Dari dalam kamar, Jani dapat mendengar suara gurunggusuh di depan kamarnya yang disebabkan oleh Jefri. Gadis itu tertawa kecil, ternyata Jefri sama seperti lelaki yang lainnya, yang kalau sudah bernafsu benar-benar menjadi manusia yang bergajulan. Tapi tidak masalah bagi Jani, gadis itu butuh sisi itu di dalam diri Jefri, agar hidup dan kisah cintanya bersama pria itu tidak monoton.
Tiba-tiba saja, pintu kamar Jefri dan Jani dibuka dengan kencang oleh lelaki itu. Jani kaget—ditambah lagi ketika dia melihat kilatas nafsu yang terpancar dari mata pria itu. Kini Jani menjadi takut, sangat amat takut, padahal tadi dia sudah siap untuk melayani Jefri secara batin, tapi semuanya buyar ketika dia melihat bagaimana tatapan mata Jefri ketika sedang bernafsu.
Lelaki itu mendorong pintu kamarnya sendiri menggunakan kakinya sehingga menimbulkan suara dentuman keras, matanya masih menatap Jani dengan lapar. Setelah pintu tertutup, ia buru-buru menghampiri Jani, dan menidurkan dirinya disamping gadis itu yang masih kosong. Dapat Jefri rasakan tubuh istri cantiknya itu bergetar karena ketakutan.
Jefri menjadi tidak sampai hati untuk menggempur Jani. Karena seperti yang kalian ketahui, kalau sudah berada di atas ranjang, Jefri adalah monster, dan bisa saja dia membuat Jani semakin takut dan menangis, belum lagi tadi mereka sempat cek cok kecil dan juga besok mereka akan pergi honeymoon. Jadi sepertinya, lebih baik Jefri bermain sendiri lagi malam ini, daripada dia membuat Jani kenapa-kenapa,
“Jani.” panggil Jefri dengan suara yang begitu lembut. Jani melirik Jefri sebagai respon, dapat lelaki itu rasakan binar ketakutan yang terpancar dari matanya, “jangan maksain diri kalau kamu belum siap.” sambung Jefri sembari tersenyum tipis.
Jani mengigigit bibir bawahnya. Demi Tuhan, Jefri ingin berteriak kepada gadis itu untuk tidak melakukan hal gila itu. Karena hanya melihat Jani begitu saja libido Jefri naik, dan otomatis pusat tubuh Jefri dibawah sana pun bangun, minta untuk dipuaskan oleh sang puan,
“Gu—aku sering denger kamu lagi masturbasi di kamar mandi, sampai nyebut-nyebut nama aku. Aku gak enak sama kamu, kamu pasti capek kan main sendiri? Aku mau Jef, aku mau jalanin tugas aku sebagai istri kamu. Tapi aku takut…”
“Takutnya kenapa?” tanya Jefri, sembari menggeserkan tubuhnya ke samping Jani, membuat tubuh mereka semakin dekat dan mengikis jarak diantara mereka.
Nafas Jani seperti tercekat ketika Jefri sudah semakin merapatkan tubuh keduanya. Peluh dingin menghiasi pelipis Jani. Entah bagaimana bisa, tetapi pusat tubuh Jani yang berada di bawah sana, berkedut dan libido wanita itu pun menjadi naik, meskipun dia masih merasa takut dan tidak yakin,
“Hei, kok ngelamun?” suara Jefri melembut, tangannya sudah ia gunakan untuk mengelus paha mulus Jani yang terekspose, membuat nafas Jani semakin tersendat. Sialan, kenapa juga dia harus menggoda Jefri disaat dirinya sendiri belum sama sekali siap untuk melayani nafsu suaminya.
Jani sebisa mungkin untuk mencoba mengendalikan nafsunya sendiri agar tidak meledak begitu saja. Dia tidak siap, dia takut, bayangan-bayangan ucapan Anindita, sahabatnya terus menghantui pikirannya sekarang. Brengsek! Gadis itu mengumpat di dalam hatinya.
