jaehyunetz


“Sayang, aku pulang.” Jefri membuka pintu kamarnya bersama Jani dengan hati-hati, takut kalau suara decitan pintu mengganggu waktu istirahat istrinya itu.

Tapi, untungnya, Jani sedang tidak tertidur. Gadis itu hanya tiduran di atas ranjangnya, sambil memainkan ponselnya dengan bosan. Begitu melihat Jefri yang datang, Jani langsung melempar ponselnya ke sembarang arah. Wajahnya terlihat begitu bahagia. Dia merubah posisinya menjadi duduk dengan bersandar ke senderan ranjang.

Jefri tidak bisa menyembunyikan senyumannya melihat istrinya yang menyambut kepulangannya dengan raut bahagia. Lelaki itu mendudukan dirinya di pinggiran ranjang tidur mereka. Tidak lupa, Jefri juga menaruh piring yang berisikan buah kedongdong yang sudah ia potong-potong di dapur ketika dirinya baru sampai di rumahnya ini,

“Kedongdongnya udah saya beliin, testpack juga udah saya beliin sesuai request kamu. Empat belinya.” ucap Jefri. Senyuman itu tidak menghilang sama sekali dari wajah tampannya.

“Makasih ya sayang. Maaf aku ngerepotin kamu.” tutur Jani seraya mencondongkan tubuhnya dan memberikan kecupan di pipi kiri suaminya itu.

Jefri menganggukan kepalanya, tangannya terulur dan mengacak-acak poni Jani dengan gemas. Matanya menatap mata Jani yang sayu karena kondisinya yang sekarang sedang kurang sehat (atau sedang berbadan dua) dengan penuh cinta. Demi Tuhan, Jefri tidak pernah bosan mengucapkan kata-kata ini, kalau dia sangat memcintai Jani, dan ingin terus hidup bersama Jani sampai mereka menua.

Merasa ditatap dengan sebegitu intensnya oleh sang suami, membuat alis Jani menukik tajam. Bingung akan suaminya yang menatapnya seperti itu. Jani jadi bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apa ada yang salah dirinya hari ini? Atau ada jerawat yang timbul di wajah cantiknya?

“Liatin akunya gitu banget.”

“Ya maaf, saya soalnya lagi menikmati karya Tuhan yang sempurna.”

Jani tersenyum malu-malu. Pipinya merona merah, ia memukul tangan Jefri perlahan, membuat Jefri tertawa pelan. Pukulan Jani tidak memberikan efek apa-apa kepada dirinya, justru, pukulan Jani malah membuat lelaki itu menjadi gemas kepada istrinya. Ah, sebenarnya, apapun yang Jani lakukan selalu menggemaskan di mata Jefri,

“Jadi kamu kapan mau test?” Jefri bertanya sambil tangannya membenarkan poni Jani.

“Gak tau. Gak mau sekarang.” jawab Jani, ada gurat ketakutan di wajah imut gadis itu, Jefri langsung bisa melihatnya.

“Kok gitu?” Jefri bertanya sembari menatap mata Jani dengan lembut. Jani balas menatap tatapan mata Jefri menggunakan jurus puppy eyesnya.

“Takut.” jawab Jani setengah merengek.

Iya, Jani takut. Dia takut kalau ternyata hasil test kehamilannya tidak sesuai dengan apa yang dia dan Jefri harapkan. Ia tidak mau membuat Jefri kecewa, suaminya itu sudah banyak memberikan kebahagiaan di satu bulan pernikahan mereka, dan Jani pun ingin membalas semua kebahagiaan yang sudah Jefri berikan kepadanya dengan memberikan suaminya itu anak.

Jani tahu, kalau Jefri sangat mengharapkan kehadiran anak di tengah-tengah keluarga kecil mereka.

“Hei, gak usah takut sayang. Apapun hasilnya, seperti yang aku bilang, aku bakal tetep sayang dan cinta sama kamu. Aku bakal setia sama kamu. Kamu gak perlu khawatir ya?”

“Tapi kamu pingin punya anak Jef.”

Jefri tersenyum lembut seraya tangannya mengelus lembut surai sang istri,

“Semua orang pingin punya anak, tapi kalau Tuhan belum ngasih, kita bisa apa? Udah ya, sekarang kamu makan kedongdongnya, untuk urusan kamu mau cek sekarang atau nanti itu terserah kamu, asalkan kamu udah siap dan gak takut kayak gini.”

Jani mengangguk paham,

“Makasih ya, sayang.”

“Sama-sama.” Jefri melanjutkan, “aku pamit mandi dulu ya.” pamit Jefri seraya mengecup bibir Jani sekilas.

Setelah itu, Jefri pergi berjalan masuk ke kamar mandinya untuk membersihkan tubuhnya karena seharian ini sudah bekerja di kantornya.

Sementara Jani masih terdiam di atas ranjangnya, sembari menatap empat buah tespek di atas nakas. Keraguan terpampang jelas di mata gadis itu, namun sebisa mungkin ia harus menepis keraguan itu. Ia harus memberanikan diri untuk cek besok.


Sudah dua minggu sejak kepulangan Jefri dan Jani dari sesi honeymoon panas mereka—karena hampir setiap hari selama honeymoon mereka melakukan hubungan sex. Kini, Jefri dan Jani sudah pindah ke rumah baru mereka, rumah baru yang bergaya ala-ala american style itu menjadi rumah yang ditempati mereka sekarang. Lalu bagaimana nasib rumah mewah Jefri, tempat dimana lelaki itu menghabiskan masa bujangnya. Rumah itu sekarang dipegang oleh Bi Inah, karena rumah itu akan dijadikan villa oleh Jefri, mengingat letak rumah itu yang berada di dataran tinggi Bandung.

Sekarang, pernikahan Jefri dan Jani sudah memasukin bulan pertama. Rasanya Jani masih tidak percaya, karena dia yang pada awalnya sangat menolak pernikahan, kini justru harus terjebak di kehidupan rumah tangga bersama pria lebih tua darinya. Tidak, Jani sama sekali tidak menyesal. Perempuan itu justru merasa bahagia, karena pernikahan ini, hidup Jani setidaknya banyak mengalami perubahan.

Jani akui, ketika dia masih sendiri, dia termasuk anak yang pemalas, dan selalu menghambur-hamburkan uang. Tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiran Jani saat itu untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik, lebih rajin, dan mandiri. Karena sungguh dia akui, bahwa hidup bersama kakaknya sudah sangat menguntungkan, jadi untuk apa Jani susah payah bekerja keras? Tapi sekarang, pemikiran Jani sudah berubah, kepribadian Jani pun sudah berubah. Gadis itu sekarang menjadi gadis dewasa yang lebih bijak dalam mengatur keuangan, lebih rajin, dan tentunya dia menjadi lebih sering masak ketimbang memesan di aplikasi hijau.

Semenjak kepulangannya dari Maldives, dan kepindahannya ke rumah baru, Jani jadi sering bangun pagi untuk membuatkan sarapan untuk sang suami. Sarapan yang Jani buat pun bervariasi, itu membuat Jefri selalu semangat untuk menjalani harinya. Tidak hanya itu, Jani juga sesekali memasak untuk makan siang Jefri, dan membawakannya ke kantor lelaki itu. Mereka makan siang bersama di ruangan Jefri, yang selalu diakhiri dengan kegiatan persenggamaan atau kegiatan sex.

Berbicara tentang kegiatan sex mereka. Bisa dibilang, Jefri adalah maniak. Dalam satu minggu dia bisa melakukan hampir 5 kali. Bahkan ketika honeymoon saja, setiap malam mereka selalu bersenggama. Kalau ditanya apakah Jani lelah? Jelas dia lelah, tapi rasa lelah itu terbayarkan dengan kepuasan batin yang dia terima. Jadi, Jani pun sangat enjoy dalam menikmati kehidupan sexnya bersama Jefri yang bisa dibilang gila itu.

Hari ini, Jani yang seharusnya bangun dan membuatkan sarapan untuk sang suami, terpaksa harus tetap diam di kasur karena tubuhnya yang pegal-pegal, dan kepalanya yang pusing bukan main. Wajah Jani juga terlihat pucat, Jefri yang baru selesai mandi melihat pemandangan tersebut langsung terkejut bukan main. Gurat khawatir terpatri di wajah tampannya. Dia buru-buru mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang, sembari tangannya mengecek suhu tubuh Jani yang ternyata demam tinggi,

“Sayang, kamu baik-baik aja?” Jefri bertanya dengan nada khawatir.

Jani membuka matanya yang terasa panas dan perih karena suhu tubuhnya,

“Aku sakit, Jef.” jawab Jani dengan suara lirih.

Jefri menelan ludahnya risau. Lelaki itu sangat mencintai Jani, melihat Jani yang sakit seperti ini membuatnya khawatir,

“Kita ke dokter ya.” tawar Jefri.

“Gak perlu, kamu kan mau ke kantor, udah ngantor aja ya, aku gak apa-apa kok. Aku minta maaf gak bisa bikinin kamu sarapan, dan gak bisa bawa makan siang ke kantor kamu, dan kita juga gak bisa ngelakuin—”

“Its okay sayang. Gak apa-apa.” Jefri buru-buru memotong ucapan sang istri, “kita ke dokter ya sekarang.”

“Jef, kamu ke kantor aja udah ya.”

“Gak bisa sayang, saya gak bisa ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini. Kita ke dokter sekarang ya.”

Jani menghela nafasnya kasar. Matanya mulai digenangi oleh cairan bening yang biasa disebut dengan air mata. Ada satu hal sifat Jani yang menjengkelkan ketika sakit. Apabila kemauannya tidak dituruti ia akan menangis bak anak kecil,

“Aku bilang nggak ya nggak! Kenapa sih?” Jani langsung merengek, membuat Jefri semakin terkejut dan mencoba untuk menghentikan tangis sang istri, “kamu ke kantor sekarang atau aku gak mau liat muka kamu lagi.”

“Sayang…”

“Jefri.”

“Aku khawatir sama kamu. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa.”

“Aku udah gede. Kamu ke kantor.”

“Jani..”

“Beneran ya aku pulang sekarang ke rumah Kak Dira.”

Jefri menghela nafasnya pasrah. Dia benar-benar ingin membawa Jani ke rumah sakit, tapi mendengar ancamannya membuat Jefri bimbang. Dan akhirnya dia lebih milih untuk menuruti kemauan istrinya,

“Oke aku ke kantor sekarang. Tapi kalau ada apa-apa kamu hubungin aku ya?”

Tangis Jani sudah reda. Gadis itu mengangguk gemas. Jefri tersenyum getir, lalu mendekat dan mencuri kecupan di bibir manis Jani,

“Jangan sakit. Aku sayang kamu.”


“Hari ini tugasnya gak di ketik di laptop, tapi tulis tangan.” ucap Jefri sembari memberikan selembar kertas folio bergaris kepada Jani, beserta pulpennya. Jefri sudah menggunakan kemeja berwarna putih dan celana bahan, juga kacamata yang membuatnya semakin terlihat seperti dosen sungguhan.

Sementara Jani ia menggunakan kaus yang pas dengan bentuk tubuhnya, juga mini skirt yang memperlihatkan paha mulus Jani, tidak lupa rambut panjangnya yang digerai, dan riasan make up tipis yang membuat gadis itu terlihat sama lucu dan sexy disaat yang bersamaan,

“Kenapa harus di tulis tangan pak? Kan pakai laptop juga bisa. Ini udah dua ribu dua puluh dua, masih aja tulis tangan.” keluh Jani memajukan bibirnya ke depan. Di tempatnya, Jefri tidak tahan ingin mencium bibir tersebut dan menggeret Jani ke atas ranjangnya.

Jefri menatap Jani dengan tatapan tajam. Rahangnya mengeras, wajah lelaki itu terlihat begitu angkuh. Jani tahu itu adalah bagian dari skenario untuk memulai roleplay mereka hari ini, tapi, Jani benar-benar takut dengan ekspresi muka itu dan tatapan mata Jefri,

“Cepet kerjain tugasnya, atau kamu akan mengulang mata kuliah saya di semester depan!” titah Jefri galak kepada Jani.

“I-iya.”

Jani pun mulai menuliskan sesuatu di kertasnya. Sementara Jefri, pria itu duduk di sebrang Jani, sambil matanya memperhatikan Jani yang terlihat cantik dan menggemaskan hari ini. Lelaki itu tiba-tiba menyeringai, mengingat hal gila apa yang akan ia dan Jani lakukan setelah semua permainan peran ini selesai.

Merasa di perhatikan oleh sang suami. Jani melirik suaminya—dan kini mereka saling beradu pandang. Dari masing-masing mata mereka, terpancar perasaan nafsu yang besar. Jani tersenyum miring, lalu ia menuliskan sesuatu di kertasnya dengan huruf yang besar-besar, dan memperlihatkannya kepada Jefri.

Jakun Jefri naik turun ketika membaca tulisan itu,

“PLEASE, FUCK ME!!!”

Meskipun hanya berupa tulisan saja, tapi hawa panas sudah menguasai tubuh Jefri. Pusat tubuhnya dibawah sana pun sedikit demi sedikit terbangun dari tidurnya. Kalau mereka sedang tidak melakukan roleplay sekarang, mungkin Jefri sudah menyerang Jani habis-habisan. Tapi karena mereka sedang bermain peran, jadi sepertinya, Jefri harus sedikit berakting sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.

Lantas Jefri berdiri dari duduknya, dan berjalan mendekati Jani yang menatapnya dengan tatapan penuh nafsu. Senyuman menggoda juga terpatri di wajah gadis itu. Membuat Jefri semakin kehilangan akal sehatnya sore hari ini. Tangan kekar Jefri mengambil kertas tersebut dan membacanya, lalu menghempaskannya dengan kasar ke lantai,

“Mau jadi pelacur kamu ngegoda-godain dosen sendiri? Saya udah punya istri. Saya gak mungkin kegoda sama kamu.” marah Jefri.

Jani tertawa pelan mendengarkan amarah lelaki itu. Ia berdiri dari duduknya, dan mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Jefri. Merapatkan tubuh mereka dan mengisik jarak diantara mereka. Kini, tubuh Jani menempel sempurna di tubuh Jefri, dan yang harus kalian tahu, Jani sekarang dapat merasakan pusat tubuh Jefri yang menyembul menusuk-nusuk pahanya,

“Omongan bapak sama reaksi tubuh bapak gak sinkron ya.” bisik Jani, sembari jarinya bergerak, mengelus setiap inc wajah tampan Jefri yang sudah memerah menahan sesak di bawah sana, “bapak gak suka sama saya? Tapi kok punya bapak bangun kayak begini?” Jani melanjutkan ucapannya, seraya memundurkan tubuhnya, dan tangannya membelas lembut pusat tubuh Jefri di balik celananya. Matanya tidak lepas menatap mata Jefri yang kini terpejam menikmati sentuhan tangan Jani di sana.

