Terlalu banyak pesan caci dan maki, juga ancaman kematian yang masuk ke ponsel Joelle—belum lagi todongan pertanyaan dari kedua sahabatnya, membuat Joelle benar-benar stress. Dia mematikan ponselnya dan memilih pergi ke minimarket untuk menenangkan pikirannya disana tanpa membawa ponselnya.
Joelle tidak mengerti kenapa kejadian tadi pagi bisa berdampak seperti ini kepadanya, padahal dirinya hanya pergi ke kampus bersama dengan Javiero. Apa Javiero seberpengaruh itu bagi semua perempuan di kampusnya? Kalau begitu, laki-laki itu berarti bukan laki-laki yang baik.
Gadis itu bersumpah bahwa dia tidak akan pernah mau lagi untuk bertemu atau berhubungan dengan Javiero. Sekalipun lelaki itu memaksa, Joelle tetap akan menolaknya. Dia tidak mau berurusan dengan lelaki macam Javiero.
Setelah berjalan beberapa meter, akhirnya Joelle tiba di minimarket yang didirikan dengan bangunan ala-ala minimarket di Korea, hidangan makanan dan minuman di dalam pun percis seperti minimarket yang selalu ada di drama-drama Korea. Bayangan ramen yang dipadu padankan dengan keju mozarella juga onigiri memenuhi kepala Joelle malam ini.
Gadis itu meneguk ludahnya, membayangkan betapa nikmatnya makanan tersebut. Tanpa, berpikir lama lagi, Joelle melanjutkan langkah kakinya untuk masuk ke dalam minimarket sana. Namun, tiba-tiba langkah kaki gadis itu terhenti kembali tat kala melihat seorang anak kecil yang tengah dirundung oleh beberapa anak yang masih berseragam SMP.
Rasa lapar Joelle seketika hilang ketika melihat anak kecil itu yang sepertinya sedang dibully oleh sekelompok anak sok jagoan, yang bisa saja Joelle buat menangis sesenggukan hanya karena bentakannya. Ini tidak bisa dibiarkan, Joelle harus membantu anak laki-laki itu. Gadis itu berjalan mendekati anak kecil tersebut dengan wajah yang galak dan tatapan matanya yang begitu tajam—menatap sinis satu persatu anak anak SMP itu,
“Pulang kalian semua, gak ada kerjaan ngebully orang mana pakai seragam sekolah lagi. Gak malu?” geram Joelle sembari menatap satu persatu anak lelaki yang bahkan tidak takut sama sekali dengan Joelle.
“Lo siapa? Lo kakaknya ini anak haram, iya?” salah satu dari kelima anak itu bertanya dengan kata-kata yang sangat amat tidak mengenakan untuk didengar sembari memasang ekspresi mengejek di wajahnya.
Joelle terkejut sekaligus emosi mendengar apa yang diucapkan oleh anak lelaki dihadapannya itu. Bagaimana anak SMP bisa berkata sejahat itu kepada seseorang? Joelle tidak bisa menahan emosinya, dia layangkan tamparan lumayan keras di pipi anak itu, membuat pipi anak bajingan itu terhempas ke kiri dengan lumayan keras. Semua yang ada disana terkejut melihat tingkah Joelle, tapi tidak dengan Joelle yang tampak berapi-api dan amat sangat emosi,
“Gue bisa nonjok lo ya sekarang kalau gue mau.” ancam Joelle menatap anak itu dengan tatapan sinis. Si korban tamparan Joelle sudah menundukkan kepalanya, bahunya bergetar karena menangis, “nyokap bokap lo siapa hah? Punya anak tapi gak pernah diajarin yang namanya sopan santun.” lanjut Joelle semakin geram.
“Pergi lo semua dari sini, sebelum lo semua babak belur sama gue.” usir Joelle amat sangat tidak ramah.
Karena ketakutan dengan ancaman Joelle, kelima lelaki badung itu pergi meninggalkan Joelle dan anak lelaki yang sedari tadi hanya terdiam. Entah karena terkejut atau merasa sedih akibat perundungan yang dilakukan oleh kelima anak laki-laki barusan,
“Kamu baik-baik aja kan?” Joelle bertanya dengan nada resah kepada si anak lelaki ini.
“Baik kak.” jawab anak tersebut sembari tersenyum tipis. Joelle menghela nafasnya lega, lalu dia tersenyum tipis, “makasih yah kak udah nolongin aku tadi.”
“Iya sama-sama.” jawab Joelle tanpa menghilangkan senyuman manis dari bibirnya itu, “oh iya kamu malem-malem gini keluar mau ngapain? Mau beli makan? Kakak traktir mau?” tawar Joelle dengan begitu semangat..
“Oh enggak kak, aku bukannya mau beli makanan, tapi mau beli obat buat ibu.” terdengar nada sendu dari suara anak laki-laki ini yang membuat Joelle kembali merasa simpatik dengan anak ini.
“Ibu kamu sakit? Sakit apa?” Joelle bertanya dengan nada suara yang lembut.