Persetan dengan rasa takutnya. Ia harus melawan. Tidak mau munafik, Jani membutuhkan sentuhan lebih dari Jefri. Terbukti dari celana dalam hitamnya yang terasa basah akibat nafsu birahi yang menggerayangi tubuhnya malam ini,
“Kamu masih mau diem aja?” Jefri bertanya sembari tangannya aktif mengelusi paha bagian dalam milik Jani. Demi Tuhan, Jani mencoba untuk menahan suara desahan yang keluar dari dalam mulutnya dengan menggigit bibir bawahnya.
Melihat Jani yang mati-matian menahan nafsu dengan mencoba untuk tidak mendesah sembari menggigit bibir bawahnya, membuat Jefri kalang kabut. Ia membasahi bibir bawahnya, sebelum kemudian berkata,
“Seems like someone took my job.” ucap Jefri yang kini jarinya sudah bermain di bagian luar celana dalam istrinya itu. Jani yang semakin terangsang tidak memperdulikan ucapan Jefri yang tidak ia mengerti itu, kepalanya pusing merasakan dua jari Jefri yang mengelus kewanitaannya dari bagian luar, “you, love. You, who have taken my job. Don't bite your lips, honey. That's my job.” sambungnya dengan setengah berbisik tepat di telinga Jani.
Gadis itu sudah tidak bisa menahannya lagi. Dia biarkan suara desah kenikmatan keluar dari mulutnya yang setengah terbuka, dengan matanya yang terpejam, dan tangan yang ia gunakan untuk meremas kedua payudara besarnya sendiri. Pemandangan ini, adalah pemandangan yang selalu menjadi fantasi Jefri selama 1 minggu ini,
“Nghhh… Jefhhh… Shhhh.” racaunya tidak karuan, tangan Jani semakin brutal meremas dua gundukan kenyal itu.
“Buka ya celananya.” pinta Jefri dengan lembut, Jani pun mengangguk mengiyakan.
Jani membukakan celana dalam milik Jani, dengan Jani yang sedikit menaikkan badannya, membantu Jefri memudahkan tugasnya agar celana dalam itu bisa terlepas dengan sempurna. Setelah celana dalam milik Jani terlepas, Jefri tidak lantas melemparnya ke lantai, tetapi ia hirup celana dalam itu, membuat Jani jijik dibuatnya,
“Jef, jangan dihirup gitu ih, bau.” risih Jani.
Jefri menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “i love you pussy smell.” ucapnya dengan suara yang rendah, membuat Jani tersenyum malu-malu dan salah tingkah.
Seketika, ide gila muncul di dalam otak kotor Jefri. Ya, kalau sedang dalam kondisi bernafsu seperti ini, ide ide jorok selalu banyak bermunculan di otak Jefri, dan rata-rata semua ide itu adalah fantasinya yang selama ini tidak pernah ia salurkan,
“Sayang.” panggil Jefri.
“Hm.” Jani menyahut.
“Kalau sambil nyamping-nyampingan gini ga enak. Coba kamu duduk di paha aku.” pinta Jefri yang jelas membuat Jani mengerutkan keningnya, merasa bingung dan tidak familiar dengan permintaan Jefri.
“Gak mau ah kasian kamu.”
“Kasian apa?”
“Badan aku berat, Jefri.”
Jefri mendecak, “kamu ini yah ngeremehin suami sendiri banget. Mau kamu seberat apapun, saya tetep kuat, saya selalu ngegym asal kamu tahu.”
“Ih ya udah sih kenapa mesti sewot?” padahal Jefri bicara dengan nada yang biasa, dan malah Jani yang terdengar sewot.
“Iya maaf sayang.” ucap Jefri lembut, ia benar-benar tidak mau semua ini gagal, jadi sebisa mungkin ia meminimalisir pertengkaran yang bisa saja terjadi, “ayo sini.” sambung Jefri sembari kembali menepuk-nepuk pahanya.
