jaehyunetz


“Ya Allah, Nin.” Giselle terkejut melihat Karenina yang datang dengan keadaan menangis sesenggukan.

Karenina buru-buru mendekap tubuh Giselle dengan begitu erat. Gadis itu menangis dipelukan Giselle cukup kencang, sehingga membuat beberapa penghuni kost melirik ke arah keduanya.

Giselle melonggarkan pelukannya, lalu mengajak Karenina untuk masuk ke dalam.

Setelah sampai di dalam, Giselle mengunci pintu kostnya. Mereka berdua sama-sama duduk di lantai, dengan Karenina yang masih menangis sesenggukan. Giselle tidak tahu apa yang terjadi dengan sahabatnya ini, yang pasti ia sangat khawatir, karena keadaan Karenina benar-benar mengkhawatirkan.

Dia tidak pernah melihat Karenina sehancur ini sebelumnya. Giselle benar-benar tidak tega, ia ikut sedih melihat sahabatnya yang menangis separah ini. Siapapun orang yang sudah membuat Karenina seperti ini, sudah pasti akan Giselle hajar habis-habisan kalau dia tahu siapa pelakunya,

“Nin, kalau lo masih mau nangis gak apa-apa nangis aja, kalau lo udah tenang, lo boleh cerita semuanya sama gue.” Giselle berkata dengan lembut, seraya menatap Karenina yang tengah menunduk sambil menangis dengan tatapan lembut dan penuh kekhawatiran, belum lagi satu tangannya ia gunakan untuk mengelus punggung Karenina.

Karenina menuruti apa kata Giselle. Dia masih menangis dan belum membuka mulutnya sama sekali. Rasanya, tangis yang ia keluarkan dari sejak sore sampai malam ini belum bisa menghilangkan rasa sakit dan perih di hatinya. Entah harus dengan cara apa agar semuanya kembali seperti semula, Karenina tidak tahan dengan rasa sakitnya. Ini benar-benar lebih sakit dari apapun yang menyakitkan di muka bumi ini.

Tuhan begitu hebat menciptakan rasa sakit ini kepada Karenina, sehingga membuat Karenina berpikir, kebahagiaan yang sehebat apa yang akan Karenina terima di masa depan?

Meskipun belum puas dengan menangis, setidaknya, Karenina sudah bisa bernafas perlahan-lahan, dan juga sudah kuat untuk berbicara dan sepertinya ia sudah siap untuk menceritakan semuanya kepada Giselle,

“Sell.” Karenina memanggil Giselle dengan suaranya yang terdengar begitu parau.

“Iya, Nin.” Giselle menyahuti panggilan Karenina dengan lembut.

“Sorry ya gue tiba-tiba dateng ke kostan lu dengan keadaan gue yang kayak begini. Im so sorry.” sesal Karenina.

Giselle mendecakan lidahnya, raut wajahnya terlihat kesal mendengar ucapan Karenina barusan, “apaan sih Nin, lo kayak sama siapa aja deh buset. We're friend, gak apa-apa kali, mau lo dateng dalam keadaan lo gila pun gue bakal terima lo kok.” ucap Giselle sedikit bercanda.

Karenina tertawa kecil. Tawa itu muncul hanya karena ia ingin menghargai candaan tipis Giselle. Pada kenyataannya, untuk sekedar tersenyum pun rasanya Karenina tidak sanggup,

“So, lo udah siap untuk cerita?”

Karenina mengangguk dengan begitu mantap, “not one hundred percent ready, tapi gue mau cerita semuanya sama lo. Gue capek buat nangis.”

Giselle tersenyum, “Tell me everything, Nin.” pinta Giselle.

Sebelum memulai ceritanya, Karenina menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan sekejap. Dia juga memejamkan matanya beberapa detik, dia benar-benar mempersiapkan dirinya,

“Sell, gue sekarang tahu alasan kenapa gue ngerasa takut banget buat dateng ke fakultas ilkom tadi.” ucap Nina.

You said, something bad will happen to you, kan?” tanya Giselle, Karenina langsung menganggukan kepalanya.

“And my feelings come true.” jawab Karenina, Giselle mengerutkan dahinya. Tanpa perlu Giselle jelaskan, Karenina paham bahwa sahabatnya itu tidak paham dengan maksud ucapan Karenina, “iya, sesuatu yang buruk terjadi ke gue tadi. Gue ketemu temennya seseorang di masa lalu gue yang ngebuat gue trauma.” jelas Karenina.

Giselle terkejut ketika Karenina menyebutkan bahwa gadis itu memiliki trauma. Selama ini, Giselle selalu melihat Karenina seperti gadis periang dan seperti tidak memiliki sedikitpun beban, kehidupan Karenina seperti selalu berjalan sesuai dengan apa yang gadis itu inginkan. Tapi ternyata, pada kenyataannya, Karenina menyimpan luka besar di dalam dirinya,

“Trauma? Lo diapain, Nin?” Giselle bertanya dengan nada sedikit histeris dan panik.

Lalu, Karenina pun menjelaskan awal mula permasalahannya dengan begitu detail kepada Giselle. Sesekali, Karenina harus berhenti hanya untuk sekedar menangis, dan Giselle pun menenangkan Karenina, sambil dirinya sendiri menahan emosi. Iya, Giselle benar-benar dibuat emosi dengan laki-laki bernama Jayden yang dengan beraninya memperalat Karenina agar lelaki itu bisa melupakan mantan kekasihnya.

Giselle harus mencari siapa sosok Jayden. Kalau sosok itu sudah ketemu, Giselle benar-benar akan menghabisi Jayden tanpa ampun,

“Nin, sumpah demi apapun kalau gue ketemu orangnya, dia bakal gue abasin anjing.” emosi Giselle membara, Karenina tidak merespon apa-apa, “kok bisa-bisanya dia masih hidup tenang, bisa kuliah sedangkan dia udah nimbulin luka sampai lo trauma kayak begini. Emang cowo ngentot.”

“Gue sampai gak mau kenal cowok mana lagi gara-gara dia. Bukan karena gua masih cinta sama dia, tapi gua takut Sell, gua bener-bener takut. Rasanya sakit banget.” lirih Karenina, “gue tau gak semua cowo bajingan kayak dia, tapi tetep aja rasanya gak enak, gue gak bisa percaya lagi sama laki-laki.”

I know what you feel, Nin, dan itu gak apa-apa, namanya juga lo habis disakitin, its okay buat lo untuk gak mau percaya sama laki-laki, dan semuanya juga butuh proses kok. Tuhan bakal nemuin lo sama seseorang yang tepat dan di waktu yang tepat pula.” Giselle terdiam sebentar, sembari tangannya membelai rambut Karenina, “pasti masih banyak laki-laki baik disana yang bakal mencintai lo dengan begitu sempurna.”

Karenina kembali menangis, Giselle menarik sahabatnya itu ke dalam dekapannya.

Dan ia pun, membiarkan Karenina kembali menangis di dekapannya untuk sekali lagi.


Karenina berdiri di koridor gedung Fakultas Ilmu Komunikasi. Matanya telihat melirik ke sekeliling dengan rasa tidak nyaman dan aman. Demi Tuhan, Karenina tidak tahu ada apa dengan dirinya, tapi satu yang pasti, dia benar-benar takut sekali berada di lingkungan ini. Tangan Karenina dikepal, ia melakukannya dengan sengaja, agar rasa takut, cemas, dan gelisahnya tersalurkan.

Sementara tidak jauh dari posisi Karenina, ada seorang laki-laki yang tengah berdiri sembari memperhatikan Karenina dengan kebingungan. Dari jarak yang lumayan agak jauh, lelaki itu bisa melihat bahwa Karenina seperti tidak nyaman dan ketakutan berada disana. Entah apa yang sudah merasuki lelaki itu sehingga dia tiba-tiba melangkahkan kakinya dan berjalan mendekati Karenina,

“Hai.” suara bariton lelaki itu menyapa indera pendengaran Karenina.

Gadis itu terlonjak kaget, lelaki yang berdiri di depan Karenina juga ikut terkejut (meskipun tidak separah Karenina),

“Oh…hai.” Karenina balas menyapa sapaan lelaki itu dengan suara yang sedikit gemetar dan tawanya yang terkesan dipaksakan.

“Lo bukan anak fikom ya?” lelaki itu bertanya. Sebenarnya dia tahu kalau perempuan itu bukanlah anak fikom, karena dia tahu hampir semua perempuan di fikom dari mulai mahasiswa seangkatannya sampai junior-nya.

Karenina menggelengkan kepalanya,

“Oh kesini pasti nungguin pacar ya?” lagi, lelaki itu kembali bertanya. Dan, jawaban yang dia terima dari Karenina pun masih sama, yaitu sebuah gelengan kepala yang berarti artinya adalah tidak atau bukan.

Masih banyak pertanyaan yang bercabang di otak lelaki itu, ia juga ingin menanyakan semua pertanyaannya kepada Karenina. Namun, niatnya itu ia urungkan, dikarenakan takut membuat Karenina semakin tidak nyaman. Bahkan sekarang saja, gadis itu masih terlihat tidak nyaman, matanya masih sesekali melirik takut ke beberapa orang yang lewat di koridor,

“By the way, gue Yudha, mahasiswa tingkat akhir disini.” lelaki bernama Yudha itu memperkenalkan dirinya sembari tersenyum manis, tidak lupa tangannya pun ia ulurkan ke hadapan Karenina.

