jaehyunetz


“Siapa? Pacar kamu?” tanya Juan bercanda sambil melihat Jihan yang baru saja memabalas pesan dari kedua sahabatnya, Yasmin dan Alice.

Diberi pertanyaan seperti itu oleh Juan, membuat Jihan memberikan tatapan sinis kepada mantan kekasihnya itu. Juan hanya tertawa dengan mulut yang penuh oleh nasi goreng,

“Aku bercanda sayang.” ucap Juan dengan lembut setelah tawanya reda.

“Aku gak ngizinin kamu manggil aku sayang loh.”

“Oh gitu? Mau aku lihatin rekaman yang semalem, hm? Ahhh... Sayang.... Iyaaahhh.... Sayangg—”

Jihan melotot, dia mencoba untuk menutupi mulut Juan dengan tangannya, agar lelaki itu tidak sembarangan bicara. Lagi dan lagi, Juan dibuat tertawa dengan sikap panik Jihan yang sangat menggemaskan ini,

“Kamu bisa hati-hati gak kalau bicara? Kalau ada Pa Julian disini gimana.” Jihan bicara sambil berbisik dengan penuh penekanan.

“Hei, Julian itu temen aku asal kamu tahu. Lagian, Julian gak akan turun cepet kok, dia kan lagi asik-asik sama pacarnya. Kayak kita pas tadi malem.” lagi, Juan kembali menggoda Jihan, dan membuat Jihan salah tingkah hingga pipinya bersemu merah.

“Kamu ya!” ucap Jihan sambil mencubit paha Juan dengan cubitan semut.

“Awwww! Sakit sayang!” ringis Juan, sambil tangan kekarnya mengelus-elus bekas cubitan Jihan tadi.

“Makanya jangan godain aku terus!”

“Iya iya maaf.” Juan kembali bersuara, “kamu tadi chatingan sama siapa?”

“Alice sama Yasmin.” jawab Jihan.

“Alice masih marah sama aku?” tanya Juan, yang dijawab oleh anggukan kepala Jihan, “pantesan, beberapa minggu yang lalu, aku ketemu dia tuh di super market, terus aku sapa dia, eh dia malah melengos pergi gitu aja.”

“Serius?”

Juan mengangguk sambil mengunyah nasi goreng di dalam mulutnya,

“Maaf ya sayang, aku juga gak tau kenapa Alice bisa sebegitu bencinya sama kamu. Aku padahal udah jelasin yang pertemuan aku sama Yunita, tapi dia gak percaya, dan sampai sekarang Alice masih benci sama kamu dan Yunita.” Jihan terlihat sangat merasa bersalah atas sikap Alice yang begitu kasar kepada Juan.

Juan tersenyum, dia memegang tangan Jihan dan mengecup punggung tangannya dengan lembut,

“Gak apa-apa sayang, aku pantes kok dapetin itu. Dan aku paham kenapa Alice sebegitunya sama kamu, karena dia sayang sama kamu, dia enggak terima kamu disakitin sama aku. Aku justru yang harusnya minta maaf sama dia.”

“Nanti aku sampein ya.”

Juan mengangguk,

“Oh iya, aku mau ke Jogja boleh enggak?” Juan tiba-tiba mengganti topik pembicaraan yang membuat Jihan terkejut. Untuk apa laki-laki ini bertanya seperti itu?

“Mau ngapain?” tanya Jihan masih terkejut.

“Ketemu orang tua kamu lah, mau ngapain lagi emang?”

“Ih mau ngapain?”

Juan menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. Ia masih menggenggam tangan Jihan, dan kini genggamannya bertambah erat. Matanya menatap lurus mata cantik Jihan,

“Aku mau nikahin kamu.” jawab Juan dengan begitu yakin.

“Juan—”

“Sayang, aku udah siapin semuanya, dari mulai rumah untuk kita tinggalin, biaya pernikahan, biaya untuk anak kita, bahkan cincin yang aku beli untuk kamu waktu itu pun masih aku jaga. Aku gak bisa kalau harus pacaran sama kamu, aku mau kamu untuk nemenin aku seumur hidup aku. Aku mau kamu jadi orang yang ngomelin aku kalau aku taruh handuk basah di atas kasur, aku mau kamu ngeliat aku bangun terus tidur lagi di samping kamu sampai kamu bosen, aku mau liat kamu pake daster dan aku pake sarung.” Jihan tertawa sambil matanya berlinang air mata mendengar kalimat barusan, “aku mau kamu, Jihan. Aku mau ngabisin sisa hidup aku sama kamu. Cuman kamu, gak ada yang lain. Mau ya?”

Jihan menghela nafasnya, “Juan, aku masih harus membangun kepercayaan aku ke kamu untuk ngejalanin itu semua. Pelan-pelan ya? Sekarang, aku kembali sama kamu, dan aku mau belajar untuk percaya lagi sama kamu. Boleh ya?”

Juan paham, maka dari itu dia tidak akan memaksakan keadaan. Kapanpun Jihan siap, dia juga akan siap,

“Iya, boleh.” jawab Juan, “tapi kalau pas pulang dari sini, yang tadi malem tiba-tiba jadi di perut kamu gimana? Aku gak pake pengaman loh soalnya, dan seinget aku pun, aku gak keluarin diluar.”

Jihan benar-benar merasa tidak nyaman dengan percakapan vulgar ini,

I swear the god, sekali lagi kamu singgung soal semalem, aku bener bener gak mau berhubungan lagi sama kamu.”

“Berhubungan badan maksudnya?”

“JUAN!” sentak Jihan, dan tiba-tiba semua orang yang tengah menyantap makanannya menatap ke meja mereka berdua.

Juan hanya bisa menahan tawanya, sementara Jihan menatap salah satu diantara mereka sambil menampakan senyuman kikuk yang menandakan bahwa mereka berdua baik-baik saja.

Mereka berdua pun pada akhirnya, melanjutkan sesi makan siang mereka. Sampai pada akhirnya, datanglah Julian bersama seorang perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih dari Julian.

Jihan langsung menyambut kedatangan bosnya itu dengan cara berdiri dari duduknya. Sementara Juan, laki-laki itu masih asyik duduk di tempatnya, sambil memperhatikan Julian dan juga wanita yang berdiri disamping Julian,

“Good sex, huh?” tanya Juan jahil.

Jihan melirik Juan spontan ketika lelaki itu melontarkan pertanyaan tidak senonoh kepada Julian dan kekasihnya. Gadis itu memberi tatapan yang tajam kepada Juan, seolah-olah memberi kode kepada lelaki itu untuk berhenti berbicara yang tidak-tidak,

“More than good.” jawab Julian sambil merangkul pinggul kekasihnya, “iya kan sayang?”

Ok, dan Jihan pun terkejut mendengar respon dari Julian. Dia pikir, Julian akan marah atau merasa malu atas pertanyaan Juan. Tapi nyatanya? Oh astaga, mereka berdua sama-sama tidak tahu malu dan mesum ternyata,

“Iya dong.” jawab kekasih Julian dengan begitu percaya dirinya. Astaga, apa disini hanya Jihan yang memiliki rasa malu, “oh, ini karyawan baru di divisi kamu ya sayang?”

“Iya, kenalin ini Jihan, dan Jihan kenalin ini Tasya, pacar saya.”

Keduanya pun berjabatan tangan,

“Tasya.”

“Jihan.”

Lalu, setelah itu keduanya saling melepaskan jabatan tangan mereka masing-masing,

“Julian banyak cerita tentang kamu, dia bilang kamu cantik, dan ya, kamu emang cantik. Gak heran banyak laki-laki disana yang ngomongin kamu.” sanjung Tasya.

Jihan tersenyum malu-malu, “ah enggak mba, mba juga cantik kok, cocok sama Pak Julian.”

“Terpaksa sebenernya saya harus terus sama dia.”

“Iya, soalnya gak ada lagi yang mau sama kamu, selain aku.” ucap Juan sambil menoleh ke arah Tasya.

Tasya pun ikut menoleh ke arah Juan, “no one love like you do, baby.”

Dan, jantung Jihan rasanya mau copot ketika melihat mereka saling berpagut lidah di depan matanya. Jihan langsung menatap Juan, dan Juan hanya tertawa melihat reaksi Jihan,

“Go get a room.” ucap Juan membuat dua pasangan itu melepaskan pagutannya dan tertawa.

Sementara Jihan masih terdiam saking shocknya,

Actually, kita nyari space yang gak banyak orang untuk kita berdua.” ucap Julian.

“Ngewe terus otak lu.” ejek Juan, Julian hanya tertawa menanggapinya.

“Ya udah kalau gitu kita pamit ya?”

“Iya iya silahkan. Hati-hati Sya, salah sedot lo entar.”

“Hahaha anjing lu.”

Begitulah, Julian dan Tasya pergi mencari tempat yang tidak banyak dikunjungi orang. Dan Jihan kembali duduk di tempatnya,

“Gila.” lirih Jihan.

Juan melirik Jihan sambil tertawa pelan, “kayak abis ngeliat setan tau gak.”