“Bapak beneran gak suka? Tapi bapak merem melek gitu. Istri bapak pasti udah tua ya? Gak bisa bikin bapak merem melek kayak begini. Kasian.” Jani masih mengoceh sambil tangannya terus mengelus dengan sensual milik Jefri.

Terdengar suara desahan yang tertahan dari mulut Jefri. Hal itu membuat Jani semakin gencar untuk menggoda suaminya yang sekarang sedang berperan sebagai dosennya ini.

Jani tiba-tiba berjongkok dengan kedua lutut sebagai tumpuannya. Muka cantik dan menggodanga kini sudah sejajar dengan penis Jefri yang sudah menyembul meminta dibebaskan dari celana bahannya. Dari bawah sini Jani melihat Jefri yang tengah menatap matanya dengan tatapan tajam dan penuh nafsu. Masih menatap sang suami, Jani mengecup penis tegang Jefri dari luar celananya,

“Bapak, beneran gak mau saya puasin? Kasian loh udah berdiri kayak gini.” Jani berbicara dengan suara yang dibuat serak agar terkesan sexy dan menggoda. Tatapan matanya yang sayu penuh nafsu itu juga membuat Jefri gelagapan.

“Puasin saya.” pinta Jefri dengan nafasnya yang tercekat, Jani tersenyum kegirangan. Lalu, jari-jari kecil dan manisnya itu membuka kancing dan zipper celana bahan milik Jefri. Menurunkannya hingga tungkai. Setelah celana dan celana dalam Jefri terlepas, barulah Jani memulai aksinya.

Dia merangkum semua rambutnya terlebih dahulu, lalu menyampingkannya ke sebelah kiri. Setelah itu, ia meraih batang penis Jefri yang sudah mengeras dan berurat. Jani menjilati batang kepala penis milik Jefri terlebih dahulu. Jefri tersenyum, tangannya terulur untuk mengelus rambut Jani.

Jani menelusuri seluruh bagian penis Jefri dengan lidahnya yang semakin hari semakin lihai. Belum lagi sekarang, mulutnya yang mulai berani untuk mengemut kedua bola yang menggantung di bawah batang Jefri. Membuat Jefri semakin dibuat gila. Saking nikmatnya, Jefri sampai tidak sadar kalau tangannya menjambak rambut bagian atas Jani, tapi hal itu bukannya membuat Jani berhenti, malah Jani terus menguatkan hisapannya di kedua bola tersebut,

“Ah anjing.” racau Jefri, “mulut brengsek. Enak banget.”

“Bangsat.”

You slut, Jani, you are my slut.”

Erangan-erangan kotor Jefri tidak sama sekali membuat Jani merasa tersinggung atau bagaimana. Justru, itu malah merangsang libido Jani. Terbukti dari bagaimana sesuatu yang basah keluar dari pusat tubuhnya di bawah sana yang masih ditutupi oleh celana dalam.

Asyik bergumul dengan dua bola menggantung itu. Kini, Jani mulai mengocok milik Jefri dengan tangannya yang kecil namun menyimpan banyak kenikmatan besar disana. Beberapa pre cum keluar mengenai wajah Jani, yang mana itu tidak sama sekali membuat Jani jijik, dirinya malah tertawa kegirangan, seperti baru di lempari uang berjuta-juta. Melihat itu nafsu Jefri semakin gila, dia ambil alih penisnya sendiri dari tangan Jani. Sang wanita agaknya sedikit kebingungan,

“Open your mouth.” titah Jefri dengan suara beratnya dan nafas yang menderu menahan nafsu.

Jani menurut, ia membuka mulutnya dengan lidahnya yang sedikit dikeluarkan. Jefri memukul-mukulkan penisnya ke bibir Jani, sebelum pada akhirnya memasukkan benda besar dan panjang itu ke dalam mulut Jani. Kali ini, Jefri tidak membiarkan tangan Jani bekerja. Dia rangkum semua rambut Jani, lalu ia maju mundurkan kepala Jani untuk memompa penisnya di dalam sana. Suara-suara tabrakan akibat penis besar Jefri yang merojok tenggorokan milik Jani menggema di kamar resort ini.

Penis Jefri sudah mentok di leher Jani, namun lelaki itu seolah tidak puas, dan terus memompa penisnya di dalam sana menggunakan kepala Jani dengan tempo yang cepat, membuat kepala Jani terasa perih juga tenggorokannya yang sakit dan dirinya yang hampir kehabisan nafas. Jani memukuli paha Jefri, namun lelaki itu tidak mengidahkannya. Dalam sex, Jefri akan sangat egois, tidak perduli apa yang dirasakan oleh partnernya, yang penting dirinya terpuaskan.

Cairan-cairan pre-cum Jefri mengaliri sudut kiri dan kanan bibir Jani, dan berjatuhan ke lantai dengan mengaliri dagu Jani terlebih dahulu. Jani mulai merasakan milik Jefri semakin besar di dalam sana dan berkedut, dia tahu, sebentar lagi suaminya itu akan mencapai klimaksnya. Jefri mempercepat pompaannya, itu semakin membuat Jani tersiksa namun juga merasa enak disaat yang bersamaan. Ketika Jefri merasa sesuatu akan keluar dari penisnya, dengan cepat dia segera melepaskan penisnya dari dalam mulut Jani. Lalu Jefri meminta Jani untuk membuka mulutnya,

“Buku mulut bajingan kamu. Buka!” desak Jefri dengan suara beratnya. Satu tangan Jefri mengocok penisnya, dan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menampar pipi Jani, hingga kepala gadis itu terlempar ke samping. Ada perasaan aneh yang mendera Jani ketika Jefri menamparnya. Rasanya enak, dan nafsunya libidonya semakin naik.

Jani membuka mulutnya, disertai mata telernya yang keenakan karena mulutnya yang sempat diisi penuh oleh batang penis Jefri. Lelaki itu mengarahkan penisnya ke mulut Jani dan menumpahkan banyak cairannya kesana—sangking banyaknya, cairan itu sampai mengani wajah Jani,

“Telen!” titah Jefri dengan galak, Jani menurutinya, ia menelan cairan kental putih dan asin itu. Benar kata Anindita, saat kita sedang diselimuti oleh rasa nafsu, hal yang kita anggap menjijikan pun tetap akan terasa lezat bagi kita.

Kini sekarang gantian Jefri yang memberi kepuasan kepada istrinya itu. Dia suruh Jani berdiri dari jongkoknya. Jefri juga menyuruh Jani dengan galak agar supaya perempuan itu membuka mini skirtnya. Jani menurut, ia buka mini skirtnya dan juga thong yang ia gunakan. Kini mereka berdua sama-sama sudah bertelanjang di bagian bawah. Jefri bertumpu dengan kedua lututnya dibawah Jani, tepat di depan pusat tubuh wanita itu. Jefri pun memegang kedua kaki Jani dan melebarkannya selebar bahu. Selanjutnya, dia mendekatkan wajahnya dengan pusat tubuh Jani, menghirup seluruh permukaan Jani meggunakan hidungnya, menggesek-gesekkan dengan hidungnya, dan mulai memainkan lidahnya di sana. Ia menjilati klitoris Jani, membuat gadis itu meremas rambut Jefri dan mengeluarkan erangan lembutnya.

Lidah Jefri yang memang sudah lihai pun semakin brutal di bawah sana. Menjilat. Mengigit. Menghisap libia dan klitoris Jani. Membuat gadisnya itu merasakan nikmat yang luar biasa, hingga air matanya uruh dari kedua sudut mata cantik gadis itu sangking nikmatnya,

“Jef. Gila kamu.” erang Jani keenakan. Dia tidak pernah menyangka kalau Jefri akan benar-benar sebaik ini dalam memberikan kepuasan dan kenikmatan untuk Jani.

Tiba-tiba Jefri memberikan tamparan keras di pantat Jani, karena wanita itu dengan berani-beraninya memanggil Jefri dengan “Jef” disaat mereka masih bermain peran sebagai dosen dan mahasiswa,

“Ah.. M…maaf Pak.”

Lidah Jefri yang berhasil memporak porandakan vaginanya di bawah sana, membuat Jani merasakan pusat tubuhnya berkedut ingin kencing, saking nikmatnya permainan Jefri. Lelaki itu menyadari kalau Jani ingin mengeluarkan cairannya, namun, Jefri menahannya, dia terus bermain di bawah sana dengan brutal, sehingga wajahnya mengenai cipratan cairan dari Jani. Jani sudah memohon-mohon kepada Jefri untuk membiarkannya keluar kali ini saja, namun, Jefri tetaplah Jefri. Si egois dalam urusan sex.

Tiga menit berlalu. Jefri menjauhkan wajahnya dari vagina Jani, lalu membiarkan Jani mengeluarkan seluruh cairannya yang bak air mancur ke lantai kamar resort ini. Seperti tidak memberikan Jani izin untuk bernafas, Jefri langung memasukan keempat jarinya ke dalam lubang kenikmatan milik Jani, lalu merojoknya dengan brutal, membuat cairan itu kembali mencuat kemana-kemana, membasahi wajah Jefri dan juga lantai. Jani merengek sangking nikmatnya fingering Jefri dengan empat jari sekaligus.

Kaki Jani benar-benar lemas sekarang, bahkan kalau dilihat dengan seksama, kaki gadis itu sekarang tengah bergetar hebat. Jefri menyadarinya, tapi ia tidak perduli, ia ingin terus merojok vagina Jani dengan brutal hingga gadis itu merasa lemas keenakan. Dan, keinginan Jefri pun terwujud, rojokan brutal yang disebabkan oleh jari-jarinya itu sukses membuat Jani berteriak keenakan. Dan kini, Jani melakukan pelepasan untuk yang ketiga kalinya. Jefri langsung mengeluarkan jarinya dari dalam lubang Jani,

“Ini akibatnya karena kamu udah goda saya.” ucap Jefri dengan nada senga. Jani tidak memberi tanggapan apa-apa, gadis itu hanya terdiam, dengan nafasnya yang masih memburu, “pindah ke kasur sekarang. Buka baju kamu sekalian.”

Jani yang sudah terlanjur lelah pun menurut. Ia melepaskan bajunya, juga branya. Kini Jani sudah benar-benar telanjang sempurna. Ia pun menidurkan tubuhnya di kasur dengan posisi terlentang. Jefri ikut melepaskan atasannya. Dan sekarang dua pasangan suami istri itu sudah telanjang dengan sempurna. Jefri menaiki ranjang, dan merangkak ke atas Jani. Lelaki itu membuat posisi tubuhnya seperti tengah melakukan gerakan Cobra Strecth, dengan kedua tangannya yang berada di sisi kiri dan kanan kepala Jani sebagai tumpuan tubuhnya. Sementara Jani, dia melebarkan kakinya, menaruhnya di samping kiri dan kanan pinggang Jefri dan membiarkannya menggantung. Setelah itu, Jefri langsung memasukan seluruh penisnya ke dalam lubang vagina Jani, membuat gadis itu berteriak merasakan perih—ya, meskipun miliknya sudah basah, namun tetap saja, besarnya milik Jefri tidak cukup untuk masuk ke dalam milik Jani, jadi rasanya sangat amat perih, apalagi Jefri memasukan hampir seluruh penis besar dan panjangnya ke dalam sana,

“Ahhh…” lirih Jani. Mata gadis itu kembali memproduksi air mata yang luruh dari sudut matanya. Rasanya benar-benar perih dan linu, namun tidak selang kemudian, rasa nikmat mulai menghampiri Jani.

Jefri memaju mundurkan pinggulnya dengan tempo yang cepat. Membuat payudara Jani yang besar, kencang, dan bulat itu ikut bergerak mengikuti tempo genjotan Jefri di dalam sana. Muka Jani yang memerah, matanya yang merem melek syarat akan nafsu, membuat Jefri tidak bisa mengontrol dirinya. Lelaki itu menambah kecepatan genjotannya dengan brutal, membuat desahan Jani semakin kencang. Jefri menatap mata Jani yang penuh nafsu itu, begitu pun dengan sang puan. Mereka saling bertatapan—seperti menyalurkan perasaan cinta dan nafsu yang ada di dalam diri mereka,

“Enak gak saya giniin kamu?”

“Enak… Ahhh, terus pak…”

“Kamu daripada jadi mahasiswa saya mending jadi pemuas nafsu saya aja mau gak? Saya lebih suka badan sexy kamu.”

Jani tersenyum miring, “dengan senang hati.”

Setelah itu, Jefri sedikit menurunkan tubuhnya untuk bisa melumat bibir sexy Jani. Lumatan itu terasa sekali seperti lumatan yang tercipta dari perasaan cinta dan nafsu keduanya. Beberapa menit setelah itu, pagutan itu terlepas membentung juntaian tali dari saliva keduanya. Jefri semakin mempercepat genjotannya, tat kala Jani berteriak kalau milik Jefri menyentuh sweet spotnya. Maka dari itu, Jefri semakin mempercepat kinerjanya untuk membuat istrinya semakin tersiksa,

“Pak… Fuck… Saya mah keluar… Ahhh….”

“Tunggu sebentar lagi!”

Jefri semakin mempercepat lagi temponya. Laki-laki ini benar-benar brutal, Jani tidak yakin kalau besok dia bisa berjalan dengan sempurna nantinya.

Jani merasakan milik Jefri yang semakin besar di bawah sana, vaginanya yang berkedut juga memberikan sensasi seolah-olah seperti menjepit milik Jefri, yang membuat lelaki itu semakin gila dan brutal dalam menggenjot Jani,

“Ah anjinghh…”

“Fuckhh…”

“Jani punya kamu ngejepit punya saya. Bangsat ahh.”

Mendengar erangan dari suaminya itu, membuat Jani tertantang untuk bergerak. Dia menaikkan pinggulnya sedikit dan menggerakkan tubuhnya untuk membantu Jefri. Kini, suara desahan Jefri dan Jani saling bersautan di kamar resort yang menjadi saksi pergumulan mereka.

Jefri dan Jani pun merasakan bahwa mereka berdua akan melakukan pelepasan. Maka keduanya saling menggerakan pinggul masing-masing dengan cepat,

“Ahhh… Jef… Brengsekk… Ahhh.”

“Jani…. Sialanhhh…. Kamu enak banget fuckhh.”

“Aku mau keluar arghhh…”

“Ayo barengan sayang.”

Dan, Jefri pun menyemburkan cairan hangatnya tepat di rahim Jani. Jani juga sama, ia menyemburkan cairan-cairan bercintanya. Jefri kemudian ambruk di atas tubuh Jani. Keduanya sama-sama lelah, dengan nafas yang tidak beraturan. Kurang dari lima menit, Jefri melepaskan penisnya dari dalam sana, ia berpindah ke samping Jani, dan merebahkan tubuhnya disana. Jefri menarik tubuh Jani ke dalam dekapannya, lalu tidak lupa lelaki itu juga menarik selimutnya untuk menutupi tujuh telanjang mereka,

“Jef, kayaknya pulang dari sini aku bisa beneran hamil anak kamu.” ucap Jani dengan suara seraknya, Jefri tertawa sambil memejamkan matanya.