Untuk beberapa saat Karenina terdiam, dia melihat tangan Yudha yang terulur ke arahnya berniat untuk mengajaknya berjabat tangan, lalu sedetik kemudian dirinya menatap Yudha yang tengah tersenyum ke arahnya. Entah kenapa, ketika menatap mata dan senyum Yudha, Karenina merasa sedikit aman dan nyaman. Dengan itu, Karenina meraih tangan Yudha dan berjabatan tangan dengannya,

“Karenina.”

Keduanya pun saling melepaskan jabatan tangan mereka,

“Manggilnya Nina apa Karen apa siapa nih?”

“Nina aja kak.” jawab Karenina sembari tersenyum tipis.

“Oke Nina.” entah untuk alasan apa Yudha tiba-tiba terkekeh, sepertinya sesuatu yang lucu melintasi otaknya, “by the way, lo anak fakultas mana?” Yudha bertanya sembari matanya menatap mata Karenina.

“Fakultas Hukum.” jawab Karenina.

“Wow….. surganya bidadari tuh disana. Pada cantik-cantik semua mahasiswinya.” canda Yudha seraya terkekeh kecil.

Karenina juga ikut terkekeh mendengar candaan Yudha. Gadis itu sudah cukup sering mendengar candaan-candaan seperti itu setiap kali dia bercengkrama dengan mahasiswa yang berbeda jurusan dengannya.

Saat sedang asyik bercengkrama dengan Yudha, tiba-tiba ada seorang lelaki yang menghampiri Yudha. Karenina terkejut melihat siapa sosok lelaki itu, rasa takut kembali menguasai dirinya, kenangan-kenangan buruk di masa lalu yang menjadi traumanya kembali bermunculan satu persatu. Tidak hanya Karenina yang terkejut, lelaki itu pun ikut terkejut melihat Karenina. Namun keterkejutannya berbeda jauh dengan Karenina, dia terlihat seperti begitu bahagia karena bisa melihat Karenina kembali,

“Nina!? Astaga.” suara lelaki itu terdengar begitu membahagiakan, namun di telinga Karenina, suara itu membuat kenangan-kenangan menyesakkan itu bangkit kembali, “Nin, gue gak nyangka bisa ketemu sama lo lagi. Gue Johnny, Nin. Lo inget gue kan?” tanya lelaki yang bernama Johnny itu.

“Inget.” jawab Karenina dengan suara yang gemetar, dan matanya yang berkaca-kaca. Ya, Karenina menahan bulir air matanya agar tidak mengalir. Dia sudah berjanji kepada kakaknya untuk tidak menangisi semua kenangan-kenangan buruk di masa lalu yang pernah terjadi kepadanya.

“Ini lo berdua saling kenal?” Yudha yang sedari tadi diam dan memperhatikan Johnny juga Karenina secara bergantian pun akhirnya bertanya.

Johnny menganggukan kepalanya, tapi tidak dengan Karenina. Gadis itu hanya diam, sambil terus mendoktrin dirinya sendiri untuk tetap tenang dan tidak meledak saat ini juga,

“Adek kelas gue dia waktu SMA, adek kelasnya Jayden juga.”

DEG

Ketika mendengar nama itu disebut, air mata Karenina seketika lolos dari pelupuknya. Hatinya begitu sakit ketika mendengar nama itu. Dia pikir, dia tidak akan pernah lagi mendengar nama itu di sisa hidupnya, namun ternyata dugaannya salah, dirinya kembali mendengar nama laki-laki yang paling ia benci, yaitu Jayden.

Sialan! Kenapa harus sekarang?

Johnny sadar bahwa dirinya sudah dalam bahaya karena menyebut nama Jayden di depan Karenina, rasa bersalah pun menguasai dirinya, namun Johnny mencoba untuk menyembunyikannya, karena dia ingin terlihat biasa-biasa saja. Lelaki itu diam-diam melihat Karenina yang tengah sibuk menghapus air matanya menggunakan tangannya,

“Eh, Nin, kok lu nangis?” Yudha bertanya ketika melihat Karenina dan sadar bahwa gadis itu terlihat seperti baru saja selesai menangis.

Karenina menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar ingin segera pergi dari tempat itu, dan untungnya, Pak Asep, baru saja keluar dari pintu aquarium. Karenina—tanpa berpamitan buru-buru berlari dan menghampiri Pak Asep. Johnny serta Yudha masih terdiam di tempatnya, sembari memperhatikan Karenina yang sedang bercengkrama kecil dengan seorang dosen,

“Dia punya trauma sama keramaian, Jo?” Yudha tiba-tiba bertanya.

“Lo kenapa tiba-tiba nanya gitu?” Johnny bertanya heran.

“Tadi pas dia dateng kesini, dia kayak kebingungan dan takut gitu. Ya udah gue samperin, pas gue samperin juga dia masih ketakutan, tapi gue berhasil bikin dia gak takut sama gue. Eh, lu dateng, dia jadi kayak gitu, mana nangis pula. Lu sama Jayden pernah nyakitin dia apa ya waktu SMA?”

Johnny diam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan akhir Yudha,

“Ah udah lah gak usah dipikirin. Mending kita ke warkop aja, makan indomie, mendung gini enak makan indomie kuah yang rebus terus pake sosin pake telor abis gitu pake cengek 10 biji.” Johnny memilih untuk mengakhiri topik pembicaraan yang terbilang agak sensitif ini.

Yudha sebenarnya masih curiga. Dia merasa kalau jawaban atas pertanyaan akhirnya itu adalah betul. Betul bahwa diantara Johnny ataupun Jayden pernah menyakiti atau melakukan sesuatu hal yang sampai membuat Karenina ketakutan seperti barusan,

“Cengek 10 biji, mau berak lu keluar lahar panas apa gimana?”

Johnny hanya tertawa mendengar itu.

Dua sahabat itu pun pergi meninggalkan kawasan gedung kampus menuju warkop untuk mengisi perut Johnny yang meronta-ronta ingin diisi oleh mie kuah spesial dengan kepedasan diatas rata-rata.


Sementara, Karenina, dia tidak memiliki waktu untuk berdiam diri dan menenangkan dirinya yang masih terguncang setelah mengetahui bahwa seseorang yang dibencinya berkuliah disini. Gadis itu kembali pergi menuju gedung fakultasnya dengan tubuh yang gemetar, jantung yang berdebar-debar, dan sekujur tubuhnya yang dikucuri oleh peluh. Sungguh, Karenina benci merasakan hal ini kembali.

Lima tahun yang lalu, Karenina bersekolah di salah satu SMA negeri terkenal di Bandung. Saat itu, dia masih kelas 10 SMA. Karenina masih begitu polos pada waktu itu, sampai akhirnya kepolosan Karenina menyita perhatian Jayden, lelaki yang dua tahun lebih tua darinya itu. Saat itu, Jayden berada di kelas 12 SMA awal.

Tidak ada satu perempuan yang tidak mengenal sosok Jayden, semuanya mengenali lelaki dengan paras sempurna itu. Banyak kaum hawa yang memuja Jayden dan ingin menjadi kekasih Jayden, begitu pula dengan Karenina. Tidak dapat dipungkiri, Jayden merupakan cinta pertama Karenina.

Karena itu, ketika Jayden mencoba untuk mendekati Karenina, hal tersebut membuat Karenina begitu bahagia, ia merasa bahwa ia seperti main character, bagaimana tidak, dia adalah sosok gadis sederhana yang tidak terlalu populer tapi mampu menaklukan hati seorang pentolan sekolah.

Namun, setelah 1 (satu) tahun hubungan mereka berjalan, Karenina mengetahui fakta yang menyakitkan, bahwa ternyata, Jayden tidak pernah benar-benar mencintainya, dia hanya dijadikan alat oleh laki-laki itu untuk melupakan mantan kekasihnya (yang Karenina masih ingat namanya adalah Bianca). Hancur Karenina saat mengetahui hal tersebut.

Dia tidak berhenti menangis selama 1 minggu, gadis itu terus mengurung dirinya di kamar, beberapa kali juga dia mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri. Rasa trauma itu terus menghantui Karenina, sampai akhirnya Karenina memutuskan untuk ikut sang kakak pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Karenina perlahan-lahan bisa melupakan rasa traumanya, sampai akhirnya (dia pikir) rasa trauma itu sudah benar-benar hilang, dan Karenina bisa kembali bahagia seperti dulu.

Namun, sayang seribu sayang, hari ini, trauma itu kembali menghantui Karenina. Rasa sakit yang sudah ia lupakan bagaimana rasanya kembali datang bersamaan dengan kembali basahnya luka di hati Karenina.

Sekarang, satu hal yang Karenina harapkan. Ia berharap, ia tidak akan pernah bertemu dengan Jayden, meskipun mereka satu almamater. Karena bertemu dengan Jayden adalah kesialan bagi Karenina.