Jani tidak bergerak dari tempatnya. Jujur dia ragu, dia benar-benar takut kalau bobot tubuhnya membuat Jefri kesakitan atau pegal atau bagaimana, meskipun sebenarnya Jefri tidak mungkin seperti itu karena tubuhnya yang dipenuhi oleh otot-otot gahar, tapi Jani tetap merasa takut dan was-was.
Namun, keraguan itu tidak berlangsung lama. Tat kala melihat milik Jefri yang menyembul dari balik celananya. Jani terkejut sekaligus takut karena dilihat dari luar saja, benda “pusaka” itu berukuran american size yang mana memang sangat besar, namun ketakutan itu seketika hilang dengan rasa penasaran. Ya, Jani penasaran, bagaimana rasanya ketika bokong sintal gadis itu bertemu dengan kejantanan besar milik Jefri.
Maka, untuk merealisasikan rasa penasarannya. Jani berpindah posisi. Ia mendudukan bokongnya tepat di pusat tubuh Jani. Desahan lolos dari mulut keduanya. Jani yang mendesah karena gesekan antara miliknya dengan milik Jefri, dan Jefri yang mendesah karena miliknya yang sekarang sudah bersentuhan dengan milik Jani,
“Kamu ngangkang dong.” pinta Jefri lagi.
“Aku udah duduk loh di deket otong kamu nih, masa kamu masih minta aku buat ngangkang lagi sih.” protes Jani.
Jefri tertawa renyah ketika mendengar Jani menyebutkan kepemilikannya dengan kata otong. Itu kata yang sering ia dengar ketika kecil, kata ganti yang selalu diucapkan sang mama saat memberikan pelajaran sex education kepada Jefri kecil,
“Ya emang harus ngangkang sayang, kalau rapet gini gak enak.” Jefri masih meminta dengan lembut.
Jani memutar bola matanya malas, dan dengan gerakan perlahan, ia lebarkan kakinya, membuat pusat tubuhnya terlihat jelas, dan ini jelas mempermudah apa yang akan Jefri lakukan kepada istrinya malam ini,
“Are you ready?” Jefri bertanya dengan berbisik seduktif, sembari menaruh dagunya yang tidak terlalu lancip itu di bahu gadisnya.
Jani menghela nafasnya berat, “im ready.”
Jefri langsung melakukan tugasnya sekarang.
Ia mengelus-elus klitoris Jani menggunakan hampir seluruh jarinya dengan gerakan yang lumayan cepat untuk permulaan. Jani jelas langsung mengeluarkan desahan kencangnya ketika jari-jari itu dengan lihai memainkan klitorisnya,
“Fuckhh… Jefhh… Nghhh…”
“Enak sayang?” tanya Jefri dengan suara yang berat, nafasnya menggebu-gebu, nafsu lelaki itu sudah tidak bisa dibendung lagi. Semoga, Jani tidak habis malam ini, karena besok mereka harus pergi ke Maldives untuk honeymoon.
“Enakhhh ahh terushh.” pinta Jani sembari tangannya membantu untuk menggerakan jari-jari Jefri agar bergerak semakin cepat.
Setelah puas bermain-main dengan klitoris sang istri, lelaki itu langsung memasukan dua jarinya dalam-dalam secara sekaligus ke lubang vagina Jani, yang membuat gadis itu berteriak merasakan perih, dan tubuhnya pun sedikit terangkat saking terkejut dan perihnya. Tidak perduli dengan teriakan Jani dan keterkejutan istrinya itu, Jefri langsung memaju mundurkan jarinya dengan gerakan yang pelan namun pasti. Dia sengaja melakukan ini, untuk membiarkan Jani terbiasa dengan jarinya yang berada di lubang kenikmatan itu,
“Ahhh… nghhh…” lirih Jani, ia menyenderkan seluruh punggungnya ke dada Jefri.
“Mau cepet gak?” Jefri bertanya dengan suara beratnya.
Jani mengangguk, “tapi gak sakit?” tanya Jani dengan ragu.
Jefri mengecup pipi sang istri,
“Enggak sayang, kan udah basah, jadi gak bakalan sakit. Mau ya?”
“Iya.”