“Depresi.” jawab anak tersebut dengan murung, “obat ibu ini mahal banget kak, harusnya udah aku tebus dari dua bulan yang lalu, tapi aku baru punya uang sekarang, makanya obatnya aku bisa tebus sekarang. Itu pun gak aku bisa tebus di rumah sakit, tapi di apotek kecil kayak di depan.”
Joelle ikut merasa sedih atas apa yang dilalui oleh adik kecil ini. Di umurnya yang masih begitu muda, dia harus mengalami banyak kepahitan hidup. Semoga kebahagiaan akan selalu menyertai dia di masa depan,
“Gini aja, uang yang kamu punya itu kamu simpen, dan obat ini biar kakak yang bayar gimana?” tawar Joelle yang langsung disambut dengan keterkejutan oleh si anak laki-laki ini.
“Serius kak?” tanyanya, mata anak itu berbinar memancarkan keharuan dan juga kebahagiaan. Joelle ikut tersenyum bahagia melihat bagaimana anak itu begitu bahagia ketika Joelle ingin membantunya.
“Aku serius.” jawab Joelle dengan tulus dan bersungguh-sungguh.
Anak lelaki itu tidak kuasa menahan air matanya. Ia mendekap erat tubuh Joelle seraya melafalkan kalimat terima kasih yang begitu banyak. Di dalam dekapannya, Joelle tertawa seraya menitikan air matanya, tangannya ia gunakan untuk mengelus-elus punggung anak ini,
“You're my hero, kak.” puji anak lelaki itu seraya melepaskan dekapannya dari Joelle.
Joelle tertawa seraya menghapus air matanya, “itu kalimat tercringe yang aku denger hari ini. Take that back.” canda Joelle yang membuat anak lelaki itu ikutan tertawa.
“Oh iya kak, aku lupa ngenalin diri aku. Nama aku Jibran, kalau kakak?”
“Joelle. But you can call me, El. Jangan Jo, soalnya itu kayak panggilan cowok.”
Jibran tersenyum, “ok kak.” ucapnya paham.
“Ya udah sekarang kita tebus obatnya ya, kasian ibu kamu pasti udah nungguin di rumah, ya kan?”
“Iya kak.”
Menolong sesama memang adalah hal yang paling Joelle sukai di dunia ini. Sudah begitu banyak orang yang ditolong oleh Joelle, bahkan di umurnya yang masih belia ini dia sudah berani untuk mengirimkan banyak bantuan ke rumah sakit pelosok, panti asuhan, panti sosial, bahkan unicef.
“Ibu, Jibran pulang.”
Setelah membeli obat untuk ibunya Jibran. Joelle memutuskan untuk ikut pergi ke rumah Jibran dan menemui ibunya. Awalnya Jibran menolak karena rumah yang didiami oleh anak lelaki itu tidak bagus untuk disebut dengan rumah. Keadaan yang berantakan, berada di gang sempit, dan dibelakangnya langsung menghadap kali.
Tapi Joelle tidak perduli akan hal tersebut. Dia tetap keukeuh untuk ikut sampai pada akhirnya, Jibran tidak memiliki kuasa lain selain mengizinkan wanita yang lebih tua delapan tahun dari dirinya itu untuk ikut ke rumahnya,
“Io, mana Ioku?” suara lembut nan lirih sang ibu terdengar dari bilik kamarnya. Wanita tua itu berjalan keluar dengan wajah yang sumringah, namun detik selanjutnya, wajah sumringah itu berubah menjadi sedih ketika melihat Jibran dan juga Joelle.
Joelle sempat salah paham, karena gadis itu pikir kalau ibu itu tidak suka dengan keberadaan Joelle disini. Namun, ternyata Joelle salah,
“Io gak ikut lagi ya, Jibran? Kakakmu pasti lagi mancing sama ayahnya. Mancingnya lama ya sampai jarang sekali pulang. Ibu kangen, Jibran. Ibu kangen kakak kamu.”
Wanita itu mulai menangis histeris. Jibran langsung dengan sigap berlari ke arah sang ibu dan mendekapnya untuk memberikan ketenangan kepada wanita malang itu, sementara Joelle hanya berdiri mematung di tempatnya. Dia terlalu terkejut melihat pemandangan seperti ini. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya.
Setelah berhenti menangis, Jibran membawa sang ibu untuk masuk ke dalam kamarnya. Memberikan wanita tua itu obat, sementara Joelle menunggu di ruang keluarga sembari duduk di sofa yang kulitnya sudah terkelupas sehingga memperlihatkan busa-busa dan kayu penyangga sofa ini. Gadis itu melihat ke sekeliling rumah ini. Rumah ini cukup bersih meskipun berada di lingkungan yang kumuh. Dan meskipun rumah ini terbilang kecil, bahkan lebih kecil dari unit apartement Joelle, tetapi masih terasa sangat luas, mungkin karena barang di rumah ini tidak terlalu banyak seperti di unit apartement Joelle.