“Lebay kamu. Julian emang liar kalau udah sama pacarnya, kalau gak ada pacarnya dia kayak anak tolol gak tau tujuan hidup.” ucap Juan, “sekarang ke lobby yuk, ambil koper, terus kita duluan aja ke bandaranya, oke?”

“Iya deh.”


Tugas dinas hari ini sudah selesai dikerjakan. Tidak ada kendala, dan semuanya berjalan lancar. Jihan benar-benar senang dan beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk dinas luar seperti ini, selain dia bisa liburan, dia juga bisa belajar banyak hal yang sebelumnya tidak dia pelajari ketika dia masih berada di bangku universitas.

Dan, sesuai apa yang diucapkan oleh Julian pada malam kemarin. Setelah peninjauan kawasan wisata kedua selesai, sore sampai malamnya, mereka dibebaskan untuk jalan-jalan, atau diam istirahat di hotel. Jihan memilih untuk pergi berdiam diri di pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel. Dia duduk di hamparan pasir dengan kedua kakinya yang ditekuk di depan dada, sembari matanya melihat bulan yang terang nun jauh disana. Suara deburan ombak membuat dirinya merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan.

Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikiran Jihan malam ini. Juan. Iya, sejak dia sampai di hotel, dia tidak melihat keberadaan Juan, bahkan lelaki itu tidak lagi mengirimi dirinya pesan. Kemana Juan pergi? Apa dia sudah kembali ke Bandung? Atau dia memiliki setumpuk pekerjaan yang harus dia kerjakan? Atau dia pergi bersama Julian? Entahlah, Jihan tidak tahu.

Jihan sendiri ingin menelfon langsung Juan dan menanyakan keberadaan lelaki itu, tapi, rasa gengsi terlalu besar mengikat diri Jihan. Dia tidak mau menjatuhkan harga dirinya dengan cara seperti itu,

“Cewe cantik kalau pergi ke pantai sendirian nanti bisa diculik serigala loh, apalagi sekarang lagi full moon.”

Pucuk dicinta ulam pun tiba.

Juan datang entah darimana. Jihan tidak tahan ingin berdiri dan menyambut lelaki itu, tapi dia urungkan niatnya sekali lagi. Maka dari itu Jihan hanya menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat mantan kekasihnya itu,

“Kenapa pergi sendirian?” tanya Juan setelah duduk di samping Jihan.

“Gak boleh?” bukannya dijawab, Jihan malah balik bertanya.

Juan berdehem, “ya boleh aja, tapi kan, aku ada disini. Kamu bisa pergi kemanapun sama aku.”

“Aku bukan anak kecil, Juan.”

“Aku gak bilang kamu anak kecil, Jihan.”

Jihan mendelik,

“Kamu gak bilang aku anak kecil, tapi kalimat kanu yang tadi bilang kalau aku bisa pergi kemanapun sama kamu tuh seolah-olah menggambarkan kalau aku anak kecil. Aku udah sebesar ini tau.”

Juan terkekeh, membuat Jihan menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut dan bibirnya yang maju,

“Kamu kenapa ketawa gitu?” Jihan bertanya dengan kesal.

“Kamu lucu.'” jawab Juan.

Jihan menghela nafasnya kasar, lalu dia kembali melihat ke depan. Melihat ombak yang begitu tenang,

“Aku boleh cerita sama kamu, ga?” suara Juan kini mulai terdengar serius.

Jihan mengangguk,

“Mau cerita apa?”

“Setelah kita putus, aku gak bisa untuk jatuh cinta sama perempuan lain.”

Awalan dari cerita Juan cukup sukses menarik perhatian Jihan. Membuat Jihan berhenti memandangi pantai dan bulan yang bersinar terang, dan beralih memandangi sisi samping wajah Juan yang terlihat begitu sempurna,

“Aku coba untuk move on dari kamu, dengan berbagai macam cara, tapi tetep gak bisa. Tiga tahun kamu pergi itu bener bener jadi tahun paling berat untuk aku. Walaupun aku tahu, kamu pasti lebih berat, kamu harus nanggung semua rasa sakit dan trauma yang aku dan Yunita ciptain.”

“Sehari setelah papa angkat aku jadi CEO di perusahaannya, aku mencoba untuk bisa fokus dalam kerjaan aku. Meskipun aku masih terus selalu kepikiran kamu, karena kamu bener bener hilang tanpa ninggalin satu jejakpun ke aku. Aku terus sibukin diri aku dengan kerja, kerja, dan kerja demi supaya aku gak mikirin kamu. Aku terus kerja sampai aku gak mikirin kesehatan aku sendiri, dan aku punya maag—”

“Kamu punya maag tapi kenapa kamu minum alkohol?” tanya Jihan dengan raut wajah khawatirnya.

Juan menoleh ke arah Jihan. Lalu tersenyum tipis,.

“Karena cuman dengan alkohol aku bisa lupain rasa sedih dan kangen aku ke kamu.”

“Juan....” panggil Jihan lembut.

“Boleh aku lanjutin lagi ceritanya?”

Jihan ngangguk,

“Aku punya maag, aku sempet di rawat 2 mingguan di rumah sakit, Satria dan Julian adalah orang yang selalu rawat aku selama aku sakit. Kamu harus berterima kasih sama mereka berdua, karena kalau enggak, mungkin aku sama kamu sekarang udah ada di alam yang berbeda.”

“Juan ih! Aku gak suka ya kamu ngomong gitu.”

Juan ketawa, “terus kamu sukanya siapa? Aku?”

Tidak ada jawaban dari Jihan, gadis itu hanya diam,

“Kenapa diem?”

“Emang kenapa kalau aku diem? Burung Beo aja yang cerewet kalau lagi saatnya diem ya dia bakal diem.”

“Do you still love me?” Juan bertanya sambil menatap mata Jihan.

Kini mereka sama sama saling menatap. Jihan tertegun ketika Juan menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam, menusuk ke relung hatinya. Jihan tidak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun, lidahnya dibuat kelu oleh tatapan mata Juan,

“Hm?”

“Apa?”

“Do you still love me?” Juan mengulang kembali pertanyaannya.

“Ya.”

Jihan tidak tahan lagi. Dia tidak mau menyembunyikan perasaannya lagi. Dia ingin jujur tentang perasaannya. Dia masih mencintai Juan, dan akan terus seperti itu sampai kapanpun. Juan adalah segalanya bagi Jihan, karena Juan, Jihan mengenal apa itu arti cinta, dan karena Juan pula, Jihan percaya bahwa cinta itu memang ada di dunia jahat ini. Meskipun Juan pernah membuatnya kecewa dan trauma, tapi itu tidak berarti apa-apa. Jihan tetap akan mencintai Juan,

“Kamu serius?” Juan menatap Jihan tak percaya.

“Ya, aku serius.” jawab Jihan, “tapi, aku masih belum bisa percaya sama kamu lagi Juan. Apa yang kamu lakuin ke aku dulu itu bener bener nyakitin dan susah untuk aku lupain. Kamu selalu janji ke aku untuk terus cinta sama aku, aku percaya sama kamu ketika kamu bilang kaya gitu, tapi kamu ancurin kepercayaan itu, apapun alasan kamu. Aku tetep sakit, Juan. Tapi, aku juga engga bisa untuk engga mencintai kamu.”

“Di Jogja, selama terapi, aku selalu keinget kamu, setiap hela nafas aku, setiap kaki aku bergerak, setiap tangan aku bergerak, kemanapun aku pergi, kamu, kamu yang selalu ada di pikiran aku. Gak ada sedetik pun aku gak mikirin kamu. Kamu ngasih banyak pelangi di hidup aku, meskipun saat itu aku kecewa sama kamu, tapi aku tetep mau kamu, aku selalu berharap kamu samperin aku ke Jogja dan bawa aku ke pelukan kamu lagi, tapi semua itu gak pernah terwujud, sampai pada akhirnya aku milih untuk nyerah ngarepin kamu. Tapi ternyata perasaan nyerah itu cuman bertahan 1 bulan, karena setelahnya, aku kembali ke diri aku yang dulu. Jihan yang selalu mau Juan, Jihan yang selalu cinta Juan meskipun Juan udah ngecewain dia berulang kali. Dan Jihan yang akan selalu cinta sama Juan sampai dia menghadap Yang Maha Kuasa.”

Juan tidak mampu lagi untuk menahan air matanya. Selama ini, mereka berdua sama sama masih mengharapkan satu sama lain. Selama ini doa-doa Juan didengar oleh Tuhan. Juan berterima kasih kepada Tuhan karena masih mau memberikan kesempatan untuk kembali mempertemukan dua insan yang saling mencintai ini untuk kembali merajut tali kasih yang sempat terputus karena kesalahannya di masa lalu,

“Sayang.” lirih Juan, “aku sayang kamu, Jihan.”

“Aku juga Juan, aku sayang kamu.”

Juan menarik tubuh Jihan ke dalam dekapannya. Dan mendekap tubuh Jihan cukup erat, seperti tidak ada hari esok untuk dirinya memeluk erat Jihan.