Detik selanjutnya, Jani menyesal karena sudah mengizinkan Jafi untuk menggerakan jari-jari di dalam sana dengan cepat.
Karena demi Tuhan, untuk detik-detik pertama rasanya lumayan sakit dan ngilu, namun, detik selanjutnya, rasa sakit dan ngilu itu bercampur dengan rasa nikmat yang tiada tara. Membuat suara desahan yang Jani keluarkan pun berubah menjadi desahan penuh kenikmatan dan nafsu yang terdengar seperti lantunan lagu indah di telinga Jefri,
“Ahh Jefhhh… Enakhh sayanghh… Pleasehh, terushh… Ouchhhh.”
Desahan demi desahan Jani lontarkan, dan itu semakin membuat Jefri mempercepat tempo permainan jarinya. Dia bahkan menambahkan dua jarinya di sela-sela permainan mereka ini. Itu semakin membuat Jani menggelinjat kenikmatan, ditambah lagi Jefri mengkobel lubang kenikmatan itu dengan tempo yang sangat amat cepat. Membuat Jani kehilangan akal sehatnya sekarang.
Jani berteriak kenikmatan tat kala Jefri menyentuh sweet spot itu. Spontan, Jani menggerakan pinggulnya berlawanan arah saking nikmatnya. Terdengar suara desahan Jefri tepat di telinganya,
“Ouchh yeshh, theressshhh…. Jefrihhh…. fuckhhh… harder pleasehh…. anjinghhhh.”
“Bangsathhh, Janihhh, sayanghhh.”
“Jef… oh my godhhh ahhh.”
Suara desahan baik dari Jani maupun dari Jefri saling beradu menggema di segala sudut kamarnya.
Tangan Jefri yang menganggur, ia gunakan untuk mencapit kedua pipi Jani, dan membuat Jani menolehkan kepalanya ke samping. Lalu Jefri melahap bibir Jani dengan rakus, Jani melepaskan pagutannya sebentar untuk mengeluarkan desahan kenikmatannya lagi, karena ia merasa kalau dirinya akan mencapai pelepasannya sekarang. Jefri pun merasakan hal tersebut, karena kini jarinya yang ada di dalam sana terasa di jepit, membuat Jefri semakin brutal mengobel lubang kenikmatan tersebut,
“Fuckhhh… yeahhh… sayanghhh… Ahhhh…. Jefhhh….”
“Mau keluar sayang?” tanya Jefri sembari menatap wajah penuh nafsu Jani yang terkesan seksi itu dengan tatapan nyalang.
“Iyahhh… ahhh sayanghhh…”
“Keluarin aja. Sekarang.”
Cairan pelepasan pertama pun Jani keluarkan, dengan jari Jefri yang masih berada di dalam sana. Nafas Jani memburu, peluh memenuhi seluruh wajahnya. Keadaan Jefri tidak jauh berbeda dengan keadaan Jani. Lalu detik selanjutnya, Jefri melepaskan jari-jarinya dari dalam sana. Bersamaan dengan itu, Jani merubah posisinya. Dia berpindah dari pusat tubuh Jefri, lalu duduk di hadapan Jefri. Mata gadis itu menatap benda pusaka milik Jefri yang masih menyembul. Lalu ia melihat wajah Jefri yang sekarang sedang melumat sisa-sisa cairan milik Jani di jarinya.
Jani meringis jijik. Bagaimana bisa dia tidak merasa muntah ketika merasakan cairan berwarna putih itu. Kalau Jani menjadi Jefri, pasti Jani sudah buru-buru pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya,
“Jef ih, jorok.”
“Apa sayang?”
“Itu kamu jorok. Ngapain sih di jilat-jilat kayak gitu, gak ada rasa apa-apa juga.”
“Kata siapa?” tanya Jefri, “ini tuh rasa cinta kamu ke saya tau gak.”
Jani menatap malas sang suami. Lalu, sedetik kemudian pandangan gadis itu jatuh ke arah benda pusaka milik Jefri. Gadis itu menelan ludahnya, otaknya membayangkan ukuran milik Jefri yang mungkin sangat besar dan tidak akan muat di dalam dirinya.