“Aamiin.” ucapnya dengan lembut.

Kini Jefri sudah kembali menjadi Jefri yang lembut dan menyayangi Jani. Tidak seperti tadi. Tadi Jefri benar-benar seperti setan yang menyeramkan,

“Kamu ada turunan Amerika ya Jef?” Jani kembali bertanya.

Jefri melonggarkan dekapannya agar ia bisa melihat wajah cantik Jani,

“Kok bisa nanya gitu?”

Jani berdehem lalu berkata, “your dick is really big, not like Asian size, more like American size.” jawab Jani yang disertai tawa sang suami.

Jefri mengecup bibir Jani sekilas lalu menjawab,

“Kata papa sih, buyut saya itu orang Amerika, jadi ya mungkin nurun dari sana.” jawab Jefri, yang membuat Jani mengangguk sembari mulutnya membentuk huruf O, “kamu gak suka?” tanya Jefri penasaran.

“IH SIAPA BILANG!? GILA KALI AKU GAK SUKA, YA AKU SUKA BANGET LAH.” heboh Jani membuat Jefri lagi-lagi tertawa renyah, “ya walaupun besok pasti aku gak bakalan bisa jalan, tapi enak kok, puas hehehe.” sambungnya.

“Kalau gitu mau ronde kedua gak?”

“Emang kamu kuat?” Jani bertanya dengan nada yang menantang.

“Kamu mau saya genjot sampai besok malem juga saya jabanin sayang.”

Jani tersenyum mesum, “fuck me 'till tommorow. Please.”

“As your wish, darling.”

Dan, setelah itu, Jefri dan Jani benar-benar melanjutkan kegiatan mereka dan saling bersenggama sampai keesokan harinya. Jefri benar-benar tidak memberi Jani istirahat barang 1 jam pun.


Ketiga wanita, dan satu pria—Jefri, Jani, Gladys, dan kekasih Gladys, Alexa sudah duduk bersama di satu meja yang sama, dengan berbagai macam hidangan yang tentu semuanya dibayar oleh si manusia paling kaya diantara mereka, siapa lagi kalau bukan Jefri. Sebetulnya, tadi Alexa sudah menawarkan diri untuk membayar semua tagihan makanan, tetapi, Jani menolaknya dan meminta Jefri yang membayar semua makanan ini.

Sejak awal Jani dan Jefri datang menemui Gladys dan Alexa, suasana benar-benar canggung. Bukan canggung karena dua perempuan itu memiliki hubungan khusus lebih dari seorang teman, tetapi, canggung karena tadi siang Jani sempat memaki Gladys dengan kata-kata yang kurang pantas. Untungnya, Gladys bukan tipikal gadis yang pendendam, dia langsung memaafkan Jani pada saat itu juga, malah dia juga ikut meminta maaf karena sudah mengacaukan honeymoon Jani dan Jefri.

Tension diantara mereka (khususnya Gladys dan Jani) sudah hilang, bergantikan dengan keakraban yang tidak terduga. Jani dan Gladys terlihat seperti teman lama yang baru saja bertemu, obrolan mereka menyambung satu sama lain. Melihat itu, Jefri tersenyum simpul, dia senang menikahi wanita yang begitu pandai dalam bergaul dan tidak terlalu malu-malu. Istrinya ini benar-benar defisini perempuan sempurna di seluruh dunia,

“Jadi gimana nih, Jefri?” tanya Gladys yang langsung membuat Jani kebingungan dengan maksud dari pertanyaan Gladys barusan. Jani memang sangat polos, meskipun permainannya di ranjang tidak perlu diragukan lagi.

Alexa dan Gladys menahan tawanya, begitu pula dengan Jefri. Jani melirik ketiga manusia yang lebih tua darinya itu secara bergantian. Demi Tuhan, dia bingung, apa sih maksudnya?

“Maksud Gladys ini, Jefri di ranjang gimana?” Alexa menjelaskan maksud ucapan kekasihnya itu. Gladys mengangguk, membenarkan ucapan Alexa, sementara Jani yang baru paham pun langsung terdiam, dia agaknya culture shock karena baru kali ini membicarakan hal dewasa seperti ini di meja makan.

Jefri merangkul sang istri, lalu mengecup pipi istrinya itu dengan lembut, “gak usah di jawab kalau gak mau jawab sayang.” ucap Jefri sembari matanya tidak putus melirik side profile Jani yang begitu cantik baginya. Ah, semua bagian tubuh Jani sangat cantik bagi Jefri.

“Temen kamu agak gila ya?” bisik Jani dengan suara pelan, Jefri tidak menjawabnya, ia hanya tertawa pelan yang membuat Alexa dan Gladys menatap Jani dan Jefri dengan penuh tanya.

“Enggak apa-apa, ini dia cuman kentut aja.” Jefri menjawab tatapan penasaran dan penuh tanya dari Alexa dan Gladys dengan berdusta.

Jani menekan paha Jefri dengan telapak tangannya lumayan keras, sembari menunjukkan senyumnya yang dipaksakan dan mengangguk seolah membenarkan ucapan Jefri barusan. Sementara, Jefri yang mendapat perlakuan itu langsung bergerak tidak nyaman sembari mengaduh di kursinya,

“Kenapa sih, Jef?” tanya Gladys melihat lelaki itu bingung.

“Keinjek sama kaki Jani.” jawab Jefri kembali membohongi mantan partner ranjangnya itu.

Gladys dan Alexa hanya menganggukan kepalanya. Mereka percaya dengan dua kebohongan yang Jefri lontarkan,

“Eh iya, Jan, gue boleh gak kira-kira ceritain tentang masa lalu gue sama Jefri?” tanya Gladys, Jani tidak langsung menjawab, ia melirik Jefri terlebih dahulu. Jefri pun mengangkat kedua bahunya, menyerahkan jawabannya kepada Jani.

“Boleh.” jawab Jani dengan begitu yakin.

“Ok, gue sama Jefri ini satu kampus, satu jurusan, cuman beda kelas doang. Nah, gue tuh sebenernya pacarnya temennya dia, si Johnny, cuman ya gitu gue sama dia putus, karena Johnny yang bader banget. Dia masih sama gue tapi sering having sex sama cewek cewek lain di luaran sana. Gue capek, dan gue juga takut ketika dia ngelakuin itu sama gue, gue kena HIV, karena kita gak tau kan kebersihan orang lain gimana? Untungnya waktu itu gue pernah cek, dan gue negatif.” Jani menyaksikan Gladys bercerita dengan begitu serius dan seksama, “karena gue putus dari Johnny, gue stress, karena ya gue cinta banget sama dia. Ya mungkin alasan gue kenapa gue memilih untuk jadi bagian dari lesbian itu karena gue pernah pacaran sama Johnny, dan waktu nikah pun cowo gue modelan Johnny juga sifatnya, bikin ngebatin. Habis itu, selang seminggu, Johnny ngechat gue, gue pikir dia mau ngajak balikan or at least minta maaf sama gue, tapi dia malah ngenalin gue sama Jefri.”

Jani yakin, setelah ini adalah inti dari kisah kelam masa lalu Gladys dan Jefri. Jani tidak siap mendengarnya, karena dia pasti akan merasakan sakit meskipun sekarang keadaan sudah berbeda. Tapi, Jani sudah kepalang mengiyakan, jadi mau tidak mau, suka tidak suka Jani harus mendengarkannya,

“Waktu itu, Johnny ngajakin gue ketemuan di bar. Gue iyain aja meskipun tujuan dia itu mau ngenalin gue ke Jefri, tapi ya bodo amat, gue waktu itu pingin banget ketemu sama Johnny, makanya gue rela-relain dateng. Dan pas sampai sana, gue ngeliat Johnny lagi main sama cewek blasteran gitu. Gue ancur banget, gue nangis, dan gue deketin Jefri, lalu setelah itu karena gue kebawa suasana, dan dia juga, ya kita make out. Untuk yang pertama kalinya, actually, Jefri adalah partner ranjang terbaik yang pernah gue punya. Jadi, lo beruntung bisa ngerasain itu sekarang.”

Jani merasakan ngilu di hatinya ketika mendengar cerita itu. Dia meremat ujung roknya, menumpahkan rasa cemburu dan kesalnya. Jefri yang menyadari akan hal itu, segera menarik tangan Jani dan menggenggamnya dengan erat. Jani hendak melepaskan, tapi Jefri semakin mengeratkan genggamannya di tangan Jani,

“Gue tidur sama dia beberapa kali, dia masih lembut sama gue, sampai di hari terakhir kita jadi bed partner, kita ngelakuin roleplay, and he fucked me so hard at that time sampai gue gak bisa jalan dan gue nangis-nangis nelfonin Johnny.” ucap Gladys sembari tertawa kecil, tidak tahukan gadis itu kalau Jani kini tengah menahan rasa cemburu dan kesalnya, “kalau dipikir-pikir dulu lo gila banget sih Jef, gue harap lo gak sekasar itu sama istri lo.” lanjut Gladys sembari melirik Jefri dan Jani bergantian.

“Gak masalah kok, gue justru suka kalau semisal Jefri ngasarin gue, bener-bener bikin gue kayak his slut.” respon Jani ini benar-benar membuat Gladys dan Alexa sedikit terkejut, begitu pula dengan Jefri. Tapi, keterkejutan Jefri tidak berlangsung lama. Karena pria itu sekarang sedang kegirangan.

“Wow… gue harap lo kuat kuat deh, apalagi kalau semisal udah roleplay sama dia.”

“Hahaha iya thanks remindernya ya, tapi kayaknya gue sama Jefri harus duluan, soalnya masih ada hal yang mau kita lakuin. Permisi.”

Jani menghentikan pertemuan itu dengan kesan yang tidak sopan. Tapi Demi Tuhan, hati Jani sakit kalau terus diam disana, dan mendengarkan ucapan gila yang keluar dari muluf Gladys. Dan kini, mereka berdua tengah berjalan seraya bergandengan tangan untuk kembali ke hotel,

“Kamu gak marah sama saya kan?” Jefri bertanya seraya menghentikan langkahnya, membuat Jani juga ikut berhenti.

Jani berbalik menatap Jefri dan menggelengkan kepalanya,

“Gak kok.” jawab Jani sambil tersenyum. Ia rapatkan tubuhnya ke arah Jefri, lalu mengecup bibir suaminya itu, “gimana aku bisa marah sama pak dosen yang udah ngasih aku banyak ilmu, hm?”

Jefri terkejut ketika Jani menyebut dirinya dengan sebutan Pak Dosen. Sepertinya, kegiatan gila akan di mulai hari ini,

“Tapi gantian saya yang marah sama kamu.” ucap Jefri dengan tegas, dia sudah memasuki perannya sebagai dosen dari Jani.

“Kok gitu?”

“Kemarin nilai ujian kamu jelek, dan kampus ngasih kebijakan perbaikan nilai dengan cara ngerjain tugas. Karena saya gak bawa laptop saya, saya bakal kasih tugas ke kamu langsung, dan kamu harus kerjain tugasnya di rumah saya. Paham?”

“Yes sir!”

Lalu keduanya tertawa setelah itu, dan saling merangkul sembari melanjutkan kembali perjalanannya menuju resort.


“JEFRI!” panggil Jani setengah berteriak kepada sosok suaminya yang tengah berpelukan dengan perempuan lain.

Jefri melepaskan pelukannya dari perempuan itu. Dia berbalik ke belakang, menatap Jani yang tengah berjalan penuh emosi kepadanya dengan tatapan was-was. Jani pasti akan salah paham karena hal ini, dan wanita itu pasti akan sangat marah besar kepada Jefri,

“Cewek gatel ya lo, peluk-peluk suami gue!” baru juga bergabung bersama Jefri dan perempuan itu, Jani sudah mengomeli wanita berbikini di hadapannya itu. Wanita itu terlihat kebingungan dan takut mendengar intonasi bicara Jani dan ekspresi marah Jani.

“Lo juga!” kini giliran Jani yang mengomeli Jefri, ditatapnya suaminya itu dengan tatapan tajam dan menusuk, membuat Jefri jadi merasa bersalah, “Gak puas apa lo semalem udah gue kasih jatah lo, tapi sekarang lo malah mau main sama perempuan lain. Emang dasar tua bangka genit ya lo! Nyesel gue nikah sama cowo kayak lo. Anjing.”

Setelah menumpahkan seluruh amarahnya, Jani menampar pipi Jefri dengan sangat keras. Setelah itu, dengan berlinang air mata, Jani berlari untuk kembali ke resortnya meninggalkan Jefri yang masih berdiri seraya memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan Jani,

“Jef.” panggil perempuan misterius itu, tangannya hendak menyentuh Jefri, tapi Jefri langsung memberi kode kepada wanita itu untuk tidak menyentuhnya menggunakan telapak tangannya.

Syukurlah, wanita itu mengerti. Ia mengurungkan niatnya. Sekarang, wanita itu merasa bersalah atas apa kekacauan yang telah terjadi,

“Sorry.” lirih wanita itu, dari nada suaranya terdengar kalau dia begitu menyesal dan merasa bersalah.

“Gak apa-apa. Gue permisi. Gue harus jelasin semuanya ke dia.”

Jefri pun pergi begitu saja menyusul Jani yang sudah pasti sekarang sedang menangis di dalam kamar resortnya. Sementara wanita itu masih berdiam diri di tempatnya, memandangi punggung Jefri dengan penuh rasa bersalah. Gadis itu menghela nafasnya berat, lalu pergi meninggalkan pintu masuk resort yang ditinggali Jefri untuk kembali menyusul kekasihnya yang sudah menunggu di salah satu restaurant yang berada di sekitar sini.

Kembali lagi ke Jefri. Dia berlari sangat kencang untuk menyusuli Jani. Sampai tidak kurang dari lima menit, Jefri tiba di kamar resortnya. Dan ia melihat Jani yang tengah menangis, sembari membereskan koper besarnya. Jefri yang melihat itu jelas tidak suka dan semakin merasa bersalah, ia berjalan menghampiri istrinya,

“Mau kemana sayang?” lirih Jefri sembari menatap nanar sang istri.

“Pulang.” jawab Jani sangat ketus disertai suaranya yang sengau, “gue mau ngurusin surat cerai.” sambungnya, nafas Jefri tercekat ketika Jani mengucapkan lima kata yang dibencinya. Ketakutan menyelimuti mata Jefri. Lelaki itu langsung menahan tangan Jani.

“Enggak, saya gak mau.”

“Apa? Lo jelas-jelas peluk perempuan lain. Lo tuh kenapa sih? Kalau dari awal lo di jodohin sama gue gak mau ya udah, gak usah sok lu terima-terima, kalau nyatanya lo masih suka main sama perempuan.” kesal Jani dicampur rasa sedih dan sakit di hatinya, “jangan lo pikir karena gue awalnya gak cinta sama lo, dan ketika gue udah gak cinta sama lo, gue gak tulus ya. Gue tulus cinta sama lo, gue udah secinta itu sama lo. Tapi lo ngecewain gue.” sambung Jani sembari terisak.