Mungkin, ada lima menit mereka berpelukan. Juan melepaskan dekapannya kepada Jihan. Dan pria itu pun mengecup kening Jihan lumayan lama. Lalu, beralih mencium kedua mata Jihan, hidung Jihan, pipi kanan dan kiri Jihan, lalu bibir Jihan.

Jihan tersenyum setelah Juan melepaskan ciumannya,

“Kamu daritadi kemana sih sebenernya?” tanya Jihan.

“Nemenin Julian ketemu sama pacarnya.” jawab Juan.

“Oh ya?” Jihan bertanya dan Juan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “terus mereka dimana sekarang?”

“Tuh disana.”

Jihan mengikuti kemana dagu Juan menunjuk. Dan, Jihan melihat Julian yang sedang mencium seorang perempuan dengan begitu intim dan mesra. Jihan dan Juan tertawa melihat pemandangan itu,

“Mau kayak mereka gak?” Tanya Juan tiba-tiba.

Jihan menatap Juan, lalu mendekatkan dirinya ke telinga Juan dan berbisik,

“Mau. Tapi aku gak mau disini.”

Sisi nakal Juan langsung bangkit setelah mendengar bisikan Jihan,

“Kenapa?”

“Aku mau ngelakuin apa yang mau kamu dan Yunita lakuin malam itu.”

“Sayang, aku mau buat pengakuan.”

“Apa, hm?”

“Ini mungkin gila, tapi, malem itu, aku ngeliat Yunita itu ya kamu.”

Jihan tersenyum miring,

You don't need to fantasizing me. Aku ada disini.” ucap Jihan, “you can fuck me, baby.”

Sisi nakal itu sudah sepenuhnya keluar dari tempat persembunyian Juan. Dia langsung menyambar bibir Jihan, melumatnya dengan begitu kasar, begitupun dengan Jihan, Jihan membalas lumatan bibir itu. Tangan Juan sudah berpetualang kemana-mana, begitu pun dengan Jihan.

Lima menit mereka bercumbu, Jihan langsung melepaskan pagutannya,

“Enggak disini sayang.” ucapnya dengan nafas yang tidak beraturan.

“Aku gak tahan. Im sorry.

Jihan tertawa. Lalu setelah itu ia berdiri dari duduknya, begitu pula dengan Juan,

“Di kamar kamu ya?” pinta Jihan sambil berjalan bersama Juan untuk kembali ke hotel dan melanjutkan kegiatan dosa yang terhenti tadi, dengan Juan yang merangkul pinggang Jihan sambil mengelus-elus pinggang ramping itu.

“Mau di lobby hotel pun asalkan sama kamu, aku siap.”

“Dasar gila!”


Perjalanan ke Bali hari ini benar-benar melelahkan.

Bayangkan saja, baru landing, Jihan dan semua tim kantornya sudah harus langsung pergi ke daerah Sanur untuk meninjau tempat yang akan dijadikan resort oleh salah satu perusahaan di Amerika yang bekerja sama dengan perusahaan Jihan.

Peninjauan itu dilakukan sampai sore hari, belum lagi rapat dadakan yang diadakan di jam setelah sholat maghrib. Penampilan Jihan dan karyawan yang lain pun sudah tidak beraturan. Rambut yang lepek, baju yang lusuh, dan tubuh yang bau matahari, membuat Jihan merasa kesal dan ingin cepat ke hotel untuk mandi.

Untungnya, sekarang, Jihan sudah berada di kamar hotelnya. Dia sudah mandi, sudah mengganti bajunya dengan kaus putih dan celana pendek diatas lutut kesukaannya. Rambutnya yang lepek pun sudah dia cuci, dan sekarang rambut itu menjadi terlihat lebih sehat dan tentunya juga wangi.

Sekarang, Jihan sedang duduk di atas ranjang, sambil menyenderkan punggungnya ke senderan kasur. Dia hendak menyalakan TV untuk mencari hiburan sambil menunggu dirinya mengantuk, tetapi, bell pintu kamar hotelnya malah berbunyi. Jihan memutar bola matanya malas. Siapa orang gila yang mengganggu waktu istirahatnya sih?

Malas sebenarnya untuk Jihan membuka pintu kamar hotelnya. Namun, dia tetap lawan rasa malas dan kesalnya itu karena takut itu adalah Julian, bosnya. Jihan berjalan menuju pintu dan membukanya. Gadis itu dibuat kebingungan dengan kedatangan seorang pelayan hotel laki-laki ke kamarnya dengan penampilan yang begitu mencurigakan, bagaimana tidak mencurigakan, pelayan itu memakai topi untuk menutupi kepalanya, dan menundukkan wajahnya. Apa ada pelayan hotel yang seperti itu? Apalagi untuk sekelas hotel bintang lima seperti ini,

“Selamat malam, Mba Jihan, saya Aditya, saya datang kesini untuk mengantarkan pesanan mba.” ujar pelayan yang mengaku bernama Aditya itu.

“Saya gak mesen apa-apa mas.”

“Oh gitu ya? Terus ini pesanan untuk siapa ya?” lelaki itu langsung mengeluarkan tangan sebelah kanannya yang memegang bunga yang sedari tadi ia taruh dibelakang—Jihan pun tidak sadar—dan juga membuka topinya.

Jantung Jihan rasanya mau lepas ketika mengetahui bahwa pelayan yang bernama Aditya itu adalah Juan. Mantan kekasihnya,

“Kamu ngapain kesini?” tanya Jihan.

“Ketemu kamu.” jawab Juan sambil tersenyum tipis, “nih ambil bunganya.”

Jihan mendecak sebal sambil tangannya menerima bunga itu,

“Terima kasih buat bunganya. Tapi sekarang udah malem, aku gak tau kamu ngapain kesini, entah kamu ada kerjaan atau kamu mau having fun sama pacar baru kamu atau cewek bookingan kamu, yang jelas aku mau tidur. Mending kamu pergi dari sini.”

Jihan hendak berbalik, namun Juan langsung menahan tangan gadis itu. Jihan berbalik, dan sudah melihat Juan yang memasang ekspresi muka yang serius dan tatapan mata yang begitu tajam, membuat Jihan merinding dibuatnya,

“Kalau aku mau having fun sama kamu disini, boleh?”

“Kamu gila apa?”

Juan tersenyum miring, “iya aku gila. Makanya aku nyusulin kamu kesini.”

“I don't ask you to do this.”

“Ini inisiatif aku. Aku pingin ketemu sama kamu. Inget waktu dulu? Jaman-jaman kuliah, kamu selalu bilang kalau kamu pingin honeymoon di Bali setelah kita nikah.”

“Terus maksud kamu apa?”

“Lets do the early honeymoon.”

Jihan menghempaskan tangan Juan begitu saja setelah Juan mengucapkan kalimat gila barusan. Tidak, Jihan tidak marah. Ya sebaik-baiknya Jihan, dia juga sering membayangkan ketika dan Juan melakukan honeymoon setelah menikah di Bali. Tapi masalahnya, Jihan benar-benar salah tingkah, dan jantungnya berdegup kencang, dia tidak tahu Juan tahu hal ini, karena kalau sampai dia tahu, laki-laki itu pasti akan terus mengganggu dan menggoda Jihan,

“Pergi ke kamar kamu sekarang.” usir Jihan.

“Jihan.”

“Juan, ini udah malem, hari ini aku udah banyak kegiatan, belum lagi besok. Kamu bisa tolong ngertiin aku enggak? Aku mau istirahat, Juan. Aku cuman mau istirahat. Udah itu aja.” ujar Jihan dengan suara memelas, sambil memasang wajah lelahnya.

Baru juga Juan mau bersuara, tiba-tiba, Julian datang menghampiri dua manusia itu. Dan kini, Jihan harus berpikir keras untuk menjelaskan kepada bosnya tentang kehadiran Juan,

“Lah? Lu ngapain kesini anjir?” Julian bertanya kepada Juan sambil menatap sahabatnya itu dengan tatapan terkejut.

“Honeymoon.” jawab Juan, sambil menatap mata Jihan dan menyunggingkan senyuman miringnya secara diam-diam.

Demi Tuhan, Jihan merinding,

“Gegayaan honeymoon honeymoon lu nyet, honeynya aja kagak ada. Oh, jangan-jangan lu nyewa ani-ani ya?” fitnah Julian.

“Anjing lu.” balas Juan, sementara Julian hanya tertawa sambil berujar kalau dirinya hanya bercanda.

“Kamu kenapa belum tidur?” Julian bertanya sambil menatap Jihan, dan juga tangan Jihan yang sedang memegang bunga, “itu bunga dari...” Julian tidak melanjutkan ucapannya dan memilih untuk melirik seseorang yang ada di sampingnya yaitu Juan, “dari lo, Ju?”

Juan mengangguk,

“Dalam rangka apa?” Julian bertanya.

“Dia adik tingkat gue, dan di tiga bulan dia kerja, dia udah dibawa dinas luar, bukankah itu sesuatu yang keren dan layak untuk di rayakan? Makanya gue hadiahin dia bunga.” jelas Juan.