Jefri yang sadar kalau Jani memperhatikan miliknya langsung menyeringai,
“Kenapa diliatin terus? Penasaran?” tanya Jefri dengan suara baritonnya yang menggoda.
“Takut..” cicit Jani, Jefri terkekeh gemas.
“Takut kenapa sih? Dia ga bakal ngeluarin bisa yang bikin kamu mati kok, cuma ngeluarin bisa yang bikin kamu hamil sembilan bulan aja.” canda Jefri yang dibalas dengan tatapan sinis Jani, “gak apa-apa sayang. He's yours.”
Jani benar-benar melawan rasa takutnya. Dia menyentuh benda pusaka milik Jefri, mengelusnya dari luar. Jefri mati-matian menahan desahannya, kedua tangannya meremat spresi kasur hingga buku jarinya memutih. Jani seolah tidak puas hanya mengelus benda pusaka itu dari balik celana Jefri, maka dia meminta izin kepada Jefri untuk membuka celana lelaki itu,
“Aku buka celana kamu boleh gak?” Jani bertanya.
Mata sayu Jefri menatap Jani dan mengangguk sebagai jawab, “do whatever you want baby, im yours.” ucap Jefri memberikan lampu hijau kepada Jani untuk melanjutkan aksinya lebih jauh.
Jani pun dengan cekatan membuka celana Jefri sampai ke tungkai kakinya. Dan, kini, mata Jani disuguhkan dengan pemandangan benda pusaka milik Jefri, yang sudah menegang dengan urat uratnya yang terlihat jelas. Ini benar-benar american size. Jani sendiri tidak yakin kalau itu akan muat di dalam dirinya,
“Jefri, ini gak akan muat.” lirih Jani sembari menggelengkan kepalanya.
Jefri tersenyum, “muat sayang. Ayo coba pelan-pelan pake mulut kamu.” pinta Jefri lembut.
“Hah?” Jani menggidik ngeri, “gak mau ah, ih kamu jijik tau.”
“Yaudah kalau gak mau gak apa-apa, coba pakai tangan kamu.”
“Gak apa-apa?”
“Gak masalah.”
Jani memulai aksinya, dia memegang penis Jefri, dan menggerakan tangannya naik turun. Sialan! Jefri langsung kehilangan akal sehatnya. Lelaki itu mengeluarkan suara desahan nikmatnya saat tangan Jani mempercepat temponya untuk bermain bersama bantang panjang nan besar itu,
“Gemes ih, kayak microphone.” ucap Jani terkekeh, dia memainkan milik Jefri seperti ia memainkan microphone yang ia miliki di rumah lamanya, yang selalu ia gunakan untuk mengusik Jadira ataupun Chandra.
Jefri tersenyum,
“Kalau pake mulut, kamu bakal gimana emang, Jef?” Jani terus mengoceh sembari tangannya aktif memainkan milik Jefri.
“Nghhh… gak tau…. hsshhh.” Jefri tidak bisa menjelaskan, dirinya kepalang gila dengan service Jani yang kelewat pro bagi seorang pemula.
Sebetulnya, meskipun Jani merasa jijik membayangkan benda itu berada di mulutnya. Tapi, Jani juga penasaran, apalagi sekarang libidonya yang sempat hilang, datang kembali hanya karena melihat milik Jefri yang kelewat besar ini,
“Jefri, siap-siap ya. Satu… dua… tig—hmphhh.”
Jani langsung mengulum milik Jefri ke dalam mulutnya. Diperlakukan seperti itu membuat Jefri terkejut sekaligus merasa nikmat. Miliknya yang besar memenuhi mulut Jani. Lelaki itu melirik Jani yang tengah memaju mundurkan kepalanya untuk memuaskan milik Jefri menggunakan mulutnya.
Jani melakukan “pekerjaan” mulutnya itu dengan tempo yang luar biasa cepat, sampai membuat Jefri kalang kabut dan kepalanya terasa ringan, saking nikmatnya permainan mulut istrinya itu. Kepala Jefri mendongak ke belakang, mulutnya terbuka, mengeluarkan desahan-desahan dari mulutnya yang membuat nafsu Jani menggila,
“Fuckh… Janih…”
“Damnhh.”