“Jani, kamu juga salah. Seharusnya kamu mau dengerin dulu penjelasan saya, gak asal nuduh kayak tadi.”

“Apa yang mau lo jelasin? Itu gue jelas-jelas liat pake mata gue kalau lo pelukan ya sama cewek itu. Gue kurang apa sih sama lo? Yang semalem emang kurang hah? Kalau lo masih ngerasa kurang sama gue semalem, ayo lakuin lagi, sampai lo puas, jadiin gue lacur lo kalau perlu.”

Jefri mengepalkan kedua tangannya. Ia benar-benar emosi dengan Jani yang tidak mau mendengarkan alasannya. Rahang lelaki itu mengeras, mukanya jelas menahan marah. Tapi, Jefri mencoba untuk tidak meledakan semua itu. Karena semuanya akan menjadi runyam, apabila Jefri meledakan bomnya. Nanti, dia dan Jani akan benar-benar bercerai setelah ini.

Lelaki itu ingat, kalau kunci dari langgengnya sebuah pernikahan itu adalah ketika para pasangan bisa merendahkan ego mereka masing-masing. Dan kini, kalau Jani tidak bisa merendahkan egonya, biarlah Jefri yang merendahkan egonya. Lagipula, dia juga kepala keluarga disini. Sebuah keluarga tidak akan berjalan dengan baik kalau kepala keluarganya sendiri tidak bisa mengelola egonya,

“Dia lesbian.” ungkap Jefri yang membuat Jani terdiam dan matanya yang basah itu menatap Jefri dengan tatapan bertanya-tanya.

“Maksud kamu?” Jani sudah kembali ke mode awal, dia tidak lagi memanggil dirinya dengan sebutan gue. Walaupun rasa kesal dan emosi masih menyelimuti dirinya.

“Dia adalah salah satu cewek yang pernah tidur sama saya waktu saya masih kuliah. Dan dia adalah seorang lesbian.” jelas Jefri, Jani menatap Jefri dengan tatapan serius dan meminta untuk lelaki itu melanjutkan kalimatnya kembali, “kamu tadi salah paham, saya gak berniat untuk meluk dia. Tadi waktu saya ngobrol sama dia, ada orang yang lari-lari, dan orang itu nabrak badan dia, ya dia jelas kehuyung badannya, maka dari itu saya nangkep dia, dan kamu datang, kamu mikir kita pelukan. Enggak Jani, semua itu karena ga sengaja. Kamu percaya kan sama saya?”

Jefri menatap Jani putus asa. Dia meraih kedua tangan Jani, dikecupnya dua punggung tangan Jani menggunakan bibir lembut Jefri. Lalu, Jefri letakkan dua tangan itu di depan dadanya. Tapi Jani tidak mengeluarkan reaksi apa-apa, selain dia hanya diam dan menatap Jefri dengan tatapan yang sulit untuk dipahami,

“Kalau kamu masih gak percaya, saya bisa bawa kamu untuk ketemu dia dan pacar perempuannya. Biar nanti kamu denger penjelasan dia.”

“Caranya?” Jani membuka suaranya.

“Saya hubungi dia lewat facebooknya, karena kebetulan facebook saya masih aktif.”

“Cih dasar orang tua.” sindir Jani. Jefri tersenyum mendengar sindiran itu. Kalau Jani sudah begini, itu tandanya Jani sudah memaafkan Jefri.

“Jadi kita damai nih?” tanya Jefri.

Jani mengangguk, “tapi kamu jangan kayak gitu lagi! Aku beneran bakal cerain kamu loh kalau aku liat kamu sama perempuan.” ancam Jani sembari memberikan tatapan galak kepada suaminya itu.

“Kalau kayak gitu sampai kapanpun kamu gak bakalan ceraiin saya, karena saya gak bakal pernah deket deket sama perempuan lain selain kamu.”

Jani tertawa pelan, lalu ia mengambil satu langkah untuk mendekat ke arah Jefri. Memajukan tubuhnya, dan mengecup bibir Jefri dengan singkat. Yang dikecup hanya mampu tersenyum senang,

“By the way, aku mau tetep ketemu cewek itu. Aku mau tau, waktu kalian tidur bareng, kalian ngelakuin apa aja. Karena aku pingin ngelakuin hal yang lebih dari orang orang yang pernah tidur sama kamu itu.”

Jefri mengangguk, “iya nanti saya bilangin.”

“Oh iya, dan soal tawaran kamu yang minta kita roleplay. Aku bersedia kok. Aku mau.”

Mata Jefri berbinar, “beneran mau?”

Jani mengangguk mantap,

“Aku mau kamu jadi dosen, dan aku jadi mahasiswanya. Gimana? Sekalian aku nginget-nginget kenangan aku waktu masih jadi mahasiswa.”

Jefri terkekeh, “deal sayang.”


Sudah dari dua jam yang lalu kedua pasangan suami istri ini tiba di salah satu resort kenamaan di Maldives. Jani akui, kekayaan keluarga Jefri memang diluar ekspektasinya. Gadis itu berpikir kalau, orang-orang penting yang keluarga Jefri kenal itu hanya orang orang Indonesia saja, tapi nyatanya Jani salah. Pemilik dari resort ini adalah orang Perancis, dan dia menjadi salah satu orang terkaya dan terpenting di Perancis yang mana beliau ini berteman baik dengan keluarga Jefri. Semua pegawai di resort ini pun tunduk dan menghormati Jefri. Baru kali ini Jani merasa bahwa realita lebih indah dari ekspektasinya.

Sekarang, dua pasutri baru ini tengah menikmati malam mereka dengan berbaring diatas ranjang, sembari asyik menikmati tontonan netflix yang tersedia di smart TV yang dimiliki resort ini. Jani tentu serius menonton siaran tersebut, karena itu menampilkan serial Amerika yang memang menjadi favoritnya. Sementara Jefri, lelaki itu tidak benar-benar menonton layar TV, dia terus memperhatikan istrinya yang kini berada di dalam rangkulannya. Bayangan kejadian sehari sebelum mereka datang kesini, memenuhi isi otak Jefri, membuat sesuatu di bawah sana terbangun dengan sendirinya.

Jefri menginginkan Jani malam ini. Apalagi malam ini, Jani tidur dengan menggunakan nightdress berbahan dasar silk berwarna hitam tanpa lengan yang membuat leher jenjang gadis itu terekspose dengan jelas. Juga, belahan dada Jani yang terlihat oleh mata Jefri, membuat lelaki itu semakin menginginkan Jani malam ini.

Tubuh Jani memberikan reaksi terkejut ketika dengan tiba-tiba Jefri membenamkan wajahnya ke leher Jani, dan menghirup leher gadis itu. Memberikan sensasi geli dan sedikit keenakan bagi Jani, belum lagi kecupan-kecupan yang diberikan Jefri di leher jenjang istrinya itu, membuat Jani mencoba untuk tidak mengeluarkan suara erangannya,

“J..Jef..” lirih Jani, seraya tangannya mencoba untuk menjauhkan kepala Jefri dari lehernya, namun sial, tenaga Jefri begitu kuat, membuat Jani yang baru lima kali mencoba menarik kepala Jefri dari lehernya kewalahan.

Kalau tadi Jefri hanya memberikan kecupan manis, kini Jefri ganti dengan dirinya yang menjilati leher itu. Jani menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam merasakan geli kenikmatan yang diberikan Jefri. Tidak hanya menjilati, Jefri juga menggigit dan menghisap leher milik Jani, membuat Jani tidak bisa menahan suara desahannya lagi. Ya, runtuh sudah pertahanan Jani,

“Ahh.. Jefhh..” erang Jani, sembari kakinya ia gerakan gelisah, menggesekan pusat tubuhnya dibawah sana yang sudah basah hanya karena cumbuan Jefri di lehernya.

Jefri menghentikan kegiatannya sementara. Dia menatap Jani, begitupun dengan Jani yang balik menatap mata sayu sarat akan nafsu milik Jefri dengan tatapan bertanya-tanya. Kenapa lelaki itu menghentikan aksinya, disaat Jani juga menginginkan Jefri untuk menyentuhnya lebih dari ini. Jari-jari panjang milik Jefri menyentuh bibir ranum milik Jani, membuat sentuhan-sentuhan seduktif yang membuat Jani membuka mulutnya tanpa diminta,

“Can i get what i want?” tanya Jefri dengan suara rendahnya yang membuat seluruh bulu kuduk Jani berdiri. Merinding.

Jani mengangguk.

Karena sejatinya, Jani juga membutuhkan Jefri untuk memuaskan birahinya malam ini. Meskipun ia takut, tapi ia akan lawan rasa takut itu. Nafsu birahinya lebih besar daripada rasa takut Jani.

Setelah mendapatkan lampu hijau dari Jani. Jefri langsung melahap bibir Jani penuh nafsu dan mencumbunya brutal. Beruntung, Jani bisa mengimbangi permainan bibir Jefri. Mulut Jani sedikit terbuka, dan hal tersebut membuat Jefri berhasil melesakkan lidahnya masuk ke dalam sana, mengabsen setiap deret gigi milik Jefri. Dan, yang paling memabukkan adalah, Jani juga ikut menggerakkan lidahnya. Kini mereka saling menikmati permainan lidah masing-masing.

Sambil berciuman, tangan Jefri turun menuju paha Jani, mengelus paha ramping itu dengan gerakan-gerakan seduktif, yang membuat Jani menjauhkan kepalanya dari Jefri dan melepaskan pagutan gila mereka untuk mengeluarkan desahan dari mulut indahnya,

“Ahh..”

Jefri kembali melahap bibir Jani, mencumbu bibir itu, tidak perduli apakah bibir itu akan bengkak atau tidak. Yang pasti, Jefri ingin menikmati benda tidak bertulang milik Jani yang begitu manis dan plumpy itu. Sembari tangannya yang tadi hanya bermain di atas paha Jani dan selangkangan Jani, kini mulai naik dan menyentuh ke pusat tubuh Jani yang tidak ditutupi oleh daleman sama sekali. Jelas Jefri terkejut, ia melepaskan pagutannya dan menatap Jani tidak percaya,

“Gak pake?” tanya Jefri disertai suara deru nafasnya yang tidak beraturan.

Jani yang juga ada dalam kondisi yang sama seperti Jefri pun menganggukkan kepalanya sembari melayangkan senyuman tipisnya,

“Ini honeymoon kita, why do i have to wear underwear?” deep voice Jani yang menaikkan nafsu di dalam diri Jefri, membuat lelaki itu menunjukkan seringaiannya.

“You such a slut.” lalu setelah mengucapkan kata-kata kasar yang membuat Jani semakin bernafsu, Jefri kembali melahap bibir Jani, dengan dua jarinya dibawah sana yang mengelus labia milik Jani, yang mana hal itu membuat Jani langsung melepaskan pagutannya, dan mengeluarkan desahannya sekuat mungkin.

Sialan! Labia adalah salah satu titik sensitif perempuan. Perempuan mana yang tidak akan terangsan dan keenakan apabila lelaki bermain dengan labianya dengan begitu lihai menggunakan jarinya seperti yang dilakukan oleh Jefri malam hari ini.

Jefri membuat gerakan yang cepat dalam mengelus labia milik Jani. Membuat Jani terus menatap ke bawah sana dengan wajah penuh nafsunya dan suara desahannya yang tidak bisa dielakkan lagi. Jefri, menikmati pemandangan ini, ia menatap Jani dengan tatapan penuh nafsu, pria ini memasang wajah brengseknya, merasa menang karena berhasil membuat Jani kegilaan seperti ini,

“Enak sayang?” tanya Jefri yang masih melakukan aktifitasnya dengan brutal.

Jani tidak bisa menjawab, kepalanya terasa pening, belum lagi pusat tubuhnya yang berkedut, menandakan bahwa sebentar lagi dia akan mencapai klimaksnya. Namun, Jefri masih terus memporak porandakan pusat tubuhnya yang belum semua terjamah.

Tiba-tiba, Jefri menampar libia milik Jani, yang membuat gadis itu menjerit keenakan. Ia menarik wajah Jefri, dan melumat bibir suaminya itu, menyalurkan perasaan nikmat yang dibuat oleh suaminya. Jefri menerima ciuman itu, ia membalas lumatan Jani. Lalu jarinya disana kembali mengulang gerakan usapan dalam tempo cepat, memukulnya kembali, mengusapnya cepat, begitu terus berulang-ulang. Sampai dimana, pusat tubuh Jani semakin berkedut, tidak lama lagi gadis itu pasti akan mengeluarkan cairannya.

Jani melepaskan pagutannya, “Jef… ahh… its close ahhh. i wanna cum… jef… please, more please… ahhh i wanna come i wanna come i wanna come. fuckhhh… ghhh.”

Racauan-racauan itu bak lantunan musik instrumental indah yang membuat Jefri puas dan ingin selalu lelaki itu dengar kemanapun ia pergi bersama Jani. Jefri mempercepat tempo usapannya tepat di libia sang istri sesuai dengan permintaannya.

Dan, setelah itu, Jani mengeluarkan cairannya. Gadis itu baru saja mau menghela nafasnya, namun, tiba-tiba jari Jefri kembali bergerak, kini jari-jari itu bermain di klitoris Jani, mengelus, menusuk-nusuk, mencubit, membuat gerakan yang memutar-mutar, yang mana itu jelas membuat Jani semakin menjerit keenakan. Jefri seperti tidak mengizinkan untuk Jani istirahat barang semenit saja.

Dan untuk kedua kalinya, Jani melakukan pelepasan. Ini sangat licik, karena Jefri sama sekali belum mendapatkan pelepasannya, sementara Jani sudah dua kali,

“Kamu licik!” protes Jani kesal.

“Apa?”

“Aku udah cum dua kali, kamu belum sama sekali.” kesal Jani sambil memajukan bibir bengkaknya itu beberapa centi.

“Yaudah.” Jefri menyeringai, “suck my dick, honey.”

Jefri kemudian merubah posisinya, ia menjadi duduk di ujung ranjang hotel. Kali ini, Jani lebih berani dari kemarin. Ia turun dari atas ranjangnya, dan berjongkok, bersimpuh tepat di depan penis Jefri, dengan kedua lututnya sebagai tumpuan gadis itu. Matanya menatap Jefri yang kini tengah menatap Jani penuh nafsu. Bibir Jani membentuk sebuah senyuman miring, yang membuat libido Jefri semakin meninggi. Tangan-tangan kecil gadis itu membuka celana tidur yang Jefri gunakan, Jefri pun membantunya dengan cara mengangkat sedikit bokongnya. Setelah celana tidur dan celana dalam Jefri dilepas. Jani dapat melihat dengan jelas penis Jefri yang masuk ke dalam ukuran american size itu sudah berdiri dengan tegak disertai urat-uratnya yang membuat Jani takjub,

“This is the biggest dick i've ever seen.” ucap Jani sembari tangannya memegang batang penis milik Jefri, yang langsung membuat nafas Jefri tercekat. Lelaki itu tersenyum miring, merasa bangga karena pujian yang Jani ucapkan barusan.