Julian mengangguk sambil bibirnya membentuk huruf O,

“Ya udah, kalau gitu, tidur kamu, Jihan, besok soalnya kita harus pergi lagi ke satu tempat lagi, tapi setelah itu malamnya kita bebas, dan lusa kita pulang ke Bandung.”

Jihan tersenyum lega, “baik pak, kalau gitu selamat malam semuanya.”

Jihan masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat, Julian dan Juan pun pergi meninggalkan kamar Jihan untuk kembali ke kamar mereka masing-masing dan beristirahat.


“Sumpah, aku gak nyangka banget, temennya Pak Julian ganteng banget ya? Katanya dia CEO, dan dia anak dari orang paling kaya nomor satu se Indonesia dan nomor lima se dunia. Beruntung ga sih yang bakal jadi istrinya dia nanti?”

Jihan yang baru saja mau keluar dari bilik toilet memilih untuk mengurungkan niatnya dan mendengar dua karyawan yang sedang menggosip di luar sana,

“Kalau aku yang jadi istrinya dia, aku pingin nikah dengan tema ala-ala Rachel Venya atau bahkan lebih dari Rachel Venya juga gak apa-apa. Yang penting nikahnya sama orang terkaya se Indonesia.”

Jihan tahu betul siapa orang yang sedang dua perempuan itu bicarakan. Juan. Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Tapi, tunggu? Bagaimana bisa mereka berdua kenal dengan Juan? Astaga! Apa jangan-jangan Juan datang ke kantor hari ini?

Hayu ah, kita harus cepet cepet balik ke ruangan, siapa tau Pak Juan masih disana.”

Dan begitu dua perempuan itu pergi, Jihan keluar dari bilik toilet dengan raut wajah kesal. Kedua tangannya mengepal kesal. Entah kenapa, mendengar dua perempuan itu menyanjung Juan, dan berkhayal untuk menikahi Juan membuat dirinya jengkel setengah mati.

Jihan mencoba untuk menetralkan emosinya. Dan setelah semuanya dirasa baik-baik saja, Jihan pun keluar dari dalam toilet dan pergi berjalan dengan perasaan berdegup kencang menuju ruangannya yang ada di ujung sana.

Sesampainya dia di ruangan, Jihan langsung disuguhkan oleh pemandangan dimana Julian dan Juan sedang asyik bercengkrama di dalam ruangan khusus milik Julian. Jihan menghela nafasnya kasar. Mau apa sih dia kesini?, batin Jihan menggerutu.

Gadis itu melihat Juan yang melirik ke arahnya. Dia menyunggingkan senyumannya kepada Jihan, yang sama sekali tidak dibalas oleh Jihan. Daripada membalas senyumannya, lebih baik Jihan kembali ke kubikelnya dan mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang belum sempat ia selesaikan,

“Kamu kenal sama temennya Pak Julian?” tanya Mirna, teman satu ruangan Jihan yang kebetulan mejanya berada disebelah meja Jihan.

Jihan menggelengkan kepalanya, “enggak mba, aku gak kenal sama dia.”

“Serius? Tadi Pak Julian bilang kalau semisal dia itu kakak tingkat kamu waktu di kampus.”

Jihan menyumpah serapahi bosnya di dalam hati,

“Oh.. oh iya, dia emang senior aku mba waktu di kampus, cuman, aku gak begitu deket sama dia.”

Mirna hanya ber-oh ria. Jihan pikir, setelah itu dia bisa melanjutkan pekerjaannya, namun, Mirna malah kembali mengajaknya bicara dan kembali membahas soal Juan,

“Menurut kamu, dia udah punya pacar belum ya?”

“Aduh, kalau itu aku gak tau sih mba, aku sama dia kan gak deket.” dusta Jihan.

Oh.. kalau Juan mendengar semua ini, lelaki itu pasti akan sangat amat merajuk kepada Jihan. Untungnya, ruangan khusus milik Julian jauh dari kubikel meja kerja Jihan,

“Dia kayaknya seumuran sama aku, dan aku pun setelah cerai dari suami butuh sosok pendamping yang bisa jadi imam untuk aku dan anak aku. Dia kayaknya cocok buat aku, Han.”

Jihan merasakan gemuruh di dalam dirinya saat mendengar ucapan Mirna. Dia ingin meluapkan gemuruh itu, namun, Jihan lagi-lagi harus mengingat statusnya sebagai karyawan baru di kantor ini. Dia tidak boleh menjatuhkan reputasinya sebagai perempuan paling ramah dan paling sabar di divisi legal,

“Kalau sepengetahuan aku sih ya mba, dulu tuh dia waktu di kampus, benci banget sama yang namanya anak kecil. Dia pernah bikin lima anak kecil nangis dalam satu waktu. Dia juga pernah dipanggil sama dosen, karena gangguin anaknya dosen, dibilang anak pungut lah. Hati-hati loh mba, dia mungkin bakal sering bikin anak mba nangis nantinya.”

“Serius?” Mirna terkejut, Jihan pun mengangguk dengan memasang ekspresi wajah yang begitu meyakinkan.

Dalam hatinya, Jihan tertawa puas melihat Mirna yang langsung begitu saja percaya dengan apa yang diucapkan olehnya,

“Ah, tapi menurut aku sih, kayaknya itu karena dia dulu masih jadi mahasiswa. Aku juga dulu waktu masih jadi mahasiswa benci sama yang namanya anak kecil, tapi ternyata Tuhan malah ngasih aku anak kecil melalui hubungan haramku sama kakaknya mantan suamiku. Dan buktinya, aku ga benci lagi sama anak kecil. Juan juga pasti begitu.”

Ya, Mirna memang memiliki kisah percintaan yang sulit untuk dimengerti. Dan itu semua terjadi karena keliarannya di masa muda dulu. Dan sialnya dia bawa keliarannya itu sampai sekarang, padahal dia sudah bekerja dan dia juga sudah memiliki satu orang anak laki-laki tampan di rumahnya. Jihan, benar-benar tidak ikhlas kalau harus melepaskan Juan untuk perempuan seperti Mirna, yang masih saja selalu mencari kepuasan diluaran sana padahal dia berstatus sebagai janda anak satu, yang mana seharusnya dia lebih fokus untuk membesarkan anaknya instead of making love with a lot of strangers,

“Setau aku sih mba, sampai sekarang dia masih kayak gitu. Aku denger dari temenku yang kebetulan deket sama dia, katanya empat bulan yang lalu, dia baru aja ngata-ngatain anak tetangga cacat cuman karena dia nulisnya pakai tangan kiri dan gak bisa ngomong huruf r.”

“Wow.. tapi kalau dia udah punya anak sama aku kayaknya dia gak bakal benci lagi sama anak kecil.” Mirna masih tidak terhasut dengan fitnah yang dibuat oleh Jihan tentang Juan.

Jihan sudah lelah untuk membual dan menjelek-jelekan Juan. Daripada dia melanjutkan kegiatan unfaedahnya itu, lebih baik dia lanjut mengerjakan tugasnya dengan fokus agar dia bisa cepat pulang dan istirahat, karena beberapa hari ini sangat amat melelahkan.

Apalagi selalu ada Juan di dalam hidupnya. Dan sekarang, Juan sedang berdiri di depan kubikel meja Jihan. Membuat Jihan menatap lelaki itu dengan tatapan jengah dan matanya yang mengisyaratkan lelaki itu untuk pergi dari hadapan Jihan. Namun, Juan tetaplah Juan, laki-laki keras kepala yang tidak pernah mau perduli dengan kode yang diberikan oleh Jihan,

“Semangat kerjanya adik tingkatku.” Juan berujar sambil mengacak-acak rambut Jihan.

Jelas, Jihan menegang pada saat itu juga. Hal yang paling dia suka dari Juan adalah ketika dia mengacak-acak rambut Jihan. Entah kenapa hal sesederhana itu cukup berhasil membuat lutut Jihan lemas, perutnya di penuhi oleh kupu-kupu yang berterbangan, dan pipinya yang memanas lalu memerah bak kepiting yang barus aja selesai di rebus,

“Semuanya, karyawannya Julian, semangat kerjanya. Julian bos yang baik, dia enggak bakalan bikin kalian lembur.” ucap Juan sambil melirik Jihan sekilas, seolah-olah dia tengah menyindir Jihan yang tadi pagi menolaknya untuk dijemput dengan alasan dia akan lembur, “kalau begitu saya permisi, maaf ganggu waktu kerja kalian semua.”

Sebelum pergi, Juan kembali melirik Jihan dan menyunggingkan senyumannya. Lalu setelah itu, Juan pergi keluar dari ruangan Legal, bersama dengan Julian di belakangnya.

Huft, Jihan lega, karena setidaknya, dia pergi dan Jihan bisa melanjutkan pekerjaannya dengan tenang.