“You such a slut.”
“Oh my god.”
Racaua-racauan itu terus Jefri lontarkan. Jani seperti tidak perduli dengan dirinya yang terus disebut dengan kata-kata slut, bitch, whore. Dia menikmatinya, dia menikmati membuat Jefri tersiksa. Dan sepertinya, dia juga menyukai sesi foreplay dengan melakukan blow job seperti ini.
Jefri tidak tahan lagi, ia butuh ikut andil dalam permainan ini. Maka dari itu, Jefri menaruh kedua tangannya tepat di sisi atas kiri dan kanan kepala Jani, lalu menggerakan kepala Jani dengan tempo yang begitu cepat untuk memompa kejantanannya. Jani merasakan tenggorokannya yang terasa sakit karena penis besar itu memaksa menelusup ke dalam,
“You're my personal slut.”
“Bangsat.”
“Anjing setan ini enak.”
Desahan-desahan kasar benar-benar membuat Jani kembali merasakan libidonya naik. Dia membiarkan Jefri terus menggerakan kepalanya dengan lebih cepat menggunakan dua tangan kekarnya, dan membuat kejantanannya yang besar dan panjang itu merojok tenggorokan Jani lebih dalam lagi. Demi Tuhan, Jani kesakitan, tapi dia juga merasakan nikmat yang luar biasa.
Kini, dapat Jani rasakan kalau penis mikik Jefri berkedut di dalam mulutnya, menandakan kalau suaminya itu akan segera melakukan pelepasan. Dan benar saja, kurang dari 1 menit, cairan itu keluar dan memenuhi mulut Jani. Saking penuhnya, cairan putih itu sampai meleleh di sisi kiri dan kanan sudut mulut Jani,
“Oh my fucking God.”
Jefri merasa lega setelah ia mengeluarkan semua cairannya di dalam mulut Jani. Lelaki itu melirik Jani dan tersenyum,
“Saya cabut punya saya, tapi kamu telen cairan saya. Mau? Kalau gak mau, saya biarin punya saya terus ada di mulut kamu.”
Mata sayu dan penuh nafsu itu menatap Jefri dengan tatapan memohon agar lelaki itu tidak melakukan opsi kedua dan membiarkan Jani memuntahkan cairan sperma yang rasanya aneh ini,
“Saya gak akan cabut.”
Sialan!
Dengan terpaksa, Jani setuju untuk menelan cairan sperma milik Jefri yang kelewat banyak ini. Merasa puas karena sudah memanipulasi istrinya, Jefri pun mencabut penis besarnya itu dari dalam mulut Jani, dan membiarkan Jani menelan cairannya. Demi Tuhan, gadis itu benar-benar ingin muntah sekarang,
“Udah?” tanya Jefri sembari menatap mata Jani. Sang puan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “mau lanjut gak?”
“Lanjut apa?”
“Ya itu ke inti.”
Jani menggelengkan kepalanya. Meskipun dia sangat bernafsu tadi, tetapi setelah dia menelan sperma milik Jefri, membuat nafsunya seketika hilang begitu saja. Selain itu, sekarang jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, lebih baik Jani tidur—karena besok dia harus berangkat ke Jakarta untuk menaiki pesawat di bandara Soekarno-Hatta dan pergi ke Maldives,
“Ya udah sini bobo.” pinta Jefri sambil menepuk-nepuk samping kasurnya yang kosong.
Jani merangkak berpindah ke samping Jefri. Lalu Jefri menarik selimut dan menutup kedua tubuhnya dengan selimut tebal berwarna putih. Jefri membawa Jani ke dalam dekapannya, menaruh kepala gadis itu di dadanya membiarkan Jani mendengar suara ritme degupan jantung Jefri yang tidak normal,
“Thank you.” lirih Jefri seraya mengecup puncak kepala Jani.
“Your welcome.”