“Asik dangdutannya? Asik nyawer biduannya?”

Baru saja Raden masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba pertanyaan mengerikan itu dilontarkan oleh sang istri, Maizara. Lelaki itu langsung panik tidak karuan, raut wajahnya berubah menjadi gelisah. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, darimana istrinya tau itu semua?

“S—sayang aku bisa jelasin.” panik Raden.

Maizara tersenyum mengejek. Lalu matanya menatap sang suami dengan tatapan tajam,

“Gak perlu. Semuanya udah jelas.” ucap Maizara dengan begitu dingin.

Gadis itu merubah posisinya yang semula duduk diatas ranjang sembari menyenderkan punggungnya ke senderan kasur, menjadi tertidur dengan menghadap ke samping kanan.

Raden dengan gesit mendekati kasur dan duduk disana. Lelaki itu panik, satu hal yang paling dia takuti adalah Maizara saat marah. Gadis ini hanya akan mendiami Raden selama dia marah, dan itu entah sampai kapan. Raden benci diberikan silent treatment.

Lelaki itu juga tidak bisa menyangkal kalau semua ini adalah salahnya. Andai saja dia jujur kepada Maizara, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Sebenarnya, Maizara bukan tipe yang melarang Raden untuk melakukan segala hal, hanya saja memang, ada beberapa hal yang seharusnya setiap Raden mau melakukan itu ia berdiskusi dulu dengan Maizara atau meminta izin.

Bagaimanapun, Raden sudah bukan bujangan lagi, dia adalah suami sekaligus ayah dari 2 anak. Sebagai seorang kepala keluarga, seharusnya Raden bisa lebih bijaksana,

“Sayang, maafin aku, aku tau aku salah, aku gak jujur sama kamu. Maafin aku sayang. Aku diajakin sama Idan, dia bilang aku pengecut kalau aku takut sama kamu dan nolak ajakan dia, aku gak terima jadi aku iyain aja ajakan dia. Maafin aku sayang, aku gak jujur sama kamu. Aku bener-bener minta maaf.” rengek Raden.

Maizara belum benar-benar tertidur, jadi telinga gadis itu masih dapat berfungsi dengan baik. Dia mendengarkan penjelasan Raden, tapi dia memilih untuk tidak memberikan tanggapan apa-apa,

“Mai, istriku, sayangku, tolong maafin aku ya? Aku bener bener nyesel Mai. Aku sayang kamu Mai, aku cinta sama kamu, aku gak bermaksud untuk boongin kamu. Maizara, sayang.” Raden masih tidak menyerah.

Beribu kata maaf diselingi dengan pujian ia lontarkan kepada Maizara, namun Maizara seperti tidak memperdulikannya, lagi pula gadis itu sudah mulai masuk ke alam mimpinya, jadi, dia tidak lagi mendengarkan kalimat-kalimat manis yang Raden ucapkan.

Melihat Maizara yang tertidur lelap membuat Raden menghembuskan nafasnya dengan begitu kecewa. Ia menatap istrinya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah. Seharusnya, Raden tidak membohongi Maizara, wanita itu sudah berkorban banyak untuknya. Raden bodoh! Dia terus mengutuki dirinya sendiri. Andai waktu bisa diputar, Raden ingin menolak ajakan Zidan.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mungkin memang semuanya sudah harus berjalan seperti ini. Lagi, Raden menghembuskan nafasnya. Dia membungkuk sejenak untuk memberikan kecupan manis di rambut Maizara yang wanginya sangat Raden sukai,

“Maafin aku. Aku cinta kamu.”


Jenar turun dari kamarnya dalam keadaan yang sangat amat rapih dan wangi. Iya, lelaki itu sudah bersiap-siap untuk pergi ke kampus dan berkonsultasi dengan dosen pembimbingnya untuk kelancaran proses penulisan skripsi lelaki itu.

Kedua orang tua Jenar menyambut hangat kedatangan anak tunggal mereka. Jenar pun mengecup pipi kiri sang mama, dan juga papanya sebelum pada akhirnya ia duduk di kursi meja makan yang berhadapan dengan sang mama.

Menu sarapan di meja makan pagi ini sangatlah beragam, ada nasi goreng hongkong, ada ayam fillet crispy yang diberi bumbu saus asam manis, ayam goreng biasa, ikan goreng biasa, mie goreng, buah-buahan, dan masih banyak lagi.

Namun pilihan Jenar jatuh kepada nasi goreng hongkong dengan ayam fillet crispy. Menu yang paling dia sukai dari sejak dia kecil,

“Nar, gimana kemajuan skripsi kamu?” Papa bertanya sembari melihat Jenar yang tengah sibuk mengunyah.

“Hari ini mau bimbingan.” jawab Jenar dengan mulutnya yang terisi dengan nasi goreng dan ayam crispy.

Papa hanya menganggukan kepalanya paham,

“Bisa mungkin kalau selesai sidang kamu langsung kerja di perusahaan papa, gantiin papa, karena papa udah capek harus bolak-balik ke kantor terus.”

Jenar terdiam sesaat, dia menaruh sendok dan garpunya begitu saja ke atas piring. Mama sedari tadi hanya diam dan mengamati obrolan anak dan ayah ini.

Jenar melirik sang papa dengan begitu serius,

“Papa yakin? Jenar kuliah hukum loh bukan bisnis.” ada sedikit ketidak yakinan dalam nada suara Jenar.

Papa tersenyum dan mengangguk dengan penuh percaya diri,

“Papa yakin sekali. Lagipula papa gak bakal lepasin kamu gitu aja, kalau kamu gak paham, kamu bisa tanya-tanya ke papa. Yang penting kamu mau dulu, mau kan?”

Jenar tersenyum sambil menganggukan kepalanya semangat,

“Mau pa mau!”

Mama ikut tersenyum melihat Jenar yang sesemangat itu, begitu pula dengan papa.

Lalu selanjutnya, kegiatan sarapan pun kembali di lanjut dengan penuh canda tawa di meja makan yang super mewah itu.


Terlalu banyak pesan caci dan maki, juga ancaman kematian yang masuk ke ponsel Joelle—belum lagi todongan pertanyaan dari kedua sahabatnya, membuat Joelle benar-benar stress. Dia mematikan ponselnya dan memilih pergi ke minimarket untuk menenangkan pikirannya disana tanpa membawa ponselnya.

Joelle tidak mengerti kenapa kejadian tadi pagi bisa berdampak seperti ini kepadanya, padahal dirinya hanya pergi ke kampus bersama dengan Javiero. Apa Javiero seberpengaruh itu bagi semua perempuan di kampusnya? Kalau begitu, laki-laki itu berarti bukan laki-laki yang baik.

Gadis itu bersumpah bahwa dia tidak akan pernah mau lagi untuk bertemu atau berhubungan dengan Javiero. Sekalipun lelaki itu memaksa, Joelle tetap akan menolaknya. Dia tidak mau berurusan dengan lelaki macam Javiero.

Setelah berjalan beberapa meter, akhirnya Joelle tiba di minimarket yang didirikan dengan bangunan ala-ala minimarket di Korea, hidangan makanan dan minuman di dalam pun percis seperti minimarket yang selalu ada di drama-drama Korea. Bayangan ramen yang dipadu padankan dengan keju mozarella juga onigiri memenuhi kepala Joelle malam ini.

Gadis itu meneguk ludahnya, membayangkan betapa nikmatnya makanan tersebut. Tanpa, berpikir lama lagi, Joelle melanjutkan langkah kakinya untuk masuk ke dalam minimarket sana. Namun, tiba-tiba langkah kaki gadis itu terhenti kembali tat kala melihat seorang anak kecil yang tengah dirundung oleh beberapa anak yang masih berseragam SMP.

Rasa lapar Joelle seketika hilang ketika melihat anak kecil itu yang sepertinya sedang dibully oleh sekelompok anak sok jagoan, yang bisa saja Joelle buat menangis sesenggukan hanya karena bentakannya. Ini tidak bisa dibiarkan, Joelle harus membantu anak laki-laki itu. Gadis itu berjalan mendekati anak kecil tersebut dengan wajah yang galak dan tatapan matanya yang begitu tajam—menatap sinis satu persatu anak anak SMP itu,

“Pulang kalian semua, gak ada kerjaan ngebully orang mana pakai seragam sekolah lagi. Gak malu?” geram Joelle sembari menatap satu persatu anak lelaki yang bahkan tidak takut sama sekali dengan Joelle.

“Lo siapa? Lo kakaknya ini anak haram, iya?” salah satu dari kelima anak itu bertanya dengan kata-kata yang sangat amat tidak mengenakan untuk didengar sembari memasang ekspresi mengejek di wajahnya.

Joelle terkejut sekaligus emosi mendengar apa yang diucapkan oleh anak lelaki dihadapannya itu. Bagaimana anak SMP bisa berkata sejahat itu kepada seseorang? Joelle tidak bisa menahan emosinya, dia layangkan tamparan lumayan keras di pipi anak itu, membuat pipi anak bajingan itu terhempas ke kiri dengan lumayan keras. Semua yang ada disana terkejut melihat tingkah Joelle, tapi tidak dengan Joelle yang tampak berapi-api dan amat sangat emosi,

“Gue bisa nonjok lo ya sekarang kalau gue mau.” ancam Joelle menatap anak itu dengan tatapan sinis. Si korban tamparan Joelle sudah menundukkan kepalanya, bahunya bergetar karena menangis, “nyokap bokap lo siapa hah? Punya anak tapi gak pernah diajarin yang namanya sopan santun.” lanjut Joelle semakin geram.