“Do you feel lucky?” Jefri bertanya dengan suara beratnya yang dijawab dengan anggukan kepala menggemaskan oleh Jani, “then satisfy him.” titah Jefri sembari tangannya mengelus surai hitam milik Jani.

“Yes daddy.”

Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Jani, membuat Jefri menatap istrinya itu dengan tatapan nyalang. Kurang ajar! Hari ini mungkin Jefri akan bermain dengan sangat brutal bersama Jani, ia tidak akan memberikan gadisnya ini ampun barang sedetik pun. Ia akan menghancurkan Jani di ranjang hotel ini. Membuat gadis itu tidak bisa melakukan apa-apa, selain berteriak memanggil nama Jefri.

Jani memulai aksinya. Dia merunduk untuk mengecup kepala penis Jefri—lelaki itu menggigit bibir bawahnya. Dari bawah sini, Jani melirik Jefri yang juga melirik ke arahnya. Tatapan mata Jani benar-benar terlihat seperti tatapan seorang jalang genit yang sedang menggoda laki-laki hidung belang yang butuh kepuasan,

“Gemes.” entah ini pujian atau siksaan, yang jelas, setelah mengucapkan kalimat itu, Jani langsung memberikan kecupan yang bertubi-tubi di kepala penis Jefri. Tidak hanya itu, ia juga memasukan ujung dari penis Jani ke dalam mulutnya, lalu memainkan lidahnya disana, merasa cairan pre-cum yang keluar dari kepala penis Jefri.

“Fuck.” erang Jefri, dia sangat menikmati permainan Jani ini. Kepalanya mengadah ke atas. Dari bawah sini, Jani bisa melihat jakun Jefri yang naik turun seperti lelaki itu sedang menelan ludah, belum lagi matanya yang tertutup. Benar-benar menjelaskan kalau Jefri menikmati permainan ini.

Ego Jani seketika melambung tinggi melihat bagaimana Jefri menikmati servicenya. Maka dari itu, mulutnya mulai menyisir penis besar dan berurat milik Jefri. Lidahnya mulai membuat gerakan-gerakan seduktif di batang penis keras milik Jefri. Memutar, menepuk, menjilatinya dengan penuh nafsu.

Sembari Jani mengulum dan memaju mundurkan kepalanya untuk memberi kepuasan kepada penis Jefri. Lelaki itu tersenyum menatapi sang istri, dengan tangannya yang memainkan rambut Jani dengan lembut. Namun, tiba-tiba, sisi setan dalam diri Jefri berbisik, menyuruh Jefri untuk ikut andil dalam permainan ini. Jefri jelas mendengarkan permintaan setan dalam dirinya itu. Tangan Jefri yang sedari tadi mengelus lembut surai Jani, kini tiba-tiba merangkum seluruh rambut panjang nan gelap milik Jani. Menggerakkan kepala Jani, untuk membantu gadis itu memompa kejantanan besar milik Jefri yang tengah diberikan kehangatan oleh mulut lihai Jani.

Jani merasakan pusing dan perih di kepalanya karena cengkraman Jefri terhadap rambutnya yang semakin lama semakin kuat. Belum lagi, tenggorokannya yang terasa perih, karena penis milik Jefri kini sudah sepenuhnya masuk ke dalam mulutnya (akibat paksaan Jefri) dan menumbuk tenggorokan Jani, membuat gadis itu beberapa kali tersedak dan kehilangan nafasnya. Jani, memukul-mukul paha Jefri agar supaya lelaki itu berhenti melakukan ini, karena demi Tuhan, Jani butuh pasokan udara. Namun, Jefri tidak mengidahkannya, lelaki itu tetap menggerakkan kepala Jani dengan gerakan lebih cepat, karena sekarang sudah mau 10 menit, dan Jefri merasakan bahwa dirinya akan melakukan pelepasan, maka dari itu, Jefri tidak memberikan keringanan kepada istrinya itu.

Ini gila! Jefri bahkan sampai menggerakan pinggulnya berlawanan arah. Membuat Jani memutar bola matanya kenikmatan. Sekarang ia merasa seperti tengah diserang dari dua sisi. Tapi tidak masalah, meskipun menyiksa, Jani menyukainya. Apalagi melihat bagaimana sekarang Jefri tersiksa, bibirnya yang terbuka mengeluarkan erangan-erangan sexy, juga kepalanya yang terkadang ia angkat ke atas, dan jakunnya yang bergerak naik turun, membuat lelaki itu semakin terlihat sexy,

“Anjinghh, Janih… Mulut kamuhh.. Fuckkhh… Enakhh.”

“Bangsat.”

“Anjing Fuckh..”

Erangan-erangan kotor itu masuk ke dalam telinga Jani, dan membuat pusat tubuh Jani berkedut dan basah. Libidonya naik ketika mendengar erangan-erangan kotor itu.

Lalu detik selanjutnya, Jefri menarik paksa penisnya dari dalam mulut Jani. Lalu ia meminta Jani untuk meludah kembali di penisnya dan di tangan lelaki itu, Jani pun melakukannya. Jefri mengocok penisnya tepat di depan wajah Jani, sampai cairan-cairan putih itu keluar dari penisnya, bertumpah ruah tepat di wajah Jani, tidak hanya itu, Jefri juga meminta Jani untuk membuka mulutnya kembali, dan mengarahkan penisnya ke arah mulut Jani. Jani menurut, ia membuka mulutnya lebar-lebar dengan mata sayu sarat akan nafsunya, membiarkan Jefri menumpahkan cairan putih yang rasanya asin itu ke mulutnya,

“Swallow it!” titah Jefri, Jani menelan cairan itu tanpa rasa jijik seperti tempo hari yang lalu. Jefri tersenyum bangga dengan istrinya yang semakin pandai dalam urusan memuaskan dirinya.

Setelah itu Jefri langsung berdiri dari duduknya, dia juga menyuruh Jani untuk berdiri. Kini dua pasangan suami istri yang dibalut oleh nafsu itu sudah berdiri berhadapan. Jefri melepaskan atasannya dengan gusar dan tidak sabaran, begitu pula dengan Jani yang menanggalkan nightdress hadiah perkawinan dari kakaknya itu dengan tidak sabaran. Setelah mereka berdua sama-sama telanjang. Jefri menggandeng tangan Jani, ke arah meja rias yang di depannya terdapat kaca berukuran persegi panjang, yang menampakkan tubuh telanjang mereka berdua.

Jani berdiri di depan, sedangkan Jefri di belakang Jani, tengah asik memindahkan rambut Jani ke samping kiri, dan menghisap, menghirup, menjilati, dan mencium leher sang istri. Membuat Jani terangsan, dan merapatkan tubuhnya dengan tubuh Jefri, lalu menggesek-gesekkan bokongnya dengan penis Jefri yang kembali menegang. Satu tangan Jani terangkat ke belakang, menarik kepala Jefri, agar memudahkan Jani untuk melumat bibir suaminya itu, sembari ia menggesekkan bokongnya ke penis Jefri.

Suara decakkan yang beradut dengan air liur itu membuat kedua manusia itu semakin diselimuti oleh nafsu.

Cumbuan pun di lepas oleh Jefri,

“Bend over.” titah Jefri dengan tegas. Jani kemudian menuruti permintaan suaminya itu.

Ia menungging, dengan kedua tangannya yang ia taruh di atas meja rias. Jani menggunakan tangannya itu sebagai tumpuan, agar tubuhnya tidak ambruk. Jefri, langsung melesatkan seluruh batangnya masuk ke dalam Jani, membuat Jani berteriak merasakan ngilu, air matanya luruh dari sudut mata gadis itu. Jefri bisa melihatnya dari kaca yang ada di hadapannya. Maka dari itu, Jefri tidak membiarkan dirinya untuk bergerak, ia mendiaminya sebentar untuk membuat Jani terbiasa dengan penis besarnya di dalam sana. Jefri menarik wajah Jani untuk menoleh ke arahnya, lalu Jefri lumat bibir Jani dengan kasar, sembari pelan-pelan dia mencoba untuk menggerakkan pinggulnya dengan gerakan pelan tapi pasti. Jani melepaskan pagutannya, dan mendesah kesakitan,

“Ahhh… Jefhh… Sakithhh…”

Jefri seolah tuli, dia tidak perduli dengan teriakan Jani. Lelaki itu terus menumbuk lubang kenikmatan Jani yang sangat sempit untuk penisnya. Sampai erangan kesakitan Jani itu digantikan dengan erangan nikmat. Rasa linu, perih, dan sakit kini bercampur dengan rasa enak yang lebih mendominasi. Jefri terus menggerakkan pinggulnya dengan gerakan yang cepat, bahkan lebih cepat dari kuda yang tengah berlari di pacuan kuda,

“Fuckhh.. Jefhhh.. Ahh yeahh.”

“Anjinghh.”

“Fuck mee… Daddyh… Ahhh.”

“Fuckhh..”

“Bangsat enak banget Janih..”

Desahan-desahan nikmat Jefri dan Jani seolah-olah saling menyahut. Jefri berhasil menyentuh sweet spot milik Jani di dalam sana. Jani pun teriak kenikmatan, sembari dia ikut menggerakan pinggulnya secara berlawanan. Jefri mengerang kenikmatan karena gerakan yang dilakukan oleh Jani barusan, ia merasa penisnya dijepit begitu kuat dengan vagina Jani,

“Ahh fuckhhh… Jefhh… Terushh… Yeshh, therehhhshshh.”

Mereka berdua sama-sama saling menggerakan pinggul mereka. Kepala Jani sekarang terasa pening, permainan Jefri sungguh gila. Laki-laki ini adalah maniak sex yang sesungguhnya, dia tahu bagaimana caranya memuaskan perempuan. Dan, Jani beruntung dia merasakan pengalaman sex yang memuaskan dan menggairahkan dengan Jefri. Jani tidak bisa membayangkan kalau dia harus melakukan kegiatan bercinta ini dengan laki-laki lain,

“Jeff, im close. Ahh.” adu Jani kepada Jefri dengan nada meracau.

“Wait for me.” pinta Jefri yang terus menumbuk Jani dengan brutal. Saking brutalnya, payudara Jani yang menggantung dibawah sama pun bergerak dengan begitu cepat.

Jani memutar bola matanya saking nikmatnya tumbukan penis Jefri di dalam lubang surganya. Melihat itu dari balik kaca, Jefri menjadi agresif, dia mempercepat gerakannya, bahkan lebih cepat dari awal. Jani sampai berteriak kenikmatan, saking kencangnya gerakan Jefri untuk yang satu ini. Jefri merasa penisnya di dalam sana mengeras dan berkedut, menandakan bahwa sebentar lagi ia akan mengeluarkan cairannya di dalam sana. Maka dari itu, Jefri semakin mempercepat temponya,

“Honey… Now… Ahhh.” titah Jefri kepada Jani, “togehter, sayang.” sambungnya, Jefri pun menghentakkan penisnya di dalam sana selama kurang lebih 3 kali.

Lalu, Jani merasakan dirinya yang mengeluarkan cairannya, yang berjatuhan ke lantai, dan ia juga merasakan cairan milik Jefri yang memenuhi rahimnya. Cairan keduanya kini berjatuhan ke lantai saking penuhnya.

Jefri menarik tubuh lemas Jani untuk berdiri tegak dan bersender ke dadanya. Lelaki itu mengecup leher Jani, dan mencapit kedua pipi Jani agar menoleh ke sampingnya, lalu Jefri mengecup bibir Jani dengan lembut. Peluh memenuhi tubuh Jani dan Jefri, padahal AC di kamar ini menyala,

“Istirahat dulu ya, Jef.” lirih Jani yang sudah tidak bertenaga lagi karena Jefri.

“Tapi istirahatnya sambil aku nyusu ya?” pinta Jefri tepat di telinga istrinya.

“Ya udah gak apa-apa.”


“Kamu beneran kayak bayi deh.” kekeh Jani melihat suaminya yang kini tengah menghisap puting pink milik Jani dengan begitu rakus.

Tangan gadis itu menelisik, menelusuri rambut tebal Jefri yang lembut dan mengelusnya. Ya, Jani, membiarkan Jefri untuk bermain dengan payudaranya. Lagipula ini bukan hal yang buruk, meskipun Jani merasakan linu karena isapan Jefri yang kadang begitu keras, dan juga giginya menggigiti puting Jani dengan gemas.

Seperti yang dilakukannya sekarang ini. Jefri menggigit puting pink milik Jani karena merasa gemas dengan milik istrinya yang bulat, besar, dan pink ini. Hal tersebut membuat Jani mengerang kesakitan, ia mendorong kepala Jefri dengan kasar, dan kini Jefri berhasil menjauh dari dada Jani.

Jefri menatap Jani dengan tatapan polosnya,

“Kamu gila apa gimana? Digigitin, sakit tau!” protes Jani galak.

Jefri memperlihatkan cengirannya, “abisnya saya gemes sama punya kamu. Udah bulet, gede, nipplenya juga pink lagi.” puji Jefri, sembari jari telunjuknya menyentuh nipple pink Jani, dan menekan-nekannya bak bell rumah.

“Jefri ih, ya Tuhan, ini kamu pikir pentil aku tuh bell gitu dipencet-pencet kayak gini?”

“Ya kenapa sih sayang? Orang gemesin tau punya kamu tuh.”

Jani mendengus. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan waktu pukul 2 pagi waktu Maldives,

“Udah malem, ayo bobo, aku besok pengen jalan-jalan.” ajak Jani.

“Emang bisa?” Jefri bertanya dengan nada sombong.

Ya, Jani akui permainannya dengan Jefri tadi membuat gadis ini menjadi seperti lumpuh sementara. Kakinya bergetar, dan dia merasakan perih di sekitaran kemaluannya, yang membuat Jani harus dituntun untuk tidur di kasur oleh Jani,

“Ya emang sakitnya bakal sampai besok? Kan enggak. Udah ih ayo bobo.” ajak Jani merengek kepada suaminya itu.

“Gak mau ada next round gitu?” tanya Jefri, yang langsung dibalas dengan gelengan kepala oleh Jani. Jefri memajukan bibirnya, membuat Jani tertawa pelan.

We still have so much time, sayang. Sekarang akunya capek, aku mau bobok boleh kan?”

“Ya udah deh.”

Lalu, Jefri pun membenamkan wajahnya di dada Jani. Sementara Jani tidak mempermasalahkan hal ini, dia membiarkan Jefri membenamkan wajahnya disana, selama lelaki itu tidak akan melakukan yang aneh-aneh.

Detik selanjutnya, mereka berdua pun sudah masuk ke alam mimpi masing-masing.