Setelah hampir 6 jam Juan tertidur, lelaki itu pada akhirnya membuka matanya. Hal yang pertama dia lakukan setelah bangun adalah meringis dan memegangi kepalanya. Yup, hangover selalu terjadi kepada seseorang yang baru saja menghabiskan malam sambil meminum alkohol.

Juan tertegun ketika melihat dirinya tidak berada di kamar apartemennya. Dan yang membuatnya semakin tertegun adalah, fakta bahwa ada banyak foto milik Jihan di kamar ini. Ia sadar bahwa ada yang salah disini. Lantas dia sedikit merundukkan kepalanya sekilas untuk melihat selimut yang menutupi setengah tubuhnya, dan ternyata selimut itu berwarna pink muda, bukan hitam. Its clearly that he's not in his own house.

Apa dia benar-benar berada di kamar Jihan?

Untuk memastikannya, Juan langsung bangkit dari atas kasurnya—meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit—dan pergi keluar kamar. Ternyata memang benar, dia berada di apartement Jihan, karena sekarang laki-laki itu sedang melihat pemandangan Jihan yang sedang memasak dengan seragam kerjanya yang sudah begitu rapih. Bibir Juan melengkung melihat pemandangan manis itu. Ini adalah pemandangan yang selalu dibayangkannya selama Jihan pergi dari hadapannya.

Seandainya malam itu tidak pernah terjadi, Juan pasti sudah melihat pemandangan ini setiap hari,

“Oh.. You're wake up.” ucap Jihan agak terlonjak kaget melihat Juan yang sedang berdiri tepat di depan pintu kamarnya dengan penampilan yang bisa dibilang.. berantakan.

Juan tersenyum sambil mengangguk pelan. Ia langkahkan kakinya untuk berjalan ke dapur,

“How did i end up here?” tanya Juan mencoba untuk mencari topik pembicaraan.

“Well, you can ask your best friend.” jawab Jihan sambil tersenyum tipis, “oh iya, kamu masih hangover kan? Aku buatin banana oatmeals untuk ngeredain hangover kamu.” Jihan berujar dengan begitu lembut.

Juan menarik kursi untuk duduk di meja makan dan berujar, “banana oatmeals? Aku baru denger kalau itu bisa ngeredain hangover. I thought that food only for diet breakfast.

Jihan membawa semangkuk oatmeals dengan pisang sebagai topping diatasnya, dan menaruhnya diatas meja tepat di hadapan Juan,

“According to google, bananas contain potassium which can relieve weakness due to too much fluid through urine when we are drunk. And oatmeals contain so many vitamins and nutrients that are believed to restore stamina lost due to hangovers.” jelas Jihan, sementara Juan terkikik geli mendengar penjelasan yang dilontarkan oleh Jihan. Dan gadis itu tidak memperdulikannya sama sekali.

“You don't have breakfast?” tanya Juan ketika melihat Jihan yang hendak pergi menuju ke kamarnya.

“Ini mau.” jawab Jihan sambil berteriak dari dalam kamarnya.

Tidak lama dari itu, Jihan kembali ke dapur, lalu mengambil satu bungkus nasi kuning yang dibelinya tadi subuh, lalu mendudukan diri di meja makan—tepat di depan Juan—dan mulai menyantap nasi kuning super lezat itu.

Melihat bagaimana Jihan yang begitu lahap menyantap nasi kuning tersebut membuat Juan tersenyum dan berteriak senang didalam hatinya. Dia senang karena Jihan makan selahap ini, dulu, Juan selalu sedih saat Jihan susah untuk makan, karena itu tandanya gadis itu sedang dilanda masalah atau sedang dalam keadaan bersedih. Dan melihat Jihan makan dengan lahap, membuat Juan percaya bahwa Jihan baik-baik saja. Dan itu membuat dirinya teramat sangat lega,

“Aku anterin kamu ke kantor ya hari ini?” Juan menawarkan tumpangan kepada Jihan.

Its okay, aku bisa ke kantor sendiri kok.”

“Aku tau, aku cuman pingin anterin kamu aja. Ga masalah kan?”

“I ordered gocar.” Jihan masih keukeuh untuk menolak tawaran Juan.

“How about i pick you up?” dan, Juan, masih terus berusaha untuk bisa kembali memperbaiki semuanya dengan Jihan.

“I'd love too, tapi aku harus lembur hari ini.”

Juan menghela nafasnya. Dia tahu, Jihan sedang mencoba untuk menghindarinya dan membuat batasan antara Jihan dan dirinya. Ini benar-benar melelahkan, tapi Juan tidak akan menyerah. Semua ini ia lakukan demi cintanya kepada Jihan,

“Jihan, i know you're making boundaries between us.” ucap Juan begitu serius.

Jihan terdiam,

“You have a right to do that. I understand. But, please, let me fix all of this mess from the smallest things first. Like dropping you off at work and picking you up. Thats all i wanna do.”

Jihan menghela nafasnya. Matanya menatap fokus ke arah Juan yang duduk di hadapannya,

“Kalau kamu mau memperbaiki semuanya, tolong, nurut sama semua yang aku mau. Kalau aku bilang enggak, jangan ada paksaan.” ujar Jihan memperlihatkan senyuman tipisnya kepada Juan. Lalu, wanita itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri kecilnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, yang mana artinya, Jihan sudah harus pergi ke kantor sekarang. Dan itu benar-benar menyelematkannya dari situasi tegang ini, “its half past eight, i have to go now. I don't care about you, if you still want to be here, its fine, but i'm worried that your company will go bankrupt, because the CEO chose to skip and stay at his ex-girlfriend's apartement after getting drunk last night.”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut. Jihan langsung meraih tasnya yang ada di atas meja, lalu pergi keluar dari apartemen untuk bekerja, dan dia meninggalkan Juan sendirian di apartemennya. Senyum tercipta di wajah Juan. Dia sadar kalau dia memiliki kesempatan kedua untuk kembali bersama Jihan, namun gadis itu hanya berusaha untuk menutupinya. Entah apa alasannya, yang pasti, Juan semakin membulatkan tekadnya dan kali ini dia tidak akan pernah menyerah.


“Gue mau Jihan.. Gue mau Jihan, Sat..” racau Juan kepada Satria yang sudah terlihat lelah dengan perangai Juan disaat lelaki itu dibawah pengaruh alkohol.

Iya, malam ini, Juan mengajak Satria untuk pergi ke salah satu bar ekslusif di kota Bandung. Awalnya dia mengajak Julian juga, tapi laki laki itu menolak karena dia sudah berjanji kepada kekasihnya untuk tidak pergi ke bar dan minum-minuman beralkohol. Such a coward.

Sudah hampir lima botol Juan habiskan. Satria bergidik ngeri membayangkan bagaimana hancurnya hati dan ginjal Juan di dalam sana karena terus disiram oleh minuman jahat yang memabukan ini,

“If you want her, chase her. Make her believe that you really serious with her and you learn from your mistake.” ucap Satria sambil menepuk bahu sahabatnya itu.

Satria bersyukur bahwa dirinya berteman dengan orang terkaya nomor 1 di Indonesia dan nomor 5 di dunia. Jadi dia bisa menikmati fasilitas VVIP diklub ini, dan Satria tidak perlu berteriak setiap kali berbicara dengan Juan—karena mereka berdua berada di ruangan ekslusif yang cukup mewah, dan terpenting kedap suara,

“I tried my best, Sat, tapi dia tetap teguh sama pendiriannya, dia gak mau menerima gue. Dan, yeah, i deserve that, tapi gue juga berhak kan untuk mendapatkan kesempatan kedua?”

“You almost hooked up with your fucking best friend on your anniversary day with Jihan, lo mau Jihan dengan mudah maafin lo dan nerima lo kembali, setelah apa yang lo perbuat hah?” Satria meninggikan suaranya.

Juan terdiam, dia menangis sambil kembali meminum minuman alkoholnya itu,

“You traumatized her, Juan. You told me that she had to go to a psychiatrist regularly to heal her trauma, right?

Juan mengangguk dengan wajahnya yang bengkak karena terlalu banyak menangis,

“From that fact you should have realized, that you don't deserve a second chance.” ucap Satria, tangan lelaki itu meremat bahu Juan kuat-kuat, dia mendekatkan dirinya tepat ke telinga Juan, “listen to me, someone who causes trauma to someone never deserved a second chance. No matter how much they regret. Enjoy the result you planted in the past, buddy.”

Juan melirik Satria dengan mata bengkak dan telernya,

“You know what, i am confused right now. Are you on my side or are you trying to snatch Jihan from me?”

“What the fuck are you talking about?

“Be honest with me, you actually liked Jihan from the first time, right?”

“This is the reason why you shouldn't drink up to 5 bottles. You being so ridiculous right now.”

“No, no, no, im not finish.” racau Juan, Satria hanya bisa memutar bola matanya malas. Bisa-bisa dia gila kalau terus menghadapi Juan seperti ini. Tapi dia juga tidak bisa meninggalkan Juan dalam keadaan seperti ini, segila apapun Juan, dia tetap sahabat Satria.

“Since Jihan and i split up, you used this opportunity to snatch her from me, am i right?”