“Pergi lo semua dari sini, sebelum lo semua babak belur sama gue.” usir Joelle amat sangat tidak ramah.

Karena ketakutan dengan ancaman Joelle, kelima lelaki badung itu pergi meninggalkan Joelle dan anak lelaki yang sedari tadi hanya terdiam. Entah karena terkejut atau merasa sedih akibat perundungan yang dilakukan oleh kelima anak laki-laki barusan,

“Kamu baik-baik aja kan?” Joelle bertanya dengan nada resah kepada si anak lelaki ini.

“Baik kak.” jawab anak tersebut sembari tersenyum tipis. Joelle menghela nafasnya lega, lalu dia tersenyum tipis, “makasih yah kak udah nolongin aku tadi.”

“Iya sama-sama.” jawab Joelle tanpa menghilangkan senyuman manis dari bibirnya itu, “oh iya kamu malem-malem gini keluar mau ngapain? Mau beli makan? Kakak traktir mau?” tawar Joelle dengan begitu semangat..

“Oh enggak kak, aku bukannya mau beli makanan, tapi mau beli obat buat ibu.” terdengar nada sendu dari suara anak laki-laki ini yang membuat Joelle kembali merasa simpatik dengan anak ini.

“Ibu kamu sakit? Sakit apa?” Joelle bertanya dengan nada suara yang lembut.

“Depresi.” jawab anak tersebut dengan murung, “obat ibu ini mahal banget kak, harusnya udah aku tebus dari dua bulan yang lalu, tapi aku baru punya uang sekarang, makanya obatnya aku bisa tebus sekarang. Itu pun gak aku bisa tebus di rumah sakit, tapi di apotek kecil kayak di depan.”

Joelle ikut merasa sedih atas apa yang dilalui oleh adik kecil ini. Di umurnya yang masih begitu muda, dia harus mengalami banyak kepahitan hidup. Semoga kebahagiaan akan selalu menyertai dia di masa depan,

“Gini aja, uang yang kamu punya itu kamu simpen, dan obat ini biar kakak yang bayar gimana?” tawar Joelle yang langsung disambut dengan keterkejutan oleh si anak laki-laki ini.

“Serius kak?” tanyanya, mata anak itu berbinar memancarkan keharuan dan juga kebahagiaan. Joelle ikut tersenyum bahagia melihat bagaimana anak itu begitu bahagia ketika Joelle ingin membantunya.

“Aku serius.” jawab Joelle dengan tulus dan bersungguh-sungguh.

Anak lelaki itu tidak kuasa menahan air matanya. Ia mendekap erat tubuh Joelle seraya melafalkan kalimat terima kasih yang begitu banyak. Di dalam dekapannya, Joelle tertawa seraya menitikan air matanya, tangannya ia gunakan untuk mengelus-elus punggung anak ini,

You're my hero, kak.” puji anak lelaki itu seraya melepaskan dekapannya dari Joelle.

Joelle tertawa seraya menghapus air matanya, “itu kalimat tercringe yang aku denger hari ini. Take that back.” canda Joelle yang membuat anak lelaki itu ikutan tertawa.

“Oh iya kak, aku lupa ngenalin diri aku. Nama aku Jibran, kalau kakak?”

“Joelle. But you can call me, El. Jangan Jo, soalnya itu kayak panggilan cowok.”

Jibran tersenyum, “ok kak.” ucapnya paham.

“Ya udah sekarang kita tebus obatnya ya, kasian ibu kamu pasti udah nungguin di rumah, ya kan?”

“Iya kak.”

Menolong sesama memang adalah hal yang paling Joelle sukai di dunia ini. Sudah begitu banyak orang yang ditolong oleh Joelle, bahkan di umurnya yang masih belia ini dia sudah berani untuk mengirimkan banyak bantuan ke rumah sakit pelosok, panti asuhan, panti sosial, bahkan unicef.


“Ibu, Jibran pulang.”

Setelah membeli obat untuk ibunya Jibran. Joelle memutuskan untuk ikut pergi ke rumah Jibran dan menemui ibunya. Awalnya Jibran menolak karena rumah yang didiami oleh anak lelaki itu tidak bagus untuk disebut dengan rumah. Keadaan yang berantakan, berada di gang sempit, dan dibelakangnya langsung menghadap kali.

Tapi Joelle tidak perduli akan hal tersebut. Dia tetap keukeuh untuk ikut sampai pada akhirnya, Jibran tidak memiliki kuasa lain selain mengizinkan wanita yang lebih tua delapan tahun dari dirinya itu untuk ikut ke rumahnya,

“Io, mana Ioku?” suara lembut nan lirih sang ibu terdengar dari bilik kamarnya. Wanita tua itu berjalan keluar dengan wajah yang sumringah, namun detik selanjutnya, wajah sumringah itu berubah menjadi sedih ketika melihat Jibran dan juga Joelle.

Joelle sempat salah paham, karena gadis itu pikir kalau ibu itu tidak suka dengan keberadaan Joelle disini. Namun, ternyata Joelle salah,

“Io gak ikut lagi ya, Jibran? Kakakmu pasti lagi mancing sama ayahnya. Mancingnya lama ya sampai jarang sekali pulang. Ibu kangen, Jibran. Ibu kangen kakak kamu.”

Wanita itu mulai menangis histeris. Jibran langsung dengan sigap berlari ke arah sang ibu dan mendekapnya untuk memberikan ketenangan kepada wanita malang itu, sementara Joelle hanya berdiri mematung di tempatnya. Dia terlalu terkejut melihat pemandangan seperti ini. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya.

Setelah berhenti menangis, Jibran membawa sang ibu untuk masuk ke dalam kamarnya. Memberikan wanita tua itu obat, sementara Joelle menunggu di ruang keluarga sembari duduk di sofa yang kulitnya sudah terkelupas sehingga memperlihatkan busa-busa dan kayu penyangga sofa ini. Gadis itu melihat ke sekeliling rumah ini. Rumah ini cukup bersih meskipun berada di lingkungan yang kumuh. Dan meskipun rumah ini terbilang kecil, bahkan lebih kecil dari unit apartement Joelle, tetapi masih terasa sangat luas, mungkin karena barang di rumah ini tidak terlalu banyak seperti di unit apartement Joelle.

Tidak lama, Jibran kembali ke ruang keluarga. Lelaki itu tersenyum sembari berjalan mendekati Joelle. Senyumnya tidak terlihat seperti senyuman tulus, melainkan senyuman malu—ya, Jibran malu karena Joelle harus melihat ibu Jibran yang kacau seperti tadi. Joelle benar-benar tidak mempermasalahkan akan hal itu, hanya saja, tadi dia benar-benar terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa,

“Kak, kakak minum air putih aja disini gak apa-apa ya? Aku belum beli teh sama gula.” ucap Jibran.

“Eh gak usah, gak apa-apa, lagian juga kakak gak lama kok disini. Udah kamu duduk aja disini.”

“Tapi kak—”

“Udah, sini duduk.” Joelle memotong ucapan Jibran sembari memberi kode untuk lelaki itu duduk di sofa. Jibran pun kembali menuruti permintaan dari Joelle, “rumah kamu tergolong bersih loh, Jib.” puji Joelle sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah rumah ini.

Jibran tersenyum,

“Udah tinggal di lingkungan kumuh, belakang kali, masa gak bersih-bersih sih kak.” canda Jibran disertai tawa kecilnya.

Joelle ikut tertawa, “bener juga ya kamu. Cerdas!” puji Joelle yang membuat Jibran tersenyum setengah tertawa.

Namun sedetik kemudian, raut wajah Jibran berubah menjadi serius,

“Kak, kakak pasti kaget ya tadi?” Jibran bertanya dengan nada serius.

“Iya.” jawab Joelle jujur, “sorry kakak bukannya gak mau bantuin kamu, tapi kakak kaget, jadi kakak tiba-tiba ngefreeze.” sambung Joelle merasa bersalah.

Jibran tersenyum tipis seraya menganggukan kepalanya. Dia paham apa yang Joelle rasakan, karena Jibran pun merasakan hal itu ketika pertama sang ibu mulai sakit-sakitan secara mental,

“Gak apa-apa kak.” jawab Jibran.

“Jibran, kalau kakak boleh tau, Io itu siapa ya? Kayaknya Io bukan kamu kan ya?”

“Emang bukan kak. Io itu adalah kakak tiri aku. Dulu, ibu nikah sama Om Hartawan, beliau udah meninggal dan yang nyebabin kematian beliau adalah ibu. Ibu selingkuh sama cowok lain sampai hamil, dan aku adalah anak dari hasil hubungan gelap ibu sama cowok itu. Om Hartawan tahu itu, dan beliau kaget, lalu kena serangan jantung dan meninggal.”