Dari dalam kamar, Jani dapat mendengar suara gurunggusuh di depan kamarnya yang disebabkan oleh Jefri. Gadis itu tertawa kecil, ternyata Jefri sama seperti lelaki yang lainnya, yang kalau sudah bernafsu benar-benar menjadi manusia yang bergajulan. Tapi tidak masalah bagi Jani, gadis itu butuh sisi itu di dalam diri Jefri, agar hidup dan kisah cintanya bersama pria itu tidak monoton.

Tiba-tiba saja, pintu kamar Jefri dan Jani dibuka dengan kencang oleh lelaki itu. Jani kaget—ditambah lagi ketika dia melihat kilatas nafsu yang terpancar dari mata pria itu. Kini Jani menjadi takut, sangat amat takut, padahal tadi dia sudah siap untuk melayani Jefri secara batin, tapi semuanya buyar ketika dia melihat bagaimana tatapan mata Jefri ketika sedang bernafsu.

Lelaki itu mendorong pintu kamarnya sendiri menggunakan kakinya sehingga menimbulkan suara dentuman keras, matanya masih menatap Jani dengan lapar. Setelah pintu tertutup, ia buru-buru menghampiri Jani, dan menidurkan dirinya disamping gadis itu yang masih kosong. Dapat Jefri rasakan tubuh istri cantiknya itu bergetar karena ketakutan.

Jefri menjadi tidak sampai hati untuk menggempur Jani. Karena seperti yang kalian ketahui, kalau sudah berada di atas ranjang, Jefri adalah monster, dan bisa saja dia membuat Jani semakin takut dan menangis, belum lagi tadi mereka sempat cek cok kecil dan juga besok mereka akan pergi honeymoon. Jadi sepertinya, lebih baik Jefri bermain sendiri lagi malam ini, daripada dia membuat Jani kenapa-kenapa,

“Jani.” panggil Jefri dengan suara yang begitu lembut. Jani melirik Jefri sebagai respon, dapat lelaki itu rasakan binar ketakutan yang terpancar dari matanya, “jangan maksain diri kalau kamu belum siap.” sambung Jefri sembari tersenyum tipis.

Jani mengigigit bibir bawahnya. Demi Tuhan, Jefri ingin berteriak kepada gadis itu untuk tidak melakukan hal gila itu. Karena hanya melihat Jani begitu saja libido Jefri naik, dan otomatis pusat tubuh Jefri dibawah sana pun bangun, minta untuk dipuaskan oleh sang puan,

“Gu—aku sering denger kamu lagi masturbasi di kamar mandi, sampai nyebut-nyebut nama aku. Aku gak enak sama kamu, kamu pasti capek kan main sendiri? Aku mau Jef, aku mau jalanin tugas aku sebagai istri kamu. Tapi aku takut…”

“Takutnya kenapa?” tanya Jefri, sembari menggeserkan tubuhnya ke samping Jani, membuat tubuh mereka semakin dekat dan mengikis jarak diantara mereka.

Nafas Jani seperti tercekat ketika Jefri sudah semakin merapatkan tubuh keduanya. Peluh dingin menghiasi pelipis Jani. Entah bagaimana bisa, tetapi pusat tubuh Jani yang berada di bawah sana, berkedut dan libido wanita itu pun menjadi naik, meskipun dia masih merasa takut dan tidak yakin,

“Hei, kok ngelamun?” suara Jefri melembut, tangannya sudah ia gunakan untuk mengelus paha mulus Jani yang terekspose, membuat nafas Jani semakin tersendat. Sialan, kenapa juga dia harus menggoda Jefri disaat dirinya sendiri belum sama sekali siap untuk melayani nafsu suaminya.

Jani sebisa mungkin untuk mencoba mengendalikan nafsunya sendiri agar tidak meledak begitu saja. Dia tidak siap, dia takut, bayangan-bayangan ucapan Anindita, sahabatnya terus menghantui pikirannya sekarang. Brengsek! Gadis itu mengumpat di dalam hatinya.

Persetan dengan rasa takutnya. Ia harus melawan. Tidak mau munafik, Jani membutuhkan sentuhan lebih dari Jefri. Terbukti dari celana dalam hitamnya yang terasa basah akibat nafsu birahi yang menggerayangi tubuhnya malam ini,

“Kamu masih mau diem aja?” Jefri bertanya sembari tangannya aktif mengelusi paha bagian dalam milik Jani. Demi Tuhan, Jani mencoba untuk menahan suara desahan yang keluar dari dalam mulutnya dengan menggigit bibir bawahnya.

Melihat Jani yang mati-matian menahan nafsu dengan mencoba untuk tidak mendesah sembari menggigit bibir bawahnya, membuat Jefri kalang kabut. Ia membasahi bibir bawahnya, sebelum kemudian berkata,

“Seems like someone took my job.” ucap Jefri yang kini jarinya sudah bermain di bagian luar celana dalam istrinya itu. Jani yang semakin terangsang tidak memperdulikan ucapan Jefri yang tidak ia mengerti itu, kepalanya pusing merasakan dua jari Jefri yang mengelus kewanitaannya dari bagian luar, “you, love. You, who have taken my job. Don't bite your lips, honey. That's my job.” sambungnya dengan setengah berbisik tepat di telinga Jani.

Gadis itu sudah tidak bisa menahannya lagi. Dia biarkan suara desah kenikmatan keluar dari mulutnya yang setengah terbuka, dengan matanya yang terpejam, dan tangan yang ia gunakan untuk meremas kedua payudara besarnya sendiri. Pemandangan ini, adalah pemandangan yang selalu menjadi fantasi Jefri selama 1 minggu ini,

“Nghhh… Jefhhh… Shhhh.” racaunya tidak karuan, tangan Jani semakin brutal meremas dua gundukan kenyal itu.

“Buka ya celananya.” pinta Jefri dengan lembut, Jani pun mengangguk mengiyakan.

Jani membukakan celana dalam milik Jani, dengan Jani yang sedikit menaikkan badannya, membantu Jefri memudahkan tugasnya agar celana dalam itu bisa terlepas dengan sempurna. Setelah celana dalam milik Jani terlepas, Jefri tidak lantas melemparnya ke lantai, tetapi ia hirup celana dalam itu, membuat Jani jijik dibuatnya,

“Jef, jangan dihirup gitu ih, bau.” risih Jani.

Jefri menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “i love you pussy smell.” ucapnya dengan suara yang rendah, membuat Jani tersenyum malu-malu dan salah tingkah.

Seketika, ide gila muncul di dalam otak kotor Jefri. Ya, kalau sedang dalam kondisi bernafsu seperti ini, ide ide jorok selalu banyak bermunculan di otak Jefri, dan rata-rata semua ide itu adalah fantasinya yang selama ini tidak pernah ia salurkan,

“Sayang.” panggil Jefri.

“Hm.” Jani menyahut.

“Kalau sambil nyamping-nyampingan gini ga enak. Coba kamu duduk di paha aku.” pinta Jefri yang jelas membuat Jani mengerutkan keningnya, merasa bingung dan tidak familiar dengan permintaan Jefri.

“Gak mau ah kasian kamu.”

“Kasian apa?”

“Badan aku berat, Jefri.”

Jefri mendecak, “kamu ini yah ngeremehin suami sendiri banget. Mau kamu seberat apapun, saya tetep kuat, saya selalu ngegym asal kamu tahu.”

“Ih ya udah sih kenapa mesti sewot?” padahal Jefri bicara dengan nada yang biasa, dan malah Jani yang terdengar sewot.

“Iya maaf sayang.” ucap Jefri lembut, ia benar-benar tidak mau semua ini gagal, jadi sebisa mungkin ia meminimalisir pertengkaran yang bisa saja terjadi, “ayo sini.” sambung Jefri sembari kembali menepuk-nepuk pahanya.

Jani tidak bergerak dari tempatnya. Jujur dia ragu, dia benar-benar takut kalau bobot tubuhnya membuat Jefri kesakitan atau pegal atau bagaimana, meskipun sebenarnya Jefri tidak mungkin seperti itu karena tubuhnya yang dipenuhi oleh otot-otot gahar, tapi Jani tetap merasa takut dan was-was.

Namun, keraguan itu tidak berlangsung lama. Tat kala melihat milik Jefri yang menyembul dari balik celananya. Jani terkejut sekaligus takut karena dilihat dari luar saja, benda “pusaka” itu berukuran american size yang mana memang sangat besar, namun ketakutan itu seketika hilang dengan rasa penasaran. Ya, Jani penasaran, bagaimana rasanya ketika bokong sintal gadis itu bertemu dengan kejantanan besar milik Jefri.

Maka, untuk merealisasikan rasa penasarannya. Jani berpindah posisi. Ia mendudukan bokongnya tepat di pusat tubuh Jani. Desahan lolos dari mulut keduanya. Jani yang mendesah karena gesekan antara miliknya dengan milik Jefri, dan Jefri yang mendesah karena miliknya yang sekarang sudah bersentuhan dengan milik Jani,

“Kamu ngangkang dong.” pinta Jefri lagi.

“Aku udah duduk loh di deket otong kamu nih, masa kamu masih minta aku buat ngangkang lagi sih.” protes Jani.

Jefri tertawa renyah ketika mendengar Jani menyebutkan kepemilikannya dengan kata otong. Itu kata yang sering ia dengar ketika kecil, kata ganti yang selalu diucapkan sang mama saat memberikan pelajaran sex education kepada Jefri kecil,

“Ya emang harus ngangkang sayang, kalau rapet gini gak enak.” Jefri masih meminta dengan lembut.

Jani memutar bola matanya malas, dan dengan gerakan perlahan, ia lebarkan kakinya, membuat pusat tubuhnya terlihat jelas, dan ini jelas mempermudah apa yang akan Jefri lakukan kepada istrinya malam ini,

“Are you ready?” Jefri bertanya dengan berbisik seduktif, sembari menaruh dagunya yang tidak terlalu lancip itu di bahu gadisnya.

Jani menghela nafasnya berat, “im ready.”

Jefri langsung melakukan tugasnya sekarang.

Ia mengelus-elus klitoris Jani menggunakan hampir seluruh jarinya dengan gerakan yang lumayan cepat untuk permulaan. Jani jelas langsung mengeluarkan desahan kencangnya ketika jari-jari itu dengan lihai memainkan klitorisnya,

“Fuckhh… Jefhh… Nghhh…”

“Enak sayang?” tanya Jefri dengan suara yang berat, nafasnya menggebu-gebu, nafsu lelaki itu sudah tidak bisa dibendung lagi. Semoga, Jani tidak habis malam ini, karena besok mereka harus pergi ke Maldives untuk honeymoon.

“Enakhhh ahh terushh.” pinta Jani sembari tangannya membantu untuk menggerakan jari-jari Jefri agar bergerak semakin cepat.

Setelah puas bermain-main dengan klitoris sang istri, lelaki itu langsung memasukan dua jarinya dalam-dalam secara sekaligus ke lubang vagina Jani, yang membuat gadis itu berteriak merasakan perih, dan tubuhnya pun sedikit terangkat saking terkejut dan perihnya. Tidak perduli dengan teriakan Jani dan keterkejutan istrinya itu, Jefri langsung memaju mundurkan jarinya dengan gerakan yang pelan namun pasti. Dia sengaja melakukan ini, untuk membiarkan Jani terbiasa dengan jarinya yang berada di lubang kenikmatan itu,

“Ahhh… nghhh…” lirih Jani, ia menyenderkan seluruh punggungnya ke dada Jefri.

“Mau cepet gak?” Jefri bertanya dengan suara beratnya.

Jani mengangguk, “tapi gak sakit?” tanya Jani dengan ragu.

Jefri mengecup pipi sang istri,

“Enggak sayang, kan udah basah, jadi gak bakalan sakit. Mau ya?”

“Iya.”

Detik selanjutnya, Jani menyesal karena sudah mengizinkan Jafi untuk menggerakan jari-jari di dalam sana dengan cepat.

Karena demi Tuhan, untuk detik-detik pertama rasanya lumayan sakit dan ngilu, namun, detik selanjutnya, rasa sakit dan ngilu itu bercampur dengan rasa nikmat yang tiada tara. Membuat suara desahan yang Jani keluarkan pun berubah menjadi desahan penuh kenikmatan dan nafsu yang terdengar seperti lantunan lagu indah di telinga Jefri,

“Ahh Jefhhh… Enakhh sayanghh… Pleasehh, terushh… Ouchhhh.”

Desahan demi desahan Jani lontarkan, dan itu semakin membuat Jefri mempercepat tempo permainan jarinya. Dia bahkan menambahkan dua jarinya di sela-sela permainan mereka ini. Itu semakin membuat Jani menggelinjat kenikmatan, ditambah lagi Jefri mengkobel lubang kenikmatan itu dengan tempo yang sangat amat cepat. Membuat Jani kehilangan akal sehatnya sekarang.

Jani berteriak kenikmatan tat kala Jefri menyentuh sweet spot itu. Spontan, Jani menggerakan pinggulnya berlawanan arah saking nikmatnya. Terdengar suara desahan Jefri tepat di telinganya,

“Ouchh yeshh, theressshhh…. Jefrihhh…. fuckhhh… harder pleasehh…. anjinghhhh.”

“Bangsathhh, Janihhh, sayanghhh.”

“Jef… oh my godhhh ahhh.”

Suara desahan baik dari Jani maupun dari Jefri saling beradu menggema di segala sudut kamarnya.

Tangan Jefri yang menganggur, ia gunakan untuk mencapit kedua pipi Jani, dan membuat Jani menolehkan kepalanya ke samping. Lalu Jefri melahap bibir Jani dengan rakus, Jani melepaskan pagutannya sebentar untuk mengeluarkan desahan kenikmatannya lagi, karena ia merasa kalau dirinya akan mencapai pelepasannya sekarang. Jefri pun merasakan hal tersebut, karena kini jarinya yang ada di dalam sana terasa di jepit, membuat Jefri semakin brutal mengobel lubang kenikmatan tersebut,

“Fuckhhh… yeahhh… sayanghhh… Ahhhh…. Jefhhh….”

“Mau keluar sayang?” tanya Jefri sembari menatap wajah penuh nafsu Jani yang terkesan seksi itu dengan tatapan nyalang.

“Iyahhh… ahhh sayanghhh…”

“Keluarin aja. Sekarang.”

Cairan pelepasan pertama pun Jani keluarkan, dengan jari Jefri yang masih berada di dalam sana. Nafas Jani memburu, peluh memenuhi seluruh wajahnya. Keadaan Jefri tidak jauh berbeda dengan keadaan Jani. Lalu detik selanjutnya, Jefri melepaskan jari-jarinya dari dalam sana. Bersamaan dengan itu, Jani merubah posisinya. Dia berpindah dari pusat tubuh Jefri, lalu duduk di hadapan Jefri. Mata gadis itu menatap benda pusaka milik Jefri yang masih menyembul. Lalu ia melihat wajah Jefri yang sekarang sedang melumat sisa-sisa cairan milik Jani di jarinya.