Tidak lama, Jibran kembali ke ruang keluarga. Lelaki itu tersenyum sembari berjalan mendekati Joelle. Senyumnya tidak terlihat seperti senyuman tulus, melainkan senyuman malu—ya, Jibran malu karena Joelle harus melihat ibu Jibran yang kacau seperti tadi. Joelle benar-benar tidak mempermasalahkan akan hal itu, hanya saja, tadi dia benar-benar terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa,
“Kak, kakak minum air putih aja disini gak apa-apa ya? Aku belum beli teh sama gula.” ucap Jibran.
“Eh gak usah, gak apa-apa, lagian juga kakak gak lama kok disini. Udah kamu duduk aja disini.”
“Tapi kak—”
“Udah, sini duduk.” Joelle memotong ucapan Jibran sembari memberi kode untuk lelaki itu duduk di sofa. Jibran pun kembali menuruti permintaan dari Joelle, “rumah kamu tergolong bersih loh, Jib.” puji Joelle sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah rumah ini.
Jibran tersenyum,
“Udah tinggal di lingkungan kumuh, belakang kali, masa gak bersih-bersih sih kak.” canda Jibran disertai tawa kecilnya.
Joelle ikut tertawa, “bener juga ya kamu. Cerdas!” puji Joelle yang membuat Jibran tersenyum setengah tertawa.
Namun sedetik kemudian, raut wajah Jibran berubah menjadi serius,
“Kak, kakak pasti kaget ya tadi?” Jibran bertanya dengan nada serius.
“Iya.” jawab Joelle jujur, “sorry kakak bukannya gak mau bantuin kamu, tapi kakak kaget, jadi kakak tiba-tiba ngefreeze.” sambung Joelle merasa bersalah.
Jibran tersenyum tipis seraya menganggukan kepalanya. Dia paham apa yang Joelle rasakan, karena Jibran pun merasakan hal itu ketika pertama sang ibu mulai sakit-sakitan secara mental,
“Gak apa-apa kak.” jawab Jibran.
“Jibran, kalau kakak boleh tau, Io itu siapa ya? Kayaknya Io bukan kamu kan ya?”
“Emang bukan kak. Io itu adalah kakak tiri aku. Dulu, ibu nikah sama Om Hartawan, beliau udah meninggal dan yang nyebabin kematian beliau adalah ibu. Ibu selingkuh sama cowok lain sampai hamil, dan aku adalah anak dari hasil hubungan gelap ibu sama cowok itu. Om Hartawan tahu itu, dan beliau kaget, lalu kena serangan jantung dan meninggal.”
“Sekarang, cowok itu kemana?” Joelle bertanya hati-hati.
“Meninggal karena overdosis.” jawab Jibran, “setelah kepergian ayah, hidup kita bener-bener ancur. Ayah selama ini punya banyak utang kesana kemari untuk beli narkoba, dan aku sama bunda kerja banting tulang sampai ngejual rumah buat bayar hutang ayah.” tidak ada getaran dari nada suara Jibran, Joelle pikir Jibran sudah bisa menerima semua takdir hidupnya.
Joelle prihatin dengan keadaan Jibran. Gadis itu kira permasalahan Jibran hanya karena di bully dan jatuh miskin, tapi ternyata, permasalahan anak itu jauh lebih kompleks. Joelle beruntung dalam hidupnya, dia tidak mengalami hal seberat itu, karena kalau sampai terjadi, Joelle tidak tahu apakah dia bisa bertahan atau tidak,
“Lalu, Kak Io pergi kemana?” Joelle lagi-lagi bertanya.
“Kak Io masih di Bandung, kak. Cuman gak tau dimana, aku pernah nyamperin dia ke rumah tantenya, cuman aku di tolak mentah-mentah sama mereka.” senyuman getir tercipta di wajah Jibran, “aku sadar betul kak kalau apa yang dilakuin sama ibu aku itu udah buruk banget, selingkuh sama seseorang sampai ngehasilin anak, itu udah bener-bener gak bisa ditolerir. Tapi ibu juga tetep ibunya Kak Io, Kak Io masih punya tanggung jawab untuk jagain ibu dan bantu perekonomian kami, karena ada ibu disini yang masih sedarah sama dia.”
Joelle sedikit memajukan tubuhnya, dan menepuk-nepuk lutut Jibran. Matanya menatap Jibran penuh dengan rasa kasihan,
“Jibran, gak semua orang bisa nerima dengan lapang dada apa yang udah terjadi sama orang-orang yang mereka sayang bertahun-tahun lalu. Mereka semua butuh waktu untuk mencerna semuanya. Dan inget, kita bukan nabi yang masih bisa bersikap baik sama seseorang yang udah jahat sama kita. Reaksi mereka adalah reaksi yang wajar dari keluarga yang dibuat terluka sekaligus kehilangan salah satu dari anggota keluarga mereka. Its takes time, Jibran, kamu harus sabar dan terus berdoa sama yang diatas. Doa seseorang ga bakalan pernah gagal percaya sama kakak, ya?”
Jibran terdiam sambil matanya yang sudah berkaca-kaca itu menatap lurus Joelle,
“Semua bakalan indah pada waktunya. Ibu kamu bakal sembuh, dan kakak tiri kamu bakal dateng, lalu kalian ngumpul sama-sama lagi ya. Tuhan bersama orang-orang yang sabar.”