“Sekarang, cowok itu kemana?” Joelle bertanya hati-hati.

“Meninggal karena overdosis.” jawab Jibran, “setelah kepergian ayah, hidup kita bener-bener ancur. Ayah selama ini punya banyak utang kesana kemari untuk beli narkoba, dan aku sama bunda kerja banting tulang sampai ngejual rumah buat bayar hutang ayah.” tidak ada getaran dari nada suara Jibran, Joelle pikir Jibran sudah bisa menerima semua takdir hidupnya.

Joelle prihatin dengan keadaan Jibran. Gadis itu kira permasalahan Jibran hanya karena di bully dan jatuh miskin, tapi ternyata, permasalahan anak itu jauh lebih kompleks. Joelle beruntung dalam hidupnya, dia tidak mengalami hal seberat itu, karena kalau sampai terjadi, Joelle tidak tahu apakah dia bisa bertahan atau tidak,

“Lalu, Kak Io pergi kemana?” Joelle lagi-lagi bertanya.

“Kak Io masih di Bandung, kak. Cuman gak tau dimana, aku pernah nyamperin dia ke rumah tantenya, cuman aku di tolak mentah-mentah sama mereka.” senyuman getir tercipta di wajah Jibran, “aku sadar betul kak kalau apa yang dilakuin sama ibu aku itu udah buruk banget, selingkuh sama seseorang sampai ngehasilin anak, itu udah bener-bener gak bisa ditolerir. Tapi ibu juga tetep ibunya Kak Io, Kak Io masih punya tanggung jawab untuk jagain ibu dan bantu perekonomian kami, karena ada ibu disini yang masih sedarah sama dia.”

Joelle sedikit memajukan tubuhnya, dan menepuk-nepuk lutut Jibran. Matanya menatap Jibran penuh dengan rasa kasihan,

“Jibran, gak semua orang bisa nerima dengan lapang dada apa yang udah terjadi sama orang-orang yang mereka sayang bertahun-tahun lalu. Mereka semua butuh waktu untuk mencerna semuanya. Dan inget, kita bukan nabi yang masih bisa bersikap baik sama seseorang yang udah jahat sama kita. Reaksi mereka adalah reaksi yang wajar dari keluarga yang dibuat terluka sekaligus kehilangan salah satu dari anggota keluarga mereka. Its takes time, Jibran, kamu harus sabar dan terus berdoa sama yang diatas. Doa seseorang ga bakalan pernah gagal percaya sama kakak, ya?”

Jibran terdiam sambil matanya yang sudah berkaca-kaca itu menatap lurus Joelle,

“Semua bakalan indah pada waktunya. Ibu kamu bakal sembuh, dan kakak tiri kamu bakal dateng, lalu kalian ngumpul sama-sama lagi ya. Tuhan bersama orang-orang yang sabar.”


“Hai.”

Javiero menyapa seorang gadis cantik yang baru saja keluar dari dalam pintu lift. Gadis cantik itu terlihat begitu terkejut menatap Javiero yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan senyuman senga yang membuat siapapun kesal melihatnya,

“Kamu ngapain disini!?” gadis itu terdengar seperti menyentak Javiero namun dengan nada suara yang lebih pelan.

Javiero pikir, gadis ini tidak mau menimbulkan keributan di lobby apartemennya yang pagi ini sudah dipenuhi oleh beberapa penghuni yang sudah siap untuk bekerja ataupun kuliah,

“Mau ketemu lo lah, emang mau ketemu sama siapa lagi?” Javiero menjawab dengan begitu santai, seolah-olah dia sudah mengenal gadis cantik di hadapannya ini dari lama, “mau ke kampus kan, El? Bareng sama gue aja mau gak?” tawar Javiero dengan ramah.

Joelle—gadis cantik itu jelas menolak ajakan Javiero. Daripada dia harus naik motor, atau satu mobil dengan lelaki ini, lebih baik Joelle pergi ke kampus panas-panasan menggunakan ojek online. Setidaknya, dia bisa sampai di kampsu dengan selamat,

“Gak perlu.” tolak Joelle dengan tegas, matanya menatap tajam wajah sombong tetapi tampan milik Javiero.

Javiero mengangguk-anggukan kepalanya sembari masih mempertahankan ekspresi wajah sombongnya, yang membuat Joelle kesal sekaligus takjub karena disaat seperti ini, Javiero malah terlihat semakin tampan dan.. sexy,

“Pasti udah mesen gojek ya? Sayang banget, tadi gojeknya udah gue suruh pulang.”

“HAH!?”

Keheningan di sekitaran lobby tercipta ketika Joelle memekik terkejut—semua mata seketika tertuju kepadanya. Joelle langsung membungkuk dan meminta maaf seraya memperlihatkan senyuman kikuknya. Lalu keadaan pun kembali seperti semula,

“Maksud kamu apaan sih? Kamu mau apa coba dari aku?” Joelle bertanya jengah.

“Gue cuma mau kenalan sama lo doang gak ada maksud lain kok.” jawab Javiero dengan jujur. Sorot mata itu memperlihatkan kejujuran yang nyata—yang Joelle sendiri tidak bisa membedakan dengan yang pura-pura.

“Kenapa? Aku gak tau kamu, dan kamu juga gak tau aku, kenapa harus kenalan? Aku gak mau punya urusan sama laki-laki playboy kaya kamu. Jadi tolong, stop bothering me, okay?”

“Lo kenapa kayak gini? Waktu pertama ketemu kayaknya lo ramah-ramah aja sama gue. Apa karena lo kehasut omongan orang-orang?”

Joelle terdiam, matanya menatap lurus sang adam yang masih terlihat begitu tenang di tempatnya,

“Gue kasih tau aja, apa yang orang-orang omongin itu gak sepenuhnya bener. Gue gak sejahat itu kok, gue masih punya hati nurani. Mereka gak hidup sama gue 24/7, gue yang tau gimana diri gue sendiri. Jangan gampang kehasut sama omongan orang.”

Lidah Joelle seperti dikunci oleh setiap kata-kata yang keluar dari mulut Javiero sehingga gadis itu tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya menunduk malu—malu karena apa yang Javiero bicarakan itu benar, kita tidak boleh terlalu gampang terhasut oleh omongan orang yang belum tentu semuanya benar.

Melihat Joelle yang terdiam seperti ini, menimbulkan ribuan ide brilliant di otak ceras Javiero. Salah satunya adalah ini. Javiero sedikit merunduk, dan tiba-tiba mengangkat betis kaki Joelle, lalu menggendong gadis itu layaknya dia memangku beras di bahu kanannya. Jelas, Joelle berteriak panik, ia bahkan sampai memukul-mukul punggung Javiero, beberapa orang di lobby yang melihat itu pun tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.


Sore ini, hujan cukup deras melanda kota Bandung, membuat semua manusia yang hendak pulang ke rumah masing-masing setelah melakukan aktifitas seharian di tempat kerja, sekolah, atau kampusnya memilih untuk berteduh di tempat yang aman dan nyaman. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Javiero, Johnny, dan David. Ketiga laki-laki pentolan Neo University itu memilih untuk berteduh di salah satu kedai yang tidak jauh dari kampusnya.

Bisa dibilang mereka tidak benar-benar berteduh, mereka memang sudah ada di sana sejak langit masih mendung. Suatu kegiatan rutin yang biasa mereka lakukan setelah seharian berkutat dengan mata kuliah yang membuat kepala mereka terasa berat di kelas, belum lagi telinga mereka yang terasa sakit karena terus mendengar omelan dosen dan penjelasan-penjelasan dosen tentang berbagai macam Undang-Undang yang membuat ketiga bujang itu merasa muak dan penat. Nongkrong adalah pilihan yang tepat yang mereka lakukan untuk melepaskan penatnya,

“Eh, Jav, gue denger-denger si Clara pake jasa adek tingkat ya buat ngerjain tugas-tugasnya?” Johnny bertanya seraya menekan rokoknya yang sudah habis itu ke dalam asbak.

Javiero mengangguk sambil menghisap asap nikotin tersebut dan mengeluarkannya ke udara. Kalau perempuan melihat ini, mereka pasti akan pingsan—karena apa yang dilakukan Javiero barusan sangat amat sexy, belum lagi wajahnya yang mengernyit membuatnya terlihat beribu ribu kali lipat lebih sexy,

“Cewek pemalas modelan dia mana mau kerja sendiri.” kekeh Javiero yang diikuti oleh Johnny dan David.

“Ya lu juga mau aja main-main sama modelan si Clara.” timpal David, nada suaranya terdengar sedikit agak sewot.

“Dibilang itu cewek kalau di bawa ke atas ranjang gampang banget, gue gak perlu capek-capek ngerayu, gombal gambel sana sini. Gue sentuh dikit juga dia mah udah ayo-ayo aja. Murahan kan?” ucap Javiero, nada suaranya terdengar begitu merendahkan Clara—wanita yang sudah 1 bulan ini dia jadikan boneka mainannya.