“Goblog banget anjing gue kesel banget sama lo. Gak ada yang mau rebut Jihan dari lo! Ditambah lagi, gue sekarang lagi deket sama cewek lain, ga mungkin disaat gue deket sama cewek lain, gue dengan gak tau dirinya mau ngerebut Jihan dari lo. Oh, come on, please use your common sense!

“So you're not trying to snatch her from me?” suara Juan seketika berubah menjadi suara yang imut bak seorang balita yang baru saja berhenti menangis dan diberikan mainan oleh orang tuanya. Sangat berbeda dengan Juan yang tidak dipengaruhi oleh alkohol.

“I am not!” tegas Satria.

Juan seketika memeluk tubuh Satria dengan manja. Hal tersebut membuat Satria merasa tidak nyaman, dan mencoba untuk menjauhkan Juan dari pelukannya. Disgusting, pikir Satria,

“Lepas anjing lu homo brengsek.” maki Satria.

Setelah mendengar makian itu, Juan langsung melepaskan pelukannya dari Satria,

“Drive me to Jihan's apartement.” pinta Juan.

“For what? Lo punya rumah sendiri, ngapain juga lo harus pulang ke apartemen mantan lo?”

“Jadi bener kan? Lo suka sama Jihan, dan lo gak mau gue—”

“Ok, come on. I'll drive you there.”

Satria tidak ingin mendengar racauan Juan tentang dirinya yang menyukai Jihan dan hendak merebut gadis itu dari pelukan Juan. Maka dari itu, dia menyetujui ide Juan untuk mengantarkannya ke apartemen Jihan. Semoga Jihan mau menerima Juan, dan Satria bisa langsung pulang ke rumahnya, karena yang dia butuhkan hari ini adalah beristirahat.

Hari ini benar-benar hari yang melelahkan untuk Satria.


Ruby Cafe adalah cafe yang selalu ramai pengunjung. Cafe ini terletak tepat di sebrang kantor Julian dan juga Jihan. Hampir setiap hari, semua karyawan yang bekerja disana selalu datang ke cafe ini untuk makan siang. Bahkan, dulu, sekitar tahun 1995, CEO dari perusahaan tempat dimana Jihan dan Julian bekerja itu menikah dengan salah satu pelayan di cafe ini karena terlalu seringnya dia berkunjung ke Ruby Cafe ini.

Jihan dan Julian sudah duduk berdua di meja yang ada di sudut ruangan cafe ini, menunggu dua teman Julian yang tak kunjung datang. Sejujurnya, Jihan sudah terlalu lelah menunggu, belum lagi pekerjaan di kantor masih begitu banyak, kalau begini caranya dia bisa mengerjakan setengah pekerjaan kantornya daripada membuang-buang waktu untuk menunggu dua teman Julian yang katanya sedang berada di perjalanan. Kalau saja Jihan tidak tahu sopan santun, dia sudah pergi meninggalkan bosnya itu untuk kembali ke kantor dan mengerjakan pekerjaannya.

Tiba-tiba, bell yang tergantung diatas pintu masuk cafe ini berbunyi—menandakan ada pengunjung yang masuk ke dalam—Julian yang posisi duduknya membelakangi pintu masuk, langsung menoleh ke belakang, dan berseru kepada Jihan yang matanya sedang sibuk melihat pemandangan di luar melalui jendela besar cafe ini,

“Itu temen-temen saya, Jihan.” seru Julian dengan begitu semangat.

Jihan langsung menoleh ke arah kemana Julian melihat. Betapa terkejutnya Jihan ketika melihat Satria dan juga Juan yang berjalan ke arah mejanya. Jadi, selama ini, teman yang dimaksud oleh Julian itu adalah Satria, dan juga Juan? Ya Tuhan, apa dunia memang sesempit ini?

“Sorry, lama, biasa lah Bandung macet terus.” ujar Satria sambil bersalaman ala laki-laki dengan Julian, diikuti juga dengan Juan.

Lalu, pandangan Satria pun beralih kepada Jihan, yang duduk di bangkunya dengan perasaan was-was dan gelisah. Entah kenapa dia merasakan hal seperti itu, apalagi, Juan terus memperhatikannya dari belakang. Membuat degup jantung Jihan bekerja dengan sangat amat tidak normal,

“Long time no see, Jihan.” sapa Satria sambil tersenyum begitu manis kepada Jihan.

Jihan membalas sapaan itu dengan anggukan dan senyuman manis namun terkesan begitu canggung.

Julian kebingungan,

“Long time no see? Lo kenal Sat sama Jihan?” Julian bertanya.

“Well, mending duduk dulu aja, baru nanti cerita ceritanya, gak enak berdiri kayak begini.” saran Juan.

Semua pun setuju.

Tadinya, Juan mau berjalan mendekati Jihan dan duduk disamping gadis itu. Namun, Satria dengan sigap menarik tangan Juan, dan membuat mereka berdua duduk berdampingan. Sementara Julian, duduk berdampingan dengan Jihan,

“Lo ngapain narik gue setan?” bisik Juan keki kepada Satria.

“Kalau duduk samping-sampingan, lo ga bakal bisa liat muka dia. Gue bantuin elu bajingan.” balas Satria tidak kalah keki.

Mendengar maksud dan tunuan Satria, membuat Juan tidak bisa menyembunyikan senyuman kemenangannya. Iya, hari ini dia merasa menang, karena pada akhirnya dia bisa makan siang bersama Jihan, meskipun ada Satria dan Julian di antara mereka berdua,

“Eh pesen dulu aja deh biar enak.” saran Julian.

“Boleh.”

Lalu, Julian memanggil pelayan yang sedari tadi menunggu di dekat kasir. Setelah pelayan itu datang, keempat manusia itu memesan makanan yang akan mereka santap untuk makan siang. Setelah semua pesanan dicatat, pelayan itu pun pergi untuk memberikan daftar pesanan kepada si chef yang sedang berkutat di dapur.

Lalu, tinggalah, Julian, Satria, Juan, dan Jihan yang duduk di satu meja dengan ketegangan yang tak terelakan. Julian kebingungan akan hal ini, bagaimana bisa pertemuan ini menjadi sangat amat begitu canggung? Padahal Jihan bukan tipe perempuan yang pemalu, dia bisa langsung mendapatkan banyak teman di kantor karena sifat social butterflynya. Tapi kenapa sekarang Jihan terlihat seperti mati kutu?

Dan ada apa dengan Juan yang terus memperhatikan Jihan, sambil sesekali menyunggingkan senyuman miring yang sangat amat tidak masuk di akal? Ada apa dengan dua manusia ini? Apa ada hal yang tidak Julian ketahui sebelumnya? Ini semua tidak bisa dibiarkan, Julian harus tahu semuanya,

“Ini sebenernya ada apa sih? Kenapa semua jadi tegang begini?” tanya Julian.

“Masa sih Jul? Biasa aja ah.” jawab Satria.

“Bukan elu!” omel Julian, “tapi Jihan sama Juan. What's wrong? what happen?

Juan berniat untuk membuka mulutnya dan menjelaskan semuanya kepada Julian. Namun, dirinya kalah cepat dengan Jihan yang langsung membuka mulut dan menjelaksan kepada Julian, yang bukan sebenarnya. Iya, Jihan berbohong,

“Kak Satria dan Kak Juan itu kakak tingkat saya waktu kuliah. Kami emang beda jurusan, tapi, karena relasi saya banyak, saya bisa kenal sama mereka berdua.”

Juan terlihat begitu kecewa dengan penjelasan Jihan. Satria sih biasa saja, dia tidak terlalu memperdulikan juga. Toh, sebenarnya, Jihan tidak berbohong. Hubungan Jihan dan Satria memang hanya sebatas adik dan kakak tingkat saja.

Sementara Jihan, tidak tahu kenapa dia memilih membohongi Juan dibandingkan jujur dengan lelaki itu. Dia merasa bersalah terhadap Juan, untuk melihat raut wajah mantan kekasihnya yang sedang kecewa itu saja rasanya Jihan tidak sanggup. Dalam hatinya, Jihan terus menerus menyumpah serapahi dirinya yang begitu bodoh,

“Oh jadi gitu. Pantesan aja lu minta gue jagain dia.” ucap Julian sambil tertawa pelan, “dia minta saya untuk jagain kamu, saya kira dia mantan kamu atau apa, ternyata kamu cuma adik tingkatnya dia.”

Jihan mengangguk sambil tersenyum kikuk,

“Oh iya, Han, lu kuliah tuh waktu itu ambil online ya?” tanya Satria.

“Iya kak.” jawab Jihan, “aku ngalamin banyak masalah, dan orang tua juga takut aku gimana-gimana, makanya suruh pindah ke Jogja. Alhamdulillah waktu ngajuin itu sama kampus langsung di approve.”

“Iya, soalnya lu kaya ngilang tanpa jejak gitu. Sampai ada yang hampir gila karena lu pergi tanpa ninggalin pesan tau gak.” sebenarnya, Satria sedang menyindir Juan, dan Satria yakin kalau Juan sadar akan hal itu.