Jani meringis jijik. Bagaimana bisa dia tidak merasa muntah ketika merasakan cairan berwarna putih itu. Kalau Jani menjadi Jefri, pasti Jani sudah buru-buru pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya,

“Jef ih, jorok.”

“Apa sayang?”

“Itu kamu jorok. Ngapain sih di jilat-jilat kayak gitu, gak ada rasa apa-apa juga.”

“Kata siapa?” tanya Jefri, “ini tuh rasa cinta kamu ke saya tau gak.”

Jani menatap malas sang suami. Lalu, sedetik kemudian pandangan gadis itu jatuh ke arah benda pusaka milik Jefri. Gadis itu menelan ludahnya, otaknya membayangkan ukuran milik Jefri yang mungkin sangat besar dan tidak akan muat di dalam dirinya.

Jefri yang sadar kalau Jani memperhatikan miliknya langsung menyeringai,

“Kenapa diliatin terus? Penasaran?” tanya Jefri dengan suara baritonnya yang menggoda.

“Takut..” cicit Jani, Jefri terkekeh gemas.

“Takut kenapa sih? Dia ga bakal ngeluarin bisa yang bikin kamu mati kok, cuma ngeluarin bisa yang bikin kamu hamil sembilan bulan aja.” canda Jefri yang dibalas dengan tatapan sinis Jani, “gak apa-apa sayang. He's yours.”

Jani benar-benar melawan rasa takutnya. Dia menyentuh benda pusaka milik Jefri, mengelusnya dari luar. Jefri mati-matian menahan desahannya, kedua tangannya meremat spresi kasur hingga buku jarinya memutih. Jani seolah tidak puas hanya mengelus benda pusaka itu dari balik celana Jefri, maka dia meminta izin kepada Jefri untuk membuka celana lelaki itu,

“Aku buka celana kamu boleh gak?” Jani bertanya.

Mata sayu Jefri menatap Jani dan mengangguk sebagai jawab, “do whatever you want baby, im yours.” ucap Jefri memberikan lampu hijau kepada Jani untuk melanjutkan aksinya lebih jauh.

Jani pun dengan cekatan membuka celana Jefri sampai ke tungkai kakinya. Dan, kini, mata Jani disuguhkan dengan pemandangan benda pusaka milik Jefri, yang sudah menegang dengan urat uratnya yang terlihat jelas. Ini benar-benar american size. Jani sendiri tidak yakin kalau itu akan muat di dalam dirinya,

“Jefri, ini gak akan muat.” lirih Jani sembari menggelengkan kepalanya.

Jefri tersenyum, “muat sayang. Ayo coba pelan-pelan pake mulut kamu.” pinta Jefri lembut.

“Hah?” Jani menggidik ngeri, “gak mau ah, ih kamu jijik tau.”

“Yaudah kalau gak mau gak apa-apa, coba pakai tangan kamu.”

“Gak apa-apa?”

“Gak masalah.”

Jani memulai aksinya, dia memegang penis Jefri, dan menggerakan tangannya naik turun. Sialan! Jefri langsung kehilangan akal sehatnya. Lelaki itu mengeluarkan suara desahan nikmatnya saat tangan Jani mempercepat temponya untuk bermain bersama bantang panjang nan besar itu,

“Gemes ih, kayak microphone.” ucap Jani terkekeh, dia memainkan milik Jefri seperti ia memainkan microphone yang ia miliki di rumah lamanya, yang selalu ia gunakan untuk mengusik Jadira ataupun Chandra.

Jefri tersenyum,

“Kalau pake mulut, kamu bakal gimana emang, Jef?” Jani terus mengoceh sembari tangannya aktif memainkan milik Jefri.

“Nghhh… gak tau…. hsshhh.” Jefri tidak bisa menjelaskan, dirinya kepalang gila dengan service Jani yang kelewat pro bagi seorang pemula.

Sebetulnya, meskipun Jani merasa jijik membayangkan benda itu berada di mulutnya. Tapi, Jani juga penasaran, apalagi sekarang libidonya yang sempat hilang, datang kembali hanya karena melihat milik Jefri yang kelewat besar ini,

“Jefri, siap-siap ya. Satu… dua… tig—hmphhh.”

Jani langsung mengulum milik Jefri ke dalam mulutnya. Diperlakukan seperti itu membuat Jefri terkejut sekaligus merasa nikmat. Miliknya yang besar memenuhi mulut Jani. Lelaki itu melirik Jani yang tengah memaju mundurkan kepalanya untuk memuaskan milik Jefri menggunakan mulutnya.

Jani melakukan “pekerjaan” mulutnya itu dengan tempo yang luar biasa cepat, sampai membuat Jefri kalang kabut dan kepalanya terasa ringan, saking nikmatnya permainan mulut istrinya itu. Kepala Jefri mendongak ke belakang, mulutnya terbuka, mengeluarkan desahan-desahan dari mulutnya yang membuat nafsu Jani menggila,

“Fuckh… Janih…”

“Damnhh.”

“You such a slut.”

“Oh my god.”

Racaua-racauan itu terus Jefri lontarkan. Jani seperti tidak perduli dengan dirinya yang terus disebut dengan kata-kata slut, bitch, whore. Dia menikmatinya, dia menikmati membuat Jefri tersiksa. Dan sepertinya, dia juga menyukai sesi foreplay dengan melakukan blow job seperti ini.

Jefri tidak tahan lagi, ia butuh ikut andil dalam permainan ini. Maka dari itu, Jefri menaruh kedua tangannya tepat di sisi atas kiri dan kanan kepala Jani, lalu menggerakan kepala Jani dengan tempo yang begitu cepat untuk memompa kejantanannya. Jani merasakan tenggorokannya yang terasa sakit karena penis besar itu memaksa menelusup ke dalam,

“You're my personal slut.”

“Bangsat.”

“Anjing setan ini enak.”

Desahan-desahan kasar benar-benar membuat Jani kembali merasakan libidonya naik. Dia membiarkan Jefri terus menggerakan kepalanya dengan lebih cepat menggunakan dua tangan kekarnya, dan membuat kejantanannya yang besar dan panjang itu merojok tenggorokan Jani lebih dalam lagi. Demi Tuhan, Jani kesakitan, tapi dia juga merasakan nikmat yang luar biasa.

Kini, dapat Jani rasakan kalau penis mikik Jefri berkedut di dalam mulutnya, menandakan kalau suaminya itu akan segera melakukan pelepasan. Dan benar saja, kurang dari 1 menit, cairan itu keluar dan memenuhi mulut Jani. Saking penuhnya, cairan putih itu sampai meleleh di sisi kiri dan kanan sudut mulut Jani,

“Oh my fucking God.”

Jefri merasa lega setelah ia mengeluarkan semua cairannya di dalam mulut Jani. Lelaki itu melirik Jani dan tersenyum,

“Saya cabut punya saya, tapi kamu telen cairan saya. Mau? Kalau gak mau, saya biarin punya saya terus ada di mulut kamu.”

Mata sayu dan penuh nafsu itu menatap Jefri dengan tatapan memohon agar lelaki itu tidak melakukan opsi kedua dan membiarkan Jani memuntahkan cairan sperma yang rasanya aneh ini,

“Saya gak akan cabut.”

Sialan!

Dengan terpaksa, Jani setuju untuk menelan cairan sperma milik Jefri yang kelewat banyak ini. Merasa puas karena sudah memanipulasi istrinya, Jefri pun mencabut penis besarnya itu dari dalam mulut Jani, dan membiarkan Jani menelan cairannya. Demi Tuhan, gadis itu benar-benar ingin muntah sekarang,

“Udah?” tanya Jefri sembari menatap mata Jani. Sang puan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “mau lanjut gak?”

“Lanjut apa?”

“Ya itu ke inti.”

Jani menggelengkan kepalanya. Meskipun dia sangat bernafsu tadi, tetapi setelah dia menelan sperma milik Jefri, membuat nafsunya seketika hilang begitu saja. Selain itu, sekarang jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, lebih baik Jani tidur—karena besok dia harus berangkat ke Jakarta untuk menaiki pesawat di bandara Soekarno-Hatta dan pergi ke Maldives,

“Ya udah sini bobo.” pinta Jefri sambil menepuk-nepuk samping kasurnya yang kosong.

Jani merangkak berpindah ke samping Jefri. Lalu Jefri menarik selimut dan menutup kedua tubuhnya dengan selimut tebal berwarna putih. Jefri membawa Jani ke dalam dekapannya, menaruh kepala gadis itu di dadanya membiarkan Jani mendengar suara ritme degupan jantung Jefri yang tidak normal,

“Thank you.” lirih Jefri seraya mengecup puncak kepala Jani.

“Your welcome.”


“Ini hadiah pernikahan dari papa sama mama.” ungkap Papa Jefri sambil menyerahkan dua tiket pesawat ke Maldives kepada Jefri dan Jani.

Jani membelalakan matanya. Maldives adalah salah satu destinasi wisata yang ingin Jani kunjungi sudah dari lama. Ekspresi muka gadis itu terlihat begitu bahagia, guratan senyumnya juga menjelaskan kalau Jani benar-benar senang dengan hadiah pernikahan dari kedua mertuanya.

Sama seperti Jani, Jefri juga senang. Akhirnya, dia memiliki waktu berdua bersama Jani di luar negeri. Sudah hampir satu minggu ini, Jefri selalu bermain sendiri, dia benar-benar berharap, di Maldives nanti Jani mau untuk melakukan hubungan suami istri bersamanya,

“Jani senang?” tanya mama sembari melihat Jani dengan wajah turut bahagia.

Jani menganggukkan kepalanya penuh semangat, “seneng ma, Jani seneng banget.” jawab Jani excited, dia melirik Jefri yang duduk di sampingnya dengan senyuman menggemaskannya. Jefri melihat itu hanya tertawa kecil lalu mengecup kening Jani.

Melihat keharmonisan dan sikap romantis sang anak, membuat Papa dan Mama turut bahagia. Sebagai orang tua, mereka berdua merasa khawatir. Takut kalau Jefri dan Jani tidak akan bisa harmonis, rumah tangganya selalu dihiasin pertikaian, tapi nyatanya, ketakutan mereka salah. Jani dan Jefri lebih romantis dari pasangan yang menikah atas dasar cinta,

“Lusa kalian berangkat, dan kalian harus gunain waktu kalian sebaik-baiknya, ok?” ucap sang papa.

Jefri dan Jani kompak menganggukkan kepalanya,

“Siap pa. Jefri pasti bakal gunain waktu honeymoon kita sebaik mungkin.” sahut Jefri. Ada maksud lain dari ucapannya itu, dan hanya ia dan papanya lah yang mengerti.

“Oh iya, kata Jani katanya kalian mau pindah rumah ya?” tanya mama.

Jefri menganggukkan kepalanya, “aku gak mau Jani tinggal di rumah ini tapi itu malah bikin dia gak nyaman dan capek karena rumah ini luas banget. Makanya aku setuju buat pindah.” jelas Jefri, yang diikuti dengan anggukan kepala dari Jani sebagai respon atas ucapan suaminya itu.

“Kapan pindahnya?” tanya papa.

“Kayanya sih pulang honeymoon aja.” jawab Jefri, “terus juga rumah ini mau aku jadiin villa aja, aku sewa-sewain.” sambungnya, sembari matanya melirik ke sekeliling rumah besarnya ini.

“Nah kan, dari dulu mama udah bilang ke kamu, tapi kamu gak mau denger. Untung ada Jani, jadi kamu mau nyewain mansion ini.” kesal sang mama.

Jefri hanya cengar-cengir—memperlihatkan deretan gigi putih nan rapihnya,

“Ya udah kalau kayak gitu.” papa melanjutkan ucapannya, “tadinya papa sama mama mau lama diem disini, tapi papa ada kerjaan dan harus flight ke Solo sama mama, jadi papa izin pulang ya? Takut ketinggalan pesawat.” pamit papa seraya berdiri dari duduknya, diikuti dengan mama, Jefri, dan Jani.

“Berapa lama, pa?” tanya Jefri.

“Ya paling semingguan.” jawab papa, “Jani, papa sama mama pulang dulu ya, baik-baik disini. Kalau Jefri nakal jangan kasih dia jatah.” candanya yang membuat Jani tertawa pelan.

“Siap pak bos!” ucap Jani sambil membuat gerakan hormat.

Mama tertawa gemas, tangannya terulur untuk mencubit pipi Jani.

Setelah kedua orang tua Jefri pulang, kini tersisa Jani dan Jefri di rumah itu,

“Jef.” panggil Jani.

“Hm?” sahut suaminya itu dengan nada suara yang super lembut.

“Mau aku kamuan kan?”

“Mau!” jawab Jefri dengan mata berbinarnya.

“Gue boleh bawa bikini ke Maldives ya?”

“Dipakenya kalau lagi sama saya aja tapi.”

“Ih di dalem rumah mana ada pake bikini.”

“Kamu kalau lagi mandi aja gak pake apa apa. Lagian di depan suami ini.”

Jani mendecak sebal,

“Jadi gak boleh pake bikini?” gerutu Jani, Jefri mengulum senyumnya. Tangannya ia gunakan untuk merengkuh pinggul ramping sang istri.

“Boleh.” jawab Jani, lalu sepersekian detik kemudian, dia membisikkan kata-kata tepat di telinga Jani, “tapi saya mau makan kamu, boleh?”

“Sekarang?” tanya Jani dengan gugup.

“Kalau kamu belum siap sekarang. Nanti, pas di Maldives juga gak masalah.” jawab Jefri, “tapi kalau di Maldives tiap malem aja ya?”

Jani menatap Jefri sinis,

“Kalau lo mau kayak gitu, mending lo having sex aja sana sama pasir. Orang gila.”

Lalu, Jani pergi meninggalkan Jefri yang sedang tertawa di tempatnya.


“Capek banget kayaknya, sampai baru bangun jam dua belas siang.”

Jadira menyindir adik kandungnya yang baru saja turun dari kamar dan bergabung bersama mereka di ruang keluarga milik Jefri yang luasnya hampir seperti ruas halaman depan rumah Jadira dan Chandra.

Jani menatap sinis sang kakak yang mana itu malah membuat Jadira dan Chandra tertawa pelan. Sementara Jefri hanya mengulum senyumnya. Tidak mau munafik, Jefri senang melihat Jani yang terlihat kesal dan salah tingkah akibat kelakuan kakak kandung perempuan itu,

“Perempuan tuh gak boleh bangun siang.” seperti belum puas, Chandra ikut menggoda Jani yang baru saja duduk disamping Jefri, berhadap-hadapan dengan Chandra dan Jadira.

Jani mendecakan lidahnya sebal. Kenapa dua kakaknya ini sangat senang membuatnya kesal? Sedangkan kalau Jani yang membuat dua kakaknya itu kesal, pasti gadis itu akan dimarahi habis-habisan. Dunia memang tidak pernah berpihak adil kepada seseorang yang lebih muda. Menyebalkan,

“Ya orang capek kemarin acaranya lama banget. Kenapa sih?” risih Jani.