David terlihat ingin mengeluarkan ceramahnya melihat bagaimana sikap brengsek sang sahabat yang lama kelamaan membuatnya jengah. Dia tahu alasan kenapa Javiero seperti ini kepada semua perempuan, trauma di masa lalu membuatnya berpikir bahwa semua perempuan itu murahan. Padahal, tidak semua wanita seperti itu, dan David hanya merasa tidak tega dengan perempuan di luaran sana yang menjadi korban Javiero, mereka tidak tahu apa-apa tapi menjadi alat untuk pembalasan dendam Javiero atas masa lalunya.

Namun, David memilih untuk menelan kembali kalimat nasihatnya, dia tidak ingin menghancurkan mood Javiero, setelah tadi pagi mereka juga sempat berdebat kecil. Selain itu, David juga sedang malas untuk beradu mulut dengan sahabatnya itu. Jadi, dia hanya diam, dan dalam hatinya dia berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Baik segera memberikan Javiero kesadaran.

Obrolan diantara tiga sekawan itu terus berlanjut. Semua hal mereka jadikan topik pembicaraan, dari mulai yang santai, berat, dan lucu, semua mereka bicarakan. Sampai tidak terasa kalau langit perlahan-lahan sudah mulai cerah, dan air hujan pun sedikit demi sedikit sudah mulai berhenti menghujami bumi.

Ada satu hal yang mencuri perhatian Javiero tepat di luar jendela sana. Mata elang pria itu menangkap pemandangan seorang perempuan yang menghadap tepat ke arah kaca jendela, tengah berjongkok dan memayungi seekor kucing yang kehujanan. Dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, demi melindungi kucing itu. Senyuman terukir begitu saja di wajah Javiero. Senyuman kali ini tidak seperti senyuman nakal Javiero ketika melihat mangsanya, senyuman Javiero kali ini terlihat begitu tulus. Sangat amat tulus. Johnny dan David yang sadar akan hal tersebut, saling melemparkan pandangan satu sama lain—merasa bingung dengan Javiero.

Pada akhirnya, Johnny dan David pun ikut melihat apa yang membuat Javiero tersenyum dengan tulus seperti itu. Ketika mereka berdua tahu kalau yang dilihat Javiero adalah seorang perempuan, Johnny dan David langsung mendecakan lidah mereka. Pantas saja Javiero sampai segitunya, orang yang dia lihat adalah seorang perempuan,

“Yaelah, cewek lagi cewek lagi.” sindir David dengan suara yang keras sehingga membuat Javiero tersadar dari lamunannya, namun dia sama sekali enggan untuk mengalihkan pandangannya dari wanita itu.

“Cantik.” gumam Javiero, yang membuat Johnny juga David memutar bola mata mereka. Berikan Javiero sepuluh ribu perempuan di depan matanya, pasti mereka semua akan Javiero sebut cantik.

Javiero terdiam sesaat ketika matanya mengobservasi lebih lama wajah cantik gadis itu. Dia ingat, kalau pagi tadi, dia bertemu gadis itu di apartement yang ditinggali oleh perempuan yang menjadi partner one night standnya. Mengingat hal itu, Javiero langsung bangkit dari duduknya, dan berjalan keluar. Lelaki itu mengabaikan suara panggilan Johnny dan David.

Sesampainya di luar. Javiero langsung memanggil perempuan yang belum ia ketahui namanya itu namun sudah cukup berhasil membuat Javiero tertarik. Gadis itu menoleh ke samping. Mereka saling menatap cukup lama. Gadis itu sepertinya sadar kalau Javiero adalah sosok laki-laki yang ia temui tadi pagi di lift apartementnya. Tidak lama setelah itu, gadis itu langsung bangkit dari jongkoknya. Kini dua insan itu sudah basah akibat terkena sisa-sisa air hujan yang turun membasahi bumi,

“Lo yang tadi pagi di lift apartement kan?” Javiero bertanya, dia ingin memastikan, takut kalau dirinya salah orang.

Gadis itu menganggukan kepalanya, “kamu ngapain disini?” gadis itu balik bertanya.

“Gue kuliah di kampus Neo.” jawab Javiero sembari tertawa pelan, “lo juga kuliah disana?”

“Iya.” jawab gadis itu.

“Wow, what a coincidence.” katanya sembari tersenyum tipis. Lalu, Javiero pun mengulurkan tangannya, berniat untuk berkenalan dengan gadis di depannya ini, “kenalin gue Javiero, gue anak FH angkatan 2018, kalau lo?”

Wajah gadis itu langsung berubah setelah mendengar nama lelaki dihadapannya ini. Dia seperti ketakutan, membuat Javiero terdiam karena kebingungan. Kenapa gadis ini bereaksi seperti itu terhadapnya. Dan, klimaksnya, perempuan itu tidak membalas jabatan tangan Javiero dan langsung berlari begitu saja menerobos hujan. Membuat Javiero dengan nekat mengejar gadis itu.

Untung saja langkah gadis itu sangat lambat, jadi Javiero bisa dengan cepat meraih tangan sang puan, dan membuat gadis itu tidak bisa kabur,

“Lepasin!” berontak gadis itu seperti ketakutan, semua orang yang tengah berteduh dipinggir jalan memperhatikan Javiero dan si gadis ini. Mereka berdua benar-benar menjadi pusat perhatian sekarang.

“Lo kenapa? Gue salah apa? Perasaan tadi pagi lo baik-baik aja sama gue, kenapa lo sekarang begini?” Javiero bertanya dengan heran, tangannya masih memegang pergelangan tangan gadis itu lumayan kuat, membuat sang puan tidak memiliki daya dan upaya untuk melepaskan diri dari Javiero.

“Karena lo Javiero! Lo playboy, lo suka party, suka mabok, dan suka tidur sama sembarang perempuan. Gue gak mau jadi next target lu, mendingan lu cari perempuan lain, gue gak semurahan itu. Sekarang lepasin tangan gue sebelum gue teriak!”

Javiero bukanlah sosok pria yang memikirkan pandangan orang terhadap dirinya.

Tapi ketika gadis ini yang berbicara, entah kenapa, hal itu memukul diri Javiero. Lelaki itu termenung, dan tangannya lama kelamaan melemas lalu melepaskan genggaman tangannya kepada sang gadis. Perempuan itu meninggalkan Javiero yang masih berdiri di tempatnya sambil terdiam dan merenung,

“Wow, seburuk itu kah gue? Sampai buat orang takut sama gue?”


“Ya Allah, please tolong, semoga Ambu belum masuk kelas.”

Kalimat harapan itu terus Joelle lafalkan di dalam hatinya, seraya kakinya melangkah dengan terburu-buru agar cepat sampai menuju pintu liftnya yang ada di ujung lorong unit apartementnya. Penampilan Joelle bisa dibilang sangat amat tidak rapih hari ini, bahkan wajah cantiknya pun belum sama sekali di polesi make up. Rambut panjangnya yang berwarna hitam itu juga belum sama sekali ia sisir. Untungnya, Joelle diberikan kelebihan oleh Tuhan, mau seberantakan apapun dirinya, gadis itu tetap terlihat cantik.

Kaki itu kini sudah berdiri tepat di depan pintu lift. Joelle menekan tombol lift ke bawah. Setelah kurang lebih 2 menit menunggu, pintu lift terbuka, gadis itu buru-buru masuk ke dalam sana—sebelum pintu lift tertutup, Joelle menekan tombol 1 di samping pintu lift, setelah itu pintu lift pun tertutup. Di dalam lift, Joelle tidak bisa tenang sama sekali, gadis itu terus melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Argh! Sial! Gara-gara semalam dia memikirkan siapa sosok Javiero hingga larut malam, gadis itu jadi bangun terlambat.

Karena terus merasa gelisah, hawa di sekeliling Joelle entah kenapa terasa panas, padahal suhu di dalam lift ini lumayan dingin. Maka dari itu, Joelle memutuskan untuk mencepol seluruh rambutnya dengan asal. Sembari Joelle mencepol rambutnya, lift tiba-tiba behenti di lantai 4, dan pintu lift pun terbuka. Joelle tidak sadar akan hal itu, dia bahkan tidak tahu kalau yang masuk ke dalam lift itu adalah seorang lelaki. Dan, kini lelaki itu sudah berdiri disamping Joelle, sambil diam-diam mencuri pandang kepadanya.

Selesai sibuk dengan rambutnya. Joelle melirik ke sebelah kiri—tepat ke arah lelaki yang berdiri di sana, dia mengangguk sopan seraya memperlihatkan senyuman manisnya. Pria itu terhenyak ketika sang puan memberikan senyuman manis kepadanya, namun detik berikutnya dia turut membalas senyuman manis itu. Dan mulai memberanikan diri untuk membuka suaranya,

“Tinggal di unit berapa?” tanya lelaki itu dengan nada suara seramah mungkin.

“Unit 7.” jawab Joelle tidak kalah ramahnya, “masnya disini tinggal di unit berapa?” Joelle balas bertanya.

“Gue bukan penghuni apart ini, gue kesini karena nginep di apart temen aja, soalnya apart gue lagi di benerin. Pipanya bocor, jadi apart gue agak banjir gitu sekarang.” jelas lelaki itu dengan detail.