Begitu pula dengan Jihan.

Maka dari itu, Jihan langsung melirik Juan sekilas ketika Satria berucap seperti itu,

“Punya pacar kamu waktu kuliah, Han?” tanya Julian.

“Punya pak.” jawab Jihan.

“Udah putus?” Julian bertanya lagi

Jihan mengangguk,

“Kok bisa?” Julian lagi dan lagi bertanya.

“Kepo amat.” Juan berkomentar dengan ketus.

Julian menatap Juan nyolot, “suka-suka gua lah. Jadi gimana? Putusnya karena apa?” Julian langsung merubah nada bicara dan tatapannya menjadi begitu lembut kepada Jihan.

“Saya punya penyakit pak, yang waktu itu bikin saya gak bisa sembuh. Jadi, saya putusin dia, karena saya pingin dia dapetin sosok yang lebih baik dari saya.”

Lagi dan lagi, Jihan berbohong. Entah apa alasan yang membuat gadis itu terus berbohong,

“Kalau dia mau lagi sama lu gimana, Han?” kini gantian Satria yang bertanya.

Jihan terdiam. Butuh keberanian penuh untuk menjawab pertanyaan itu.

Sementara di tempatnya, Juan terlihat duduk dengan begitu tenang dan memainkan ponselnya. Tapi, sejujurnya, dia sedang panik dan penasaran dengan jawaban yang akan di lontarkan oleh Jihan.

Belum sempat Jihan menjawab, tiba-tiba pelayan yang membawakan pesanan untuk mereka berempat pun datang. Jihan bernafas lega karena tidak perlu menjawab pertanyaan itu, dan Juan kesal karena dia tidak dapat mendengarkan jawaban atas pertanyaan Satria untuk Jihan.

Setelah makanan ada di meja makan masing-masing. Jihan pun langsung berujar,

“Selamat makan semuanya.”

Dan ketiga laki-laki itu pun ikut membalas ucapan Jihan.

Lalu mereka pun makan, dan seolah-olah lupa dengan pertanyaan Satria yang masih menjadi sebuah tanda tanya bagi Juan.


“I wanna confess.” ucap Jihan kepada Alice dan Yasmin disela-sela kegiatan nongkrong mereka.

Ya, sore hari ini—setelah ketiganya selesai dengan urusan pekerjaan masing-masing—memutuskan untuk pergi hang out bersama di salah satu cafe yang jaraknya tidak jauh dari tempat dimana Jihan bekerja,

“About what?” tanya Yasmin sambil menaruh gelasnya di meja setelah ia menyisip smoothie pesanannya.

“Juan.” jawab Jihan dengan begitu hati-hati.

Alice, dia adalah orang yang paling benci dengan Juan. Di hari pertama setelah kejadian itu terungkap, Alice lah orang yang paling pertama datang menemui Juan, dan memukuli laki-laki itu sampai wajahnya benar-benar bonyok.

Kalau Yasmin, dia tipikal perempuan yang santai dan tidak bar bar seperti Alice. Yasmin juga tidak terlalu menghakimi Juan, karena dia selalu berpegang teguh kepada prinsip, 'selalu ada alasan dibalik kenapa seseorang melakukan hal itu.',

“Itu laki ngapain lagi?” geram Alice.

“Ternyata, selama gue di Jogja, dia selalu dateng ke apartement gue, dia berdiri di depan pintu apartement gue. Dia selalu datang sambil bawa bunga dan disimpen di depan pintu apartement gue. Waktu itu pernah sampai bener-bener banyak banget bunga, dan dia di tegur sama resepsionis di apartement gue.” jelas Jihan sambil meminum milkshake strawberry pesanannya.

“Cowo goblog.” maki Alice, “gue tuh gak ngerti ya sama pikiran itu anjing satu. Ih gue kesel banget sama dia demi Tuhan, pengen gue acak-acaki aja itu muka.”

Yasmin menghela nafas ketika mendengar sumpah serapah yang keluar dari dalam mulut Alice untuk Juan,

“Please, itu tuh mungkin bentuk penyesalan dia, karena dia udah nyakitin Jihan.” ucap Yasmin.

“Dia tahu kalau dia bakal nyesel sama apa yang dia perbuat waktu itu, terus kenapa dia masih lakuin? Manusia emang tolol semua.”

“Lu juga manusia kalau lu lupa.”

“Guys, udah. Alice, gue berterima kasih sama lo karena lo udah sebegitu sayangnya sama gue. Tapi, gue rasa, udah yuk stop untuk benci sama Juan—”

“How can i stop hating him, when he is the cause of your suffering for about two years.” potong Alice.

“Alice, i know the truth, sejujurnya dia gak jahat seperti apa yang gue, lo, dan lo pikirin 3 tahun yang lalu. Yang jahat dan licik disini itu Yunita, but, i already forgive her, so, no hard feeling ya meskipun suara desahan dia dan bayangan itu masih menghantui gue.”

“What do you mean you know the truth?” tanya Yasmin, Alice pun ikut penasaran.

“Iya, maksudnya apa?”

Oke, mungkin, sekarang ini adalah waktu yang pas untuk Jihan memberitahukan kepada Alice dan juga Yasmin bahwa dirinya bertemu dengan Yunita,

“I met her. Yunita.”

“DIMANA?” Yasmin dan Alice kompak bertanya.

“Di Stasiun Tugu. Waktu gue mau ke Bandung, dia out of nowhere nyamperin gue, dan ngajak gue ke starbucks untuk jelasin semua yang terjadi ke gue.”

“Oh my god! This is so interesting.” pekik Yasmin.

“Terus gimana?” Alice bertanya dengan begitu menggebu-gebu.

“Di hari anniversary gue sama Juan, sebenernya Juan udah punya planning untuk ngelamar gue. Dia bahkan udah beli cincin dan udah nyiapin suprise untuk gue. Tapi, Yunita malah ngajakin Juan untuk jalan-jalan, dan malemnya, Yunita dapet kabar kalau mantan pacarnya itu selingkuh, dia stress dan akhirnya dia ngajak Juan untuk minum. Juan jelas nolak, karena dia mau rayain anniversary sama gue, ditambah dia juga mau ngelamar gue. Yunita malah ngancem Juan, dan ya pada akhirnya, mereka mabok, dan hal itu pun terjadi.”

“Dan lo percaya akan semua itu?” sarkas Alice.

Yasmin memutar bola matanya malas, “ok, here we go again.” gumamnya sangat pelan.

“Ya gue percaya, karena Yunita yang jelasin langsung ke gue.” jawab Jihan.

Alice tertawa meledek,

“Jihan, Jihan, nih lo dengerin gue ya, kita itu gak boleh percaya sama omongan manusia yang udah pernah jahatin kita di masa lalu. Karena semua omongan yang keluar dari mulut mereka tuh yaa bullshit. Mereka punya banyak skenario di dalam otak mereka, yang bisa mereka gunain buat narik simpatisan orang yang pernah mereka sakitin, dan dari situ orang orang yang pernah di sakitin sama mereka itu maafin mereka.”

Jihan terdiam sejenak. Merenungi apa yang Alice ucapkan,

“No, no, no gue gak setuju.” sanggah Yasmin, “Alice, udah berapa kali gue bilang sama lo, kita enggak boleh suudzon sama seseorang, itu ga baik asal lo tau aja. Dan juga, enggak semua manusia di dunia ini tuh sama seperti apa yang lo pikirin tentang Juan dan juga Yunita. C'mon, people made a mistake, kenapa sih lo engga bisa buat berpikiran positif ke Juan?”

“He hurt my best friend, ok?”

“Ok, i get it, tapi lo gak punya hak juga untuk fitnah dia apalagi sampai lo mukulin Juan, dia hampir mati kalau lo inget kejadian malem itu.”

Alice mengangkat kedua bahunya tanda dia tidak perduli, “i don't care, gue gak perduli mau dia mati malam itu atau enggak, yang jelas, gue lega karena gue udah bisa bikin dia ancur malem itu. And i do it all for you.” ucap Alice sambil matanya menatap Jihan dengan tatapan penuh sayangnya.

Jihan tersenyum terharu,

“Thank you so much.” ucap Jihan dengan lembut, “tapi bener apa kata Yasmin, lo harus berhenti untuk suudzon sama seseorang.”

Alice mendecak sebal,

“Well, gue gak mau berhenti sebenernya, karena menurut gue suudzon itu bikin kita jadi aware sama lingkungan sekitar terutama lingkungan pertemanan, sehingga yang namanya kita disakitin sama seseorang, dikecewain, atau apapun itu you name it gak bakal pernah terjadi. Tapi, *since two my favorite person ask me to stop being judgemental to other people, i guess i'll try to do it.” ucap Alice.

Yasmin dan Jihan tertawa senang. Lalu setelah itu keduanya berpelukan bak teletubbies,

“By the way, masih ada satu hal lagi yang mau gue kasih tau sama lo berdua.”

“What is that?”

“Ya, tell us.”

