa dirinya tiba-tiba berhenti seperti ini,

“Kak, you hold my hand.”

“And then?”

Aku salah tingkah, kak. Gumam Karenina di dalam hatinya.

Gadis itu buru-buru menggelengkan kepalanya. Dan, keduanya kembali melanjutkan langkah mereka yang tadi sempat berhenti ke pintu lift untuk naik ke unit apartement Karenina yang berada di lantai 3. Setelah menunggu lift, pada akhirnya, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Karenina dan Javier pun masuk ke dalam sana. Masih dengan tangan yang saling bertaut. Tangan kanan Javier yang mengganggur ia gunakan untuk menekan tombol angka nomor 4 di dalam lift tersebut. Setelah itu pintu lift tertutup.

1….

2….

dan

3….

Di lantai 3, tiba-tiba pintu lift terbuka, dan yang membuat terkejut adalah, ada dua pasangan yang sedang bercumbu dilorong unit apartement lantai 3, posisinya memang membelakangi Javier dan Karenina, namun tetap saja, keduanya merasa sangat awkward hanya dengan melihat itu saja. Kali ini gantian Karenina yang menekan tombol penutup pintu lift, setelah tertutup, barulah lift ini naik ke satu lantai lagi.

TING!

Suara bell penanda kalau lift sudah tiba di lantai tujuan itu berbunyi bertepatan dengan berhentinya lift di lantai 4. Pintu pun terbuka, masih dengan berpegangan tangan, Karenina dan Javier keluar dari dalam sana dan berjalan menuju kamar unit apartement Karenina yang berada di ujung lorong ini.

Setibanya di depan pintu unit apartement Karenina. Gadis itu langsung melepaskan tangannya dari tangan Javier, walaupun sebenarnya dia ingin terus memegang tangan Karenina sampai kapanpun,

“Makasih udah repot repot dianterin sampai sini.” ucap Karenina sambil tersenyum.

Javier mengangguk. Ikut menyunggingkan senyumannya, “istirahat ya.”

Karenina mengangguk patuh,

“Masuk dulu ya kak.” pamit Karenina.

“Iya.”

Karenina berbalik untuk memasukan password apartementnya, agar pintu unitnya terbuka. Sementara, Javier masih berdiri dibelakang gadis itu, sambil memperhatikan Karenina,

“Mimpiin gue jangan lupa.” canda Javier.

Karenina menoleh ke belakang dan tersenyum geli. Begitu pintu terbuka, Karenina masuk ke dalam, dan Javier pun pergi pulang ke apartementnya dengan perasaan senang.