Joelle mengangguk-anggukan kepalanya paham. Sebulan setelah dia pindah ke apartement ini, dia pernah mengalami hal yang sama seperti yang di alami oleh pria ini, jadi Joelle tahu rasanya dia harus menginap di rumah temannya selama apartementnya di benarkan oleh tukang,

“Mau kuliah, ya?” lelaki itu kembali bertanya, dan Joelle menjawabnya dengan anggukan kepala.

Baru lelaki itu mau bertanya dimana Joelle berkuliah, lift ternyata sudah sampai di lantai 1, dan otomatis pintu lift pun sudah terbuka, Joelle buru-buru berpamitan dengan lelaki yang tidak dia ketahui identitasnya itu dan langsung jalan keluar meninggalkan lelaki itu untuk menyusul tukang ojek online yang sudah menunggunya di depan pintu lobby,

“Fuck, maybe next time.”

Lelaki itu bergumam sambil matanya menatap tajam punggung Joelle yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya.


Jani tahu kalau di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Apa yang terjadi kepada dirinya adalah apa yang sudah Tuhan takdirkan.

Hari ini, Jani ditakdirkan untuk bertemu kembali dengan laki-laki yang pernah hampir menjadi pacarnya ketika masa-masa kuliah dulu. Jevano, namanya. Jani jelas terkejut, dia tidak pernah menyangka kalau ternyata dokter yang menanganinya adalah mantan lelaki yang pernah dekat dengannya.

Tidak hanya Jani yang terkejut, Jevano pun merasakan hal yang sama. Lelaki itu tidak pernah nyangka kalau dia akan bertemu dengan Jani, dengan keadaan gadis itu—ah wanita itu sudah bersuami. Lelaki itu hanya bisa menelan pil pahit sembari tersenyum. Penyesalan menghantui dirinya. Batinnya terus merapalkan kata-kata,

“Seandainya gue gak telat.”

“Seandainya gue gak cemen dan ngeiyain gitu aja waktu Jani minta pergi.”

“Seandainya gue jelasin semuanya.”

Jefri, dia jelas mencium bau-bau aneh dari gelagat Jani dan Jevano. Tapi, lelaki itu lebih memilih untuk diam dan bersikap biasa. Dia sudah sangat amat dewasa, dan dia tahu cara memposisikan dirinya. Sekarang, bukan waktu yang tepat untuk Jefri menginterograsi istrinya.

Pemeriksaan kandungan Jani pun sudah di lakukan lima menit yang lalu. Sekarang dua pasangan suami istri itu duduk bersebrangan dengan Jevano. Suasana benar-benar awkward. Padahal biasanya Jevano selalu mengajak pasiennya untuk bersenda gurau, tapi untuk saat ini, menatap mata Jani pun lelaki itu tidak sanggup.

Jefri berdehem cukup keras yang berhasil membuat Jani serta Jevano terkejut. Lelaki itu tidak tahan dengan situasi seperti ini,

“Saya gak perduli dengan apa yang terjadi diantara kalian di masa lalu. Sekarang tolong kasih tau keadaan anak saya.” pinta Jefri dengan suara baritonnya yang terkesan dingin dan tegas.

Jani menciut mendengar suara tegas dan dingin Jefri. Gadis itu diam-diam langsung menggenggam tangan Jefri, membuat sang suami melirik ke arahnya sebentar dengan datar, lalu kembali fokus kepada Jevano di hadapannya,

“Oh baik, maaf saya kurang fokus.” Jevano tertawa sumbang, lalu melanjutkan ucapannya, “sesuai dengan pemeriksaan, kandungan Ni—maksud saya Ibu Jani sudah masuk minggu ke-4. Puji Tuhan, kandungan Ibu Jani sehat dan kuat.”

“Apa ada pantangan makanan untuk…..” Jani terdiam sejenak, ia bingung apa dia harus berbicara dengan formal atau tidak dengan Jevano. Namun, dari raut wajah Jevano seperti memberikan syarat kepada Jani agar gadis itu bicara biasa saja, “gue?” cicit Jani, diam-diam matanya melirik Jefri yang sedari tadi hanya memasang wajah datar. Cemburu, pria itu.

“Gak ada, tapi mengingat kalau lu punya maag yang emang udah akut, jadi tolong jangan sering-sering makan pedes dan jangan telat makan. Kalau semisal mual-mual itu hal yang wajar, lo bisa bedain kan mana mual karena kandungan lo dan mual karena maag lo?”

Jani mengangguk paham.

Jefri semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua di masa lalu. Dia mungkin harus menanyakan ini kepada Jani, tapi nanti, setelah dirinya benar-benar bisa menenangkan diri, karena jujur, rasa cemburunya sekarang mungkin bisa saja menyakiti hati Jani,

“Dan, untuk urusan berhubungan suami istri, itu bisa dilakukan, karena janin Jani sangat sehat dan kuat.” ucap Jevano disertai senyuman manisnya, “kalau begitu, saya tulisin dulu resep vitamin untuk Jani.”

Sementara Jevano menuliskan resep vitamin untuk Jani. Kedua pasangan suami istri itu—Jevano dan Jani, hanya saling diam, genggaman tangan pun seketika dilepas begitu saja oleh Jefri, membuat Jani panik, bingung, sekaligus takut. Mata gadis itu memanas seraya menatap Jefri yang enggan untuk melirik ke arahnya.

Setelah resep vitamin itu selesai di tulis oleh Jevano. Jefri dan Jani pun berpamitan. Jani berpamitan dengan sangat ramah, berbeda dengan Jefri, lelaki itu terlihat sangat angkuh dan sombong. Dia bahkan menatap Jevano dengan tatapan sinis dan meremehkan. Kalau dirinya sedang tidak bertugas, sudah Jevano pastikan wajah Jefri penuh akan luka lebam akibat pukulannya,

“Jef.” panggil Jani yang sudah duduk di kursi penumpang paling depan, dengan Jefri yang berada disampingnya.

Ya, setelah mengantri untuk mengambil vitamin Jani. Akhirnya mereka berdua pun pulang ke rumah. Hati Jani gelisah melihat sikap Jefri yang begitu dingin kepadanya. Kalau Jefri cemburu dengan Jevano, seharusnya dia tidak bersikap sejauh ini? Karena Jevano dan Jani sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, ditambah lagi sekarang Jani sudah memiliki suami dan tengah mengandung. Tidak bisakah Jefri untuk berpikir dengan logis?

Jefri tidak menyahut, dia sibuk melajukan mobilnya dengan satu tangannya, dan wajahnya yang terlihat datar, serta tatapan matanya yang tajam menyiratkan api cemburu yang menyulut dirinya,

“Kayaknya aku jelasin sekarang aja deh sama aku. Jevano itu dia mantan cowok yang pernah deket sama aku waktu kuliah. Aku gak tau kalau ternyata dia dokter kandungan aku, karena ini kan aku appointment juga di daftarin sama Kak Dira.”

Jefri hanya mendengar, tidak memberikan tanggapan apa-apa,

“Kamu gak seharusnya cemburu, karena faktanya aku udah nikah sama kamu, kita bakal punya anak, dan dia, ya dia cuma masa lalu aku. Aku sama dia juga gak pernah lebih dari sekedar dekat.”

Jefri masih diam,

“Jef, ayo dong, kamu lebih tua dari aku, tapi kenapa sikap kamu kayak anak kecil gini sih?”

Jefri masih diam, dan Jani pun tidak menyerah, dia akan terus membujuk suaminya ini,

“Hei… Papa, masa mau diemin aku kayak gini sih? Kamu gak mau nyanyiin apa-apa buat anak kamu? Kamu gak mau pegang anak kamu kayak kemarin malem? Sayang.”

“Aku lagi emosi, aku bisa aja ngelakuin hal buruk ke kamu. Sekarang aku anterin kamu ke rumah, setelah itu aku pergi, aku gak bakal pulang malem ini.” ucap Jefri dengan ketus.

“What!?” Jani memekik tidak percaya, Jefri hanya diam. Gadis itu benar-benar tidak habis pikir dengan pola pikir Jefri, “Jef, ini masalah kecil loh, kamu gak perlu sampai kabur kayak begini? Kamu gila ninggalin aku sendirian di rumah?” lanjut Jani terheran-heran.

Jefri juga tidak mau meninggalkan Jani sendirian di rumah. Namun, amarah dan emosinya saat ini membuat dirinya harus keluar dari rumah, untuk menenangkan pikirannya sementara,

“Aku gak mau kamu pergi malem ini.” larang Jani dengan tegas.

“Aku harus pergi.” Jefri tetap teguh dengan pendiriannya, bahwa malam ini dia akan pergi, dan mungkin dia akan mengirimkan Bi Inah untuk menjaga Jani.

“Ya udah terserah. Kamu mau pergi silahkan, tapi kalau besokannya kamu balik ke rumah dan aku kenapa-kenapa, gak usah nyalahin aku atau gak usah nyesel! Ini semua karena perbuatan kamu sendiri!”

Setelah itu, tidak ada yang membuka suara, bahkan sampai mobil itu berhenti di depan kediaman keduanya, dan sampai Jani turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Tidak ada pemandangan bucin seperti biasanya.