Jihan menarik nafasnya lalu menghela nafasnya dengan pelan,

“Kemarin, waktu kita berdua selesai jalan-jalan, gue pulang ke apartement gue, and i saw him standing in front of my door. And then....”

“And then what!?”

Alice dan Yasmin lagi lagi menjadi kompak,

“And then we hugged.”


Setelah puas berjalan-jalan dengan Yasmin dan Alice.

Jihan kembali pulang ke apartement lamanya. Tempat yang memiliki sejuta kenangan indah antara dia dengan Juan.

Sebenarnya, Jihan bisa saja menyewa apartement di tempat lain. Tapi, Jihan sudah kepalang nyaman tinggal disini. Belum lagi fasilitas di apartement ini benar-benar mempuni. Membuat Jihan enggan untuk pindah.

Pintu lift terbuka di lantai 10. Jihan keluar dari dalam sana sambil menggeret kopernya. Ia langkahkan kakinya menuju kamar nomor 301. Betapa terkejutnya Jihan ketika melihat sosok laki-laki berjas berdiri disana.

Tanpa harus berbalik, Jihan bisa menebak kalau laki-laki itu adalah Juan.

Menatap punggung tegapnya, membuat Jihan tidak bisa membendung air matanya. Ia ingin berlari ke arah lelaki itu dan mendekapnya dengan erat, lalu memberitahukan kepada Juan, bagaimana dia begitu merindukannya.

Namun, Jihan urungkan niat itu, dia tidak mau terlihat seperti masih mengharapkan Juan. Dia tidak ingin terlihat seperti perempuan yang begitu mudah untuk didapatkan kembali, apalagi, setelah semua trauma yang dia lalui selama ini. Dia tidak akan menjadi begitu mudah untuk Juan, meskipun dirinya begitu amat sangat menginginkan Juan,

“Juan.” panggil Jihan dengan suara bergetar namun tetap terdengar lembut.

Mendengar suara Jihan, tubuh Juan menegang. Jihan bisa melihat itu.

Lelaki itu perlahan-lahan membalikkan badannya. Air matanya tumpah ketika ia melihat Jihan berada di hadapannya.

Terkejut Jihan melihat Juan menangis,

“Jihan.” lirih Juan, “can i hug you?”

“Pulang Juan. Ini udah malem, jangan diem disini. Istirahat, pulang ke rumah.”

“Aku boleh peluk kamu?”

Boleh. Peluk aku sayang. Aku kangen kamu. itu adalah kalimat yang sangat amat ingin Jihan ucapkan. Tapi, Jihan pendam kalimat itu, gadis itu masih berpegang teguh kepada prinsipnya,

“Pulang, Juan.”

“Jihan...”

“Juan, tolong pulang, ini udah malem, kamu harus istirahat. Aku tau kamu pasti sekarang udah kerja di kantor papa kamu, kamu udah jadi CEO disana. Kamu jadi pemimpin, kalau pemimpinnya sakit, kasian bawahan bawahan kamu yang butuh kamu untuk mimpin mereka.”

Dan setelah mengucapkan kalimat itu, Juan berlari ke arah Jihan, dan menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Juan mendekap tubuh erat Jihan. Ia menaruh dagunya dipucuk kepala Jihan, sambil memejamkan matanya dan membiarkan air matanya mengalir membasahi pipi pria itu,

“Aku kangen kamu.”

3 kalimat itu cukup berhasil membuat pertahanan Jihan runtuh. Jihan balas mendekap tubuh kekar Juan.


“Jihan!”

Suara seorang perempuan berhasil menghentikan langkah kaki Jihan.

Gadis itu berbalik untuk melihat siapa yang teriak memanggil namanya.

Itu adalah Yunita. Perempuan yang tiga tahun lalu menjadi perusak hubungan Jihan dan juga Juan.

Wanita itu sedikit berlari menghampiri Jihan yang masih terdiam di tempatnya dengan memegang koper besar berwarna putih. Sekarang, Yunita ada di depannya.

Perempuan yang telah merenggut kebahagiannya kini berdiri dengan senyum di depan Jihan,

“We need to talk, Ji.” pinta Yunita lirih, “gue harus jelasin semuanya ke elu. Disini, Juan ga salah, gue yang salah.”

Sebenarnya, Jihan sudah mengubur dalam dalam permasalahan ini. Dia sudah tidak ingin mengorek luka yang sudah lama ia lupakan. Tapi, satu sisi di dalam diri Jihan, meminta Jihan untuk mendengar penjelasan Yunita,

“Iya.”

Dan, mereka berdua pun pergi ke salah satu kedai kopi. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan. Terasa sekali ketegangan diantara keduanya—apalagi Jihan. Tapi perempuan itu sangat pandai dalam menyembunyikan semua yang dirasakannya,

“Lo apa kabar?” tanya Yunita basa-basi.

“Baik.” jawab Jihan, “kamu gimana?”

“Buruk.” jawab Yunita, “hidup gue selalu dipenuhi rasa penyesalan atas apa yang udah gue lakuin di masa lalu ke elu dan juga Juan.”

Jihan hanya diam,

“Gue sekarang tinggal di Solo sama suami gue. Gue udah menikah, dan udah punya anak dua. Gue hidup bahagia sama suami dan dua anak gue. Harusnya gue baik-baik aja kan? Tapi, gue ngeliat gimana hancurnya Juan di Bandung sana, dia yang masih selalu berharap sama lo, itu bener bener bikin gue gak bisa untuk bahagia sama sekali. Gue bertanggung jawab atas kekacauan yang gue perbuat ini.”

Jihan masih diam, namun matanya menatap serius kepada Yunita,

“Sebelum kejadian malam itu, Juan ngechat gue, dia bilang, kalau hari itu adalah hari jadi lo dan dia yang kedua tahun.”

Mata Jihan seketika memanas. Air mata yang dia simpan, sepertinya akan keluar hari ini. Memori kelam akan malam itu, kembali terputar di kepalanya, bak piringan hitam. Sebuah keputusan yang salah ketika Jihan mengiyakan ajakan Yunita,

“Di hari itu, dia mau ngelamar lo. Dia udah beli cincinnya, dia beli bareng gue. Dia udah nyiapin banyak suprise buat lo. Tapi gue, masalahnya semua ada di gue. Malam itu, gue dapet kabar kalau mantan pacar gue, dia selingkuh sama rekan kerja di kantor dia. Gue stress disitu, dan bodohnya, gue ngajak Juan minum. Juan, nolak, dia bilang kalau dia mau nemuin lu dan ngelamar lu. Tapi gue malah ancem dia, gue ancem dia kalau gue bakal gantung diri kalau dia enggak mau nemenin gue.”

“I know, im so stupid. Im sorry.” sesal Yunita, “dan kami berdua akhirnya sama sama mabok. And, yeah, that shit happen.”

Jihan menghela nafasnya. Ia menghapus air matanya dengan cepat. Tiba-tiba, Yunita meraih tangan Jihan. Mata itu menatap mata sembab Jihan dengan penuh harapan,

“Gue tau, perbuatan gue di masa lalu gak pantes untuk lu maafin. Gue juga ngelakuin ini bukan untuk minta maaf sama lu, karena perbuatan gue ga pantes untuk dimaafin sama sekali.”

“Gue cuman berharap, penjelasan gue ini bisa menjadi pertimbangan lu untuk terus jauhin Juan. Tolong maafin Juan.”

Jihan melepaskan genggaman tangan Yunita pelan-pelan,

“Kamu seenak itu bilang saya harus maafin Juan? Kamu tahu apa yang saya alami setelah kejadian itu? Saya bolak-balik psikiater hanya untuk membuat diri saya tetep waras dan bisa lanjutin hidup saya. Saya trauma, setiap hari saya dibayang-bayangi oleh kamu, dan Juan yang making love di kasur, di hari perayaan ke dua tahun hubungan saya sama Juan. Butuh waktu yang panjang untuk saya bisa berdiri kembali dan mencoba untuk berdamai sama masa lalu saya.”

“Jihan, gue bener bener minta maaf. Gue gak tau... kalau...”

Jihan menggelengkan kepalanya, “gak perlu minta maaf. Saya sudah maafin kamu dari semenjak hari itu, begitupun dengan Juan. Saya maafin kalian berdua. Ada lagi yang mau kamu sampein ke saya?”

“Gue berharap lo bisa hidup bahagia. Dan terima kasih karena udah maafin gue.”

Jihan mengangguk,

“Kalau gitu saya pamit, saya mau pulang ke Bandung untuk kerja disana. Titip salam saya untuk dua anak kamu dan suami kamu. Saya permisi.”

Jihan bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan Yunita yang masih duduk di kursinya dengan matanya yang berkaca-kaca. Rasa bersalah wanita itu semakin membuncah ketika mengetahui fakta bahwa dirinya adalah penyebab Jihan terus pergi ke psikiater untuk mengobati mentalnya yang hancur karena trauma yang Yunita dan Juan buat kepada gadis itu.

Tidak ada cara lain. Juan harus tahu ini.