“Capek karena acara apa capek karena…….” Jadira sengaja tidak melanjutkan kalimatnya, digantikan dengan memasang ekspresi menyebalkan yang ingin sekali Jani acak-acak menggunakan tangan cantiknya.

Meskipun Jefri senang melihat Jadira dan Chandra menggoda Jani—karena gadis itu selalu memberikan respon yang menggemaskan, tetapi sebagai seorang suami Jefri tetap merasa kasihan karena istrinya itu terus-terusan di goda oleh kaka iparnya, dan Jefri bisa melihat raut tidak nyaman yang terpampang di wajah cantiknya,

“Gue sama Jani belum ngelakuin Mba, Mas. Soalnya, kemarin malem emang bener-bener capek banget, Jani juga bangunnya siang karena kita baru tidur jam lima, soalnya deep talk dulu sebelum tidur.”

“Tuh dengerin!” ucap Jani sembari menekankan suaranya di setiap kata yang dia ucapkan, membuat Chandra dan Jadira tertawa pelan.

“Iya iya.” Jadira akhirnya menyerah untuk terus menggoda adik kesayangannya itu. Dia melakukan ini bukan untuk bersikap menyebalkan, dia hanya rindu membuat adiknya kesal. Rumah yang Jadira dan Chandra tempati benar-benar sepi setelah kemarin Jefri membawa Jani untuk menetap disini, “kakak cuman kangen godain kamu, liat muka kesel kamu.” ungkap sang kakak.

Ungkapan itu membuat rasa kesal di dalam diri Jani sedikit mereda. Jujur, dia juga merindukan rumah lamanya. Dia rindu mendengar omelan kakak-kakaknya, dan dia rindu memergoki Jadira dan Chandra yang tengah berciuman di dapur, atau mendengar suara-suara desahan bercinta mereka di malam-malam tertentu (sebenernya yang bagian ini, Jani benci, karena itu sangat menjijikan, tapi hal itu bisa menjadi bahan ejekan dan godaan untuk Jani layangkan kepada kedua kakaknya itu),

“Ya udah nanti kapan-kapan aku nginep di rumah itu kakak.”

“Lah?” Jefri menatap istrinya itu dengan bertanya-tanya. Maksudnya bagaimana? Mereka bahkan baru menikah 1 hari, tapi Jani sudah mau menginap di rumah lamanya, bahkan mereka sama sekali belum melakukan hubungan suami istri.

“Apa?” Jani menyahuti keheranan Jefri. Menatap suaminya itu dengan bingung karena reaksinya yang agak berlebihan itu.

“Kita baru nikah sehari, masa kamu udah mau nginep di rumah kakak kamu?” tanya Jefri, sedetik kemudian dia menatap kakak ipar dan suaminya itu, “no offense, mba, bukannya gue ngelarang Jani untuk nginep di rumah mba dan mas, masalahnya ini kita baru sehari nikah and we haven't even done “that” jadi, boleh kan kasih waktu untuk kita?” tutur Jefri yang hanya dibalas oleh tawa renyah sang kakak ipar.

Sementara Jani, dia hanya diam sembari menahan malu. Bukan, Jani bukan malu karena sikap Jefri yang panik barusan. Dia malu karena Jani menyinggung soal first night yang sama sekali belum mereka lakukan, padahal seharusnya mereka sudah melakukannya kemarin.

Apa Jani benar-benar harus melakukan itu dengan Jefri? Tapi Jani sama sekali belum mencintai Jefri, dan entah apa dia bisa mencintai Jefri atau tidak. Ah, semuanya memusingkan!

“Tenang Jef, tenang, chill.” pinta Chandra yang direspon dengan anggukan kepala dari Jadira, seolah-olah gadis itu setuju dengan Chandra agar Jefri bersikap tenang dan tidak terlalu panik seperti barusan, “maksudnya kita tuh, Jani nginep di rumah kitanya nanti, gak sekarang, kita juga tau diri, kalian masih butuh waktu untuk berduaan dan saling mengenal. Jadi, puas-puasin aja dulu.”

Jefri tersenyum lega,

“Sorry mas, mba, gue kira kalian emang beneran mau bawa Jani buat nginep malem ini.”

“Ya engga lah!” sanggah Jadira, “lagian juga, kayaknya Jani masih pengen mesra-mesraan sama lo tuh.” sambung Jadira sambil menatap Jani dengan tatapan curiganya, “iya gak dek?”

“Apaan sih!” elak Jani.

Ketiga manusia itu tertawa mendengar respon Jani yang sinis dan galak namun tetap terlihat begitu menggemaskan,

“Oh iya, kalian rencana honeymoon mau dimana deh?” tanya Jadira mulai mengganti topik pembicaraan.

Jefri mengangkat kedua bahunya. Pria itu lantas melirik Jani yang duduk disampingnya, Jani juga tidak tahu kemana dia harus pergi untuk honeymoon. Tapi sejujurnya ada banyak tempat indah yang ingin Jani kunjungi, yang sudah ia tulis di dalam buku diarynya,

“Kamu mau honeymoon kemana?” Jefri bertanya kepada Jani.

Jani mengangkat kedua bahunya, “gak tau, aku terserah kamu aja, tapi sebenernya aku udah ada beberapa list tempat sama negara yang pingin aku kunjungin sih. Itu aku ngelistnya bukan untuk honeymoon sebenernya, tapi untuk individual trip.” jawab Jani, Jefri agak terkejut dan salah tingkah ketika Jani menggunakan aku-kamu dengannya.

Iya, Jani terpaksa menggunakan aku-kamu, dikarenakan dia tidak mau membuat Jadira mengomeli dirinya karena masih menggunakan lo-gue ke Jefri yang notabenenya adalah suami gadis itu sendiri,

“Ayo di diskusiin aja dulu. Biar sama-sama enak, tapi jangan saling egois juga, kalau semisal Jani maunya kesini, tapi lo gak mau, ya lo tetep harus ngikutin Jani, atau sebaliknya kalau semisal Jefri mau kesini, tapi kamu gak mau, kamu harus tetep ngikutin maunya Jefri. Karena kalau kalian berdua sama-sama egois, cuman pertengkaran yang bakal kalian hadapi di rumah tangga kalian.” nasihat Chandra, yang didengar dengan seksama oleh Jani dan juga Jefri.

Ya, meskipun pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan yang terjadi akibat perjodohan. Tapi, tetap saja, ada secercah harapan di dalam diri Jani, agar pernikahan ini bisa berjalan dengan indah. Siapa tau, kalau pernikahan ini tidak terlalu banyak pertengkaran, akan membuat Jani lebih cepat jatuh cinta kepada Jefri. Who knows, kan?


Serangkaian acara pernikahan Jefri dan Jani hari ini sudah selesai tepat di jam dua belas malam. Lelah? Jangan ditanya, Jani bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan saking lelah dan ngantuknya dia, begitu pula dengan Jefri.

Setelah berpamitan dengan keluarga masing-masing. Jefri pun segera membawa Jani untuk pulang ke kediamannya. Ya, mulai hari ini Jani akan tinggal disana, menghabiskan waktunya bersama Jefri entah sampai kapan.

Sesampainya di kediaman Jefri, Jani benar-benar tidak bisa untuk tidak berdecak kagum melihat bagaimana besar dan luasnya rumah milik suaminya itu. Dia kagum dengan Jefri. Amat sangat kagum. Lelaki itu di umur yang masih semuda ini sudah mampu membeli rumah—ah lebih tepatnya mansion yang mirip seperti milik artis hollywood,

“Mau sampai kapan cengo kayak gitu? Kamu gak cape?” tanya Jefri sembari menyenderkan tubuhnya ke kap mobil. Sudah hampir dua menit dia memperhatikan istrinya itu tengah terkagum-kagum dengan rumahnya.

Jani berhenti, lalu membalikan tubuhnya ke belakang, untuk melihat suaminya yang tengah berdiri disana sembari melipat kedua tangannya di depan dada,

“Lo selama ini tinggal sendiri disini?” tanya Jani, yang dijawab anggukan kepala oleh Jefri.

Lelaki itu berjalan mendekati Jani,

“Sendirian?” Jani kembali bertanya. Pasalnya, tidak mungkin Jefri tinggal sendirian di rumah sebesar ini.

“Kamu berharap saya tinggal sama siapa emang?” pertanyaan Jani bukannya dijawab, tapi malah dibuat pertanyaan lagi oleh Jefri.

Jani terdiam, lalu detik kemudian dia mengangkat kedua bahunya,

“Ya gak tau. Mungkin cewe lu.”

“Cewe?” tanya Jefri sambil tertawa renyah. Hal itu membuat Jani menatapnya dengan tatapan aneh sekaligus kesal, “kok lo malah ketawa sih?” tanya Jani jengah.

Jefri tidak menjawab, lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, seraya merangkul tubuh Jani dan membawanya berjalan masuk ke dalam mansion. Jani tidak terima, dia masih menuntut jawaban atas alasan kenapa Jefri tersenyum, tapi Jefri tidak menjawabnya dan malah terus menuntun istrinya itu untuk masuk ke dalam.

— O —

Malam ini, kedua pasutri itu sudah berbaring di atas ranjang mereka. Kasur berukuran king size yang dulunya hanya di tempati oleh Jefri seorang, kini sudah ditempati oleh Jani—meskipun secara terpaksa.

Iya, pada awalnya, Jani menolak untuk tidur sekamar dengan Jefri, karena bagaimanapun juga, meskipun status mereka suami istri, Jani masih belum mencintai Jefri, jadi dia tidak mau untuk berbagi ranjang dengan lelaki itu. Dan Jafri pun tetap memaksa Jani untuk tidur bersamanya, mengingat status mereka yang sudah sah menjadi suami istri.

Perdebatan antara Jani dan Jefri berlanjut hingga pukul setengah tiga pagi. Dua-duanya tidak ada yang mau mengalah. Sampai pada akhirnya, karena sudah terlalu lelah, Jefri pun mengeluarkan jurus andalannya yang membuat Jani takluk dan memilih untuk tidur bersamanya seperti sekarang,

“Ya kalau kamu mau tidur disana sih, saya gak masalah. Tapi, kamu tau kan kalau mansion ini cuman saya yang nempatin sendiri, dan banyak ruangan kosong yang gak kepakai? Dan kamu tahu kalau banyak ruangan kosong yang gak kepakai, itu sarangnya siapa?”

Jani yang sangat takut dengan hantu pun akhirnya memilih untuk menyerah dan akhirnya ia memutuskan untuk berbagi ranjang dengan Jefri, tetapi dengan syarat, kalau guling dijadikan pembatas mereka, dan kalau ada yang melewati batas yang sudah disediakan, harus membayar denda kurang lebih satu juta.

Dan, Jefri dengan bodohnya menyetujui kesepakatan tersebut,

“Tadi lo kenapa ketawa?” tanya Jani membuka percakapan diantara keduanya.

Malam ini terasa hening, hanya terdengar suara jangkrik dari luar sana.

Jani tertidur dengan posisi menyamping ke kiri, agar bisa melihat wajah Jefri yang posisi tidurnya pun sama persis dengan Jani,

“Yang soal kamu nanya saya punya pacar apa enggak?” Jefri bertanya, sembari tangannya ia angkat ke udara dan membenarkan poni Jani.

Jani menganggukan kepalanya,

“Saya terakhir pacaran aja waktu kuliah.” jawab Jefri, “tanya aja Mba Dira.” lanjutnya.

Jani melebarkan matanya. Gadis itu heran mengetahui fakta bahwa lelaki setampan dan semapan Jefri terakhir menjalin hubungan dengan seseorang ketika dirinya masih berada di bangku kuliah, yang mana artinya itu sudah belasan tahun yang lalu. Bagaimana bisa dia bertahan selama itu?

“Lo yang bener aja terakhir pacaran pas kuliah?”

“Iya bener.” jawab Jefri meyakinkan istrinya itu.

“Maksud gue tuh gini loh, lo kan cowok ya, manusia, normal, punya nafsu, kalau lo ga ada pacar, selama ini lo muasin nafsu lo sama siapa dong?”

Sebenarnya Jani tidak tahu kenapa dari banyaknya rasa heran yang ada di benaknya, malah itu yang ia lontarkan kepada Jefri. Untuk beberapa saat kemudian, Jani merutuki dirinya sendiri. Benar-benar bodoh, pikirnya,

“Kalau saya jawab jujur, apa kamu bakalan marah sama saya?” Jefri bertanya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan vulgar Jani.

Entah kenapa, Jani mendadak gelisah ketika Jefri bertanya seperti itu kepadanya. Namun, meskipun begitu, Jani tetap menjawabnya dengan lantang dan penuh keyakinan,

“I've never loved you. So whatever you're going to say now won't make me angry.”

Sorot mata Jefri tidak dapat berbohong kalau dia begitu kecewa mendengar penuturan Jani barusan. Namun, lelaki itu terlalu hebat menyembunyikannya sehingga membuat Jani tidak sadar sama sekali,

“Saya suka sewa perempuan di club malam untuk nemenin saya tidur atau having sex sama saya.” tutur Jefri dengan jujur.

Perasaan Jani seketika berubah menjadi campur aduk. Kecewa, marah, sedih, menyatu menjadi satu. Tidak paham apa yang sedang Jani rasakan sekarang ini, gadis itu memilih untuk tidak mengiraukan perasaannya, meskipun itu sedikit membuatnya kesal dan terganggu,

“Wow…… you're wild.” hanya itu respon yang mampu Jani tunjukkan. Dia mencoba untuk menyembunyikan perasaan aneh ini dengan tetap mempertahankan senyumannya yang canggung.

Jefri mengangguk, “i know.” akunya, Jani dapat mendengar nada menyesal dari suara lelaki itu, “tapi itu dulu, saya gak pernah berani untuk kayak gitu lagi.” sambungnya..

“Why? Because you are married?”

Jefri menggeleng, membuat Jani menukikkan kedua alisnya.

Sebelum menjawab, Jefri sedikit memajukan tubuhnya ke arah Jani, lalu mengecup kening istrinya itu cukup lama. Jangan tanya bagaimana perasaan Jani. Kaget, awkward, gugup, semuanya bercampur menjadi satu,

“Because i love you.” jawabnya setengah berbisik. Jari panjang Jefri tergerak dengan perlahan, mengelus pipi gadis itu dengan lembut, “orang yang menikah, bisa selingkuh, atau tidur sama perempuan sana-sini. Tapi orang yang mencintai dan menghormati pasangannya, jelas gak bakal pernah nyobain hal kayak gitu.”

Jani tidak mampu berkata-kata, matanya tidak bisa lepas dari wajah tampan Jefri. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Jefri, alam bawah sadar Jani memuji sosok Jefri yang begitu tampan dan sempurna tanpa ada cacat sedikitpun,

“Udah yuk tidur? Ini udah mau subuh, kita sama sekali belum tidur.”

“Iya.”