Jefri di dalam mobilnya melihat punggung Jani yang bergetar karena menangis berjalan masuk ke dalam rumah. Ia memukul stang mobilnya, dan mengacak-acak rambutnya,

“Jevano anjing!” umpatnya.

Setelah itu, Jefri menekan pedal gas, menjalankan mobilnya meninggalkan kawasan rumah dengan kecepatan diatas rata-rata. Kini Jefri terlihat seperti tengah menantang maut.

Ini adalah pertengkaran pertama mereka selama kurang lebih 1 bulan menikah.


Keesokan harinya, Jani kembali menjalankan tugasnya sebagai istri dari Jefri, setelah seharian kemarin perempuan itu hanya tidur diatas ranjangnya karena sedang kurang enak badan.

Oh iya, mengenai test kehamilan, Jani belum melakukannya. Wanita itu belum sempat, karena sibuk membuatkan sarapan sekaligus bekal makan siang untuk suaminya. Jadi mungkin, test itu akan dilakukan kalau Jefri sudah pergi ke kantor,

“Saya kadang suka mikir, cowok-cowok di luar sana pasti iri kalau liat siapa istri saya.” ucap Jefri di tengah-tengah sesi sarapan mereka dengan mulutnya yang masih dipenuhi oleh nasi goreng seafood kesukaan Jani.

Jani tertawa pelan—sebagai respon atas ucapan Jefri barusan,

“Soalnya kamu itu pinter masak, cantik, badannya sexy. Pokoknya kamu sempurna.” lanjut Jefri memuji Jani seraya menatap mata istrinya itu disertai dengan senyum tulus di bibirnya.

Wajah Jani memanas gadis itu yakin pasti sekarang pipinya merona merah karena salah tingkah dengan pujian Jefri barusan. Ya, sudah satu bulan mereka bersama, tapi rasanya Jani masih selalu salah tingkah tat kala suaminya ini memujinya cantik,

“Kamu ini udah tua kerjaannya gombal terus ya.” ledekan Jani ini sebenarnya hanya untuk menutupi perasaan salting yang mendera dirinya.

“Hei, emangnya yang gombal boleh anak-anak seumuran kamu doang?” Jefri memasang ekspresi wajah kesal yang dibuat-buat.

Jani hanya mengangkat kedua bahunya seraya tersenyum kecil. Lalu ia lanjut menyantap nasi goreng seafood yang hari ini entah kenapa rasanya dua kali lipat lebih lezat, Jefri saja sampai sudah dua kali nambah,

“Oh iya, Jef.” tiba-tiba Jani teringat akan sesuatu yang sudah cukup lama ingin ia tanyakan kepada Jefri.

“Hm?” sahut Jefri seraya menatap istrinya itu dengan penasaran.

“Dulu waktu aku pertama ngechat kamu, kamu bilang kalau, kita pernah ketemu kan?” Jefri mengangguk, Jani melanjutkan, “nah, jujur aku keingetan kamu. Aku kayak familiar sama kamu, kayak pernah ketemu kamu. Kita emang pernah ketemu ya sebelumnya? Dimana?” tanya Jani bertubi-tubi.

“Di club.” jawab Jefri.

Jawaban Jefri berhasil membuat Jani membelalakan matanya. Seketika ia ingat tentang laki-laki yang ia sangka lelaki hidung belang yang saat itu terus memperhatikannya, yang hampir Jani datangi dan hajar mukanya. Iya, saat itu, Jani memang hampir memukuli Jefri karena dia merasa tidak nyaman diperhatikan terus oleh suaminya itu, tapi untungnya, kedua kakaknya pada malam itu segera datang,

“Waktu itu kamu yang paling bersinar disana, kamu narik perhatian saya, ya udah saya perhatiin kamu terus, sampai pada akhirnya, saya ngeliat kakak kamu dateng, saya jadi makin penasaran sama kamu, karena saya temenan baik sama Mba Dira dan Mba Dira nyeret kamu waktu itu.” lanjutnya menjelaskan kepada Jani yang masih diam dengan wajah shocknya.

“Jadi…. itu alasan kamu juga yang kayak semangat banget sama perjodohan ini?” tanya Jani, Jefri mengangguk seraya menyuapkan nasi goreng seafood ke dalam mulutnya.

“Astaga.” Jani mendesah, dia tidak menyangka kalau pertemuannya dengan Jefri akan seperti ini, “kamu harus tau Jef, aku dulu pingin banget mukul kamu karena kamu kurang ajar ngeliatin aku terus, tapi beruntung kakak aku duluan dateng.” lanjutnya disertai tawa renyah, Jani gelengkan kepalanya mengingat-ingat kejadian itu.

“Harusnya kamu pukul saya, biar saya bisa kenalan sama kamu saat itu juga.”

“DIH??? Ngebet banget kayaknya pengen kenalan sama aku.”

Jefri berlagak congak, “ya gimana ya, orang ganteng kayak saya begini, kalau udah liat cewek cantik itu bawaannya pengen ngajak kenalan terus.”

“Oh, jadi semua cewek cantik yang kamu temuin mau kamu ajak bercanda gitu?” Jani bertanya dengan nada curiga dan sedikit agak galak.

“Bukan gitu maksudnya!” Jefri melanjutkan, “ceweknya cuma kamu doang.”

“Awas kalau kamu macem-macem, gak bakal kamu bisa liat muka aku lagi!” ancam Jani, yang membuat Jefri takur dan ketar-ketir.

“Iya enggak sayangku.” Jefri meyakinkan istrinya itu dengan begitu lembut. Bagaimana bisa Jefri jatuh cinta dengan perempuan lain, saat seluruh jiwa dan raganya hanya untuk Jani seorang.

Jefri mengelus rambut Jani dengan lembut, lalu menarik kepala itu pelan ke dekatnya, dan Jefri mengecup pucuk rambut Jani lumayan lama,

“Saya cinta sama kamu, dan akan terus kayak gitu. Saya gak tau takdir ke depannya gimana, tapi saya akan tetep jaga kamu dan kepercayaan kamu. Kamu gak usah khawatir ya?” suara Jefri begitu menenangkan batin Jani, membuat Jani menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Udah sana kamu ke kantor, nanti terlambat lagi kalau di lama-lamain.”

Bukannya segera bangkit dari duduknya, Jefri malah merapatkan tubuhnya dengan tubuh Jani. Wanita itu kemana ini akan berakhir. Untuk mengantisipasinya, Jani duluan yang menghindari Jefri dengan berdiri dari duduknya, membuat Jefri terkejut,

“Sayang?” Jefri memekik tak percaya apa yang dilakukan istrinya. Benar-benar berlebihan.

“Ke kantor ah sana buruan.” paksa Jani, “aku gak mau diapa-apain dulu sama kamu, sampai aku tau ada bayi apa enggak di dalam perut aku. Udah sana cepet ke kantor.”

Jefri menghembuskan nafasnya kasar. Pria itu terpaksa menuruti perintah istrinya. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan dengan gontai mendekati sang istri. Jani menahan tawanya melihat Jefri yang seperti ini,

“Aku ke kantor dulu.” ucapnya malas.

“Semangat kerjanya ya suami!” ucapan Jani itu terdengar seperti ledekan bagi Jefri, yang membuat lelaki itu semakin badmood. Melihatnya hanya bisa membuat Jani mengulum senyum.

“Cium dulu.”

Jefri dan Jani pun lantas berciuman bibir. Menimbulkan suara muach setelah ciuman itu berakhir.

Lalu, Jefri pergi ke kantornya. Dan kini, tersisa Jani sendiri di rumah. Ia teringat kembali akan empat testpack yang dibeli oleh Jefri kemarin. Detik ini, Jani bertekad untuk melakukan test. Apapun hasilnya.

Gadis itu pergi ke kamar untuk mengambil empat testpack yang masih berada di nakas. Lalu, ia pergi ke dapur untuk mengambil wadah kecil untuk menampung urinenya. Sehabis itu, Jani kembali ke kamarnya dan masuk ke kamar mandi (yang kebetulan memang ada di dalam kamar). Ia meletakan wadah kecil itu tepat di depan lubang pipisnya, lalu setelah itu, Jani membuang cairan seninya di dalam wadah tersebut.

Jani membuka salah satu test pack, lalu mencelupkan ujung putih dari test pack tersebut ke dalam genangan air seni milik Jani di dalam wadah kecil tersebut hingga batas Max. Setelah menunggu selama kurang lebih 5-10 detik, Jani mengangkat test packnya. Dia tidak mau terburu-buru, jadi dia menaruh test pack tersebut di penutup toilet duduk di kamar mandi ini.

Jani juga melakukan test dengan 3 testpack berikutnya.

Jani menunggu 10 menit untuk melihah hasil dari test pack tersebut. Hal itu ia lakukan agar supaya warna garisnya tidak berubah lagi. Dengan hati yang berdebar, Jani membalikan keempat testpacknya untuk ia lihat hasilnya.

Dan setelah keempat testpack tersebut di balik. Jani terharu melihat hasilnya.

Air mata menggenangi mata indahnya, senyum bahagia menghiasi wajahnya.

Ya, Jani positif. Dia hamil!